Rabu, 21 Februari 2024

Zionisme Menjadi Spirit Lahirnya Negara Israel  Bagi Orang-Orang Yahudi

Oleh: Kristian Griapon, Februari 21, 2024

Abstrak

Persoalan dasar konflik di Timur Tengah berada pada pergolakan kaum Sunni  dan kaum Syiah yang telah berakar, lahir, bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan penyebaran agama islam di Timur Tengah, kawasan yang lazim disebut Jazirah Arab. Yudaisme atau agama Yahudi adalah sebuah agama Abrahamik, monoteistik, dan etnis yang terdiri dari tradisi dan peradaban agama, budaya, dan hukum kolektif orang-orang Yahudi, yang berakar sebagai agama terorganisir di Jazirah Arab selama Zaman Perunggu, berkembang hingga kini. Jadi sejak pembuangan orang-orang Yahudi ke Babilonia pada masa raja Nebukadnesar II, dan dijadikan kaum perbudakan, mereka telah beradaptasi  dan membaur di Jazirah Arab dari masa ke masa dan tetap mempertahankan ideology Yudaisme, yang bersumber pada generasi Abraham. Dalam perkembangan Islam di Jazirah Arab dan sekitarnya setelah Nabi Muhammad, walaupun mereka telah diislamkan pada saat pengaruh islam berkembang di Jazirah Arab, namun ideology Yudaisme tetap dipertahankan.

Kata kunci: Sunni dan Syiah-Yahudi dan Yudaisme, di Tengah Peradaban Islam.


I.  Latar Belakang Konflik di Timur Tengah

Dilansir dari editorial Jerusakem Center for Public Affairs, edisi 27 April 2012-Perpecahan awal antara Sunni dan Syiah muncul dari pertanyaan pada abad ketujuh tentang siapa yang akan menjadi penerus Nabi Muhammad. Kaum Sunni percaya pada tradisi Arab dimana para tetua suku memilih anggotanya yang paling dihormati untuk memimpin mereka, sebagai khalifah komunitas Muslim. Kaum Syiah memilih menantu Muhammad, Ali, dan menghormati keturunannya sebagai imam komunitas Muslim. Kesyahidan putra Ali, Hussein, dalam pertempuran melawan Kekhalifahan Ummayad yang dipimpin Sunni merupakan salah satu peristiwa keagamaan terpenting bagi Islam Syiah.

Belakangan, perbedaan mengenai siapa penerus Muhammad yang sah berkembang menjadi perbedaan teologis dan bahkan mempunyai implikasi strategis-militer ketika Sunni dan Syiah mengambil kendali kerajaan Islam yang bersaing. Persaingan Sunni-Syiah meningkat ke tingkat yang baru dengan berdirinya Kekaisaran Safawi pada tahun 1501, ketika Islam Syiah menjadi agama negara Persia, di bawah kepemimpinan Shah Ismail. Kekaisaran Syiah Safawi mengobarkan perang dengan Kekaisaran Ottoman Sunni dan, hingga hari ini, Muslim Sunni mengklaim bahwa karena Syiah “menikam Ottoman dari belakang” mereka tidak pernah bisa melewati gerbang Wina dan menaklukkan seluruh Eropa dalam waktu singkat, atas. nama Islam.

Pada saat itulah kaum Yahudi di Iran yang berada dibawah kekuasaan kaum Syiah jauh lebih menderita daripada kaum Yahudi yqng berada di bawah kekuasaan kaum Sunni, di mana Kesultanan Utsmaniyah menyambut pengungsi Yahudi dari Spanyol, yang melarikan diri dari Inkuisisi. Sebaliknya saat itu, ulama Syiah di Iran mengembangkan gagasan bahwa “Yahudi adalah sumber kenajisan ritual”. Jadi jika seorang Yahudi menyentuh sepotong buah di pasar di Teheran, maka buah tersebut tidak dapat dimakan lagi oleh orang Syiah.

Shah Abbas (1571-1629) menuntut agar buku-buku Ibrani dibakar; pada satu titik dia memutuskan bahwa orang-orang Yahudi masuk Islam atau dihukum mati. Dia menarik diri dari dekrit ini, namun idenya bertahan di Persia. Pada tahun 1839, orang-orang Yahudi di Masyhad diberi pilihan untuk masuk Islam atau mati, dan banyak yang secara lahiriah menjadi Muslim, sambil tetap mempertahankan Yudaisme mereka secara pribadi.

Bagaimana kalau hari ini? Dengan bangkitnya Ayatollah Khomeini, sikap anti-Yahudi kembali menonjol di Iran. Dalam bukunya “Pemerintahan Islam,” Khomeini menulis: “Kita harus memprotes dan menyadarkan masyarakat bahwa orang-orang Yahudi dan pendukung asing mereka menentang dasar-dasar Islam dan ingin membangun dominasi Yahudi di seluruh dunia.” Mengingat pandangannya terhadap orang-orang Yahudi, tidak mengherankan jika pada tahun 1979 ia menyebut Israel sebagai “pertumbuhan yang bersifat kanker di Timur Tengah,” dan menambahkan bahwa “setiap Muslim mempunyai kewajiban untuk mempersiapkan diri untuk berperang melawan Israel.”

Pernyataan mengenai Israel sebagai “tumor” atau sumber penularan telah digunakan oleh Ayatollah Khamenei dan tokoh lainnya saat ini. Ulama radikal Iran yang memberikan indoktrinasi agama kepada Garda Revolusi, seperti Ayatollah Mesbah Yazdi, mengatakan bahwa Yahudi adalah sumber korupsi global. Ayatollah Nur-Hamedani, dosen Garda Revolusi lainnya, mengatakan bahwa orang-orang Yahudi harus ditaklukkan untuk mempersiapkan kedatangan Imam Tersembunyi.

Apakah doktrin-doktrin Iran ini menjadikan Islam Syiah sebagai masalah utama Israel? Kelompok Syiah di Lebanon selatan sebenarnya membantu permukiman Yahudi di utara sebelum tahun 1948 dan melawan PLO bersama Israel pada awal tahun 1980an, sebelum bangkitnya Hizbullah. Pemimpin Syiah Irak, Ayatollah Ali Sistani, menolak ekstremisme Iran dan menulis di situsnya bahwa Yahudi dan Kristen adalah suci secara ritual. Sistani jauh lebih dihormati oleh kelompok Syiah di seluruh dunia dibandingkan Khamenei.

Terlebih lagi, pihak Sunni mempunyai sejarah bermasalah dengan orang-orang Yahudi yang tidak boleh dilupakan. Selama berabad-abad, orang-orang Yahudi sebagian besar merupakan warga negara kelas dua, yang membayar pajak yang diskriminatif seperti jizya (pajak pemungutan suara) dan sesekali mengalami kekerasan tanpa pandang bulu, seperti pogrom yang terjadi di Fez, Maroko (1912), Bagdad, Irak (1941), Tripoli , Libya (1945) dan Aleppo, Suriah (1947).

Sejak berdirinya pada tahun 1928, ideologi Ikhwanul Muslimin selalu memicu sikap anti-Israel di pihak Sunni. Namun kini dengan adanya “Musim Semi Arab”, ideologi Ikhwanul Muslimin menyebar seiring dengan intoleransi Salafi terhadap non-Muslim, termasuk umat Kristen Timur Tengah, yang semakin banyak yang meninggalkan wilayah tersebut. Israel harus membela kepentingan nasionalnya di Timur Tengah, terutama mengingat meningkatnya ancaman Iran untuk mengembangkan senjata nuklir. Namun mereka tidak boleh terlibat dalam perjuangan Sunni-Syiah berdasarkan stereotip yang salah dari kedua belah pihak

Pernyataan mengenai Israel sebagai “tumor” atau sumber penularan telah digunakan oleh Ayatollah Khamenei dan tokoh lainnya saat ini. Ulama radikal Iran yang memberikan indoktrinasi agama kepada Garda Revolusi, seperti Ayatollah Mesbah Yazdi, mengatakan bahwa Yahudi adalah sumber korupsi global. Ayatollah Nur-Hamedani, dosen Garda Revolusi lainnya, mengatakan bahwa orang-orang Yahudi harus ditaklukkan untuk mempersiapkan kedatangan Imam Tersembunyi.

Apakah doktrin-doktrin Iran ini menjadikan Islam Syiah sebagai masalah utama Israel? Kelompok Syiah di Lebanon selatan sebenarnya membantu permukiman Yahudi di utara sebelum tahun 1948 dan melawan PLO bersama Israel pada awal tahun 1980an, sebelum bangkitnya Hizbullah. Pemimpin Syiah Irak, Ayatollah Ali Sistani, menolak ekstremisme Iran dan menulis di situsnya bahwa Yahudi dan Kristen adalah suci secara ritual. Sistani jauh lebih dihormati oleh kelompok Syiah di seluruh dunia dibandingkan Khamenei.

Terlebih lagi, pihak Sunni mempunyai sejarah bermasalah dengan orang-orang Yahudi yang tidak boleh dilupakan. Selama berabad-abad, orang-orang Yahudi sebagian besar merupakan warga negara kelas dua, yang membayar pajak yang diskriminatif seperti jizya (pajak pemungutan suara) dan sesekali mengalami kekerasan tanpa pandang bulu, seperti pogrom yang terjadi di Fez, Maroko (1912), Bagdad, Irak (1941), Tripoli , Libya (1945) dan Aleppo, Suriah (1947).

Sejak berdirinya pada tahun 1928, ideologi Ikhwanul Muslimin selalu memicu sikap anti-Israel di pihak Sunni. Namun kini dengan adanya “Musim Semi Arab”, ideologi Ikhwanul Muslimin menyebar seiring dengan intoleransi Salafi terhadap non-Muslim, termasuk umat Kristen Timur Tengah, yang semakin banyak yang meninggalkan wilayah tersebut. Israel harus membela kepentingan nasionalnya di Timur Tengah, terutama mengingat meningkatnya ancaman Iran untuk mengembangkan senjata nuklir. Namun mereka tidak boleh terlibat dalam perjuangan Sunni-Syiah berdasarkan stereotip yang salah dari kedua belah pihak.

II. Orang-Orang Yahudi Diaspora di Eropa dan Zionisme

Zionisme Internasional pertama kali didirikan di New York pada 1 Mei 1776 atau dua bulan sebelum deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat di Philadelphia. Perkumpulan Dewan Senat Yahudi lewat undangan Kaisar Napoleon Bonaparte lantas menjadi momen intim bersatunya bangsa Yahudi dalam skala besar di dunia Internasional.

Zionisme berasal dari kata dasar Zion, yang artinya Yerusalem. Zionisme merupakan aktualisasi dari ideology Yudaisme yang dikembangkan dalam peradaban modern, mempersatukan orang-orang Yahudi di seluruh dunia dalam rangka membentuk Negara Israel yang merdeka dan berdaulat untuk melindungi seluruh bangsa Yahudi di Yerusalem dan sekitarnya, tempat dibentuk Negara Israel yang merdeka dan berdaulat.

Orang-orang Yahudi Eropa menjadi bagian dari terbentuknya Negara Amerika Serikat, sama halnya orang-orang Inggris menjadi bagian dari terbentuknya Negara Australia dan Selandia Baru. Jadi pendekatan itu menjadi ikatan emosional yang kuat dalam prinsip saling melindungi Negara dan Bangsa dari ancaman pihak asing.

Zionisme bukan aliran atau paham suatu kelompok, sebenarnya Zionisme adalah landasan idiil berdirinya sebuah Negara Israel yang melindungi seluruh tanah tumpah darah bangsa Yahudi, sehingga siapapun yang berada di dalam system ketatanegaraan Israel, ia wajib membela Negara dan mempertahankan teritorialnya. Jadi tindakan PM.Netanyahu untuk melindungi bangsa dan Negara Israel dari serangan Hamas dan kelompok ekstrim lainnya, itu beralasan pada prinsip Zionisme, dan hal yang sama juga berlaku pada Amerika Serikat atas pembelaannya terhadap Negara Israel dan Bangsa Yahudi, yang didasari pada hubungan emosional.(Kgr)

 

                                                                                       

 

 


Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...