Ketika Hatta Menolak Papua
Oleh Martin Sitompul | 17 Mei 2019
Mohammad Hatta saat diwawancarai
oleh beberapa media asing. (Perpusnas RI).
BERBEDA dengan mayoritas
anggota BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh
negeri Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis, dan
Papua, Hatta adalah kekecualian. Menurutnya Indonesia cukup meliputi
negeri Hindia Belanda saja. Adapun Papua – yang di sebut-sebut kaya dan punya
ikatan sejarah dengan Nusantara – tidaklah masuk dalam keluarga besar Republik
Indonesia..
“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa
Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua
sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada
sidang BPUPKI 11 Juni 1945 yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
Menurut Hatta memasukan Papua yang
secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak
dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi
kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang
menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.
“Jadi jikalau ini diterus-teruskan,
mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga
kita minta dan begitu seterusnya sampai ketengah laut Pasifik. Apakah kita bisa
mempertahankan daerah yang begitu luas?,” tanya Hatta kepada hadirin sidang.
Hatta juga menentang pandangan Yamin
yang bersikukuh mengatakan Papua bagian dari Indonesia sejak zaman kerajaan
Nusantara. Yamin secara panjang lebar menguraikan pendapatnya soal Papua lewat
analisis historis, politik, dan geopolitik. Bagi Hatta, semua itu
Gustika Jusuf Hatta Bicara Mohammad
Hatta
“Kalau sudah ada bukti, bukti
bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan
bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat
sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia,
” kata Hatta.
Ketimbang Papua, Hatta lebih
cenderung mempertimbangkan Malaya dan Borneo Utara. Pasalnya, rakyat di kedua
wilayah ini - yang kini menjadi negeri Malaysia – sama-sama
beretnis serumpun Melayu seperti halnya Indonesia. Oleh karena itu, Hatta
mempertahankan usulannya agar wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda dan
Malaya minus Papua.
Akhir kata dalam sidang, Hatta
menghimbau rekan-rekannya di BPUPKI agar bersikap realistis dalam membangun
bangsa dan negara. Ini menurut Hatta, penting sebagai teladan bagi generasi
muda. Menghilangkan nafsu ekspansi ke luar dan mengubahnya untuk mempertahankan
kedaulatan.
“Marilah kita mendidik pemuda kita,
supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke
dalam, yang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan,” pungkas Hatta.
Sayangnya, gagasan Hatta harus
kandas dalam pemungutan suara. Konsep kesatuan gagasan Yamin dan Sukarnolah
yang diterima dengan perolehan suara terbanyak. Meski kalah dalam BPUPKI, Hatta
tetap konsisten dalam pendapatnya soal Papua. Ini pun disampaikan Hatta kepada
Menteri Luar Negeri Belanda, Dirk Stikker, dalam sebuah perundingan pada
November 1948.
Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever
mencatat, Hatta mengulangi kepada Stikker pendiriannya yang bertahun-tahun
silam sudah diutarakan dalam BPUPKI, yaitu bahwa ia tidak berminat terhadap
Papua, karena tidak termasuk Indonesia. Bagi Stikker, pernyataan Hatta ini
merupakan ucapan penting.
“Ia segera menarik kesimpulan dari
situ, bahwa wilayah ini dapat direservasi untuk Belanda,” tulis Drooglever
dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Sikap Hatta tidak berubah
ketika memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada
Oktober 1949 di Den Haag, Belanda. Hatta tampak enggan beradu klaim menghadapi
Menteri Urusan Negeri Hajahan Belanda, Henricus van Maarseven yang begitu
menginginkan Papua. Hatta bersedia menangguhkan status kepemilikan wilayah itu
dan membicarakannya lagi setahun kemudian.
Hatta kembali pulang ke Indonesia
membawa oleh-oleh pengakuan kedaulatan. Namun Papua masih jauh dari
genggaman Republik - sebagaimana yang dipesankan oleh Sukarno. “Dalam keadaan
semacam itu, jalan sebaiknya ialah menunda penyelesaian. Orang yang
berpendirian semuanya harus tercapai 100% sekaligus, tentu tidak puas dengan
cara begitu. Tapi adakah jalan untuk mencapai tuntutan itu sekarang juga?,”
kata Hatta di depan Badan Pekerja KNIP, 25 November 1949 dikutip Soebandrio
dalam Meluruskan Sejarah Irian Barat.
Menurut Mavis Rose dalam Indonesia
Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, Hatta tahu
mengapa Belanda ngotot mempertahankan kekuasaannya di Papua. Alih-alih
meneruskan tuntutan, Hatta lebih memilih untuk menyelesaikan perundingan lewat
kompromi. Misi pengakuan kedaulatan menjadi yang terpenting sedangkan masalah
Irian Barat dapat diselesaikan di kemudian hari.
Bagi Hatta, revolusi telah selesai
dengan memperoleh kedaulatan politik meski tanpa Papua. Seiring dengan itu,
tibalah saatnya membangun negara. Namun tidak demikian halnya dengan kaum
Republiken lain yang mendambakan kekuasaan Indonesia dari Sabang sampai
Merauke. Kendati sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia, siapa
nyana soal Papua malah menjadi batu sandung Indonesia dalam pergaulan
internasional hingga kini. https://historia.id/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ/page/3?fbclid=IwAR1xwWA7pWAGMrb_tnX2vAAh1DoaD5VtthTyNS6kO7GM1xS7BBNX7D0ItZs