Minggu, 14 Februari 2021

 

artikelddk.com

Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui “JASA BAIK”

4 minutes


Sesuai yang dijelaskan pada artikel Cara Penyelesaian Sengketa Internasional, Secara singkat, jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui keikutsertaan jasa pihak ke-3. Tujuan jasa baik ini adalah agar kontak langsung di antara para pihak tetap terjamin. Tugas yang diembannya, yaitu mempertemukan para pihak yang bersengketa agar mereka mau berunding. Cara ini biasanya bermanfaat apabila para pihak tidak memiliki hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik mereka telah berkahir. Pihak ketiga ini bisa negara, orang perorangan (Seperti mantan kepala negara) atau suatu organisasi, lembaga atau badan internasional, misalnya dewan keamanan PBB.

Keikutsertaan pihak ke-3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk bersama mempercepat perundingan di antaran mereka. Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta kehadiran jasa-jasa baik. Namun, pihak lainnya tidak berkewajiban untuk menerima permintaan tersebut. Dengan kata lain, permintaan tersebut sifatnya tidak mengikat dan tidak boleh dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat.

Jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu technical good offices (jasa baik teknis), dan political good offices (jasa baik politis). Pembedaan ini sifatnya tidak tegas. Kedua bentuk ini dapat dilaksanakan secara bersamaan.

Jasa Baik Teknis

Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta terlibat dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Peranannya dalam hal ini adalah sebagai tuan rumah yang memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, menyediakan transportasi dan komunikasi, memberikan (pengurusan) jaminan dan apabila memungkinkan, memberikan jaminan keuangan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah menerima tanggung jawab untuk melindungi suatu pihak tertentu.

Tujuan dari Jasa Baik Teknis adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung diantara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Jasa baik teknis juga mewakili kepentingan salah satu pihak di negara pihak lainnya. Jasa baik seperti ini biasanya berlangsung pada saat terjadinya perdamaian ataupun saat peperangan.

Jasa Baik Politis

Jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya suatu negosiasi atau suatu kompensasi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah menerima mandat dari negara lain untuk menyelesaikan suatu masalah yang spesifik tertentu. Misalnya, jasa baik dalam hal mengembalikan orang-orang ke negara asalnya, mengawasi mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, dan lain-lain.

Hak untuk menawarkan jasa baik oleh suatu organisasi internasional, negara, ataupun perorangan berasal dari hukum kebiasaan internasional. Dalam hal jasa baik dilaksanakan oleh negara maka sumber hak tersebut ada pada kedaulatan negara untuk menawarkan jasa baik. Hak-hak untuk menawarkan tersebut berlaku juga terhadap pihak-pihak lainnya untuk menolak tawaran tersebut.

Sumber :

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta : Sinar Grafika, 2016).

http://www.edukasippkn.com/2015/10/macam-macam-jenis-cara-penyelesaian.html

PENGAKUAN KEDAULATAN RIS BERDASARKAN JURISDIKSI HUKUM INTERNASIONAL PRINSIP ERGA OMNES DAN MASALALAH PAPUA DISELESAIKAN MELALUI PERUNDINGAN DIBAWAH KONSTITUSI RIS BERDASARKAN PROKOLER KMB, 2 NOVEMBER 1949
(By: Kristian Griapon, 13 Februari 2021)
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 17 Agustus 1945 sangat bertentangan dengan prinsip dasar hukum internasional yang diadopsi dari Piagam Atlantik oleh Liga Bangsa-Bangsa, dan kemudian menjadi Jurisdiksi Hukum Internasional Erga Omnes setelah terbentuknya PBB, yaitu tentang “Statuta Wilayah Geografis”, yang sebagaimana tertuang dalam Piagam Dasar PBB pasal 73 dan 76. Sehingga hal tersebut menjadi tekanan masyarakat Internasional.
Prinsip yang ditegaskan oleh Perancis dan Belgia dalam perdebatan masalah Indonesia di DK-PBB pada, 12 Agustus 1947, Pertama – Selama dalam Perundingan tentang Kekuasaan DK-PBB untuk membicarakan masalah Indonesia tidak pernah membuahkan suatu keputusan DK-PBB. Kedua – Menurut Hukum Internasional Republik Indonesia tidak mencukupi syarat-syarat menjadi sebuah Negara, sebagaimana dimaksud dalam piagam PBB. Ketiga – Oleh karena itu sikap yang sah yang dapat diambil oleh DK-PBB adalah menawarkan jasa-jasa baik kepada Belanda untuk menyelesaikan masalahnya dengan Indonesia.
Prinsip yang ditegaskan oleh Belanda, bahwa masalah Indonesia diluar batas kekuasaan Dewan Keamanan PBB, oleh karena, Pertama – Piagam PBB hanya menyentuh perhubungan antar Negara-negara berdaulat. Kedua – Persengketaan di Indonesia adalah urusan dalam negeri dari Pemerintah Belanda. Ketiga – Keadaan di Indonesia tidak membahayakan Perdamaian dan keamanan Internasional.
“Jasa Baik” yang dianjurkan, atau ditawarkan melalui sidang DK-PBB ke-181, 12 Agustus 1947 menjadi rujukan Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai administrator penguasa koloni atas wilayah-wilayah geografis di Hindia Timur yang disebut Hindia-Belanda, dan rujukan itu dijadikan dasar perundingan damai kemerdekaan Indonesia melalui konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda yang berhasil membentuk Negara Republik Indonesia Serikat, yang merdeka berdasarkan jurisdiksi hukum internasional.
Perundingan Linggarjati pada tanggal 14-15 April 1946, gagal karena Indonesia sepihak meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatra dan Madura, tetapi Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.
Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan pada 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para peserta konferensi setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
Perundingan KMB menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
kesepakatan tentang status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.
Pengambilalihan kekuasaan RIS oleh Republik Indonesia dengan symbol NKRI, yang dilakukan oleh Sukarno pada, 17 Agustus 1950, telah menggagalkan Perundingan Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda tentang sengketa wilayah Papua Barat berdasarkan Protokoler KMB, 2 November 1949. Dan yang pada akhirnya Papua Barat diinvasi melalui Komando Trikora, 19 Desember 1961.(Kgr)
Referensi Penulis:
Papua Barat berdasarkan Sejarah dan Perjanjian-perjanjian terdahulu yang telah diratifikasi, telah menjadi masalah hukum didalam NKRI, terlespas dari masalah politik. Dan oleh karenanya konflik sengketa wilayah Papua Barat antara Indonesia dan Pribumi Papua hanya dapat diselesaikan melalui Jurisdiksi hukum Internasional.(.)

 

 

Konferensi Meja Bundar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Konferensi Meja Bundar
bahasa Belanda: Nederlands-Indonesiche rondetafelconferentie
bahasa Inggris: Dutch-Indonesian Round Table Conference
{{{image_alt}}}
Konferensi Meja Bundar
Dirancang23 Agustus 1949
Ditandatangani2 November 1949
LokasiDen Haag, Belanda
Berlaku27 Desember 1949 (Penyerahan Kedaulatan)
Syarat
  • Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
  • Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya; rancangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Belanda.
Penandatangan

Negara anggota

PenyimpanKerajaan Belanda
BahasaBelanda

Konferensi Meja Bundar (KMB) (bahasa Belanda: Nederlands-Indonesische rondetafelconferentie) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.[1] Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.

Latar belakang

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.[2]

Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[3]

Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibu kota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.

Negosiasi

Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer.[5] Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda.[6] Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.

J.H. van Maarseveen, Sultan Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November 1949

Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942. Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda.[7]

Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya.[8] Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati.[9] Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.[10]

Hasil

Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:

  1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
  2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
  3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949

—Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan.[11]


Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut:

  • Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.[12][13][14][15]
  • Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara
  • Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat

Parlemen Belanda memperdebatkan kesepakatan tersebut, dan Majelis Tinggi dan Rendah meratifikasinya pada tanggal 21 Desember oleh mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas dari kritik khususnya mengenai asumsi utang pemerintah Belanda dan status Papua Barat yang belum terselesaikan, legislatif Indonesia, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Kedaulatan dipindahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.[9][16]

Dampak

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara".[17]

Terkait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.[18]

Referensi

  1. ^ Critchley to Department of External Affairs Australian Department of Foreign Affairs and Trade
  2. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 60.
  3. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 64-65.
  4. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 66-67.
  5. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 70.
  6. ^ Kahin 1961, hlm. 437.
  7. ^ Kahin 1961, hlm. 439-441, 443.
  8. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 67.
  9. ^ a b Kahin 1961, hlm. 443-444.
  10. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 69-70.
  11. ^ Kolff 1949, hlm. 15.
  12. ^ The Indonesian Question in the United Nations Embassy of Indonesia, Oslo
  13. ^ Papuan self-determination - Historical roots V WebDiary.com.au
  14. ^ Chronology of Papua papuaweb.org
  15. ^ Ricklefs 1993, hlm. 224-225.
  16. ^ Ide Anak Agung Gde Agung 1973, hlm. 70-71.
  17. ^ "Dutch withhold apology in Indonesia". New York Times. 17 Agustus 2005. Diakses tanggal 12 Juli 2013.
  18. ^ Pembayaran utang Hindia Belanda oleh Indonesia

Daftar pustaka

  • Kolff (pub) (1949), Hasil-Hasil Konperensi Medja Bundar sebagaimana diterima pada Persidangan Umum yang kedua Terlangsung Tangal 2 Nopember 1949 di Ridderzaal di Kota 'S-Gravenhage (Results of the Round Table Conference as Accepted at the Plenary Session on 2 November 1949 at the Knight's Hall [Parliament Building] in the Hague) (dalam bahasa Indonesian), Djakarta: Kolff
  • Ide Anak Agung Gde Agung (1973), Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945–1965, Mouton & Co, ISBN 979-8139-06-2
  • Kahin, George McTurnan (1961) [1952], Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press
  • Ricklefs, M.C. (1993), A History of Modern Indonesia Since c.1300 (edisi ke-2nd), London: MacMillan, ISBN 0-333-57689-6
  • Taylor, Alastair M. (1960), Indonesian Independence and the United Nations, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, ISBN 0-837-18005-8

Pranala luar

Bahasa lain

 

Perjanjian Renville

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Perjanjian Renville
Collectie NMvWereldculturen, TM-60042227, Foto- Delegaties van het Koninkrijk, de Republiek en de Comissie van de Goede Diensten , maandag 8 Dec. 1947.jpg
Para delegasi dalam rapat pleno pertama di kapal Amerika Serikat USS Renville
KonteksRevolusi Nasional Indonesia
Ditandatangani17 Januari 1948
LokasiUSS Renville di Teluk Jakarta
Penengarr3h
Pihak
BahasaInggris

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di Jakarta.[1] Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.

Latar Belakang

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. Pada 25 Agustus, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat yang disetujui kedua belah pihak.

Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda. Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra, tetapi Indonesia tidak mendapatwilayah utama penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.

Gencatan senjata

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tetapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.

Pihak yang hadir pada perundingan Renville

Para peserta Perundingan Renville.
  1. Delegasi Indonesia di wakili oleh Amir Syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr.J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
  2. Delegasi Belanda di wakili oleh R.Abdul Kadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H..A.L. Van Vredenburg, Dr.P.J. Koets, dan Mr.Dr.Chr.Soumokil.
  3. PBB sebagai mediator di wakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby.
  4. Belanda berdaulat atas Indonesia sebelum Indonesia mengubah menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat)

Isi perjanjian

Setelah disepakati pada 17 Januari 1948 perjanjian Renville memuat beberapa persetujuan, yaitu:[2]

  1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
  2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Dampak

Wilayah Indonesia di Pulau Jawa (warna merah) pasca perjanjan Renville.

Berakhirnya agresi militer Belanda I dan disetujuinya perjanjian Renville mengubah arah perpolitikan Indonesia. Golongan kiri yang selama awal kemerdekaan ditempatkan dalam struktur pemerintahan mulai tersingkir. Tersingkirnya golongan kiri merupakan cikal bakal terjadinya pemberontakan PKI pada tanggal 18 september 1948 ditengah konflik yang masih terjadi antara pihak Belanda dan Republik. Perjanjian Renville mengurangi wilayah kekuasaan Indonesia yang telah diakui secara de facto sangat merugikan pihak Indonesia. Wilayah-wilayah penghasil kebutuhan pokok telah dikuasai oleh pihak Belanda menyebabkan perekonomian Indonesia memburuk terlebih ketika Belanda melakukan blokade-blokade ekonomi. Pemblokadean ekonomi merupakan salah satu taktik pihak Belanda untuk melemahkan Indonesia.[3]

Perjanjian ini juga mengakibatkan TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantong di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kondisi ini melahirkan peristiwa Long March Siliwangi, sebuah perjalanan panjang para tentara Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dampak dari peristiwa ini melahirkan sebuah pemberontakan oleh Kartosuwiryo dan pasukannya yang tidak ingin keluar dari Jawa Barat yang saat itu berada di kekuasaan Belanda untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.[4]

Referensi

  1. ^ H.Kuswandi (2015). "Pengaruh Perang Kemerdekaan II Terhadap Pengakuan Kedaulatan RI Tanggal 27 Desember 1949". Jurnal Artefak (2): 208. ISSN 2355-5726.
  2. ^ Nibras Nada Nailufar (2020). "Perjanjian Renville: Latar Belakang, Isi, dan Kerugian bagi Indonesia". Kompas.com. Diakses tanggal 2 Januari 2021.
  3. ^ Irvan Tasnur, Muhammad Rijal Fadli (2019). "Republik Indonesia Serikat:Tinjauan Historis Hubungan Kausalitas Peristiwa-Peristiwa Pasca Kemerdekaan Terhadap Pembentukan Negara RIS (1945-1949)". Candrasangkala. 5 (2): 63-64. ISSN 2477-2771.
  4. ^ Akhmad Muawal Hasan (2018). "Manuver AS Merugikan Indonesia di Perjanjian Renville". Tirto.id. Diakses tanggal 3 Januari 2021.

Bacaan lanjutan

  • Ide Anak Agung Gde Agung (1973) Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945-1965 Mouton & Co ISBN 979-8139-06-2
  • Kahin, George McTurnan (1952) Nationalism and Revolution in Indonesia Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8
  • Reid, Anthony (1974). The Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman Pty Ltd. ISBN 0-582-71046-4.
  • Mertowijoyo, G, Indra (2015) Letkol Moch Sroedji, Jember Masa Perang Kemerdekaan.ISBN: 978-602-14969-2-3


Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...