Rabu, 10 Mei 2023

New York Agreement 15 Agustus 1962, Menjadi Bom Waktu Kemerdekaan New Guinea Barat

 

By:Kristian Griapon.

Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat telah berada di bawah Hukum Perjanjian Internasional, yang disebut “New York Agreement, 15 Agustus 1962, sebuah perjanjian yang melahirkan Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII), 21 September 1962, mengikat secara hukum antar negara Indonesia dan Belanda dan PBB, dalam kaitan “Tranfer Kekuasaan Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dan Mempersiapkan Penentuan Nasib Sendiri.Penduduk Asli Papua”.

Isi dari New York Agreement, 15 Agustus 1962 dalam bentuk manifestasi hukum internasional tentang pengakuan terhadap Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat adalah Daerah Tidak Berpemerintahan Sendiri, serta Etnik dan Budaya Melanesia Penduduk Penduduk Asli Papua, dan  Memiliki Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai suatu bangsa..

Termuat tiga poin dalam New York Agreemen 15 Agustus 1962, yang aplikasinya melalui Resolusi Majelis Umum PBB, 1752 (XVII) 21 September 1962. Resolusi yang sifatnya dispositif, yaitu:

Pertama, Peran PBB:

Aplikasi New York Agreement, 15 Agustus 1969 melalui intervensi PBB, termuat dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII) 21 September 1962, memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada Sekjen PBB,  meliputi:

(1).Mencatat Perjanjian;

(2). Mengakui peran yang diberikan kepada Sekretaris Jenderal dalam Persetujuan;

(3).Memberi kuasa kepada Sekretaris Jenderal untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya dalam Persetujuan.

Artinya Sekjen PBB telah mendaftar dan menyimpan New York Agreement 15 Agustus 1962 pada sekretariat PBB.  Atas dasar itu dalam sidang majelis umum PBB ke 17, 21 September 1962, para peserta sidang membuat keputusan mensahkan, serta memberi kewenangan kepada Sekjen PBB menjalankan fungsi PBB, sebagaimana yang termuat dalam poin tiga resolusi majelis umum PBB 1752 (XVII) 12 September 1962, menjadi penengah dalam transfer kekuasaan atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dari Negara Kerajaan Belanda ke Negara Republik Indonesia, serta bertanggungjawab penuh mengawasi kewajiban Indonesia dalam menjalankan adminitrasi penuh di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, sesuai dengan New York Agreement, 15 Agustus 1962 yang telah diratifikasi oleh para pihak, Indonesia dan Belanda.

Kedua, Peran Indonesia:

Indonesia memikul tanggungjawab atas kewajiban internasionalnya yang terikat oleh New York Agreement, 15 Agustus 1962, yaitu: “Membangun Sosial Ekonomi di Wilayah Gografi New Guinea Bagian Barat, dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak (Sipol dan Ekosob) penduduk asli Papua dalam kurun waktu 1963-1969, serta mempersiapkan  Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat”.

Ketiga, Peran Belanda:

Keterikatan Belanda dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 tidak serta merta berakhir, atau selesai setelah penyerarahan kekuasaannya atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat kepada UNTEA. Secara tidak langsung Belanda terikat dan  bertanggungjawab dalam mengawasi kewajiban Indonesia terhadap jaminan  perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak penduduk asli Papua yang telah diratifikasinya dengan Indonesia.

Keterikatan Belanda dalam mengawasi pelaksanaan administrasi penuh yang dijalankan oleh Otoritas Indonesia di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, diformulasi dalam pasal XXI ayat (2), menjelaskan: “Para pihak pada perjanjian ini akan mengakui dan mematuhi hasil dari penentuan nasib sendiri”. Artinya peran Belanda tetap terikat hingga penentuan pendapat rakyat tahun 1969 dilaksanakan dan hasilnya harus mendapat pengakuan dari Belanda, Negara yang meratifikasi perjanjiannya dengan Indonesia.  

Muncul Pertanyaan, Mengapa Penduduk Asli Papua Tidak Dilibatkan Dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 Antara Indonesia Dan Belanda?

Penandatanganan New York Agreement, 15 Agustus 1962, Indonesia (Subandrio) dan Belanda (JH Van Roijen)

Penulis Menjelaskan Sebagaiberikut:

Indonesia dan Belanda adalah dua negara bangsa merdeka, dalam kedudukan hukum internasional disebut subjek negara (sujek aktif), memiliki hak dan kewajiban untuk membuat perjanlian yang mengikat di bawah hukum perjanjian internasional terhadap objek yang menjadi kepentingan bersama. Sedangkan Penduduk asli Papua adalah subjek non-negara (subjek non-aktif), kedudukan hukumnya lemah, bangsa belum merdeka untuk ikut dalam perjanjian di bawah hukum perjanjian internasional. Sehingga hal itu menjadi alasan penduduk asli Papua tidak dilibatkan dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 antara dua negara, Indnesia dan Belanda.

Indonesia menciptakan konflik berdasarkan klaim historis berhak atas  Kekuasaan Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, daerah koloni Belanda di Pasifik Barat Daya termasuk dalam kawasan Pasifik Selatan, daerah yang telah dipersiapkan dekolinisasinya sejak tahun 1950-an.

Dalam kasus ini, yang menjadi objek sengketa dua negara Indonesia dan Belanda adalah Perebutan Kekuasaan Atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, yang di dalamnya terdapat kelompok orang-orang etnik Papua Melanesia. Oleh karena itu dalam kedudukan hukum internasional, yang menjadi objek sengketa adalah perebutan kekuasaan atas wilayah geografi New Guinea Bagian Barat, yang dalam hukum  internasional disebut daerah tidak berpemerintahan sendiri, dengan penduduknya orang asli Papua yang disebut bangsa belum merdeka.

Ketika New York Agreement, 15 Agustus 1962 ditanda tangani dan diratifikasi oleh para pihak Indonesia dan Belanda, maka pada saat itu dengan sendirinya klaim historis dan klaim lainnya oleh pihak indonesia maupun Belanda atas hak kekuasaan Wilayah Geografi New Bagian Barat gugur, atau dengan kata lain tenggelam dalam perjanjian itu, dalam bahasa diplomasi disebut disesuaikan ke dalam perjanjian yang dibuat, ditandatangani dan ditatifikasi oleh para pihak, Indonesia dan Belanda.

Resolusi Majelis Umum PBB 448 (V) 12 Desember 1950, Memperhatikan komunikasi tanggal 29 Juni 1950 dari Pemerintah Belanda tidak lagi menyampaikan laporan berdasarkan Pasal 73 (e) tentang Indonesia dengan pengecualian Nugini Barat ,, menjadi dasar dibuat New York Agreement, 15 Agustus 1962, ditandatangani dan diratifikasi oleh para pihak Indonesia dan Belanda, serta diregistrasi di Sekretariat PBB dan diaplikasikan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII) 21 September 1962, maka New York Agreement 15 Agustus 1962 telah mengangkat status Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat berada di bawah hukum perjanjian internasional.

Kasus Hukum New York Agreement 15 Agustus 1962, Yaitu 1025 Orang Mengatas Namakan ± 800.000 Jiwa Pada Pelaksanaan PEPERA 1969.

Ilustrasi Pelanggaran Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat pada tahun 1969

Kasus hukum saat ini adalah  “Penggunaan” Hak Penentuan Nasib Sendiri. Sehingga  yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat yang memiliki hak pilih pada saat Act of Free Choice 1969, berjumlah ± 800.000 jiwa, sudah menggunakan, atau belum menggunakan  hak pilihan bebasnya dalam jajak pendapat 1969?

Pernyataan politik otoritas Indonesia yang mengatakan  Act of Free Choice 1969 sudah final, maka Muncul Kasus Hukumnya Setelah Act of Free Choice 1969 Dilaksanakan, yaitu, 1025 orang mengatas namakan orang-orang asli Papua, mewakili  ± 800.000 jiwa orang asli Papua yang memiliki hak pilih dalam Act of Free Choice (PEPERA) 1969 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat.

Kasus hukum itu menjelaskan bahwa “orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat tidak pernah menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang diamanatkan dalam klausula  New York Agreement 15 Agustus 1962 Pasal XVIII Poin (d), tentang syarat  penggunaan hak pilih dalam penentuan nasib sendiri orang-orang asli Papua Barat di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat”.

Perjanjian internasional dilandasi oleh enam asas yang berfungsi sebagai dasar-dasar perjanjian internasional yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat.

Enam asas perjanjian internasional dan penjelasannya:

1)  Pacta Sunt Servanda

Pacta Sunt Servanda diambil dari bahasa latin yang berarti perjanjian harus ditepati. Ini merupakan asas pertama dan tertua yang mendasari perjanjian internasional.

Dilansir dari Oxford Public International Law, Pacta Sunt Servanda berarti hak dan kewajiban semua pihak dalam perjanjian internasional harus dilakukan, dan pelanggarannya akan dikenakan konsekueknsi sesuai hukum internasional yang berlaku.

2)  Egality Rights

Yang dimaksud egality rights adalah kesetaraan semua pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional. Sehingga tidak ada perbedaan level antar negara yang terlibat dalam perjanjian, semua negara setara.

Negara maju maupun berkembang adalah setara dan hak-hak negara tersebut tidak boleh dilanggar. Egality rights menyetarakan negara dan juga mencegah terjadinya penjajahan, perjanjian yang berat sebelah, dan pemaksaan dalam perjanjian.

3)  Reciprocity

Reciprocity atau timbal balik adalah asas internasional yang mengatur bahwa semua pihak yang terlibat melaksanakan hak dan kewajiban yang sama rata. Sehingga dalam perjanjian internasional, tidak ada pihak yang terlalu rugi, tidak ada pihak yang terlalu diuntungkan, semuanya seimbang dan merupakan jalan tengah.

4)  Bonafides

Bonafides berarti iktikad baik. Dalam perjanjian internasional harus dilandasi iktikad atau niat baik dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memiliki iktikad baik berarti negara-negara tersebut memiliki tujuan yang baik untuk membentuk suatu perjanjian internasional.

5)  Courtesy

Couteresy atau kehormatan adalah asas yang mewajibkan pihak-pihak dalam perjanjian untuk saling menghormati satu sama lain. Asas couteresy mengharuskan sopan santun dan rasa saling hormat karena semua pihak dalam perjanjian internasional adalah setara.

6)  Rebus sic Stantibus

Rebus sic Stantibus adalah asas perjanjian yang diambil dari bahasa latin dan berarti hal-hal yang berdiri. Dilansir dari Cambridge University Press, asas Rebus sic Stantibus memperbolehkan perubahan atau penghentian perjanjian atas dasar keadilan.

Asas Rebus sic Stantibus adalah pengecualian dari asas Pacta Sunt Servanda, karena perjanjian dapat ditinjau ulang jika ada hal-hal fundamental ataupun keadaan yang berubah, dengan jalan perundingan kembali pihak-pihak yang terlibat.

Negara-Negara Yang Berhak Tampil Di Hadapan Pengadilan Internasonal

Pasal 35, poin (1) statuta mahkamah internasional  menyatakan, bahwa Pengadilan terbuka bagi negara-negara pihak. Negara-negara pihak yang dimaksud dalam statuta mahkamah internasional terhubung pada Pasal 93, ayat (1) Piagam PBB yang menyatakan bahwa, semua anggota PBB ipso facto menjadi pihak pada statuta mahkamah internasional. Ipso  Facto mengandung arti konsekuensi yang mengikat. Artinya ketika suatu negara menjadi anggota PBB, akibatnya negara itu terikat menjadi pihak dalam statuta mahkamah internasional. Sehingga semua negara anggota PBB, tidak terkecuali besar atau kecil, mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan yang sama dihadapan mahkamah internasional (ICJ)

Merubah Isi New York Agreement, 15 Agustus 1962 sepihak oleh Indonesia tentang tata cara penggunaan hak pilih melalui metode perwakilan, merubah pasal XVIII poin (d) New York Agreement 15 Agustus 1962 dalam pelaksanaan PEPERA tahun 1969 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, yang berakibat kerugian terhadap orang-orang Papua Barat dalam menentukan masa depannya, adalah pelanggaran terhadap New York Agreement 15 Agustus 1962, perjanjian yang kedudukannya telah berada dibawah hukum perjanjian internasional. sehingga pelanggaran itu adalah melanggar enam asas  perjanjian internasional yang terkandung dalam New York Agreement 15 Agustus 1962, maka perubahan itu konsekuensi hukumya dapat diminta pertanggungjawabannya di mahkamah internasional (ICJ).

Kasus Wilayah Geografi  New Guinea Bagian Barat mirip dengan Kasus Kepulauan Chagos. Namun beda dengan kasus  kedua pulau Sipadan dan Ligitan yang diadili di Mahkamah Internasional (ICJ).

Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan sebelum menjadi sengketa Indonesia dan Malaysia, tidak ada perjanjian internasional yang mengikat kedua negara tentang status pulau itu, sehingga untuk membawa kasus kedua pulau itu ke Yuridiksi Mahkamah Internasional (ICJ), kedua negara Indonesia dan Malaiysia harus membuat special agreement pada tahun 1997 sebagai syarat penyelesaian di ICJ.

Perbedaannya, status Papua Barar telah berada dalam hukum perjanjian internasionanal, sehingga terikat pada wewenang statuta mahkamah internasional yang mengikat Indonesia dan Belanda atas dasar New York Agreement 15 Agustus 1962, yang telah diratifikasi dan terdaftar pada sekretariat PBB. Beda dengan Sipadan dan Ligitan, kasusnya diluar Yuridiksi Hukum Internasional, sehingga untuk diselesaikan di Mahkamah Internasional (ICJ) harus dilakukan kesepakatan terlebih dahulu oleh para pihak yang bersengketa sebelum kasusnya dibawa ke ICJ.

Perjanjian New York 15 Agustus 1962 Telah Membawa Indonesia Kedalam Pengakuan Orang-Orang Papua Barat Bangsa Belum Merdeka

Belanda Negara Kerajaan yang telah berpengalaman dalam memproses daerah-daerah jajahannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia mejadi negara merdeka, tentu saja tidak terlepas dari strategi politik internasionalnya  yang bersentuhan langsung dengan hukum internasional. Nampak jelas Belanda telah menggunakan strategi politik Internasionalnya membawa masalah dekolonisasi Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, daearah koloninya ke dalam hukum perjanjian internasional melalui New York Agreement, 15 Agustus 1962.

Belanda tidak patah arang ketika sengketa Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat daerah koloni Belanda yang telah dipersiapkan menuju dekolonisasi, ditingkatkan status ancaman oleh Indonesia, dari status diplomasi politik ke ancaman konflik bersenjata, serta dibawah tekanan konspirasi politik internasional tingkat tinggi yang dikendalikan oleh Amerika Serikat, memaksa Belanda duduk di meja perundingan dengan Indonesia, yang pada akhirnya menghasilkan New York Agreement, 15 Agustus 1962, menjadi “Dasar Aplikasi Resolusi Majelis Umum-PBB 1752 (XVII), 21 September 1962, yang telah mengangkat status dekolonisasi Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat di bawah Hukum Perjanjian Internasional.

Belanda telah memasukan daerah koloninya, Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat yang dipersiapkan dekolonisasinya sejak tahun 1950-an ke dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962, dan diperkuat Resolusi Majelis Umum PBB, 1752 (XVII), 21 September 1962, tentang aplikasi dari New York Agreement 15 Agustus 1962. Sehingga Kasus Pelanggaran Hak Menentukan Nasib Sendiri, yang terjadi pada tahun 1969, dan telah menjadi sorotan publik internasional, kini telah menjadikan Bom Waktu Kemerdekaan New Guinea Barat (Papua Barat).

Indonesia cerdik dengan kelicikannya dalam mengelabui masyarakat internasional, merebut Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dari Kekuasaan Belanda. Namun Belanda cerdas menggunakan pengalaman dalam politik internasionalnya membangun strategi jangka panjang, membawa daerah koloninya Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat ke dalam hukum perjanjian internasional, dan kini Indonesia telah tersandung pada poin kunci dari New York Agreement, 15 Agustus 1962, yakni, Pasal XVIII Poin (d) syarat hukum internasional dalam penggunaan suara untuk hak penentuan nasib sendiri.”one man’one vote”--telah dilanggar oleh Indonesia---.

Konflik Bersenjata Internal Antara Penduduk Asli Papua Melawan Otoritas Indonesia Di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, Menunjuk Pada Pelanggaran Hak Menentukan Nasib sendiri Bangsa Papua Barat.

Paramiliter Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM)

Status Bangsa Belum Merdeka dapat diklasifikasi ke dalam subjek hukum internasional non-aktif yang ditujukan khusus untuk orang-orang yang pengelompokan etnik dan budayanya di dalam kawasan suatu wilayah geografi, berbeda dengan bangsa merdeka yang menguasainya. Subjek non-aktif dikatakan aktif apabila terjadi reaksi (tuntutan) hak menentukan nasib sendiri oleh orang-orang tersebut terhadap bangsa merdeka yang menguasainya. Sehingga yang perlu dicatat, tuntutan hak menentukan nasib sendiri beda dengan pemberontakan yang disebut separatis.

Reaksi hak menentukan nasib sendiri bangsa belum merdeka orang-orang Papua Barat, telah terjadi sejak manifesto politik Papua Barat di dideklarasi pada 19 Oktober 1961 di Hollandia ibukota Nederlands Nieuw Guinea, dan mendapat pengakuan negara kerajaan Belanda yang diumumkan pada 1 Desember 1961, Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat menjadi daerah dekolonisasi Kerajaan Belanda.

Revolusi bersenjata di New Guinea Bagian Barat  yang di deklarasi pada , 1 Juli 1971 adalah wujud dari protes bangsa  Papua Barat atas pelanggaran hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh Indonesi melalui PEPERA tahun 1969 di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat.

Perlawanan bersenjata di dalam negeri, maupun perlawanan politik di luar negeri oleh orang-orang Papua Barat, menunjukan pada kasus pelanggaran hak menentukan nasib sendiri yang telah dilanggar pada pelaksanaan PEPERA tahun 1969, dan secara langsung maupun tidak langsung perlawanan itu telah mengaktifkan subjek hukum internasional non-aktif sebagai bangsa belum merdeka, yang memperjuangkan hak kemerdekaannya, yang sedang diblokir oleh Indonesia sejak mentransfer keuasaan dari UNTEA 1 Mei 1963, dalam menjalankan admitrator PBB di wilayah sengketa New Guinea Bagian Barat.

Catatan Penulis:

Penulis menyebut “Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat” untuk mempertegas sebutan dari Satu Keutuhan Wilayah Geografi New Guinea, yang dipetak-petak oleh bangsa koloni. Awalnya Portugis dan Spanyol, kemudian  Inggris dan Jerman di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Timur, kini disebut Papua New Guinea (PNG) dan bangsa koloni Belanda di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, kini disebut Papua Barat, dan  kini dipetak-petak lagi oleh kolini Indonesia.

Penyebutan itu sifatnya disambiguasi mengungkap fakta hukum tentang New Guinea Bagian Barat, yang kini oleh berbagai kalangan di Indonesia membangun narasi politik yang sipatnya ambigu. Sehingga yang terjadi memutar balik fakta hukum sebenarnya, yang kini menjadi tuntutan orang-orang Papua Barat terhadap hak politiknya.

Tulisan ini menjadi goresan tanganku yang ke-61 tahun (9 Mei 1962-9 Mei 2023) bertepatan dengan tanggal dan bulan kelahiranku, ulang tahunku yang ke-61 tahun. 

Tulisan ini bagian dari referensi, khusus dipersembahkan untuk Generasi Papua Barat yang sedang memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat, yang telah diblokir oleh Otoritas Indonesia, sejak menjalankan administrator PBB 1 Mei 1963 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan ini, namun dengan tekad yang kuat dan kebesaran hati, penulis menggunakan logika hukum mengkaji kasus hukum New York Agreement 15 Agustus 1962, guna mengungkap kebenaran dan memotivasi perjuangan suci bangsa Papua Barat, kiranya Tuhan senatiasa menyatakan hikmah dan makrifat-Nya dalam mengaktualsasi kebenaran bangsa Papua Barat, amin.(Kgr).

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...