By:Kristian Griapon.
Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat telah berada di
bawah Hukum Perjanjian Internasional, yang disebut “New York Agreement, 15 Agustus 1962, sebuah perjanjian yang melahirkan
Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII), 21 September 1962, mengikat secara hukum
antar negara Indonesia dan Belanda dan PBB, dalam kaitan “Tranfer Kekuasaan Wilayah
Geografi New Guinea Bagian Barat dan Mempersiapkan Penentuan Nasib
Sendiri.Penduduk Asli Papua”.
Isi dari New York Agreement, 15
Agustus 1962 dalam bentuk manifestasi hukum internasional tentang pengakuan
terhadap Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat adalah Daerah Tidak Berpemerintahan
Sendiri, serta Etnik dan Budaya Melanesia Penduduk Penduduk Asli Papua, dan Memiliki Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai
suatu bangsa..
Termuat tiga poin dalam New York Agreemen 15 Agustus 1962, yang aplikasinya melalui Resolusi Majelis Umum PBB, 1752 (XVII) 21 September 1962. Resolusi yang sifatnya dispositif, yaitu:
Pertama,
Peran PBB:
Aplikasi New York Agreement, 15
Agustus 1969 melalui intervensi PBB, termuat dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII) 21 September
1962, memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada Sekjen PBB, meliputi:
(1).Mencatat Perjanjian;
(2). Mengakui peran yang
diberikan kepada Sekretaris Jenderal dalam Persetujuan;
(3).Memberi kuasa kepada
Sekretaris Jenderal untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya dalam
Persetujuan.
Artinya Sekjen PBB telah mendaftar dan menyimpan New York Agreement 15 Agustus 1962 pada sekretariat PBB. Atas dasar itu dalam sidang majelis umum PBB ke 17, 21 September 1962, para peserta sidang membuat keputusan mensahkan, serta memberi kewenangan kepada Sekjen PBB menjalankan fungsi PBB, sebagaimana yang termuat dalam poin tiga resolusi majelis umum PBB 1752 (XVII) 12 September 1962, menjadi penengah dalam transfer kekuasaan atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dari Negara Kerajaan Belanda ke Negara Republik Indonesia, serta bertanggungjawab penuh mengawasi kewajiban Indonesia dalam menjalankan adminitrasi penuh di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, sesuai dengan New York Agreement, 15 Agustus 1962 yang telah diratifikasi oleh para pihak, Indonesia dan Belanda.
Kedua, Peran
Indonesia:
Indonesia memikul tanggungjawab
atas kewajiban internasionalnya yang terikat oleh New York Agreement, 15
Agustus 1962, yaitu: “Membangun Sosial Ekonomi di Wilayah Gografi New Guinea
Bagian Barat, dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak (Sipol dan Ekosob)
penduduk asli Papua dalam kurun waktu 1963-1969, serta mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969
di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat”.
Ketiga, Peran Belanda:
Keterikatan Belanda dalam New
York Agreement, 15 Agustus 1962 tidak serta merta berakhir, atau selesai
setelah penyerarahan kekuasaannya atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat
kepada UNTEA. Secara tidak langsung Belanda terikat dan bertanggungjawab dalam mengawasi kewajiban
Indonesia terhadap jaminan perlindungan
dan pemenuhan atas hak-hak penduduk asli Papua yang telah diratifikasinya
dengan Indonesia.
Keterikatan Belanda dalam mengawasi pelaksanaan administrasi penuh yang dijalankan oleh Otoritas Indonesia di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, diformulasi dalam pasal XXI ayat (2), menjelaskan: “Para pihak pada perjanjian ini akan mengakui dan mematuhi hasil dari penentuan nasib sendiri”. Artinya peran Belanda tetap terikat hingga penentuan pendapat rakyat tahun 1969 dilaksanakan dan hasilnya harus mendapat pengakuan dari Belanda, Negara yang meratifikasi perjanjiannya dengan Indonesia.
Muncul
Pertanyaan, Mengapa Penduduk Asli Papua Tidak Dilibatkan Dalam New York Agreement,
15 Agustus 1962 Antara Indonesia Dan Belanda?
Penulis Menjelaskan Sebagaiberikut:
Indonesia dan Belanda adalah dua negara bangsa merdeka, dalam kedudukan hukum internasional disebut subjek negara (sujek aktif), memiliki hak dan kewajiban untuk membuat perjanlian yang mengikat di bawah hukum perjanjian internasional terhadap objek yang menjadi kepentingan bersama. Sedangkan Penduduk asli Papua adalah subjek non-negara (subjek non-aktif), kedudukan hukumnya lemah, bangsa belum merdeka untuk ikut dalam perjanjian di bawah hukum perjanjian internasional. Sehingga hal itu menjadi alasan penduduk asli Papua tidak dilibatkan dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 antara dua negara, Indnesia dan Belanda.
Indonesia menciptakan konflik berdasarkan klaim historis berhak atas Kekuasaan Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, daerah koloni Belanda di Pasifik Barat Daya termasuk dalam kawasan Pasifik Selatan, daerah yang telah dipersiapkan dekolinisasinya sejak tahun 1950-an.
Dalam kasus ini, yang menjadi objek sengketa dua negara Indonesia dan Belanda adalah Perebutan Kekuasaan Atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, yang di dalamnya terdapat kelompok orang-orang etnik Papua Melanesia. Oleh karena itu dalam kedudukan hukum internasional, yang menjadi objek sengketa adalah perebutan kekuasaan atas wilayah geografi New Guinea Bagian Barat, yang dalam hukum internasional disebut daerah tidak berpemerintahan sendiri, dengan penduduknya orang asli Papua yang disebut bangsa belum merdeka.
Ketika New York Agreement, 15 Agustus 1962 ditanda tangani dan diratifikasi oleh para pihak Indonesia dan Belanda, maka pada saat itu dengan sendirinya klaim historis dan klaim lainnya oleh pihak indonesia maupun Belanda atas hak kekuasaan Wilayah Geografi New Bagian Barat gugur, atau dengan kata lain tenggelam dalam perjanjian itu, dalam bahasa diplomasi disebut disesuaikan ke dalam perjanjian yang dibuat, ditandatangani dan ditatifikasi oleh para pihak, Indonesia dan Belanda.
Resolusi Majelis Umum PBB 448 (V) 12 Desember 1950, Memperhatikan komunikasi tanggal 29 Juni 1950 dari Pemerintah Belanda tidak lagi menyampaikan laporan berdasarkan Pasal 73 (e) tentang Indonesia dengan pengecualian Nugini Barat ,, menjadi dasar dibuat New York Agreement, 15 Agustus 1962, ditandatangani dan diratifikasi oleh para pihak Indonesia dan Belanda, serta diregistrasi di Sekretariat PBB dan diaplikasikan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII) 21 September 1962, maka New York Agreement 15 Agustus 1962 telah mengangkat status Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat berada di bawah hukum perjanjian internasional.
Kasus
Hukum New York Agreement 15 Agustus 1962, Yaitu 1025 Orang Mengatas Namakan ± 800.000
Jiwa Pada Pelaksanaan PEPERA 1969.
Ilustrasi Pelanggaran Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat pada tahun 1969
Kasus hukum saat ini adalah “Penggunaan” Hak Penentuan Nasib Sendiri. Sehingga yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah
orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat yang
memiliki hak pilih pada saat Act of Free Choice 1969, berjumlah ± 800.000 jiwa,
“sudah menggunakan, atau belum menggunakan” hak pilihan bebasnya dalam jajak pendapat
1969?
Pernyataan politik otoritas
Indonesia yang mengatakan Act of Free
Choice 1969 sudah final, maka Muncul Kasus Hukumnya Setelah
Act of Free Choice 1969 Dilaksanakan, yaitu, 1025 orang mengatas namakan
orang-orang asli Papua, mewakili ± 800.000
jiwa orang asli Papua yang memiliki hak pilih dalam Act of Free Choice (PEPERA) 1969 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat.
Kasus hukum itu menjelaskan bahwa “orang-orang asli Papua di Wilayah
Geografi New Guinea Bagian Barat tidak pernah menggunakan hak pilihnya
sebagaimana yang diamanatkan dalam klausula
New York Agreement 15 Agustus 1962 Pasal XVIII Poin (d), tentang
syarat penggunaan hak pilih dalam
penentuan nasib sendiri orang-orang asli Papua Barat di wilayah geografi New
Guinea Bagian Barat”.
Perjanjian internasional
dilandasi oleh enam asas yang berfungsi sebagai dasar-dasar perjanjian
internasional yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat.
Enam asas perjanjian
internasional dan penjelasannya:
1) Pacta Sunt Servanda
Pacta
Sunt Servanda diambil dari bahasa latin yang berarti perjanjian harus ditepati.
Ini merupakan asas pertama dan tertua yang mendasari perjanjian internasional.
Dilansir
dari Oxford Public
International Law, Pacta Sunt Servanda berarti hak dan kewajiban
semua pihak dalam perjanjian internasional harus dilakukan, dan pelanggarannya
akan dikenakan konsekueknsi sesuai hukum internasional yang berlaku.
2) Egality Rights
Yang
dimaksud egality rights adalah kesetaraan semua pihak yang terlibat
dalam perjanjian internasional. Sehingga tidak ada perbedaan level antar negara
yang terlibat dalam perjanjian, semua negara setara.
Negara
maju maupun berkembang adalah setara dan hak-hak negara tersebut tidak boleh
dilanggar. Egality rights menyetarakan negara dan juga mencegah terjadinya
penjajahan, perjanjian yang berat sebelah, dan pemaksaan dalam perjanjian.
3) Reciprocity
Reciprocity
atau timbal balik adalah asas internasional yang mengatur bahwa semua pihak
yang terlibat melaksanakan hak dan kewajiban yang sama rata. Sehingga dalam
perjanjian internasional, tidak ada pihak yang terlalu rugi, tidak ada pihak
yang terlalu diuntungkan, semuanya seimbang dan merupakan jalan tengah.
4) Bonafides
Bonafides
berarti iktikad baik. Dalam perjanjian internasional harus dilandasi iktikad atau
niat baik dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memiliki iktikad baik
berarti negara-negara tersebut memiliki tujuan yang baik untuk membentuk suatu
perjanjian internasional.
5) Courtesy
Couteresy
atau kehormatan adalah asas yang mewajibkan pihak-pihak dalam perjanjian untuk
saling menghormati satu sama lain. Asas couteresy mengharuskan sopan santun dan
rasa saling hormat karena semua pihak dalam perjanjian internasional adalah
setara.
6) Rebus sic Stantibus
Rebus
sic Stantibus adalah asas perjanjian yang diambil dari bahasa latin dan berarti
hal-hal yang berdiri. Dilansir dari Cambridge
University Press, asas Rebus sic Stantibus memperbolehkan perubahan
atau penghentian perjanjian atas dasar keadilan.
Asas Rebus sic Stantibus adalah pengecualian dari asas Pacta Sunt Servanda, karena perjanjian dapat ditinjau ulang jika ada hal-hal fundamental ataupun keadaan yang berubah, dengan jalan perundingan kembali pihak-pihak yang terlibat.
Negara-Negara Yang Berhak Tampil Di Hadapan Pengadilan Internasonal
Pasal 35, poin (1) statuta mahkamah internasional menyatakan, bahwa Pengadilan terbuka bagi negara-negara pihak. Negara-negara pihak yang dimaksud dalam statuta mahkamah internasional terhubung pada Pasal 93, ayat (1) Piagam PBB yang menyatakan bahwa, semua anggota PBB ipso facto menjadi pihak pada statuta mahkamah internasional. Ipso Facto mengandung arti konsekuensi yang mengikat. Artinya ketika suatu negara menjadi anggota PBB, akibatnya negara itu terikat menjadi pihak dalam statuta mahkamah internasional. Sehingga semua negara anggota PBB, tidak terkecuali besar atau kecil, mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan yang sama dihadapan mahkamah internasional (ICJ)
Merubah Isi New York Agreement, 15 Agustus 1962 sepihak oleh Indonesia tentang tata cara penggunaan hak pilih melalui metode perwakilan, merubah pasal XVIII poin (d) New York Agreement 15 Agustus 1962 dalam pelaksanaan PEPERA tahun 1969 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, yang berakibat kerugian terhadap orang-orang Papua Barat dalam menentukan masa depannya, adalah pelanggaran terhadap New York Agreement 15 Agustus 1962, perjanjian yang kedudukannya telah berada dibawah hukum perjanjian internasional. sehingga pelanggaran itu adalah melanggar enam asas perjanjian internasional yang terkandung dalam New York Agreement 15 Agustus 1962, maka perubahan itu konsekuensi hukumya dapat diminta pertanggungjawabannya di mahkamah internasional (ICJ).
Kasus Wilayah
Geografi New Guinea Bagian Barat mirip dengan Kasus Kepulauan Chagos. Namun beda
dengan kasus kedua pulau Sipadan dan Ligitan yang diadili di Mahkamah
Internasional (ICJ).
Kasus Pulau
Sipadan dan Ligitan sebelum menjadi sengketa Indonesia dan Malaysia, tidak ada
perjanjian internasional yang mengikat kedua negara tentang status pulau itu, sehingga untuk
membawa kasus kedua pulau itu ke Yuridiksi Mahkamah Internasional (ICJ), kedua
negara Indonesia dan Malaiysia harus membuat special agreement pada tahun 1997 sebagai syarat
penyelesaian di ICJ.
Perbedaannya, status Papua Barar telah berada dalam hukum perjanjian internasionanal, sehingga terikat pada wewenang statuta mahkamah internasional yang mengikat Indonesia dan Belanda atas dasar New York Agreement 15 Agustus 1962, yang telah diratifikasi dan terdaftar pada sekretariat PBB. Beda dengan Sipadan dan Ligitan, kasusnya diluar Yuridiksi Hukum Internasional, sehingga untuk diselesaikan di Mahkamah Internasional (ICJ) harus dilakukan kesepakatan terlebih dahulu oleh para pihak yang bersengketa sebelum kasusnya dibawa ke ICJ.
Perjanjian
New York 15 Agustus 1962 Telah Membawa Indonesia Kedalam Pengakuan Orang-Orang
Papua Barat Bangsa Belum Merdeka
Belanda
Negara Kerajaan yang telah berpengalaman dalam memproses daerah-daerah
jajahannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia mejadi negara merdeka, tentu
saja tidak terlepas dari strategi politik internasionalnya yang bersentuhan langsung dengan hukum
internasional. Nampak jelas Belanda telah menggunakan strategi politik
Internasionalnya membawa masalah dekolonisasi Wilayah Geografi New Guinea Bagian
Barat, daearah koloninya ke dalam hukum perjanjian internasional melalui New
York Agreement, 15 Agustus 1962.
Belanda tidak
patah arang ketika sengketa Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat daerah
koloni Belanda yang telah dipersiapkan menuju dekolonisasi, ditingkatkan status
ancaman oleh Indonesia, dari status diplomasi politik ke ancaman konflik
bersenjata, serta dibawah tekanan konspirasi politik internasional tingkat
tinggi yang dikendalikan oleh Amerika Serikat, memaksa Belanda duduk di meja perundingan
dengan Indonesia, yang pada akhirnya menghasilkan New York Agreement, 15 Agustus
1962, menjadi “Dasar Aplikasi Resolusi Majelis Umum-PBB 1752 (XVII), 21
September 1962, yang telah mengangkat status dekolonisasi Wilayah Geografi New
Guinea Bagian Barat di bawah Hukum Perjanjian Internasional.
Belanda telah memasukan daerah koloninya, Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat yang dipersiapkan dekolonisasinya sejak tahun 1950-an ke dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962, dan diperkuat Resolusi Majelis Umum PBB, 1752 (XVII), 21 September 1962, tentang aplikasi dari New York Agreement 15 Agustus 1962. Sehingga Kasus Pelanggaran Hak Menentukan Nasib Sendiri, yang terjadi pada tahun 1969, dan telah menjadi sorotan publik internasional, kini telah menjadikan Bom Waktu Kemerdekaan New Guinea Barat (Papua Barat).
Indonesia
cerdik dengan kelicikannya dalam mengelabui masyarakat internasional, merebut
Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dari Kekuasaan Belanda. Namun Belanda
cerdas menggunakan pengalaman dalam politik internasionalnya membangun strategi
jangka panjang, membawa daerah koloninya Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat ke dalam hukum perjanjian internasional,
dan kini Indonesia telah tersandung pada poin kunci dari New York Agreement, 15
Agustus 1962, yakni, Pasal XVIII Poin (d) syarat hukum internasional dalam penggunaan suara untuk hak penentuan nasib sendiri.”one man’one vote”--telah dilanggar oleh Indonesia---.
Konflik Bersenjata Internal Antara Penduduk Asli Papua Melawan Otoritas Indonesia Di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, Menunjuk Pada Pelanggaran Hak Menentukan Nasib sendiri Bangsa Papua Barat.
Status Bangsa
Belum Merdeka dapat diklasifikasi ke dalam subjek hukum internasional non-aktif
yang ditujukan khusus untuk orang-orang yang pengelompokan etnik dan budayanya
di dalam kawasan suatu wilayah geografi, berbeda dengan bangsa merdeka yang
menguasainya. Subjek non-aktif dikatakan aktif apabila terjadi reaksi (tuntutan)
hak menentukan nasib sendiri oleh orang-orang tersebut terhadap bangsa merdeka
yang menguasainya. Sehingga yang perlu dicatat, tuntutan hak menentukan nasib
sendiri beda dengan pemberontakan yang disebut separatis.
Reaksi hak
menentukan nasib sendiri bangsa belum merdeka orang-orang Papua Barat, telah terjadi sejak manifesto politik Papua Barat di dideklarasi pada 19 Oktober 1961
di Hollandia ibukota Nederlands Nieuw Guinea, dan mendapat pengakuan negara
kerajaan Belanda yang diumumkan pada 1 Desember 1961, Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat menjadi daerah dekolonisasi Kerajaan Belanda.
Revolusi
bersenjata di New Guinea Bagian Barat
yang di deklarasi pada , 1 Juli 1971 adalah wujud dari protes bangsa Papua Barat atas pelanggaran hak penentuan
nasib sendiri yang dilakukan oleh Indonesi melalui PEPERA tahun 1969 di wilayah
geografi New Guinea Bagian Barat.
Perlawanan
bersenjata di dalam negeri, maupun perlawanan politik di luar negeri oleh orang-orang
Papua Barat, menunjukan pada kasus pelanggaran hak menentukan nasib sendiri
yang telah dilanggar pada pelaksanaan PEPERA tahun 1969, dan secara langsung
maupun tidak langsung perlawanan itu telah mengaktifkan subjek hukum
internasional non-aktif sebagai bangsa belum merdeka, yang memperjuangkan hak
kemerdekaannya, yang sedang diblokir oleh Indonesia sejak mentransfer keuasaan dari UNTEA 1 Mei 1963, dalam menjalankan admitrator PBB di wilayah sengketa New Guinea Bagian Barat.
Catatan Penulis:
Penulis
menyebut “Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat” untuk mempertegas sebutan
dari Satu Keutuhan Wilayah Geografi New Guinea, yang dipetak-petak oleh bangsa
koloni. Awalnya Portugis dan Spanyol, kemudian
Inggris dan Jerman di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Timur, kini
disebut Papua New Guinea (PNG) dan bangsa koloni Belanda di Wilayah Geografi
New Guinea Bagian Barat, kini disebut Papua Barat, dan kini dipetak-petak lagi oleh kolini Indonesia.
Penyebutan
itu sifatnya disambiguasi mengungkap fakta hukum tentang New Guinea Bagian Barat,
yang kini oleh berbagai kalangan di Indonesia membangun narasi politik yang
sipatnya ambigu. Sehingga yang terjadi memutar balik fakta hukum sebenarnya, yang kini menjadi tuntutan orang-orang Papua Barat terhadap hak politiknya.
Tulisan ini menjadi goresan tanganku yang ke-61 tahun (9 Mei 1962-9 Mei 2023) bertepatan dengan tanggal dan bulan kelahiranku, ulang tahunku yang ke-61 tahun.
Tulisan ini bagian dari referensi, khusus dipersembahkan untuk Generasi Papua Barat yang sedang memperjuangkan Hak
Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat, yang telah diblokir oleh Otoritas
Indonesia, sejak menjalankan
administrator PBB 1 Mei 1963 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan ini, namun dengan tekad
yang kuat dan kebesaran hati, penulis menggunakan logika hukum mengkaji kasus
hukum New York Agreement 15 Agustus 1962, guna mengungkap kebenaran dan memotivasi perjuangan suci bangsa Papua Barat, kiranya Tuhan
senatiasa menyatakan hikmah dan makrifat-Nya dalam mengaktualsasi kebenaran
bangsa Papua Barat, amin.(Kgr).
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.