Jumat, 12 Maret 2021

 


id.wikipedia.org

Kejahatan kemanusiaan

Kontributor dari proyek Wikimedia.

3-4 minutes


Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh orang-orang sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan Internasional telah secara luas menggambarkan kejahatan terhadap umat manusia sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politik, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.

Kejahatan kemanusiaan ini diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Selain itu, kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Pelanggaran HAM berat lainnya, antara lain genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Pengadilan kriminal internasional[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2002 di kota Hague di Belanda dibentuklah suatu pengadilan kriminal internasional yang dalam bahasa Inggris disebut International Criminal Court (ICC). Statuta Roma memberikan kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap perikemanusiaan, dan kejahatan perang.

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan:

(a) Pembunuhan;

(b) Pemusnahan;

(c) Perbudakan;

(d) Pengusiran atau pemindahan penduduk;

(e) Perampasan kemerdekaan/perampasan kebebasan fisik lain;

(f) Menganiaya;

(g) Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya;

(h) Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, dan jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun dengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional;

(i) Penghilangan seseorang secara paksa;

(j) Kejahatan apartheid;

(k) Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan dan luka parah, baik tubuh, mental, maupun kesehatan fisiknya.

 



pelajaran.co.id

Pengertian Kejahatan Kemanusiaan dan Tindakan Yang Termasuk Kejahatan Terhadap Manusia Lengkap – Pelajaran Sekolah Online

6-8 minutes


Pengertian Kejahatan Kemanusiaan dan Contoh Tindakan Yang Termasuk Kejahatan Terhadap Manusia Lengkap – Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against Humanity) adalah salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya diantaranya Genosida, Kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

Pengertian Kemanusiaan

Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against Humanity) adalah tindakan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan.

Kejahatan kemanusiaan atau kejahatan terhadap manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain.

Menurut para sarjana Hubungan Internasional, secara luas kejahatan terhadap manusia digambarkan sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler dan juga yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.

Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Tindakan/Perbuatan Yang Termasuk Kejahatan Kemanusiaan

Pada tahun 2002 di kota Hague di Belanda dibentuklah suatu pengadilan kriminal internasional yang dalam bahasa Inggris disebut International Criminal Court (ICC) dan Statuta Roma memberikan kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap perikemanusiaan dan kejahatan perang.

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma diatur mengenai jenis-jenis perbuatan yang termasuk kejahatan kemanusiaan diantaranya:

a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk
e. Perampasan kemerdekaan/perampasan kebebasan fisik lain;
f. Menganiaya;
g. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;
h. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional
i. Penghilangan seseorang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid;
k. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.

Selain itu, dalam Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma disebutkan pula yang termasuk kejahatan terhadap manusia diantaranya yaitu:

  • Serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut;
  • Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja, antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk;
  • Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak;
  • Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lainnya dari tempat dimana penduduk tersebut secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional;
  • Penyiksaan diartikan sebagai tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali itu, bahwa penyiksaan tersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau insidental dari pengenaan sanksi yang sah;
  • Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud memengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan;
  • Penindasan diartikan sebagai penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak-hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif;
  • Kejahatan apartheid diartikan sebagai tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tesebut;
  • Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.

Demikian artikel yang diberikan tentang Pengertian Kejahatan Kemanusiaan dan Tindakan Yang Termasuk Kejahatan Terhadap Manusia Lengkap semoga informasi yang diberikan bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan anda.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Politisida adalah penghancuran atau pemusnahan fisik disengaja dari sebuah kelompok yang para anggotanya berbagi karakteristik utama yang masuk dalam sebuah gerakan politik. Ini adalah sebuah jenis dari penindasan politik, dan satu pengartian dari pembersihan populasi politik, dengan yang lainnya adalah migrasi paksa. Istilah tersebut bersanding dengan genosida atau pembersihan etnis, yang melibatkan pembunuhan orang berdasarkan pada keanggotaan dalam kelompok rasial atau etnis ketimbang ideologi politik.[1]

^ Asal dan evolusi konsep dalam Encyclopedia Science oleh Net Industries menyatakan "Politicide, AS [Barbara] Harff dan [Ted R.] Gurr mendefinisikannya, mengacu pada pembunuhan kelompok orang yang ditargetkan bukan karena etnis bersama atau tidak. Ciri-ciri komunal, tetapi karena 'posisi hierarkis mereka atau oposisi politik terhadap rezim dan kelompok dominan' (hal. 360) ". Referensi ini tidak memberikan judul buku untuk pergi dengan nomor halaman.

 

id.wikipedia.org

Genosida Timor Timur

Kontributor dari proyek Wikimedia.

34-43 minutes


Genosida Timor Leste

Bagian dari Pendudukan Indonesia di Timor Leste


Pembantaian Santa Cruz terjadi di tengah prosesi pemakaman SebastiĆ£o Gomes tahun 1991.

Lokasi

Timor Leste di bawah
pendudukan Indonesia

Tanggal

Pendudukan berlangsung tahun 1975 sampai 1999, tetapi sebagian besar pembunuhan massal terjadi tahun 1970-an

Sasaran

Menundukkan secara paksa bangsa Timor Leste ke pemerintah Indonesia

Jenis serangan

Penghilangan paksa, Pembantaian genosidal

Korban tewas

Perkiraan total korban tewas berkisar antara 100.000–300.000 jiwa

 

Bagian dari seri tentang

Genosida

Isu

Genosida pribumi

Kolonisasi Amerika oleh bangsa Eropa

Genosida Soviet

Pembersihan etnis di Uni Soviet

Holokaus Nazi dan genosida (1941–1945)

Perang Dingin

Genosida kontemporer

Topik terkait

Kategori

Genosida Timor Leste mengacu pada aktivitas teror berkedok "kampanye pendamaian" oleh pemerintah Indonesia saat menduduki Timor Leste. Para akademisi Universitas Oxford secara konsesus menyebut pendudukan Indonesia di Timor Leste sebagai genosida. Universitas Yale mengajarkan peristiwa ini dalam program studi Kajian Genosida.[1][2]

Serbuan awal[sunting | sunting sumber]

Sejak awal penyerbuan pada Agustus 1975 dan seterusnya, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terlibat dalam pembunuhan massal warga sipil Timor Leste.[3] Pada awal masa pendudukan, radio FRETILIN menyiarkan pernyataan berikut ini: "Tentara Indonesia membunuh tanpa ampun. Perempuan dan anak-anak ditembak di jalanan. Kita semua akan dibunuh.... Ini adalah permohonan bantuan internasional. Tolong lakukan sesuatu agar penyerbuan ini berhenti."[4] Seorang pengungsi asal Timor menyaksikan "pemberontakan [dan] pembunuhan berdarah dingin terhadap perempuan dan anak-anak dan pemilik toko Tionghoa".[5] Uskup Dili saat itu, Martinho da Costa Lopes, mengatakan, "Para tentara yang mendarat mulai membunuh semua orang yang mereka jumpai. Ada banyak tubuh bergelimpangan di jalanan. Di mana-mana kami hanya melihat tentara sedang membunuh, membunuh, membunuh."[6] Dalam satu insiden, sekitar lima puluh laki-laki, perempuan, dan anak-anak, termasuk wartawan lepas asal Australia Roger East, dibariskan menghadap tebing di luar kota Dili dan ditembak; semua jasad jatuh ke laut.[7] Banyak pembantaian terjadi di Dili. Saksi disuruh melihat dan menghitung keras-keras setiap kali ada orang yang dieksekusi.[8] Kurang lebih 2.000 penduduk Timor dibantai pada dua hari pertama penyerbuan Dili. Selain pendukung Fretilin, pendatang Tionghoa juga dieksekusi; lima ratus orang dibunuh pada hari pertama.[9]

Pembunuhan massal berlanjut tanpa henti ketika militer Indonesia memasuki daerah pegunungan Timor Leste yang dikuasai Fretilin. Seorang pemandu asal Timor yang bekerja untuk perwira senior Indonesia memberitahu mantan Konsul Australia untuk Timor Portugis, James Dunn, bahwa pada bulan-bulan pertama pertempuran, TNI "membunuh sebagian besar orang Timor yang mereka temui."[10] Pada Februari 1976, setelah menguasai desa Aileu di selatan Dili dan memukul mundur pasukan Fretilin, tentara Indonesia menembaki sebagian besar penduduk desa, konon menembak semua orang di atas usia tiga tahun. Anak-anak kecil yang dibiarkan hidup dibawa ke Dili menggunakan truk. Ketika Aileu jatuh ke tangan TNI, jumlah penduduknya sekitar 5.000 jiwa. Ketika pekerja sosial Indonesia mengunjungi Aileu bulan September 1976, jumlah penduduknya tinggal 1.000 jiwa.[11] Pada Juni 1976, TNI yang terpukul oleh serangan Fretilin melancarkan balas dendam terhadap kamp pengungsi besar yang dihuni 5.000 sampai 6.000 orang Timor di Lamaknan, dekat perbatasan Timor Barat. Setelah membakar beberapa rumah, tentara Indonesia membantai kurang lebih 2.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak.[12]

Pada Maret 1977, mantan konsul Australia, James Dunn, menerbitkan laporan yang merincikan tuduhan militer Indonesia telah membunuh antara 50.000 sampai 100.000 warga sipil Timor Leste sejak Desember 1975.[13] Jumlah ini konsisten dengan pernyataan pemimpin UDT, Lopez da Cruz, pada 13 Februari 1976 bahwa 60.000 warga Timor Leste tewas sepanjang perang saudara enam bulan sebelumnya dan 55.000 orang tewas pada dua bulan pertama penyerbuan oleh Indonesia. Perwakilan pekerja sosial Indonesia di Timor Leste membenarkan jumlah tersebut.[14] Laporan Gereja Katolik pada akhir 1976 juga memperkirakan jumlah korban tewas antara 60.000 sampai 100.000 jiwa.[15] Angka ini juga diperkuat oleh statistik pemerintah Indonesia. Dalam wawancara tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Adam Malik mengatakan bahwa jumlah korban tewas sebanyak "50.000 jiwa atau mungkin 80.000 jiwa".[16]

Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa aneksasi Timor Leste bertujuan mewujudkan persatuan antikolonialisme. Buku panduan Departemen Luar Negeri Indonesia tahun 1977, Decolonization in East Timor, menghormati "hak penentuan nasib sendiri yang sakral"[17] dan mengakui APODETI sebagai perwakilan mayoritas rakyat Timor Leste yang sesungguhnya. Deplu mengklaim bahwa FRETILIN populer karena "sering mengancam, memeras, dan meneror".[18] Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas, menegaskan kembali sikap tersebut dalam memoar tahun 2006 yang berjudul The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor.[19] Menurut pemerintah Indonesia, pembagian pulau menjadi timur dan barat "disebabkan oleh penindasan kolonial" oleh kekuatan imperial Portugal dan Belanda. Karena itu, menurut pemerintah Indonesia, aneksasi provinsi ke-27 adalah salah satu langkah untuk mempersatukan kepulauan Nusantara yang telah dimulai sejak 1904-an.[20]

Relokasi dan kelaparan paksa[sunting | sunting sumber]

Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a2/Viqueque_monument.jpg/220px-Viqueque_monument.jpg

Karena ladang pertanian rusak, banyak warga sipil yang terpaksa turun gunung dan menyerah kepada TNI. Setelah mereka turun ke dataran rendah untuk menyerah, biasanya mereka langsung dieksekusi. Warga yang tidak dieksekusi dibawa ke kamp transit yang dibangun jauh-jauh hari. Kamp-kamp ini terletak dekat pangkalan militer daerah. TNI "menyaring" penduduk untuk menemukan anggota pemberontak, biasanya dibantu kolaborator asal Timor. Di kamp-kamp transit ini, warga sipil yang menyerah dicatat dan diinterogasi. Orang-orang yang diduga anggota pemberontak ditahan dan dibunuh.[21]

Kamp ini umumnya terdiri atas bangunan jerami tanpa toilet. Selain itu, militer Indonesia melarang Palang Merah mengirim bantuan kemanusiaan. Para tahanan juga tidak mendapat layanan kesehatan. Akibatnya, banyak orang Timor—lemah karena lapar dan diberi jatah makanan yang sangat sedikit—meninggal karena kekurangan gizi, kolera, diare, dan tuberkulosis. Pada akhir 1979, sekitar 300.000 sampai 370.000 orang Timor pernah ditahan di kamp ini.[22] Setelah tiga bulan, tahanan dipindahkan ke "desa strategis" untuk diawasi dan dibiarkan kelaparan.[23][23] Mereka tidak boleh bepergian dan bercocok tanam dan harus mematuhi jam malam.[24] Laporan komisi kebenaran PBB menunjukkan bukti penerapan kelaparan paksa oleh militer Indonesia untuk memusnahkan warga sipil Timor Leste. Laporan tersebut juga menambahkan bahwa banyak orang yang "jelas-jelas tidak diperbolehkan makan dan mencari sumber makanan". Laporan ini mengutip kesaksian orang-orang yang tidak diperbolehkan makan dan menjabarkan perusakan ladang dan ternak oleh tentara Indonesia.[25] Laporan ini menyimpulkan bahwa kebijakan kelaparan paksa menewaskan 84.200 sampai 183.000 penduduk Timor Leste.[26] Seorang pekerja gereja melaporkan bahwa 500 warga Timor Leste mati kelaparan setiap bulan di satu distrik.[27]

World Vision Indonesia mengunjungi Timor Leste bulan Oktober 1978 dan mengklaim bahwa 70.000 penduduk Timor Leste terancam kelaparan.[28] Utusan International Committee of the Red Cross melaporkan pada tahun 1979 bahwa 80 persen penghuni kamp kekurangan gizi. Suasana saat itu digambarkan "separah Biafra".[29] ICRC mengingatkan bahwa "puluhan ribu orang" terancam kelaparan.[30] Indonesia mengumumkan bahwa Palang Merah Indonesia (PMI) sedang berusaha memulihkan krisis ini, tetapi lembaga Action for World Development menuduh bahwa PMI menjual bantuan yang disumbangkan.[27]

Operasi pendamaian Indonesia[sunting | sunting sumber]

Operasi Keamanan: 1981–82[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1981, militer Indonesia melancarkan Operasi Keamanan yang juga dijuluki "operasi pagar betis". Dalam operasi ini, TNI merekrut 50.000 sampai 80.000 pemuda Timor Leste untuk berbaris ke pegunungan dan menjadi tameng hidup untuk mencegah serangan balasan FRETILIN. Tujuan TNI adalah menyapu bersih pemberontak di daerah tengah Timor Leste. Banyak pemuda dalam operasi ini yang meninggal kelaparan, kelelahan, atau ditembak oleh TNI karena membiarkan pemberontak kabur. Ketika "pagar betis" ini mengepung desa, TNI membantai warga sipil dalam jumlah yang tidak diketahui. Sedikitnya 400 warga desa dibantai di Lacluta oleh Batalyon 744 Angkatan Darat Indonesia pada September 1981. Seorang saksi mata yang bersaksi di hadapan Senat Australia mengatakan bahwa tentara dengan sengaja membunuh anak-anak kecil dengan cara menghantamkan kepala mereka ke batu.[31] Operasi ini gagal meredam pemberontakan. Penolakan masyarakat terhadap pendudukan Indonesia semakin kuat.[32] Ketika tentara FRETILIN di pegunungan melanjutkan serangan sporadisnya, pasukan Indonesia melancarkan serangkaian operasi untuk meredamnya selama sepuluh tahun berikutnya. Sementara itu, di berbagai kota dan desa, gerakan pemberontakan damai (pasif) mulai terbentuk.[33]

Operasi Sapu Bersih: 1983[sunting | sunting sumber]

Gagalnya rangkaian operasi kontrapemberontak memaksa petinggi militer Indonesia memerintahkan Komandan Resor Militer Dili, Kolonel Purwanto, merintis dialog perdamaian dengan Komandan FRETILIN, Xanana GusmĆ£o, di wilayah yang dikendalikan FRETILIN pada Maret 1983. Ketika Xanana menginginkan agar Portugal dan PBB dilibatkan dalam dialog ini, Komandan TNI Benny Moerdani membatalkan gencatan senjata dengan mengumumkan serangan kontrapemberontak baru bernama "Operasi Sapu Bersih" pada Agustus 1983. Ia mengatakan, "Tidak boleh main-main lagi. Kali ini kita akan memusnahkan mereka tanpa ampun."[34]

Batalnya gencatan senjata diikuti oleh gelombang pembantaian, eksekusi di tempat, dan "penghilangan" baru oleh militer Indonesia. Pada Agustus 1983, 200 orang dibakar hidup-hidup di desa Creras. 500 orang lainnya dibunuh di sungai di daerah itu.[31] Pada Agustus hingga Desember 1983, Amnesty International mencatat pengangkapan dan "penghilangan" lebih dari 600 orang di ibu kota. Kerabat diberitahu oleh TNI bahwa orang-orang yang "menghilang" dibawa ke Bali.[35]

Orang-orang yang diduga menolak integrasi biasanya ditangkap dan disiksa.[36] Pada tahun 1983, Amnesty International merilis buku panduan militer Indonesia yang diperoleh di Timor Leste. Buku tersebut mengajarkan cara memancing kegelisahan fisik dan mental dan mewanti-wanti tentara untuk "tidak mengambil foto yang menampilkan penyiksaan (terhadap seseorang yang disetrum, ditelanjangi, dan lain-lain)".[37] Dalam memoar tahun 1997, East Timor's Unfinished Struggle: Inside the Timorese Resistance, ConstĆ¢ncio Pinto menggambarkan penyiksaannya oleh tentara Indonesia: "Untuk setiap pertanyaan, wajah saya ditonjok dua atau tiga kali. Ketika seseorang menonjokmu seperti itu, wajahmu terasa hancur. Mereka memukul punggung dan pinggang saya dengan tangan, lalu menendang saya.... [Di tempat lain] mereka menyiksa saya secara psikologis; mereka tidak memukul, tetapi benar-benar mengancam akan membunuh saya. Mereka bahkan meletakkan pistol di meja."[38] Dalam buku Michele Turner yang berjudul Telling East Timor: Personal Testimonies 1942–1992, seorang perempuan bernama FĆ”tima menggambarkan penyiksaan di sebuah penjara di Dili: "Mereka memaksa tahanan duduk di kursi, tetapi kursinya menindih jempol kaki mereka. Gila memang. Para tentara mengencingi makanan dan mengaduk-aduknya sebelum diserahkan kepada tahanan. Mereka menyetrum tahanan menggunakan mesin listrik...."[39]

Kekerasan terhadap perempuan[sunting | sunting sumber]

Kekerasan terhadap perempuan oleh militer Indonesia di Timor Leste sangat banyak dan terdokumentasikan dengan baik.[40] Selain mengalami penangkapan sepihak, penyiksaan, dan eksekusi tanpa pengadilan, perempuan-perempuan ini diperkosa dan dilecehkan secara seksual—kadang hanya karena memiliki hubungan dengan seorang aktivis kemerdekaan. Lingkup persoalannya sulit ditentukan karena militer sangat berkuasa saat pendudukan Timor Leste ditambah rasa malu yang dialami korban. Dalam laporan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dan Timor Leste tahun 1995, Amnesty International USA menulis: "Para perempuan enggan menyampaikan informasi tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada lembaga swadaya masyarakat ataupun melaporkan pelanggaran kepada militer atau polisi."[41]

Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam bentuk perundungan, intimidasi, dan pernikahan paksa. Laporan Amnesty mencantumkan kasus seorang perempuan yang dipaksa tinggal bersama seorang komandan di Baucau, kemudian dilecehkan setiap hari oleh tentara setelah dibebaskan.[41] "Pernikahan" seperti ini lumrah pada masa pendudukan di Timor Leste.[42] Sejumlah perempuan juga didorong mengikuti prosedur sterilisasi. Beberapa di antaranya dipaksa menelan obat kontraseptif Depo Provera dan tidak diberitahu kegunaannya.[43]

Pada tahun 1999, Rebecca Winters menerbitkan buku berjudul Buibere: Voice of East Timorese Women yang menceritakan kisah-kisah pribadi tentang kekerasan dan pelecehan sejak hari-hari pertama pendudukan di Timor Leste. Seorang perempuan mengaku diinterogasi dalam keadaan setengah telanjang, disiksa, dilecehkan, dan diancam akan dibunuh.[44] Seorang perempuan lain mengaku kaki dan tangannya dirantai, diperkosa berkali-kali, dan diinterogasi selama beberapa pekan.[45] Seorang perempuan yang menyiapkan makanan untuk pemberontak FRETILIN ditangkap, disundut rokok, disetrum, dan dipaksa berjalan telanjang melewati kumpulan tentara dan disuruh masuk tank yang dipenuhi air kencing dan kotoran manusia.[46]

Pembantaian Santa Cruz[sunting | sunting sumber]

Pada misa pemakaman tanggal 12 November 1991, untuk mengenang seorang pemuda pro-kemerdekaan ditembak oleh tentara Indonesia, pengunjuk rasa di tengah kerumunan berjumlah 2.500 orang membentangkan bendera dan panji Fretilin dengan slogan pro-kemerdekaan dan meneriakkan yel-yel dengan damai.[47] Usai konfrontasi singkat antara tentara Indonesia dan pengunjuk rasa,[48] 200 tentara Indonesia melepaskan tembakan ke kerumunan dan menewaskan sedikitnya 200 warga Timor Leste.[49]

Kesaksian warga asing di pemakaman tersebut segera diliput oleh organisasi berita internasional. Rekaman pembantaian disiarkan[50] dan memancing kemarahan di seluruh dunia.[51] Menanggapi pembantaian ini, aktivis di seluruh dunia bersimpati dengan rakyat Timor Leste. Mereka menuntut penentuan nasib sendiri di Timor Leste.[52] TAPOL, organisasi Britania Raya yang dibentuk tahun 1972 untuk mendukung demokrasi di Indonesia, mengalihkan fokus aktivitasnya ke Timor Leste. Di Amerika Serikat, East Timor Action Network (kini East Timor and Indonesia Action Network) didirikan dan memiliki cabang di sepuluh kota di sana.[53] Kelompok solidaritas lain juga didirikan di Portugal, Australia, Jepang, Jerman, Malaysia, Irlandia, dan Brasil.

Liputan pembantaian ini menjadi contoh bagaimana pertumbuhan media baru di Indonesia mempersulit Orde Baru mengontrol arus informasi ke dalam dan luar Indonesia. Selain itu, pada era pasca-Perang Dingin tahun 1990-an, pemerintah Indonesia menjadi sorotan dunia internasional.[54] Sejumlah perkumpulan mahasiswa pro-demokrasi beserta majalah secara terbuka dan kritis membahas Timor Leste, Orde Baru, serta sejarah dan masa depan Indonesia.[52][54][55]

Kecaman keras terhadap militer Indonesia berdatangan, tidak hanya dari komunitas internasional, tetapi juga para petinggi pemerintahan Indonesia. Pembantaian ini mengakhiri penyerbuan Indonesia di Timor Leste tahun 1989. Gelombang penindasan baru pun dimulai.[56] Warouw dipecat dan pendekatannya yang lebih lunak kepada pemberontak Timor ditolak oleh atasannya. Para terduga simpatisan Fretilin ditangkap, pelanggaran HAM meroket, dan larangan wartawan asing diberlakukan kembali. Penduduk Timor semakin benci dengan kehadiran militer Indonesia di daerahnya.[57] Kopassus Grup 3 pimpinan Mayor Jenderal Prabowo melatih geng-geng militer berjaket hitam untuk meredam sisa-sisa pemberontakan.[56]

Jumlah korban tewas[sunting | sunting sumber]

Jumlah korban tewas pastinya sulit ditentukan. Laporan Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR) PBB memperkirakan jumlah minimal korban tewas terkait konflik mencapai 102.800 (+/- 12.000) jiwa. Dari angka tersebut, kurang lebih 18.600 (+/-1.000) di antaranya dibunuh atau menghilang dan kurang lebih 84.000 (+/-11.000) orang lainnya meninggal akibat kelaparan atau penyakit (melebihi angka kematian pada masa damai). Angka ini merupakan perkiraan konservatif minimal yang disebut sebagai temuan utama ilmiah oleh CAVR. Laporan ini tidak mencantumkan batas atas, tetapi CAVR berspekulasi bahwa total korban tewas akibat kelaparan dan penyakit yang dipicu konflik bisa mencapai 183.000 jiwa.[58] Komisi Kebenaran menetapkan TNI sebagai pihak yang bertanggung jawab atas 70% kasus pembunuhan pada masa konflik di Timor Leste.[59]

Ben Kiernan mengatakan bahwa "angka 150.000 jiwa mendekati jumlah korban tewas yang sesungguhnya," tetapi peneliti lain juga memperkirakan 200.000 jiwa atau lebih.[60] Center for Defense Information juga memperkirakan hampir 150.000 orang tewas.[61] Pada tahun 1974, Gereja Katolik memperkirakan jumlah penduduk Timor Leste sebanyak 688.711 jiwa; pada tahun 1982, Gereja hanya memperkirakan jumlah penduduk sebanyak 425.000 jiwa. Dari kedua jumlah tersebut, tampak bahwa kurang lebih 200.000 orang tewas pada masa pendudukan. Angka ini digunakan oleh laporan berita di seluruh dunia.[62] Sumber-sumber lain seperti Amnesty International dan Human Rights Watch juga membenarkan angka korban tewas sebanyak 200.000 jiwa.[63]

Menurut Gabriel Defert, berdasarkan data statistik pemerintah Portugal dan Indonesia serta Gereja Katolik, antara Desember 1975 dan Desember 1981, kurang lebih 300.000 warga Timor tewas; jumlah ini mewakili 44% populasi Timor Leste pra-invasi.[64] George Aditjondro dari Universitas Salatiga mendalami data TNI dan menemukan bahwa 300.000 orang Timor tewas pada tahun-tahun pertama invasi di Timor Leste.[65]

Robert Cribb dari Universitas Nasional Australia berpendapat bahwa jumlah korban tewas terlalu dilebih-lebihkan. Menurutnya, angka 555.350 penduduk yang diperoleh dari sensus 1980, disebut-sebut sebagai "sumber yang paling bisa diandalkan", mungkin merupakan perhitungan paling sedikit (minimum). Ia menulis, "Perlu diketahui bahwa ratusan ribu orang Timor Leste menghilang semasa kekerasan September 1999, lalu muncul kembali." Sensus 1980 menjadi usang karena sensus 1987 menghitung 657.411 penduduk Timor. Angka tersebut memerlukan pertumbuhan sebesar 2,5% per tahun, nyaris identik dengan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi di Timor Leste sejak 1970 sampai 1975. Pertumbuhan seperti ini mustahil karena pendudukan Indonesia berlangsung dengan sangat brutal, bahkan sampai mencegah reproduksi penduduk. Karena tidak banyak kesaksian pribadi tentang kekejaman atau trauma yang dialami tentara Indonesia, ia menambahkan bahwa Timor Leste "tampaknya—menurut laporan berita dan penelitian akademik—bukan masyarakat yang mudah trauma akibat kematian massal... [S]uasana menjelang pembantaian Dili tahun 1991...menunjukkan sebuah masyarakat yang tetap tegar dan marah, sikap yang tidak mungkin ada apabila [Timor Leste] diperlakukan layaknya Kamboja era Pol Pot." Strategi militer Indonesia bertujuan merebut "hati dan pikiran" rakyat, strategi yang tidak cocok as dengan dugaan pembunuhan massal.[66]

Berangkat dari jumlah penduduk sebesar 700.000 jiwa tahun 1975 (menurut sensus Gereja Katolik 1974), Kiernan memperkirakan jumlah penduduk 735,000 jiwa pada tahun 1980 (dengan asumsi pertumbuhan hanya berkisar 1% per tahun akibat invasi Indonesia). Ia menganggap jumlah korban versi Cribb sebesar 10% (55.000 jiwa) terlalu sedikit. Kiernan memperkirakan bahwa kurang lebih 180.000 orang tewas dalam perang ini.[67] Cribb berpendapat bahwa pertumbuhan 3% yang dicantumkan oleh sensus 1974 terlalu tinggi. Faktanya, gereja hanya memperkirakan pertumbuhan sebesar 1,8% sehingga jumlah penduduknya sama dengan angka sensus Portugal tahun 1974, yaitu 635.000 jiwa.

Meski Cribb menegaskan bahwa hasil sensus Portugal hampir pasti terlalu sedikit,[67] ia yakin bahwa angkanya lebih akurat daripada sensus Gereja Katolik karena upaya gereja untuk melebih-lebihkan total populasi "membuktikan bahwa pengaruh gereja belum merambah seluruh masyarakat [Timor Leste]" (umat Katolik berjumlah kurang dari separuh penduduk Timor Leste). Apabila angka pertumbuhannya setara dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, jumlah penduduk yang lebih akurat adalah 680.000 jiwa tahun 1975 dan perkiraan jumlah penduduk lebih dari 775.000 tahun 1980 (tanpa menghitung turunnya angka kelahiran akibat pendudukan Indonesia).[67] Selisihnya mendekati 200.000 jiwa. Menurut Cribb, kebijakan Indonesia membatasi angka kelahiran hingga 50% atau lebih. Karena itu, sekitar 45.000 orang tidak pernah lahir, bukan dibunuh; 55.000 warga Timor lainnya "hilang" karena menghindari petugas pemerintah Indonesia yang melakukan sensus 1980.[68] Sejumlah faktor—mengungsinya puluhan ribu orang untuk menghindari FRETILIN tahun 1974-5; tewasnya ribuan orang dalam perang saudara; tewasnya kombatan pada masa pendudukan; pembunuhan oleh FRETILIN; dan bencana alam—semakin mengurangi jumlah korban sipil yang ditimbulkan oleh serangan militer Indonesia waktu itu.[68] Setelah mempertimbangkan data-data tersebut, Cribb memilih jumlah korban yang lebih sedikit, yaitu 100.000 jiwa atau kurang, dengan jumlah minimal 60.000 jiwa. Ia juga berpendapat bahwa sepersepuluh warga sipil meninggal secara tidak alamiah pada tahun 1975–80.[69]

Namun, Kiernan menegaskan bahwa datangnya pekerja migran pada masa pendudukan Indonesia dan naiknya angka pertumbuhan penduduk yang mencerminkan krisis mortalitas memperkuat hasil sensus 1980 meski bertentangan dengan perkiraan 1987. Selain itu, sensus gereja tahun 1974—walaupun hasilnya "semaksimal mungkin"—tidak bisa diabaikan karena kurangnya pengaruh gereja di Timor Leste bisa jadi menghasilkan angka populasi yang lebih sedikit.[67] Ia menyimpulkan bahwa kurang lebih 116.000 kombatan dan warga sipil tewas oleh serangan kedua belah pihak atau meninggal secara "tidak alamiah" pada tahun 1975–80 (apabila ini benar, artinya 15% warga sipil Timor Leste meninggal dunia pada tahun 1975–80).[67] F. Hiorth secara terpisah memperkirakan bahwa 13% (95.000 dari 730.000 jiwa apabila menghitung penurunan angka kelahiran) warga sipil meninggal pada tahun-tahun tersebut.[68] Kiernan percaya bahwa selisihnya sangat mungkin mencapai 145.000 jiwa atau 20% penduduk Timor Leste apabila menghitung penurunan angka kelahiran.[67] Rerata jumlah korban tewas menurut laporan PBB adalah 146.000 jiwa; R.J. Rummel, analis pembunuhan politis, memperkirakan 150.000 orang tewas.[70]

Banyak pengamat yang menggolongkan aksi militer Indonesia di Timor Leste sebagai contoh genosida.[71] Rapat akademisi Oxford menetapkan bahwa peristiwa ini adalah genosida dan Universitas Yale mengajarkan peristiwa ini dalam program studi Kajian Genosida.[1][2] Dalam kajian makna hukum kata "genosida" serta kesesuaiannya untuk menyebut pendudukan di Timor Leste, pakar hukum Ben Saul mengatakan bahwa karena tidak ada kelompok yang diakui oleh hukum internasional yang menjadi target militer Indonesia, peristiwa ini tidak bisa disebut genosida. Namun, ia juga mengatakan, "Konflik di Timor Leste lebih tepat disebut sebagai genosida terhadap sebuah 'kelompok politik' atau 'genosida budaya', tetapi kedua konsep ini tidak diakui secara eksplisit dalam hukum internasional."[72] Pendudukan di Timor Leste disejajarkan dengan pembantaian oleh Khmer Merah, Perang Yugoslavia, dan Genosida Rwanda.[73]

Jumlah korban tewas dari pihak Indonesia terdokumentasikan secara akurat. Nama-nama 2.300-an tentara Indonesia dan milisi pro-Indonesia yang meninggal dalam tugas dan meninggal akibat penyakit dan kecelakaan pada masa pendudukan dipahat di Monumen Seroja di Markas TNI, Cilangkap, Jakarta Selatan.[74]

Film[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Payaslian, Simon. "20th Century Genocides". Oxford bibliographies.
  2. ^ a b "Genocide Studies Program: East Timor". Yale.edu.
  3. ^ Hill, p. 210.
  4. ^ Dikutip dalam Budiardjo dan Liong, p. 15.
  5. ^ Dikutip dalam Ramos-Horta, p. 108.
  6. ^ Dikutip dalam Taylor (1991), p. 68.
  7. ^ Ramos-Horta, pp. 101–02.
  8. ^ Taylor (1991), p. 68.
  9. ^ Taylor (1991), p. 69; Dunn (1996), p. 253.
  10. ^ Timor: A People Betrayed, James Dunn, 1983 p. 293, 303
  11. ^ Taylor (1991), p. 80-81
  12. ^ Dunn, p. 303
  13. ^ "A Quarter Century of US Support for Occupation: National Security Archive Electronic Briefing Book No. 174".
  14. ^ Taylor (1991), p. 71.
  15. ^ Dunn, p. 310, Notes on Timor
  16. ^ Dikutip dalam Turner, p. 207.
  17. ^ Indonesia (1977), p. 16.
  18. ^ Indonesia (1977), p. 21.
  19. ^ Alatas, pp. 18–19.
  20. ^ Indonesia (1977), p. 19.
  21. ^ CAVR, ch. 7.3, pp. 41–44.
  22. ^ Deborah Mayersen, Annie Pohlman (2013). Genocide and Mass Atrocities in Asia: Legacies and Prevention. Routledge. hlm. 56.
  23. ^ a b CAVR, ch. 7, p. 50; Taylor, pp. 88–89; Dunn (1996), pp. 290–291
  24. ^ Taylor (1991), pp. 92–98.
  25. ^ CAVR, ch. 7.3, pp 146–147.
  26. ^ CAVR, ch. 7.3, p. 146.
  27. ^ a b Kohen and Taylor, pp. 54–56.
  28. ^ CAVR, ch. 7.3, p. 72.
  29. ^ Dikutip dalam Taylor (1991), p. 97.
  30. ^ Taylor (1991), p. 203.
  31. ^ a b Taylor, pp. 101–102; Nevins, p. 30; Budiardjo and Liong, pp. 127–128; Amnesty (1985), p. 23; Dunn, p. 299.
  32. ^ Budiardjo and Liong, pp. 41–43; Dunn (1996), p. 301.
  33. ^ Dunn (1996), pp. 303–304.
  34. ^ Sinar Harapan, 17 August 1983, dikutip dalam Taylor 1991: 142
  35. ^ East Timor, Violations of Human Rights: Extrajudicial Executions, "Disappearances", Torture and Political Imprisonment, 1975–1984, p. 40
  36. ^ Amnesty (1985), pp. 53–59; Turner, p. 125; Kohen and Taylor, p. 90; Budiardjo and Liong, pp. 131–135.
  37. ^ Amnesty (1985), pp. 53–54.
  38. ^ Pinto, pp. 142–148.
  39. ^ Turner, p. 143.
  40. ^ Amnesty (1995); Winters; Budiardjo and Liong, p. 132; Jardine, pp. 33–34; Aditjondro (1998).
  41. ^ a b Amnesty (1995), p. 14.
  42. ^ Aditjondro (1998), pp. 256–260.
  43. ^ Taylor (1991), pp. 158–160.
  44. ^ Winters, pp. 11–12.
  45. ^ Winters, pp. 24–26.
  46. ^ Winters, pp. 85–90.
  47. ^ Schwarz (1994), p. 212
  48. ^ Two soldiers were stabbed under disputed circumstances.(Schwarz (1994), p. 212; Pinto and Jardine, p. 191.) Soldiers said the attacks were unprovoked. Stahl claims stabbed Officer Lantara had attacked a girl carrying the flag of East Timor, and FRETILIN activist ConstĆ¢ncio Pinto reports eyewitness accounts of beatings from Indonesian soldiers and police. Kubiak, W. David. "20 Years of Terror: Indonesia in Timor – An Angry Education with Max Stahl". Kyoto Journal. 28. Reprinted at The Forum of Democratic Leaders in the Asia-Pacific. Retrieved 14 February 2008.
  49. ^ Carey, p. 51; Jardine, p. 16. The Portuguese solidarity group A Paz Ć© PossĆ­vel em Timor Leste compiled a careful survey of the massacre's victims, listing 271 killed, 278 wounded, and 270 "disappeared".
  50. ^ Schwarz (1994), p. 212-213
  51. ^ Jardine, pp. 16–17; Carey, pp. 52–53.
  52. ^ a b Jardine, pp. 67–69.
  53. ^ "About ETAN". East Timor Action Network. Retrieved 18 February 2008.
  54. ^ a b Vickers (2005), pp. 200–201
  55. ^ CIIR, pp. 62–63; Dunn, p. 311.
  56. ^ a b Friend (2003), p. 433.
  57. ^ Schwarz (1994), pp. 216, 218, 219.
  58. ^ Conflict-related Deaths in Timor Leste, 1954–1999. The Findings of the CAVR Report Chega!
  59. ^ Chega! The CAVR Report Diarsipkan May 13, 2012, di Wayback Machine.
  60. ^ Kiernan, p. 594.
  61. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-22. Diakses tanggal 2010-07-03.
  62. ^ Dunn, pp. 283–285; Budiardjo and Liong, pp. 49–51
  63. ^ Asia Watch, Human Rights in Indonesia and East Timor, Human Rights Watch, New York, 1989, p. 253.
  64. ^ Pilger, John (1998). Hidden Agendas. hlm. 284.
  65. ^ CIIR Report, International Law and the Question of East Timor, Catholic Institute of International Relations/IPJET, London, 1995.
  66. ^ How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965–1966) and East Timor (1975–1980) Diarsipkan 2020-05-14 di Wayback Machine.. Works.bepress.com (15 February 2008).
  67. ^ a b c d e f "Archived copy" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-02-27. Diakses tanggal 2008-02-18.
  68. ^ a b c http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1001&context=robert_cribb[pranala nonaktif permanen]
  69. ^ http://works.bepress.com/robert_cribb/2/ Diarsipkan 2020-05-14 di Wayback Machine. How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965–1966) and East Timor (1975–1980)
  70. ^ http://www.hawaii.edu/powerkills/SOD.TAB14.1C.GIF
  71. ^ Jardine; Taylor (1991), p. ix; Nevins cites a wide variety of sources discussing the question of genocide in East Timor, on p. 217–218.
  72. ^ Saul, Ben. "Was the Conflict in East Timor ‘Genocide’ and Why Does It Matter?". Melbourne Journal of International Law. 2:2 (2001). Retrieved 17 February 2008.
  73. ^ Budiardjo and Liong, p. 49; CIIR, p. 117.
  74. ^ "Selayang Pandang Monumen Seroja" [Seroja Monument at a Glance]. Pelita.or.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 November 2016.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Aditjondro, George. "Prospects for development in East Timor after the capture of Xanana GusmĆ£o". International Law and the Question of East Timor. London: Catholic Institute for International Relations, 1995. ISBN 1-85287-129-6. pp. 50–63.
  • Aditjondro, George. "The Silent Suffering of Our Timorese Sisters". Free East Timor: Australia's Culpability in East Timor's Genocide. Random House Milsons Point: Australia Pty Ltd, 1998. ISBN 0-09-183917-3 pp. 243–265.
  • Amnesty International. East Timor Violations of Human Rights: Extrajudicial Executions, "Disappearances", Torture and Political Imprisonment, 1975–1984. London: Amnesty International Publications, 1985. ISBN 0-86210-085-2.
  • Amnesty International. East Timor: The Santa Cruz Massacre. London: Amnesty International, 1991. OCLC 28061998
  • Amnesty International USA. Women in Indonesian & East Timor: Standing Against Repression. New York: Amnesty International USA, 1995. OCLC 34283963
  • Budiardjo, Carmel and Liem Soei Liong. The War against East Timor. London: Zed Books Ltd, 1984. ISBN 0-86232-228-6.
  • Carey, Peter. "Historical Background". Generations of Resistance. By Steve Cox. London: Cassell, 1995. ISBN 0-304-33252-6. pp. 13–55.
  • Chinkin, Christine. "Australia and East Timor in international law". International Law and the Question of East Timor. London: Catholic Institute for International Relations / International Platform of Jurists for East Timor, 1995. ISBN 1-85287-129-6. pp. 269–289.
  • Clark, Roger S. "The 'decolonisation' of East Timor and the United Nations norms on self-determination and aggression". International Law and the Question of East Timor. London: Catholic Institute for International Relations / International Platform of Jurists for East Timor, 1995. ISBN 1-85287-129-6. pp. 65–102.
  • ComissĆ£o de Acolhimento, Verdade e ReconciliaĆ§Ć£o de Timor Leste (CAVR). Chega! The Report of the Commission for Reception, Truth and Reconciliation. Dili, East Timor: 2005. Online at East Timor & Indonesia Action Network. Retrieved 11 February 2008.
  • Dunn, James (1996). Timor: A People Betrayed. Sydney: Australian Broadcasting Corporation. ISBN 0-7333-0537-7.
  • Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. ISBN 0-674-01137-6.
  • Horner, David (2001). Making the Australian Defence Force. The Australian Centenary History of Defence. Volume IV. Melbourne: Oxford University Press. ISBN 0-19-554117-0.
  • Hainsworth, Paul and McCloskey, Stephen (eds.) The East Timor Question: The Struggle for Independence from Indonesia. New York: I.B. Tauris Publishers, 2000, ISBN 1-86064-408-2
  • Hill, Helen Mary. Fretilin: the origins, ideologies and strategies of a nationalist movement in East Timor. Canberra: Centre for Continuing Education, Australia National University, 1978. OCLC 07747890
  • Indonesia. Department of Foreign Affairs. Decolonization in East Timor. Jakarta: Department of Information, Republic of Indonesia, 1977. OCLC 4458152.
  • Indonesia. Department of Foreign Affairs and Department of Information. The Province of East Timor: Development in Progress. Jakarta: Department of Information, Republic of Indonesia, 1981.
  • Jardine, Matthew. East Timor: Genocide in Paradise. Monroe, ME: Odonian Press, 1999. ISBN 1-878825-22-4.
  • Jolliffe, Jill. East Timor: Nationalism and Colonialism. Queensland: University of Queensland Press, 1978. OCLC 4833990
  • Kiernan, Ben. "The Demography of Genocide in Southeast Asia: The Death Tolls in Cambodia, 1975–79, and East Timor, 1975–80". Critical Asian Studies. 35:4 (2003), 585–597.
  • Kohen, Arnold and John Taylor. An Act of Genocide: Indonesia's Invasion of East Timor. London: TAPOL, 1979. 0-9506751-0-5.
  • Krieger, Heike, ed. East Timor and the International Community: Basic Documents. Melbourne: Cambridge University Press, 1997. ISBN 0-521-58134-6.
  • Marker, Jamsheed (2003). East Timor: A Memoir of the Negotiations for Independence. North Carolina: McFarlnad & Company, Inc. ISBN 0-7864-1571-1.
  • Martin, Ian (2002). Self-Determination In East Timor: The United Nations, The Ballot and International Intervention. International Peace Academy Occasional Paper Series. Boulder: Rienner.
  • Nevins, Joseph (2005). A Not-So-Distant Horror: Mass Violence in East Timor. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014-8984-9.
  • Ramos-Horta, JosĆ©. Funu: The Unfinished Saga of East Timor. Lawrenceville, NJ: The Read Sea Press, 1987. ISBN 0-932415-15-6.
  • Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. ISBN 1-86373-635-2.
  • Smith, M.G. (2003). Peacekeeping in East Timor: The Path to Independence. International Peace Academy Occasional Paper Series. Boulder: Rienner.
  • Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5.
  • Taylor, John G. The Indonesian Occupation of East Timor 1974–1989. London: Catholic Institute for International Relations, 1990. ISBN 1-85287-051-6.
  • Taylor, John G. Indonesia's Forgotten War: The Hidden History of East Timor. London: Zed Books Ltd, 1991. ISBN 1-85649-014-9.
  • Turner, Michele. Telling East Timor: Personal Testimonies 1942–1992. Sydney: University of New South Wales Press Ltd., 1992.
  • Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-6.
  • Wesley-Smith, Rob. "Radio Maubere and Links to East Timor". Free East Timor: Australia's Culpability in East Timor's Genocide. Milsons Point: Random House Australia, 1998. pp. 83–102.
  • Winters, Rebecca. Buibere: Voice of East Timorese Women. Darwin: East Timor International Support Center, 1999. ISBN 0-9577329-3-7.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

id.wikipedia.org

Pembunuhan massal anti-komunis

Kontributor dari proyek Wikimedia.

1-2 minutes


Artikel ini merupakan bagian dari
seri mengenai:

Komunisme

Description: Bintang merah

Konsep[tampilkan]

Aspek [tampilkan]

Jenis [tampilkan]

Internasionale [tampilkan]

Tokoh [tampilkan]

Hal terkait [tampilkan]

Pembunuhan massal anti-komunis adalah pembunuhan massal terhadap komunis, terduga komunis atau terguga pendukung mereka oleh masyarakat, organisasi politik dan pemerintahan yang menentang komunisme. Gerakan komunis menghadapi perlawnana sejak didirikan dan perlawanan sering kali terorganisir dan berunsur kekerasan.

Asia

Indonesia

Artikel utama: Pembantaian Indonesia 1965–1966

Pembersihan anti-komunis terjadi tak lama setelah kudeta gagal di ibukota Indonesia, Jakarta, yang diduga ditunggangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Perkiraan jumlah orang yang dibunuh oleh tentara Indonesia adalah antara 500.000 dan 1.000.000.[1][2]:3

Referensi

  1. ^ Friend (2003), p. 113.
  2. ^ Robinson, Geoffrey B. (2018). The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66. Princeton University Press. ISBN 9781400888863.

id.wikipedia.org

Pembunuhan massal anti-komunis

Kontributor dari proyek Wikimedia.

1-2 minutes


Artikel ini merupakan bagian dari
seri mengenai:

Komunisme

Description: Bintang merah

Konsep[tampilkan]

Aspek [tampilkan]

Jenis [tampilkan]

Internasionale [tampilkan]

Tokoh [tampilkan]

Hal terkait [tampilkan]

Pembunuhan massal anti-komunis adalah pembunuhan massal terhadap komunis, terduga komunis atau terguga pendukung mereka oleh masyarakat, organisasi politik dan pemerintahan yang menentang komunisme. Gerakan komunis menghadapi perlawnana sejak didirikan dan perlawanan sering kali terorganisir dan berunsur kekerasan.

Asia

Indonesia

Artikel utama: Pembantaian Indonesia 1965–1966

Pembersihan anti-komunis terjadi tak lama setelah kudeta gagal di ibukota Indonesia, Jakarta, yang diduga ditunggangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Perkiraan jumlah orang yang dibunuh oleh tentara Indonesia adalah antara 500.000 dan 1.000.000.[1][2]:3

Referensi

  1. ^ Friend (2003), p. 113.
  2. ^ Robinson, Geoffrey B. (2018). The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66. Princeton University Press. ISBN 9781400888863.

Represi Stalinis di Mongolia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f3/Mn_UB_memorial_IMG_2671.jpg/220px-Mn_UB_memorial_IMG_2671.jpg

Tengkorak korban yang ditembak di kepala, dipajang di museum yang mendokumentasikan peristiwa tersebut

Represi Stalinis di Mongolia (bahasa Mongolia: Š˜Ń… Š„эŠ»Š¼ŃŠ³Š“ŅÆŅÆŠ»ŃŠ»Ń‚, Ikh KhelmegdĆ¼Ć¼lelt, "Penindasan Hebat" ) mengacu pada periode meningkatnya kekerasan politik dan penganiayaan di Republik Rakyat Mongolia antara 1937 dan 1939.[1] Represi adalah bagian dari pembersihan Stalinis (juga dikenal sebagai Pembersihan Besar) yang berlangsung di seluruh Uni Soviet di sekitar waktu yang sama. Penasihat NKVD Soviet, di bawah arahan nominal pemimpin de facto Mongolia Khorloogiin Choibalsan, menganiaya individu dan organisasi yang dianggap sebagai ancaman terhadap revolusi Mongolia dan meningkatnya pengaruh Soviet di negara itu. Seperti di Uni Soviet, metode penindasan termasuk penyiksaan, pengadilan tontonan, eksekusi, dan pemenjaraan di kamp-kamp kerja paksa terpencil. Perkiraannya berbeda, tetapi antara 20.000 dan 35.000 "musuh revolusi" telah dieksekusi, sebuah angka yang mewakili tiga hingga lima persen dari total populasi Mongolia pada saat itu.[2] Para korban termasuk mereka yang dituduh menganut lamaisme, nasionalisme pan-Mongol, dan sentimen pro-Jepang. Pendeta Budha, bangsawan, inteligensia, oposisi politik, dan etnis Buryat dan Kazakh menderita kerugian terbesar.

Daftar isi

Latar belakang

Pendahuluan, 1921-1934

Setelah Revolusi Mongolia tahun 1921, pertikaian di dalam Partai Revolusi Rakyat Mongolia (MPRP) menghasilkan beberapa gelombang pembersihan politik yang kejam, sering dihasut dan dibantu oleh agen-agen Komintern atau Soviet dan penasihat pemerintah. Pada bulan Agustus 1922, Dogsomyn Bodoo, perdana menteri pertama dari periode revolusioner, dan 14 lainnya dieksekusi tanpa pengadilan setelah mengaku di bawah siksaan oleh agen Soviet untuk berkonspirasi untuk menggulingkan pemerintah.[3] Dua tahun kemudian kepala penuduh Bodoo, Soliin Danzan, dieksekusi selama Kongres Pihak Ketiga karena mewakili "kepentingan borjuis".[4] Pada tahun 1928, beberapa anggota MPRP terkemuka termasuk Ajvaagiin Danzan, Jamsrangiin Tseveen, Tseren-Ochiryn Dambadorj, dan Navaandorjiin Jadambaa, dipenjara atau diasingkan dalam pembersihan berskala luas dari orang-orang yang dicurigai sebagai orang sayap kanan ketika negara itu meluncurkan "Periode Kiri" dengan pengambilalihan lahan yang lebih cepat, pengambilalihan lahan, dan penganiayaan terhadap Gereja Buddha. Setelah langkah-langkah drastis itu menghasilkan pemberontakan rakyat di seluruh negeri, beberapa kiri garis keras MPRP termasuk Zolbingiin Shijee, Ɩlziin Badrakh, dan Perdana Menteri Tsengeltiin Jigjidjav disalahkan dan secara resmi dikeluarkan dari partai.[5]

Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/9c/Horloogiyn_Choybalsan.jpg/220px-Horloogiyn_Choybalsan.jpg

Khorloogiin Choibalsan pada 1930-an

Pada 1933-1934, dalam apa yang dianggap sebagai gladi resik bagi penindasan 1937-1939, Sekretaris Jenderal MPRP Jambyn LkhĆ¼mbe dan elemen-elemen MPRP lainnya, khususnya Buryat-Mongol, dituduh melakukan konspirasi dengan mata-mata Jepang. Lebih dari 1.500 orang terlibat dan 56 dieksekusi.[6] Histeria publik atas Peristiwa LkhĆ¼mbe sebagian didorong oleh invasi Jepang terhadap Manchuria yang bertetangga pada 1931. Untuk mempertahankan kemungkinan ekspansi militer Jepang ke Timur Jauh Soviet, Stalin berusaha menstabilkan Mongolia secara politis dengan menghilangkan oposisi terhadap pemerintah yang didukung Soviet dan mengamankan perjanjian untuk mengizinkan penempatan pasukan Tentara Merah di negara itu.

Pembersihan Genden

Perdana Menteri Mongolia Peljidiin Genden, yang jemu dengan dominasi Soviet yang semakin besar, berupaya untuk menunda Perjanjian Gentlemen bilateral tahun 1934 di mana Uni Soviet menjanjikan perlindungan Soviet atas Mongolia dan "Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama" 1936 yang memungkinkan pasukan Soviet ditempatkan di negara itu. Genden juga menolak keras atas rekomendasi Stalin bahwa ia mengangkat komite urusan dalam negeri Mongolia, 26 persen dari stafnya adalah agen NKVD, menjadi kementerian yang sepenuhnya independen dan bahwa ia memperbesar militer Mongolia. Akhirnya, dia menolak tekanan Moskow untuk membasmi lebih dari 100.000 lama negara itu, yang disebut Stalin sebagai "musuh di dalam". Frustrasi oleh ketegaran Genden, Stalin mendukung promosi Khorloogiin Choibalsan sebagai Marshal dan kepala Departemen Dalam Negeri. Pada bulan Maret 1936, Choibalsan mengatur pemecatan Genden dari jabatannya karena menyabot hubungan Mongol-Soviet. Genden ditangkap dan dikirim ke Moskow, di mana ia dieksekusi setahun kemudian. Meskipun Anandyn Amar yang populer tetapi lemah secara politis menjadi Perdana Menteri, Choibalsan menjadi orang yang paling kuat secara de facto di negara ini.

Penindasan Hebat

Selama tiga tahun berikutnya, mentor Soviet di Kementerian Dalam Negeri membimbing Choibalsan dalam merencanakan dan melaksanakan pembersihan yang akan datang. Di bawah arahan pawangnya Soviet, Chopyak,[7] Choibalsan membuat aturan Komite Urusan Internal diubah pada Mei 1936 untuk memfasilitasi penahanan politisi berpangkat tinggi tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan atasan politik. Segera setelahnya 23 lama berpangkat tinggi ditangkap karena berpartisipasi dalam "pusat kontra revolusioner." Setelah persidangan selama setahun, mereka dieksekusi secara terbuka pada awal Oktober 1937. Ketika Jaksa Agung Mongolia memprotes penuntutan para lama, dia juga ditangkap dan kemudian ditembak.[8]

Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/ed/MP-Frinovsky.jpg

Wakil Ketua NKVD, Frinovsky

Pada bulan Agustus 1937, Marshal Demid yang berusia 36 tahun, yang popularitasnya selalu dibenci Choibalsan,[9] meninggal dalam keadaan yang mencurigakan yang mengakibatkan promosi Choibalsan menjadi peran ganda Panglima Tertinggi militer dan Menteri Pertahanan Mongolia. Hari berikutnya Choibalsan, sebagai Menteri Dalam Negeri, mengeluarkan Perintah 366 yang menyatakan bahwa banyak orang di Mongolia "telah jatuh di bawah pengaruh mata-mata dan provokator Jepang." Pada bulan yang sama Stalin, yang dikhawatirkan oleh gerakan militer Jepang di Manchuria[10] memerintahkan penempatan 30.000 pasukan Tentara Merah di Mongolia dan telah mengirim delegasi besar Soviet ke Ulaanbaatar di bawah Wakil Soviet NKVD Commissar Mikhail Frinovsky. Frinovsky ditugaskan menggerakkan pembersihan kejam yang telah dilakukannya dengan sangat efektif di Uni Soviet di bawah Kepala NKVD Nikolai Yezhov. Bekerja melalui penasihat Soviet yang telah tertanam di dalam Kementerian Dalam Negeri dan dengan Choibalsan yang patuh memberikan penutup simbolis, Frinovsky membangun kerangka pembersihan dari belakang layar; membuat daftar penangkapan dan menyusun "Komisi Darurat", sebuah gaya NKVD Troika (dipimpin oleh Choibalsan) untuk mengadili dan menghukum tersangka secara ekstra-yudisial.

Penangkapan 65 pejabat tinggi pemerintah dan intelejen pada malam 10 September 1937 menandakan peluncuran pembersihan dengan sungguh-sungguh. Semua dituduh memata-matai untuk Jepang sebagai bagian dari komplotan Genden-Demid dan sebagian besar mengaku di bawah siksaan hebat.[11] Persidangan pertunjukan pertama diadakan di Teater Pusat Ulaanbaatar dari 18 hingga 20 Oktober 1937. 13 dari 14 orang yang dituduh dijatuhi hukuman mati.

Dalam ajang kekerasan yang berlangsung hampir 18 bulan, troika Choibalsan menyetujui dan melaksanakan eksekusi lebih dari 18.000 lama kontra-revolusioner. Para bhikkhu yang tidak dieksekusi diwajibkan masuk ke dalam angkatan bersenjata Mongolia [12] sementara 746 biara di negara itu dilikuidasi. Ribuan lebih intelektual oposisi, pejabat politik dan pemerintah berlabel "musuh revolusi," serta etnis Buryat dan Kazakh juga ditangkap dan dibunuh. 25 orang dari posisi teratas dalam partai dan pemerintah dieksekusi, 187 dari kepemimpinan militer, 36 dari 51 anggota Komite Sentral.[13] Mengikuti model Rusia, Choibalsan membuka gulag di pedesaan untuk memenjarakan para oposisi.[14] Sementara NKVD secara efektif mengelola pembersihan dengan mengadakan uji coba pertunjukan dan melaksanakan eksekusi,[15][16] Choibalsan sering mabuk [16] kadang-kadang hadir selama penyiksaan [16] dan interogasi terhadap orang-orang yang dicurigai kontrarevolusioner, termasuk teman-teman lama dan kawan-kawannya. Perintah eksekusi NKVD Choibalsan yang dicap karet dan terkadang eksekusi yang diarahkan secara pribadi.[13] Dia juga menambahkan nama-nama musuh politik ke daftar penangkapan NKVD hanya untuk menyelesaikan masalah lama.[15][16] Namun demikian, bahkan ketika ia berusaha untuk menyelamatkan korban dengan merekomendasikan keringanan hukuman dalam kasus-kasus tertentu, petugas NKVD sering mengesampingkan keputusannya.[17]

Lihat pula

Referensi

1.      ^ Christopher, Kaplonski. "Encyclopedia of Mongolia and the Mongol Empire". Inner Asia (dalam bahasa Inggris). 7: 209. ISSN 1464-8172.

2.      ^ Kuromiya, Hiroaki (July 2014). "Stalin's Great Terror and the Asian Nexus". Europe-Asia Studies. 66 (5): 787. doi:10.1080/09668136.2014.910940.

3.      ^ Sanders, Alan J. K. (2010). Historical Dictionary of Mongolia. Lanham: Scarecrow Press. hlm. 113. ISBN 978-0-8108-7452-7.

4.      ^ Atwood, Christopher (2004). Encyclopedia of Mongolia and the Mongol Empire. New York: Facts on File inc. hlm. 130. ISBN 978-0-8160-4671-3.

5.      ^ Bawden; Bawden, C. R. (1989). Modern History of Mongolia (dalam bahasa English) (edisi ke-2nd). Routledge. hlm. 326. ISBN 978-0-7103-0800-9.

6.      ^ Baabar, B. (1999-01-01). History of Mongolia (dalam bahasa English). Ulaanbaatar: Monsudar Pub. hlm. 329. ISBN 9789992900383.

7.      ^ Baabar 1999, p. 353

8.      ^ Baabar 1999, p. 355

9.      ^ Baabar 1999, p. 355

10.  ^ Baabar 1999, p. 359

11.  ^ Baabar 1999, p. 361: quoting N. Erdene-Ochir, "Extra-Special Commission", Ardyn Erh, No. 153, 1991

12.  ^ Palmer, James (2008). The Bloody White Baron. London: Faber and Faber. hlm. 237. ISBN 978-0-571-23023-5.

13.  ^ a b Baabar 1999, p. 362

14.  ^ Sandag, Shagdariin (2000). Poisoned arrows: The Stalin-Choibalsan Mongolian massacres, 1921-1941Description: Perlu mendaftar (gratis). University of Michigan. hlm. 70. ISBN 978-0-8133-3710-4.

15.  ^ a b Baabar 1999, p. 358

16.  ^ a b c d Becker 1992, p. 95

17.  ^ BBC Films. "Secrets of the Steppe".

Kategori:

Menu navigasi

Pencarian

Top of Form

Bottom of Form

Komunitas

Wikipedia

Bagikan

Perkakas

Cetak/ekspor

Bahasa lain

Sunting interwiki

Teror Merah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Artikel ini berisi uraian tentang Teror Merah di Russia. Untuk kegunaan lain, baca artikel Teror Merah (disambiguasi).

Artikel ini bukan mengenai Ketakutan Merah.

Description: Translation arrow icon

Artikel atau bagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Red Terror di en.wikipedia.org. Isinya memiliki ketidakakuratan. Selain itu beberapa bagian yang diterjemahkan masih memerlukan penyempurnaan. Pengguna yang mahir dengan bahasa yang bersangkutan dipersilakan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini, atau Anda juga dapat ikut bergotong royong dalam ProyekWiki Perbaikan Terjemahan.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel)

Teror Merah adalah sebuah kampanye pembunuhan massal, penyiksaan, dan operasi sistematis yang dilakukan oleh Bolshevik setelah permulaan Perang Saudara Rusia pada 1918. Historiografi Soviet mendeskripsikan Teror Merah secara resmi diumumkan pada September 1918 oleh Yakov Sverdlov dan berakhir sekitar Oktober 1918. Namun, istilah tersebut kemudian ditujukan kepada represi politik pada seluruh masa Perang Saudara (1918–1922).[1][2] Cheka (polisi rahasia Bolshevik)[3] melakukan represi massal.[4] Perkiraan jumlah orang yang tewas pada masa Teror Merah berkisar dari 10,000[5] sampai lebih dari satu setengah juga orang.[6]

Catatan

1.      ^ Melgunov, Sergei Petrovich (1924). The Red Terror in Russia. Hyperion Pr (dipublikasikan tanggal 1975). ISBN 0-88355-187-X. See also: The Record of the Red Terror

2.      ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Black

3.      ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Radzinsky

4.      ^ Suvorov, Viktor, Inside Soviet Military Intelligence, New York: Macmillan (1984)

5.      ^ Ryan, James (2012). Lenin's Terror: The Ideological Origins of Early Soviet State Violence. London: Routledge. p. 114. ISBN 978-1138815681.

6.      ^ Szaszdi, Lajos (2008). Russian civil-military relations and the origins of the second Chechen war. University Press of America. hlm. 152. ISBN 9780761841784.

Referensi dan bacaan tambahan

Pranala luar

Templat:Topik Uni Soviet

Di dalam Konvensi Internasional Genosida  dan Statuta Roma  disebutkan bahwa genosida hanya mencakup pembasmian terhadap 4 kategori yakni genosida/pembasmian terhadap kelompok etnis, ras, agama dan kelompok bangsa/nasional. Dalam hal ini mendasarkan konvensi yang berlaku Majelis Hakim IPT 65 menyebutkan Genosida terjadi terhadap kelompok bangsa / nasional. Sementara ada pandangan bahwa Genosida 1965 sesungguhnya lebih tepat dikategorikan sebagai pembasmian terhadap suatu kelompok politik tertentu walau hal ini belum terakomodir dalam konvensi ini. Beberapa kalangan juga memandang  preseden Genosida Politik (Politicide) di Indonesia bisa  menjadi salah satu dorongan lagi untuk revisi Konvensi Internasional ini.

Kejahatan Genosida Politik: Memperbaiki Tindakan Buta Konvensi Genosida - Beth Van Schaack Sekolah Hukum Universitas Santa Clara

Glanville mendengar dari seorang ahli hukum internasional, seorang sejarawan, dan peramal kekejaman. Topik yang dibahas termasuk apakah kelompok-kelompok politik harus dimasukkan dalam definisi hukum genosida, mengapa pembersihan etnis baru-baru ini di Myanmar tidak hanya dapat diprediksi tetapi diprediksi, dan mengapa kebangkitan Cina mungkin berita buruk untuk pencegahan genosida.

Genocide Convention Blind Spot : Why Political Groups Are Not Protected? / Mengapa Kategori Kelompok Politik Tidak Dilindungi Dalam Konvensi Genosida 1948

web.archive.org.

Csp

11-14 menit

Negara Bulan dimulai Tahun Dimulai Bulan Berakhir Tahun Berakhir Deskripsi Singkat Acara Afghanistan 4 1978 4 1992 Kudeta Komunis menghasilkan pembersihan politik Lingkaran yang berkuasa diikuti oleh invasi Soviet. Pemberontakan pedesaan Mujahedeen yang tersebar luas memicu taktik pemerintah Soviet dan Afghanistan dari teror sistematis, penghancuran desa, dan pelaksanaan tahanan. Aljazair 7 1962 12 1962 setelah kemerdekaan dari Perancis, gerilyawan Aljazair menyerang orang-orang Eropa dan warga sipil Muslim yang berkolaborasi dengan otoritas kolonial Prancis. Angola 11 1975 11 1994 Kedua Uni Nasional untuk Kemerdekaan Angola (UNITA) Pemberontak dan Gerakan Populer untuk Pembebasan Angola (MPLA) Pasukan Pemerintah LED melakukan kampanye dan kekejaman yang merusak terhadap warga sipil. Upaya internasional untuk mendamaikan kekuatan yang bersaing menghasilkan penghentian taktik genosida setelah Protokol Lusaka pada November 1994. Angola 12 1998 3 Rekonsiliasi antara para pejuang Unita dan pasukan pemerintah terjatuhan pada Desember 1998 dan Perang Saudara. Forces yang bersaing menargetkan populasi sipil dalam upaya mereka untuk mendapatkan keuntungan taktis. Setelah kematian pemimpin Unita, Jonas Savimbi, pada bulan Februari 2002 dan pihak-pihak yang berperang mencapai kesepakatan damai pada bulan Maret 2002 yang secara efektif mengakhiri pertempuran. Argentina 3 1976 12 1980 tahap militer kudeta dan menyatakan keadaan pengepungan. Pasukan Kematian menargetkan subversives untuk penghilangan, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Bosnia 5 1992 11 1995 penduduk Muslim Bosnia tunduk pada langkah-langkah "pembersihan etnis" termasuk penghancuran properti, pemukiman kembali, eksekusi, dan pembantaian oleh Serbia dan Kroasia yang mencari Union dengan Serbia dan Kroasia. Myanmar (Burma) 1 1978 12 tahun 1978 untuk mengamankan wilayah perbatasan, unit militer reguler yang didukung oleh elemen-elemen Buddhis militan mendegrulasikan komunitas Muslim Arakan di Burma barat dengan penindasan, kehancuran, penyiksaan, dan pembunuhan. Burundi 10 1965 12 1973 Mencoba kudeta oleh unit Hutu pada tahun 1965 menghasilkan pembantaian pedesaan Tutsis. Menguasai Tutsis merespon dengan melepaskan tentara yang didominasi Tutsi untuk menghancurkan para pemimpin Hutu. Pada tahun 1972, Militan Hutus pembantaian Tutsis, rezim Tutsi merespons dengan pembunuhan besar-besaran. Burundi 8 1988 8 1988 Sebagai akibat dari kekerasan pedesaan yang tidak terorganisir terhadap pejabat Tutsi setempat, Massacres Tentara yang didominasi Tutsi Hutus. Burundi 10 1993 12 1993 memaksa pasukan militer Tutsi memberontak, membunuh Presiden Hutu. Bentrokan dan pembantaian bersenjata terjadi dalam tiga gelombang: tentara Tutsi melawan warga sipil Hutu, Hutus melawan Tutsis, dan Tutsi terhadap Hutus. Kamboja 4 1975 1 1979 Khmer Rouge memulai restrukturisasi masyarakat dengan kematian besar-besaran oleh kelaparan, perampasan, eksekusi, dan pembantaian pendukung rezim lama, penghuni kota, dan minoritas etnis dan religius (khususnya. Chili 9 1973 12 1976 setelah kudeta militer, pendukung mantan rezim dan kaum kiri lainnya ditangkap, disiksa, menghilang, diasingkan, dan dieksekusi. Cina 3 1959 12 1959 pasukan dan pasukan keamanan menekan elemen-elemen counter-revolusioner masyarakat, termasuk Buddha Tibet, pemilik tanah, dan pendukung mantan rezim Chiang Kai-shek. Cina 5 1966 3 1975 dengan dukungan militer dan dengan persetujuan dari faksi partai, geng pemuda penjaga merah menargetkan spektrum masyarakat yang luas untuk penangkapan, pelecehan, pemerintahan, penyiksaan, dan eksekusi. Kongo-Kinshasa 2 1964 1 1965 untuk mengkonsolidasikan kontrol, pemberontak pembantaian kontra-revolusioner, termasuk orang-orang Kongo yang berpendidikan, misionaris, dan orang Eropa lainnya. Kongo-Kinshasa 3 1977 12 1979 pemberontakan dan agitasi episodik dilawan oleh pembunuhan lawan politik, anggota suku pembangkang, dan tahanan. El Salvador 1 1980 12 1989 Dalam menghadapi pemberontakan yang meluas, militer, unit keamanan, dan pasukan kematian membunuh, memenjarakan, dan melecehkan dugaan kaum kiri di antara pendeta, petani, pekerja perkotaan, dan intelektual. Guinea khatulistiwa 3 1969 8 1979 Guinea Ekuatorial memperoleh kemerdekaan dari Spanyol pada 12 Oktober 1968. Dalam upaya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan setelah kemenangannya dalam pemilihan presiden pertama di negara itu (September 1968), tekanan Presiden Spanyol untuk meninggalkan kontrol ekonomi di Indonesia Februari 1969. Krisis berikutnya memicu upaya kudeta yang gagal, yang memicu tindakan keras yang berkelanjutan dan berkelanjutan pada semua lawan politik, termasuk separatis etnis-bubi di pulau Fernando PO (sekarang dikenal sebagai Bioko). Negara teror berakhir dengan kudeta yang dipimpin oleh keponakan Macias pada bulan Agustus 1979. Ethiopia 7 1976 12 1979 tentara, unit keamanan internal, dan regu pertahanan sipil elit politik dan militer, pekerja, siswa, birokrat, dan lain-lain untuk menentang revolusioner rezim. Guatemala 7 1978 12 1990 Pemerintah yang didominasi militer memulai serangkaian kampanye anti-gerilya anti-subversif dengan penggunaan pasukan kematian tanpa pandang bulu terhadap dugaan kaum kiri dan Mayans adat. Pembunuhan menjadi sistemati

 

 

 

 

 

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...