Senin, 14 September 2020

HUKUM

id.wikipedia.org

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukum[4] adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan [5] dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. Filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."[6][7]

Hingga saat ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai pengertian hukum. Telah banyak para ahli dan sarjana hukum yang mencoba untuk memberikan pengertian atau definisi hukum, tetapi belum ada satupun ahli atau sarjana hukum yang mampu memberikan pengertian hukum yang dapat diterima oleh semua pihak.[8] Ketiadaan definisi hukum yang dapat diterima oleh seluruh pakar dan ahli hukum pada gilirannya memutasi adanya permasalahan mengenai ketidaksepahaman dalam definisi hukum menjadi mungkinkah hukum didefinisikan atau mungkinkah kita membuat definisi hukum? Lalu berkembang lagi menjadi perlukah kita mendefinisikan hukum?[9]

Ketiadaan definisi hukum jelas menjadi kendala bagi mereka yang baru saja ingin mempelajari ilmu hukum. Tentu saja dibutuhkan pemahaman awal atau pengertian hukum secara umum sebelum memulai untuk mempelajari apa itu hukum dengan berbagai macam aspeknya. Bagi masyarakat awam pengertian hukum itu tidak begitu penting. Lebih penting penegakannya dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Namun, bagi mereka yang ingin mendalami lebih lanjut soal hukum, tentu saja perlu untuk mengetahui pengertian hukum.[10] Secara umum, rumusan pengertian hukum setidaknya mengandung beberapa unsur sebagai berikut:

  • Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakat. Peraturan berisikan perintah dan larangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku manusia agar tidak bersinggungan dan merugikan kepentingan umum.
  • Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga atau badan yang berwenang untuk itu. Peraturan hukum tidak dibuat oleh setiap orang melainkan oleh lembaga atau badan yang memang memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu aturan yang bersifat mengikat bagi masyarakat luas.
  • Penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Peraturan hukum dibuat bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Untuk menegakkannya diatur pula mengenai aparat yang berwenang untuk mengawasi dan menegakkannya sekalipun dengan tindakan yang represif. Meski demikian, terdapat pula norma hukum yang bersifat fakultatif/melengkapi.[11]
  • Hukum memliki sanksi dan setiap pelanggaran atau perbuatan melawan hukum akan dikenakan sanksi yang tegas. Sanksi juga diatur dalam peraturan hukum.[10]

Bidang hukum[sunting | sunting sumber]

Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum pidana/hukum publik, hukum perdata/hukum pribadi, hukum acara, hukum tata negara, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.

Hukum pidana[sunting | sunting sumber]

Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.

Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran.

  • Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya.
  • Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.

Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia di mana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis)

Hukum perdata[sunting | sunting sumber]

Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .

Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:

  1. Hukum keluarga
  2. Hukum harta kekayaan
  3. Hukum benda
  4. Hukum perikatan
  5. Hukum waris

Hukum acara[sunting | sunting sumber]

Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Tanpa hukum acara yang jelas dan memadai, maka pihak yang berwenang menegakkan hukum materiil akan mengalami kesulitan menegakkan hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum materiil pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum materiil perdata, maka ada hukum acara perdata. Sedangkan untuk hukum materiil tata usaha negara, diperlukan hukum acara tata usaha negara. Hukum acara pidana harus dikuasai terutama oleh para polisi, jaksa, advokat, hakim, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan.

Hukum acara pidana yang harus dikuasai oleh polisi terutama hukum acara pidana yang mengatur soal penyelidikan dan penyidikan, oleh karena tugas pokok polisi menurut hukum acara pidana (KUHAP) adalah terutama melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan. Yang menjadi tugas jaksa adalah penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim pidana. Oleh karena itu, jaksa wajib menguasai terutama hukum acara yang terkait dengan tugasnya tersebut. Sedangkan yang harus menguasai hukum acara perdata termasuk hukum acara tata usaha negara terutama adalah advokat dan hakim. Hal ini disebabkan di dalam hukum acara perdata dan juga hukum acara tata usaha negara, baik polisi maupun jaksa (penuntut umum) tidak diberi peran seperti halnya dalam hukum acara pidana. Advokatlah yang mewakili seseorang untuk memajukan gugatan, baik gugatan perdata maupun gugatan tata usaha negara, terhadap suatu pihak yang dipandang merugikan kliennya. Gugatan itu akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Pihak yang digugat dapat pula menunjuk seorang advokat mewakilinya untuk menangkis gugatan tersebut.

Tegaknya supremasi hukum itu sangat tergantung pada kejujuran para penegak hukum itu sendiri yang dalam menegakkan hukum diharapkan benar-benar dapat menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Para penegak hukum itu adalah hakim, jaksa, polisi, advokat, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Jika kelima pilar penegak hukum ini benar-benar menegakkan hukum itu dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disebutkan di atas, maka masyarakat akan menaruh respek yang tinggi terhadap para penegak hukum. Dengan semakin tingginya respek itu, maka masyarakat akan terpacu untuk menaati hukum.

Sistem hukum[sunting | sunting sumber]

Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, sistem hukum adat, dan sistem hukum agama.

Sistem hukum Eropa Kontinental[sunting | sunting sumber]

Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

Sistem hukum umum adalah suatu sistem hukum yang digunakan di Inggris yang mana di dalamnya menganut aliran frele recht lehre yaitu di mana hukum tidak dibatasi oleh undang-undang tetapi hakim diberikan kebebasan untuk melaksanakan undang-undang atau mengabaikannya.

Sistem hukum eropa kontinental ini berkembang di Eropa daratan seperti Perancis dapat dikatan sebagai negara yang terlebih dahulu menerapkan sistem hukum tersebut. Sebenarnya sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justisianus abad ke VI sebelum masehi.

Sistem hukum Anglo-Saxon[sunting | sunting sumber]

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, tetapi juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.

Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.

Sistem hukum adat/kebiasaan[sunting | sunting sumber]

Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang masih mengikuti hukum adat. dan memiliki sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di wilayah tertentu.

Sistem hukum agama[sunting | sunting sumber]

Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.

Hukum Indonesia[sunting | sunting sumber]

Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Selain sistem hukum Eropa Kontinental, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Uraian lebih lanjut ada pada bagian Hukum Indonesia.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hamilton, Marci. God vs. the Gavel, page 296 (Cambridge University Press 2005): “The symbol of the judicial system, seen in courtrooms throughout the United States, is blindfolded Lady Justice.”
  2. ^ Fabri, Marco. The challenge of change for judicial systems, page 137 (IOS Press 2000)
  3. ^ Luban, Law's Blindfold, 23
  4. ^ From Old English lagu "something laid down or fixed"; legal comes from Latin legalis, from lex "law", "statute" (Law, Online Etymology Dictionary; Legal, Merriam-Webster's Online Dictionary)
  5. ^ Robertson, Crimes against humanity, 90; see "analytical jurisprudence" for extensive debate on what law is; in The Concept of Law Hart argued law is a "system of rules" (Campbell, The Contribution of Legal Studies, 184); Austin said law was "the command of a sovereign, backed by the threat of a sanction" (Bix, John Austin); Dworkin describes law as an "interpretive concept" to achieve justice (Dworkin, Law's Empire, 410); and Raz argues law is an "authority" to mediate people's interests (Raz, The Authority of Law, 3–36).
  6. ^ n.b. this translation reads, "it is more proper that law should govern than any one of the citizens: upon the same principle, if it is advantageous to place the supreme power in some particular persons, they should be appointed to be only guardians, and the servants of the laws." (Aristotle, Politics 3.16).
  7. ^ Definisi "hukum" dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997):
    1. peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
    2. undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
    3. patokan (kaidah, ketentuan).
    4. keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan, vonis.
  8. ^ Pengertian Hukum
  9. ^ Definisi Hukum
  10. ^ a b Pengertian Hukum Secara Umum
  11. ^ "Norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif. Sebagaimana sebutannya, norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang bersifat memaksa sedangkan norma hukum fakultatif adalah merujuk pada norma hukum yang mengatur dan bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian kadang pula dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut, yakni bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa." Lihat: Norma Hukum

Minggu, 13 September 2020

JUS COGENS

Norma Peremptory (juga disebut jus cogens atau ius cogens /


Wikipedia

Norma ditaati

Sebuah norma peremptory (juga disebut jus cogens atau ius cogens / ˌ ʌ s ˈ k ɛ n z , ˌ j ʌ s / ; [1] Bahasa Latin untuk "hukum yang memaksa") adalah prinsip dasar hukum internasional yang diterima oleh komunitas internasional negara - negara sebagai norma yang tidak diizinkan untuk dikurangi .

Tidak ada kesepakatan universal mengenai norma mana yang merupakan jus cogens atau bagaimana sebuah norma mencapai status itu, tetapi secara umum diterima bahwa jus cogens melarang genosida , pembajakan maritim, perbudakan secara umum (yaitu perbudakan dan juga perdagangan budak ), perang agresi. dan pembesaran teritorial , penyiksaan dan pemulangan . [2] Dua yang terakhir berkembang dan kontroversial karena sebagian besar bersandar pada definisi penyiksaan dalam kaitannya dengan hukuman pidana. Jika hukuman tidak kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat tetapi hukuman sewenang-wenang atau tidak proporsional dijatuhkan, maka refoulement negara - di mana terbatas pada pengembalian penuntut suaka yang tidak berdasar - mungkin masih dilakukan secara sah ke banyak negara yang secara yuridis berkembang, seperti negara yang tidak memiliki pemisahan kekuasaan yang jelas, dengan risiko penganiayaan politik yang relatif tinggi dan laporan pengadilan yang tidak adil .

Status norma ditaati menurut hukum internasional

Tidak seperti hukum adat biasa, yang secara tradisional memerlukan persetujuan dan memungkinkan perubahan kewajiban antar negara melalui perjanjian , norma ditaati tidak boleh dilanggar oleh negara mana pun "melalui perjanjian internasional atau adat istiadat lokal atau khusus atau bahkan aturan kebiasaan umum yang tidak diberkahi dengan hal yang sama. kekuatan normatif ". [3]

Diskusi tentang perlunya norma-norma semacam itu dapat ditelusuri kembali sejauh 1758 (dalam The Law of Nations Vattel) dan 1764 (dalam Christian Wolff 's Jus Gentium), yang jelas berakar pada prinsip-prinsip hukum kodrat . Namun putusan Pengadilan Permanen Keadilan Internasionallah yang menunjukkan adanya norma ditaati seperti itu, dalam kasus SS "Wimbledon" pada tahun 1923, tidak menyebutkan norma peremptory secara eksplisit tetapi menyatakan bagaimana kedaulatan negara tidak dapat dicabut. [4]

Berdasarkan Pasal 53 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian , perjanjian apa pun yang bertentangan dengan norma ditaati tidak berlaku. [5] Perjanjian tersebut memungkinkan munculnya norma ditaati baru, [6] tetapi tidak menentukan norma ditaati apa pun. Ia menyebutkan larangan tentang ancaman penggunaan kekuatan dan penggunaan paksaan untuk membuat kesepakatan:

Suatu perjanjian tidak berlaku jika, pada saat dibuat, perjanjian itu bertentangan dengan norma ditaati hukum internasional umum. Untuk tujuan Konvensi ini, norma ditaati hukum internasional umum adalah norma yang diterima dan diakui oleh komunitas internasional negara-negara secara keseluruhan sebagai norma yang tidak diperbolehkan untuk mengurangi dan yang hanya dapat diubah dengan norma berikutnya. hukum internasional umum yang bersifat sama. [7]

Jumlah norma ditaati dianggap terbatas tetapi tidak secara eksklusif di katalog. Mereka tidak terdaftar atau ditentukan oleh badan yang berwenang, tetapi muncul dari kasus hukum dan perubahan sikap sosial dan politik. Secara umum termasuk larangan melakukan perang agresif , kejahatan terhadap kemanusiaan , kejahatan perang , pembajakan laut, genosida , apartheid , perbudakan , dan penyiksaan . Sebagai contoh, pengadilan internasional telah menyatakan bahwa tidak mungkin suatu negara memperoleh wilayah melalui perang. [8] [3]

Terlepas dari bobot kecaman yang tampak jelas atas praktik semacam itu, beberapa kritikus tidak setuju dengan pembagian norma hukum internasional ke dalam hierarki. Ada juga ketidaksepakatan tentang bagaimana norma-norma tersebut diakui atau ditetapkan. Konsep yang relatif baru tentang norma ditaati tampaknya bertentangan dengan sifat tradisional hukum internasional yang dianggap perlu untuk kedaulatan negara.

Beberapa norma ditaati mendefinisikan tindak pidana yang dianggap dapat diberlakukan tidak hanya terhadap negara tetapi juga individu. Hal itu semakin diterima sejak Pengadilan Nuremberg (penegakan pertama dalam sejarah dunia dari norma-norma internasional atas individu) dan sekarang mungkin dianggap tidak kontroversial. Namun, bahasa norma ditaati tidak digunakan sehubungan dengan persidangan ini; sebaliknya, dasar kriminalisasi dan hukuman atas kekejaman Nazi adalah bahwa peradaban tidak dapat mentolerir pengabaian mereka karena tidak dapat bertahan dari pengulangan mereka.

Seringkali ada ketidaksepakatan mengenai apakah suatu kasus tertentu melanggar norma ditaati. Seperti di bidang hukum lainnya, negara pada umumnya berhak menafsirkan konsep untuk diri mereka sendiri.

Banyak negara bagian besar telah menerima konsep ini. Beberapa dari mereka telah meratifikasi Konvensi Wina, sementara yang lain telah menyatakan dalam pernyataan resmi mereka bahwa mereka menerima Konvensi Wina sebagai "kodifikasi". Beberapa telah menerapkan konsep tersebut dalam berurusan dengan organisasi internasional dan negara lain.

Contoh

Norma ditaati melindungi lingkungan

Lihat juga

Referensi

  • "Jus cogens | Definisi jus cogens dalam bahasa Inggris oleh Oxford Dictionaries" .
  • M. Cherif Bassiouni. (Musim Gugur 1996) "Kejahatan Internasional: 'Jus Cogens' dan 'Obligatio Erga Omnes'." Masalah Hukum dan Kontemporer . Vol. 59, No. 4, Hal. 68.
  • Prosecutor v. Furundžija , International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, 2002, 121 International Law Reports 213 (2002)
  • Cherif Bassiouni. 2011. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Evolusi Sejarah dan Penerapan Kontemporer . New York: Cambridge University Press, hal. 266. Lihat juga Wimbledon Case, hlm. 25
  • Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, Pasal 53, 23 Mei 1969, 1155 UNTS 331, 8 Bahan Hukum Internasional 679 (1969)
  • Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, Pasal 64, 23 Mei 1969, 1155 UNTS 331, 8 Bahan Hukum Internasional 679 (1969)
  • UN Doc. A / CONF.39 / 27 (1969), dicetak ulang pada 63 Am. J. Int'l L. 875 (1969).
  • Marc Bossuyt en Jan Wouters (2005): Grondlijnen van internationaal recht , Intersentia, Antwerpen enz., Hal. 92.
  • Kasus Michael Domingues: Argument of the United States, Office of the Legal Adviser, United States Department of State, Digest of United States Practice in International Law 2001 , hlm. 303, 310–313
  • The Michael Domingues Case: Report on the Inter-American Commission on Human Rights, Report No. 62/02, Merits, Case 12.285 (2002)
  • Filartiga v. Pena-Irala , 630 F. 2d 876 (2d Cir.1980).
  • Laporan Sesi ke Enam Puluh Sembilan dari Komisi Hukum Internasional, ch. VIII, hlm. 192–202.
  • Special Rapporteur Dire Tladi, Laporan Keempat tentang Peremptory Norms of General International Law (Jus Cogens), sesi ke-71 ILC, A / CN.4 / 727 (April 2019)
  • Laporan Komisi kepada Majelis Umum tentang hasil kerja sesi kedua puluh delapan (3 Mei - 23 Juli) A / 31/10 (1976) II (Bagian Dua) ​​Buku Tahunan Komisi Hukum Internasional h. 96 dan Laporan Komisi kepada Majelis Umum tentang pekerjaan dari sidang ke-53 (23 April– 1 Juni dan 2 Juli– 10 Agustus) A / 56/10 (2001) II (Bagian Dua) ​​Buku Tahunan Hukum Internasional Komisi hal.113.
  • Legalitas Ancaman atau Penggunaan Senjata Nuklir, Pendapat Penasihat [1996] ICJ Rep 226 dan proyek Gabčíkovo-Nagymaros (Hongaria v Slovakia) [1997] ICJ Rep 7
    1. Jesper Jarl Fanø (2019). Menegakkan Legislasi Maritim Internasional tentang Polusi Udara melalui UNCLOS . Hart Publishing. bab 16-18. Menganggap pelarangan bahan bakar laut berbasis fosil sebagai norma karakter jus cogens

    Tautan luar

    Hak asasi manusia di Indonesia

    Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

    INDONESIA



    Artikel ini adalah bagian dari seri 
    Pancasila (filsafat bangsa)
    UUD 1945
    Hubungan luar negeri

    Tindakan pemerintah 
    Indonesia telah dianggap mengkhawatirkan oleh para pendukung hak asasi manusia. Baik Human Rights Watch dan Amnesty International mengkritik pemerintah Indonesia dalam berbagai hal. Namun, negara ini sejak tahun 1993 memiliki lembaga HAM nasional, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang independen dari pemerintah dan memiliki akreditasi dari PBB.

    Naskah asli UUD 1945

    Di dalam naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terkandung berbagai hak dan kewajiban dasar untuk warga negara, tetapi istilah "hak asasi manusia" sendiri tidak disebutkan di dalam naskahnya, baik itu dalam pembukaannya, batang tubuhnya, ataupun bagian penjelasannya.[1] Menurut pakar hukum Indonesia Mahfud MD, hak asasi manusia berbeda dengan hak asasi warga negara (HAW) yang terkandung dalam UUD 1945, karena HAM dianggap sebagai hak yang melekat pada diri manusia secara kodrati, sementara HAW bersifat partikularistik dan didapat oleh seseorang karena ia adalah Warga Negara Indonesia.[2][3] Di sisi lain, pakar hukum seperti Soedjono Sumobroto mengatakan bahwa HAM sebenarnya tersirat dalam UUD 1945 melalui Pancasila. Selain itu, dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan UUD 1945 terdapat paling tidak 15 prinsip hak asasi manusia:[4]

    1. Hak untuk menentukan nasib sendiri (Alinea I Pembukaan UUD 1945)
    2. Hak akan warga negara (Pasal 26)
    3. Hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum (Pasal 27 ayat (1))
    4. Hak untuk bekerja (Pasal 27 ayat (2))
    5. Hak akan hidup layak (Pasal 27 ayat (2))
    6. Hak untuk berserikat (Pasal 28)
    7. Hak untuk menyatakan pendapat (Pasal 28)
    8. Hak untuk beragama (Pasal 29)
    9. Hak untuk membela negara (Pasal 30)
    10. Hak untuk mendapatkan pengajaran (Pasal 31)
    11. Hak akan kesejahteraan sosial (Pasal 33)
    12. Hak akan jaminan sosial (Pasal 34)
    13. Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan (Penjelasan Pasal 24 dan 25)
    14. Hak mempertahankan tradisi budaya (Penjelasan Pasal 32)
    15. Hak mempertahankan bahasa daerah (Penjelasan Pasal 36)

    Sementara itu, pakar hukum seperti Kuntjoro Purbopranoto mengamati bahwa jaminan HAM dalam UUD 1945 memang ada, tetapi pencantumannya tidak sistematis. Menurut Purbopranoto, hanya ada empat pasal yang berisi ketentuan hak asasi, yaitu Pasal 27, 28, 29, dan 31.[5][6] Pakar hukum Solly Lubis juga berpendapat bahwa perumusan hak-hak dalam UUD 1945 memang sangat sederhana dan singkat.[7] Menurut pakar hukum Majda El Muhtaj, hal ini wajar akibat jangka waktu penyusunan UUD 1945 yang terlampau singkat untuk mengejar waktu agar UUD 1945 dapat menjadi landasan negara Indonesia yang baru saja merdeka. Konstitusi ini sendiri berlaku dari tanggal 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1945, tetapi pemberlakuannya tidak efektif akibat kondisi sosial dan politik yang saat itu tidak kondusif.[8]

    Konstitusi RIS 1949

    Seusai Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Revolusi Nasional Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949 mulai diberlakukan. Konstitusi ini memang tidak secara gamblang menyebut kata "hak asasi manusia".[9] Walaupun begitu, Konstitusi RIS 1949 secara jelas mengatur hak asasi manusia dalam Bagian V yang berjudul "Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia". Di bagian ini terkandung 27 pasal, yaitu Pasal 7 hingga 33.[10] Selain itu, Konstitusi RIS 1949 juga menjabarkan kewajiban dasar negara yang terkait dengan upaya penegakan HAM dalam Bagian 6 "Asas-asas Dasar", dan bagian ini sendiri terdiri dari 8 pasal. Penekanan terhadap HAM ini merupakan pengaruh dari Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.[11]

    Catatan kaki

    1. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 55.
    2. ^ Mahfud MD 2000, hlm. 165-166.
    3. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 87.
    4. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 88.
    5. ^ Purbopranoto 1975, hlm. 26.
    6. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 90.
    7. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 91.
    8. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 92-93.
    9. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 94.
    10. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 57.
    11. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 93.

    Daftar pustaka

  • El Muhtaj, Majda (2017) [2005]. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 (edisi ke-2). Jakarta: Kencana. ISBN 9786021186657.
  • Mahfud MD, Mohammad (2000). Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta. ISBN 9794991562.
  • Purbopranoto, Kuntjoro (1975). Hak-hak Azasi Manusia dan Pancasila. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
  • Pranala luar

    Entri yang Diunggulkan

        MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...