Kejahatan kemanusiaan
Kontributor dari proyek Wikimedia.
3-4 minutes
Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan
penyiksaan terhadap tubuh orang-orang sebagai suatu kejahatan penyerangan
terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan Internasional telah secara luas
menggambarkan kejahatan terhadap umat manusia sebagai tindakan yang sangat
keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi
ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan
dilakukan atas dasar kepentingan politik, seperti yang terjadi di Jerman oleh
pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.
Kejahatan kemanusiaan ini diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi
dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal
7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil. Selain itu, kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah
satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International
Criminal Court (ICC). Pelanggaran HAM berat lainnya, antara lain genosida, kejahatan
perang, dan kejahatan
agresi.
Pengadilan kriminal internasional[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 2002 di kota Hague di Belanda dibentuklah suatu pengadilan kriminal
internasional yang dalam bahasa Inggris disebut International
Criminal Court (ICC). Statuta Roma memberikan kewenangan kepada ICC
untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap perikemanusiaan, dan
kejahatan perang.
Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas
atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan
tujuan:
(a) Pembunuhan;
(b) Pemusnahan;
(c) Perbudakan;
(d) Pengusiran
atau pemindahan penduduk;
(e) Perampasan
kemerdekaan/perampasan kebebasan fisik lain;
(f) Menganiaya;
(g) Memperkosa,
perbudakan seksual, memaksa
seorang menjadi pelacur, menghamili
secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa,
ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya;
(h) Penyiksaan
terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, dan jenis kelamin (gender)
sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun dengan alasan-alasan lainnya
yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum
internasional;
(i)
Penghilangan seseorang secara paksa;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Perbuatan
lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga
mengakibatkan penderitaan dan luka parah, baik tubuh, mental, maupun kesehatan
fisiknya.
Pengertian Kejahatan Kemanusiaan dan Tindakan Yang Termasuk Kejahatan
Terhadap Manusia Lengkap – Pelajaran Sekolah Online
6-8 minutes
Pengertian Kejahatan Kemanusiaan dan
Contoh Tindakan Yang Termasuk Kejahatan Terhadap Manusia Lengkap –
Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against Humanity) adalah salah satu dari
empat Pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal
Court. Pelanggaran HAM berat lainnya diantaranya Genosida, Kejahatan perang,
dan kejahatan Agresi.
Pengertian Kemanusiaan
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against
Humanity) adalah tindakan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara
paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat
sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras
atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah
perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan
tersebut dilakukan.
Kejahatan kemanusiaan atau kejahatan terhadap
manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan
pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai
suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain.
Menurut para sarjana Hubungan Internasional,
secara luas kejahatan terhadap manusia digambarkan sebagai tindakan yang sangat
keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi
ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan
dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh
pemerintahan Hitler dan juga yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.
Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam
Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di
Indonesia. Menurut UU dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma
tersebut, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah Perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Tindakan/Perbuatan Yang Termasuk Kejahatan Kemanusiaan
Pada tahun 2002 di kota Hague di Belanda
dibentuklah suatu pengadilan kriminal internasional yang dalam bahasa Inggris
disebut International Criminal Court (ICC) dan Statuta Roma memberikan
kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap
perikemanusiaan dan kejahatan perang.
Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan
yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil. Dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma diatur mengenai jenis-jenis
perbuatan yang termasuk kejahatan kemanusiaan diantaranya:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk
e. Perampasan kemerdekaan/perampasan kebebasan fisik lain;
f. Menganiaya;
g. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili
secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan
seksual lainnya ;
h. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan,
etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam
artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui
sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional
i. Penghilangan seseorang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid;
k. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja
sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun
kesehatan fisiknya.
Selain itu, dalam Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma
disebutkan pula yang termasuk kejahatan terhadap manusia diantaranya yaitu:
- Serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana
disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan
atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk
melakukan penyerangan tersebut;
- Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk
di antaranya penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara
sengaja, antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan,
yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk;
- Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk
pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan
mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak;
- Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan
sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara
kekerasan lainnya dari tempat dimana penduduk tersebut secara sah berada,
tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional;
- Penyiksaan diartikan sebagai tindakan secara sengaja
untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental,
orang-orang yang ditahan di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali itu, bahwa
penyiksaan tersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya
muncul secara inheren atau insidental dari pengenaan sanksi yang sah;
- Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak
sah seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud
memengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan pelanggaran
berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat
ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan;
- Penindasan diartikan sebagai penyangkalan keras dan
sengaja terhadap hak-hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum
internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif;
- Kejahatan apartheid diartikan sebagai tindakan
tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang
disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan sistematis
yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu
dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim
tesebut;
- Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai
penangkapan, penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar
wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi
politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau
pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud
untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.
Demikian artikel yang diberikan tentang Pengertian Kejahatan Kemanusiaan dan Tindakan Yang Termasuk Kejahatan Terhadap Manusia Lengkap semoga informasi yang diberikan bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan anda.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Politisida adalah penghancuran atau pemusnahan
fisik disengaja dari sebuah kelompok yang para anggotanya berbagi karakteristik
utama yang masuk dalam sebuah gerakan politik. Ini adalah sebuah jenis dari
penindasan politik, dan satu pengartian dari pembersihan populasi politik,
dengan yang lainnya adalah migrasi paksa. Istilah tersebut bersanding dengan genosida atau pembersihan etnis,
yang melibatkan pembunuhan orang berdasarkan pada keanggotaan dalam kelompok
rasial atau etnis ketimbang ideologi politik.[1]
^ Asal dan evolusi konsep dalam
Encyclopedia Science oleh Net Industries menyatakan "Politicide, AS
[Barbara] Harff dan [Ted R.] Gurr mendefinisikannya, mengacu pada pembunuhan
kelompok orang yang ditargetkan bukan karena etnis bersama atau tidak.
Ciri-ciri komunal, tetapi karena 'posisi hierarkis mereka atau oposisi politik
terhadap rezim dan kelompok dominan' (hal. 360) ". Referensi ini tidak
memberikan judul buku untuk pergi dengan nomor halaman.
Genosida Timor Timur
Kontributor dari proyek Wikimedia.
34-43 minutes
Genosida
Timor Leste |
|
Bagian dari Pendudukan
Indonesia di Timor Leste |
|
Pembantaian
Santa Cruz terjadi di tengah prosesi
pemakaman SebastiĆ£o Gomes tahun 1991. |
|
Lokasi |
Timor Leste di bawah |
Tanggal |
Pendudukan berlangsung tahun 1975
sampai 1999, tetapi sebagian besar pembunuhan massal terjadi tahun 1970-an |
Sasaran |
Menundukkan secara paksa bangsa
Timor Leste ke pemerintah Indonesia |
Jenis
serangan |
|
Korban
tewas |
Perkiraan total korban tewas
berkisar antara 100.000–300.000
jiwa |
Bagian dari seri tentang |
Isu |
Kolonisasi
Amerika oleh bangsa Eropa
|
Holokaus Nazi dan genosida (1941–1945) |
|
Genosida
kontemporer |
|
Topik
terkait |
Genosida Timor
Leste mengacu pada
aktivitas teror berkedok "kampanye pendamaian" oleh pemerintah Indonesia saat menduduki Timor Leste. Para
akademisi Universitas Oxford secara konsesus menyebut pendudukan Indonesia di Timor
Leste sebagai genosida. Universitas
Yale mengajarkan peristiwa ini dalam program studi Kajian Genosida.[1][2]
Serbuan awal[sunting | sunting sumber]
Sejak awal
penyerbuan pada Agustus 1975 dan seterusnya, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terlibat dalam
pembunuhan massal warga sipil Timor Leste.[3] Pada awal masa
pendudukan, radio FRETILIN menyiarkan
pernyataan berikut ini: "Tentara Indonesia membunuh tanpa ampun. Perempuan
dan anak-anak ditembak di jalanan. Kita semua akan dibunuh.... Ini adalah
permohonan bantuan internasional. Tolong lakukan sesuatu agar penyerbuan ini
berhenti."[4] Seorang
pengungsi asal Timor menyaksikan "pemberontakan [dan] pembunuhan berdarah
dingin terhadap perempuan dan anak-anak dan pemilik toko Tionghoa".[5] Uskup Dili
saat itu, Martinho da Costa Lopes, mengatakan, "Para tentara yang
mendarat mulai membunuh semua orang yang mereka jumpai. Ada banyak tubuh bergelimpangan
di jalanan. Di mana-mana kami hanya melihat tentara sedang membunuh, membunuh,
membunuh."[6] Dalam satu
insiden, sekitar lima puluh laki-laki, perempuan, dan anak-anak, termasuk
wartawan lepas asal Australia Roger East, dibariskan menghadap tebing di luar kota Dili dan ditembak; semua jasad
jatuh ke laut.[7] Banyak
pembantaian terjadi di Dili. Saksi disuruh melihat dan menghitung keras-keras
setiap kali ada orang yang dieksekusi.[8] Kurang lebih
2.000 penduduk Timor dibantai pada dua hari pertama penyerbuan Dili. Selain
pendukung Fretilin, pendatang Tionghoa juga dieksekusi; lima ratus orang
dibunuh pada hari pertama.[9]
Pembunuhan
massal berlanjut tanpa henti ketika militer Indonesia memasuki daerah
pegunungan Timor Leste yang dikuasai Fretilin. Seorang pemandu asal Timor yang
bekerja untuk perwira senior Indonesia memberitahu mantan Konsul Australia
untuk Timor Portugis, James Dunn, bahwa pada bulan-bulan pertama pertempuran, TNI
"membunuh sebagian besar orang Timor yang mereka temui."[10] Pada Februari
1976, setelah menguasai desa Aileu di selatan Dili dan memukul mundur pasukan
Fretilin, tentara Indonesia menembaki sebagian besar penduduk desa, konon
menembak semua orang di atas usia tiga tahun. Anak-anak kecil yang dibiarkan
hidup dibawa ke Dili menggunakan truk. Ketika Aileu jatuh ke tangan TNI, jumlah
penduduknya sekitar 5.000 jiwa. Ketika pekerja sosial Indonesia mengunjungi
Aileu bulan September 1976, jumlah penduduknya tinggal 1.000 jiwa.[11] Pada Juni 1976,
TNI yang terpukul oleh serangan Fretilin melancarkan balas dendam terhadap kamp
pengungsi besar yang dihuni 5.000 sampai 6.000 orang Timor di Lamaknan, dekat
perbatasan Timor Barat. Setelah membakar beberapa rumah, tentara Indonesia
membantai kurang lebih 2.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak.[12]
Pada Maret
1977, mantan konsul Australia, James Dunn, menerbitkan laporan yang merincikan tuduhan
militer Indonesia telah membunuh antara 50.000 sampai 100.000 warga sipil Timor
Leste sejak Desember 1975.[13] Jumlah ini
konsisten dengan pernyataan pemimpin UDT, Lopez da Cruz, pada 13 Februari 1976
bahwa 60.000 warga Timor Leste tewas sepanjang perang saudara enam bulan
sebelumnya dan 55.000 orang tewas pada dua bulan pertama penyerbuan oleh
Indonesia. Perwakilan pekerja sosial Indonesia di Timor Leste membenarkan
jumlah tersebut.[14] Laporan Gereja
Katolik pada akhir 1976 juga memperkirakan jumlah korban tewas antara 60.000 sampai
100.000 jiwa.[15] Angka ini juga
diperkuat oleh statistik pemerintah Indonesia. Dalam wawancara tanggal 5 April
1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Adam Malik mengatakan
bahwa jumlah korban tewas sebanyak "50.000 jiwa atau mungkin 80.000
jiwa".[16]
Pemerintah
Indonesia mengklaim bahwa aneksasi Timor Leste bertujuan mewujudkan persatuan antikolonialisme. Buku panduan
Departemen Luar Negeri Indonesia tahun 1977, Decolonization in East Timor,
menghormati "hak penentuan nasib sendiri yang sakral"[17] dan mengakui
APODETI sebagai perwakilan mayoritas rakyat Timor Leste yang sesungguhnya.
Deplu mengklaim bahwa FRETILIN populer karena "sering mengancam, memeras,
dan meneror".[18] Menteri Luar
Negeri Indonesia, Ali Alatas, menegaskan
kembali sikap tersebut dalam memoar tahun 2006 yang berjudul The Pebble in
the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor.[19] Menurut
pemerintah Indonesia, pembagian pulau menjadi timur dan barat "disebabkan
oleh penindasan kolonial" oleh kekuatan imperial Portugal dan Belanda.
Karena itu, menurut pemerintah Indonesia, aneksasi provinsi ke-27 adalah salah
satu langkah untuk mempersatukan kepulauan Nusantara yang telah dimulai sejak
1904-an.[20]
Relokasi dan kelaparan paksa[sunting | sunting sumber]
Karena ladang
pertanian rusak, banyak warga sipil yang terpaksa turun gunung dan menyerah
kepada TNI. Setelah mereka turun ke dataran rendah untuk menyerah, biasanya
mereka langsung dieksekusi. Warga yang tidak dieksekusi dibawa ke kamp transit
yang dibangun jauh-jauh hari. Kamp-kamp ini terletak dekat pangkalan militer
daerah. TNI "menyaring" penduduk untuk menemukan anggota pemberontak,
biasanya dibantu kolaborator asal Timor. Di kamp-kamp transit ini, warga sipil
yang menyerah dicatat dan diinterogasi. Orang-orang yang diduga anggota
pemberontak ditahan dan dibunuh.[21]
Kamp ini
umumnya terdiri atas bangunan jerami tanpa toilet. Selain itu, militer
Indonesia melarang Palang Merah mengirim bantuan kemanusiaan. Para tahanan juga
tidak mendapat layanan kesehatan. Akibatnya, banyak orang Timor—lemah karena
lapar dan diberi jatah makanan yang sangat sedikit—meninggal karena kekurangan
gizi, kolera, diare, dan tuberkulosis. Pada akhir 1979, sekitar 300.000 sampai
370.000 orang Timor pernah ditahan di kamp ini.[22] Setelah tiga
bulan, tahanan dipindahkan ke "desa strategis" untuk diawasi dan
dibiarkan kelaparan.[23][23] Mereka tidak
boleh bepergian dan bercocok tanam dan harus mematuhi jam malam.[24] Laporan komisi
kebenaran PBB menunjukkan bukti penerapan kelaparan paksa oleh militer Indonesia
untuk memusnahkan warga sipil Timor Leste. Laporan tersebut juga menambahkan
bahwa banyak orang yang "jelas-jelas tidak diperbolehkan makan dan mencari
sumber makanan". Laporan ini mengutip kesaksian orang-orang yang tidak
diperbolehkan makan dan menjabarkan perusakan ladang dan ternak oleh tentara
Indonesia.[25] Laporan ini
menyimpulkan bahwa kebijakan kelaparan paksa menewaskan 84.200 sampai 183.000
penduduk Timor Leste.[26] Seorang
pekerja gereja melaporkan bahwa 500 warga Timor Leste mati kelaparan setiap
bulan di satu distrik.[27]
World Vision
Indonesia mengunjungi Timor Leste bulan Oktober 1978 dan mengklaim bahwa 70.000
penduduk Timor Leste terancam kelaparan.[28] Utusan International Committee of the Red
Cross melaporkan
pada tahun 1979 bahwa 80 persen penghuni kamp kekurangan gizi. Suasana
saat itu digambarkan "separah Biafra".[29] ICRC
mengingatkan bahwa "puluhan ribu orang" terancam kelaparan.[30] Indonesia
mengumumkan bahwa Palang Merah Indonesia (PMI) sedang berusaha memulihkan
krisis ini, tetapi lembaga Action for World Development menuduh bahwa PMI
menjual bantuan yang disumbangkan.[27]
Operasi pendamaian Indonesia[sunting | sunting sumber]
Operasi Keamanan: 1981–82[sunting | sunting sumber]
Pada tahun
1981, militer Indonesia melancarkan Operasi Keamanan yang juga dijuluki
"operasi pagar betis". Dalam operasi ini, TNI merekrut 50.000 sampai
80.000 pemuda Timor Leste untuk berbaris ke pegunungan dan menjadi tameng hidup
untuk mencegah serangan balasan FRETILIN. Tujuan TNI adalah menyapu bersih
pemberontak di daerah tengah Timor Leste. Banyak pemuda dalam operasi ini yang
meninggal kelaparan, kelelahan, atau ditembak oleh TNI karena membiarkan
pemberontak kabur. Ketika "pagar betis" ini mengepung desa, TNI
membantai warga sipil dalam jumlah yang tidak diketahui. Sedikitnya 400 warga
desa dibantai di Lacluta oleh Batalyon
744 Angkatan Darat Indonesia pada September 1981. Seorang saksi mata yang
bersaksi di hadapan Senat Australia mengatakan bahwa tentara dengan sengaja
membunuh anak-anak kecil dengan cara menghantamkan kepala mereka ke batu.[31] Operasi ini
gagal meredam pemberontakan. Penolakan masyarakat terhadap pendudukan Indonesia
semakin kuat.[32] Ketika tentara
FRETILIN di pegunungan melanjutkan serangan sporadisnya, pasukan Indonesia
melancarkan serangkaian operasi untuk meredamnya selama sepuluh tahun
berikutnya. Sementara itu, di berbagai kota dan desa, gerakan pemberontakan
damai (pasif) mulai terbentuk.[33]
Operasi Sapu Bersih: 1983[sunting | sunting sumber]
Gagalnya
rangkaian operasi kontrapemberontak memaksa petinggi militer Indonesia
memerintahkan Komandan Resor Militer Dili, Kolonel Purwanto, merintis dialog
perdamaian dengan Komandan FRETILIN, Xanana GusmĆ£o, di wilayah yang
dikendalikan FRETILIN pada Maret 1983. Ketika Xanana menginginkan agar Portugal
dan PBB dilibatkan dalam dialog ini, Komandan TNI Benny Moerdani membatalkan
gencatan senjata dengan mengumumkan serangan kontrapemberontak baru bernama
"Operasi Sapu Bersih" pada Agustus 1983. Ia mengatakan, "Tidak
boleh main-main lagi. Kali ini kita akan memusnahkan mereka tanpa ampun."[34]
Batalnya
gencatan senjata diikuti oleh gelombang pembantaian, eksekusi di tempat, dan
"penghilangan" baru oleh militer Indonesia. Pada Agustus 1983, 200
orang dibakar hidup-hidup di desa Creras. 500 orang lainnya dibunuh di sungai
di daerah itu.[31] Pada Agustus
hingga Desember 1983, Amnesty International mencatat pengangkapan dan
"penghilangan" lebih dari 600 orang di ibu kota. Kerabat diberitahu
oleh TNI bahwa orang-orang yang "menghilang" dibawa ke Bali.[35]
Orang-orang
yang diduga menolak integrasi biasanya ditangkap dan disiksa.[36] Pada tahun
1983, Amnesty International merilis buku panduan militer Indonesia yang diperoleh di
Timor Leste. Buku tersebut mengajarkan cara memancing kegelisahan fisik dan
mental dan mewanti-wanti tentara untuk "tidak mengambil foto yang
menampilkan penyiksaan (terhadap seseorang yang disetrum, ditelanjangi, dan
lain-lain)".[37] Dalam memoar
tahun 1997, East Timor's Unfinished Struggle: Inside the Timorese Resistance,
ConstĆ¢ncio Pinto menggambarkan
penyiksaannya oleh tentara Indonesia: "Untuk setiap pertanyaan, wajah saya
ditonjok dua atau tiga kali. Ketika seseorang menonjokmu seperti itu, wajahmu
terasa hancur. Mereka memukul punggung dan pinggang saya dengan tangan, lalu
menendang saya.... [Di tempat lain] mereka menyiksa saya secara psikologis;
mereka tidak memukul, tetapi benar-benar mengancam akan membunuh saya. Mereka
bahkan meletakkan pistol di meja."[38] Dalam buku
Michele Turner yang berjudul Telling East Timor: Personal Testimonies
1942–1992, seorang perempuan bernama FĆ”tima menggambarkan penyiksaan di
sebuah penjara di Dili: "Mereka memaksa tahanan duduk di kursi, tetapi
kursinya menindih jempol kaki mereka. Gila memang. Para tentara mengencingi makanan
dan mengaduk-aduknya sebelum diserahkan kepada tahanan. Mereka menyetrum
tahanan menggunakan mesin listrik...."[39]
Kekerasan terhadap perempuan[sunting | sunting sumber]
Kekerasan
terhadap perempuan oleh militer Indonesia di Timor Leste sangat banyak dan
terdokumentasikan dengan baik.[40] Selain
mengalami penangkapan sepihak, penyiksaan, dan eksekusi tanpa pengadilan,
perempuan-perempuan ini diperkosa dan dilecehkan secara seksual—kadang hanya
karena memiliki hubungan dengan seorang aktivis kemerdekaan. Lingkup
persoalannya sulit ditentukan karena militer sangat berkuasa saat pendudukan
Timor Leste ditambah rasa malu yang dialami korban. Dalam laporan kekerasan
terhadap perempuan di Indonesia dan Timor Leste tahun 1995, Amnesty International USA menulis: "Para perempuan enggan
menyampaikan informasi tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada lembaga
swadaya masyarakat ataupun melaporkan pelanggaran kepada militer atau
polisi."[41]
Kekerasan
terhadap perempuan juga terjadi dalam bentuk perundungan, intimidasi, dan
pernikahan paksa. Laporan Amnesty mencantumkan kasus seorang perempuan yang
dipaksa tinggal bersama seorang komandan di Baucau, kemudian dilecehkan setiap hari oleh
tentara setelah dibebaskan.[41]
"Pernikahan" seperti ini lumrah pada masa pendudukan di Timor Leste.[42] Sejumlah
perempuan juga didorong mengikuti prosedur sterilisasi. Beberapa di
antaranya dipaksa menelan obat kontraseptif Depo Provera dan tidak
diberitahu kegunaannya.[43]
Pada tahun
1999, Rebecca Winters menerbitkan buku berjudul Buibere: Voice of East
Timorese Women yang menceritakan kisah-kisah pribadi tentang kekerasan dan
pelecehan sejak hari-hari pertama pendudukan di Timor Leste. Seorang perempuan
mengaku diinterogasi dalam keadaan setengah telanjang, disiksa, dilecehkan, dan
diancam akan dibunuh.[44] Seorang
perempuan lain mengaku kaki dan tangannya dirantai, diperkosa berkali-kali, dan
diinterogasi selama beberapa pekan.[45] Seorang
perempuan yang menyiapkan makanan untuk pemberontak FRETILIN ditangkap,
disundut rokok, disetrum, dan dipaksa berjalan telanjang melewati kumpulan
tentara dan disuruh masuk tank yang dipenuhi air kencing dan kotoran manusia.[46]
Pembantaian Santa Cruz[sunting | sunting sumber]
Pada misa
pemakaman tanggal 12 November 1991, untuk mengenang seorang pemuda
pro-kemerdekaan ditembak oleh tentara Indonesia, pengunjuk rasa di tengah
kerumunan berjumlah 2.500 orang membentangkan bendera dan panji Fretilin dengan
slogan pro-kemerdekaan dan meneriakkan yel-yel dengan damai.[47] Usai
konfrontasi singkat antara tentara Indonesia dan pengunjuk rasa,[48] 200 tentara Indonesia
melepaskan tembakan ke kerumunan dan menewaskan sedikitnya 200 warga Timor
Leste.[49]
Kesaksian warga
asing di pemakaman tersebut segera diliput oleh organisasi berita
internasional. Rekaman pembantaian disiarkan[50] dan memancing
kemarahan di seluruh dunia.[51] Menanggapi
pembantaian ini, aktivis di seluruh dunia bersimpati dengan rakyat Timor Leste.
Mereka menuntut penentuan nasib sendiri di Timor Leste.[52] TAPOL, organisasi Britania Raya yang dibentuk tahun 1972 untuk
mendukung demokrasi di Indonesia, mengalihkan fokus aktivitasnya ke Timor
Leste. Di Amerika Serikat, East Timor Action Network (kini East Timor and Indonesia Action Network) didirikan dan
memiliki cabang di sepuluh kota di sana.[53] Kelompok
solidaritas lain juga didirikan di Portugal, Australia, Jepang, Jerman,
Malaysia, Irlandia, dan Brasil.
Liputan
pembantaian ini menjadi contoh bagaimana pertumbuhan media baru di Indonesia
mempersulit Orde Baru mengontrol arus informasi ke dalam dan luar Indonesia.
Selain itu, pada era pasca-Perang Dingin tahun 1990-an, pemerintah Indonesia
menjadi sorotan dunia internasional.[54] Sejumlah
perkumpulan mahasiswa pro-demokrasi beserta majalah secara terbuka dan kritis
membahas Timor Leste, Orde Baru, serta sejarah dan masa depan Indonesia.[52][54][55]
Kecaman keras
terhadap militer Indonesia berdatangan, tidak hanya dari komunitas
internasional, tetapi juga para petinggi pemerintahan Indonesia. Pembantaian
ini mengakhiri penyerbuan Indonesia di Timor Leste tahun 1989. Gelombang
penindasan baru pun dimulai.[56] Warouw dipecat
dan pendekatannya yang lebih lunak kepada pemberontak Timor ditolak oleh
atasannya. Para terduga simpatisan Fretilin ditangkap, pelanggaran HAM meroket,
dan larangan wartawan asing diberlakukan kembali. Penduduk Timor semakin benci
dengan kehadiran militer Indonesia di daerahnya.[57] Kopassus Grup 3 pimpinan Mayor Jenderal Prabowo melatih geng-geng militer berjaket
hitam untuk meredam sisa-sisa pemberontakan.[56]
Jumlah korban tewas[sunting | sunting sumber]
Jumlah korban
tewas pastinya sulit ditentukan. Laporan Komisi
Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR) PBB memperkirakan jumlah
minimal korban tewas terkait konflik mencapai 102.800 (+/- 12.000) jiwa. Dari
angka tersebut, kurang lebih 18.600 (+/-1.000) di antaranya dibunuh atau
menghilang dan kurang lebih 84.000 (+/-11.000) orang lainnya meninggal akibat
kelaparan atau penyakit (melebihi angka kematian pada masa damai). Angka ini
merupakan perkiraan konservatif minimal yang disebut sebagai temuan utama ilmiah
oleh CAVR. Laporan ini tidak mencantumkan batas atas, tetapi CAVR berspekulasi
bahwa total korban tewas akibat kelaparan dan penyakit yang dipicu konflik bisa
mencapai 183.000 jiwa.[58] Komisi
Kebenaran menetapkan TNI sebagai pihak yang bertanggung jawab atas 70% kasus
pembunuhan pada masa konflik di Timor Leste.[59]
Ben Kiernan mengatakan
bahwa "angka 150.000 jiwa mendekati jumlah korban tewas yang
sesungguhnya," tetapi peneliti lain juga memperkirakan 200.000 jiwa atau
lebih.[60] Center for Defense Information juga memperkirakan hampir 150.000
orang tewas.[61] Pada tahun
1974, Gereja Katolik memperkirakan jumlah penduduk Timor Leste sebanyak 688.711
jiwa; pada tahun 1982, Gereja hanya memperkirakan jumlah penduduk sebanyak
425.000 jiwa. Dari kedua jumlah tersebut, tampak bahwa kurang lebih 200.000
orang tewas pada masa pendudukan. Angka ini digunakan oleh laporan berita di
seluruh dunia.[62] Sumber-sumber
lain seperti Amnesty International dan Human Rights Watch juga membenarkan
angka korban tewas sebanyak 200.000 jiwa.[63]
Menurut Gabriel
Defert, berdasarkan data statistik pemerintah Portugal dan Indonesia serta
Gereja Katolik, antara Desember 1975 dan Desember 1981, kurang lebih 300.000
warga Timor tewas; jumlah ini mewakili 44% populasi Timor Leste pra-invasi.[64] George
Aditjondro dari Universitas Salatiga mendalami data TNI dan menemukan bahwa
300.000 orang Timor tewas pada tahun-tahun pertama invasi di Timor Leste.[65]
Robert Cribb
dari Universitas Nasional Australia berpendapat bahwa jumlah korban tewas
terlalu dilebih-lebihkan. Menurutnya, angka 555.350 penduduk yang diperoleh
dari sensus 1980, disebut-sebut sebagai "sumber yang paling bisa
diandalkan", mungkin merupakan perhitungan paling sedikit (minimum). Ia
menulis, "Perlu diketahui bahwa ratusan ribu orang Timor Leste menghilang
semasa kekerasan September 1999, lalu muncul kembali." Sensus 1980 menjadi
usang karena sensus 1987 menghitung 657.411 penduduk Timor. Angka tersebut memerlukan
pertumbuhan sebesar 2,5% per tahun, nyaris identik dengan tingkat pertumbuhan
yang sangat tinggi di Timor Leste sejak 1970 sampai 1975. Pertumbuhan seperti
ini mustahil karena pendudukan Indonesia berlangsung dengan sangat brutal,
bahkan sampai mencegah reproduksi penduduk. Karena tidak banyak kesaksian
pribadi tentang kekejaman atau trauma yang dialami tentara Indonesia, ia
menambahkan bahwa Timor Leste "tampaknya—menurut laporan berita dan
penelitian akademik—bukan masyarakat yang mudah trauma akibat kematian
massal... [S]uasana menjelang pembantaian Dili tahun 1991...menunjukkan sebuah
masyarakat yang tetap tegar dan marah, sikap yang tidak mungkin ada apabila
[Timor Leste] diperlakukan layaknya Kamboja era Pol Pot." Strategi militer Indonesia
bertujuan merebut "hati dan pikiran" rakyat, strategi yang tidak
cocok as dengan dugaan pembunuhan massal.[66]
Berangkat dari
jumlah penduduk sebesar 700.000 jiwa tahun 1975 (menurut sensus Gereja Katolik
1974), Kiernan memperkirakan jumlah penduduk 735,000 jiwa pada tahun 1980
(dengan asumsi pertumbuhan hanya berkisar 1% per tahun akibat invasi
Indonesia). Ia menganggap jumlah korban versi Cribb sebesar 10% (55.000 jiwa)
terlalu sedikit. Kiernan memperkirakan bahwa kurang lebih 180.000 orang tewas
dalam perang ini.[67] Cribb
berpendapat bahwa pertumbuhan 3% yang dicantumkan oleh sensus 1974 terlalu
tinggi. Faktanya, gereja hanya memperkirakan pertumbuhan sebesar 1,8% sehingga
jumlah penduduknya sama dengan angka sensus Portugal tahun 1974, yaitu 635.000
jiwa.
Meski Cribb
menegaskan bahwa hasil sensus Portugal hampir pasti terlalu sedikit,[67] ia yakin bahwa
angkanya lebih akurat daripada sensus Gereja Katolik karena upaya gereja untuk
melebih-lebihkan total populasi "membuktikan bahwa pengaruh gereja belum
merambah seluruh masyarakat [Timor Leste]" (umat Katolik berjumlah kurang
dari separuh penduduk Timor Leste). Apabila angka pertumbuhannya setara dengan
negara-negara lain di Asia Tenggara, jumlah penduduk yang lebih akurat adalah
680.000 jiwa tahun 1975 dan perkiraan jumlah penduduk lebih dari 775.000 tahun
1980 (tanpa menghitung turunnya angka kelahiran akibat pendudukan Indonesia).[67] Selisihnya
mendekati 200.000 jiwa. Menurut Cribb, kebijakan Indonesia membatasi angka
kelahiran hingga 50% atau lebih. Karena itu, sekitar 45.000 orang tidak pernah
lahir, bukan dibunuh; 55.000 warga Timor lainnya "hilang" karena
menghindari petugas pemerintah Indonesia yang melakukan sensus 1980.[68] Sejumlah
faktor—mengungsinya puluhan ribu orang untuk menghindari FRETILIN tahun 1974-5;
tewasnya ribuan orang dalam perang saudara; tewasnya kombatan pada masa
pendudukan; pembunuhan oleh FRETILIN; dan bencana alam—semakin mengurangi
jumlah korban sipil yang ditimbulkan oleh serangan militer Indonesia waktu itu.[68] Setelah
mempertimbangkan data-data tersebut, Cribb memilih jumlah korban yang lebih
sedikit, yaitu 100.000 jiwa atau kurang, dengan jumlah minimal 60.000 jiwa. Ia
juga berpendapat bahwa sepersepuluh warga sipil meninggal secara tidak alamiah
pada tahun 1975–80.[69]
Namun, Kiernan
menegaskan bahwa datangnya pekerja migran pada masa pendudukan Indonesia dan
naiknya angka pertumbuhan penduduk yang mencerminkan krisis mortalitas
memperkuat hasil sensus 1980 meski bertentangan dengan perkiraan 1987. Selain
itu, sensus gereja tahun 1974—walaupun hasilnya "semaksimal
mungkin"—tidak bisa diabaikan karena kurangnya pengaruh gereja di Timor
Leste bisa jadi menghasilkan angka populasi yang lebih sedikit.[67] Ia menyimpulkan
bahwa kurang lebih 116.000 kombatan dan warga sipil tewas oleh serangan kedua
belah pihak atau meninggal secara "tidak alamiah" pada tahun 1975–80
(apabila ini benar, artinya 15% warga sipil Timor Leste meninggal dunia pada
tahun 1975–80).[67] F. Hiorth
secara terpisah memperkirakan bahwa 13% (95.000 dari 730.000 jiwa apabila
menghitung penurunan angka kelahiran) warga sipil meninggal pada tahun-tahun
tersebut.[68] Kiernan
percaya bahwa selisihnya sangat mungkin mencapai 145.000 jiwa atau 20% penduduk
Timor Leste apabila menghitung penurunan angka kelahiran.[67] Rerata jumlah
korban tewas menurut laporan PBB adalah 146.000 jiwa; R.J. Rummel, analis
pembunuhan politis, memperkirakan 150.000 orang tewas.[70]
Banyak pengamat
yang menggolongkan aksi militer Indonesia di Timor Leste sebagai contoh genosida.[71] Rapat
akademisi Oxford menetapkan bahwa peristiwa ini adalah genosida dan Universitas Yale mengajarkan
peristiwa ini dalam program studi Kajian Genosida.[1][2] Dalam kajian
makna hukum kata "genosida" serta kesesuaiannya untuk menyebut
pendudukan di Timor Leste, pakar hukum Ben Saul mengatakan bahwa karena tidak ada
kelompok yang diakui oleh hukum internasional yang menjadi target militer
Indonesia, peristiwa ini tidak bisa disebut genosida. Namun, ia juga
mengatakan, "Konflik di Timor Leste lebih tepat disebut sebagai genosida
terhadap sebuah 'kelompok politik' atau 'genosida budaya', tetapi kedua
konsep ini tidak diakui secara eksplisit dalam hukum internasional."[72] Pendudukan di
Timor Leste disejajarkan dengan pembantaian oleh Khmer Merah, Perang
Yugoslavia, dan Genosida Rwanda.[73]
Jumlah korban
tewas dari pihak Indonesia terdokumentasikan secara akurat. Nama-nama 2.300-an
tentara Indonesia dan milisi pro-Indonesia yang meninggal dalam tugas dan
meninggal akibat penyakit dan kecelakaan pada masa pendudukan dipahat di
Monumen Seroja di Markas TNI, Cilangkap, Jakarta Selatan.[74]
Film[sunting | sunting sumber]
- Balibo (2009)
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Catatan kaki[sunting | sunting sumber]
- ^ a b Payaslian,
Simon. "20th
Century Genocides". Oxford bibliographies.
- ^ a b "Genocide Studies Program:
East Timor". Yale.edu.
- ^ Hill, p.
210.
- ^ Dikutip
dalam Budiardjo dan Liong, p. 15.
- ^ Dikutip
dalam Ramos-Horta, p. 108.
- ^ Dikutip
dalam Taylor (1991), p. 68.
- ^
Ramos-Horta, pp. 101–02.
- ^ Taylor
(1991), p. 68.
- ^ Taylor
(1991), p. 69; Dunn (1996), p. 253.
- ^ Timor:
A People Betrayed, James Dunn, 1983 p. 293, 303
- ^ Taylor
(1991), p. 80-81
- ^ Dunn, p.
303
- ^ "A Quarter Century of US
Support for Occupation: National Security Archive Electronic Briefing Book
No. 174".
- ^ Taylor
(1991), p. 71.
- ^ Dunn, p.
310, Notes on Timor
- ^ Dikutip
dalam Turner, p. 207.
- ^ Indonesia
(1977), p. 16.
- ^ Indonesia
(1977), p. 21.
- ^ Alatas,
pp. 18–19.
- ^ Indonesia
(1977), p. 19.
- ^ CAVR, ch.
7.3, pp. 41–44.
- ^ Deborah
Mayersen, Annie Pohlman (2013). Genocide and Mass Atrocities in Asia:
Legacies and Prevention. Routledge. hlm. 56.
- ^ a b CAVR, ch.
7, p. 50; Taylor, pp. 88–89; Dunn (1996), pp. 290–291
- ^ Taylor
(1991), pp. 92–98.
- ^ CAVR, ch.
7.3, pp 146–147.
- ^ CAVR, ch.
7.3, p. 146.
- ^ a b Kohen and
Taylor, pp. 54–56.
- ^ CAVR, ch.
7.3, p. 72.
- ^ Dikutip dalam
Taylor (1991), p. 97.
- ^ Taylor
(1991), p. 203.
- ^ a b Taylor,
pp. 101–102; Nevins, p. 30; Budiardjo and Liong, pp. 127–128; Amnesty
(1985), p. 23; Dunn, p. 299.
- ^ Budiardjo
and Liong, pp. 41–43; Dunn (1996), p. 301.
- ^ Dunn
(1996), pp. 303–304.
- ^ Sinar
Harapan, 17 August 1983, dikutip dalam Taylor 1991: 142
- ^ East
Timor, Violations of Human Rights: Extrajudicial Executions,
"Disappearances", Torture and Political Imprisonment, 1975–1984,
p. 40
- ^ Amnesty
(1985), pp. 53–59; Turner, p. 125; Kohen and Taylor, p. 90; Budiardjo and
Liong, pp. 131–135.
- ^ Amnesty
(1985), pp. 53–54.
- ^ Pinto,
pp. 142–148.
- ^ Turner,
p. 143.
- ^ Amnesty
(1995); Winters; Budiardjo and Liong, p. 132; Jardine, pp. 33–34;
Aditjondro (1998).
- ^ a b Amnesty
(1995), p. 14.
- ^
Aditjondro (1998), pp. 256–260.
- ^ Taylor
(1991), pp. 158–160.
- ^ Winters,
pp. 11–12.
- ^ Winters,
pp. 24–26.
- ^ Winters,
pp. 85–90.
- ^ Schwarz
(1994), p. 212
- ^ Two
soldiers were stabbed under disputed circumstances.(Schwarz (1994), p.
212; Pinto and Jardine, p. 191.) Soldiers said the attacks were
unprovoked. Stahl claims stabbed Officer Lantara had attacked a girl
carrying the flag of East Timor, and FRETILIN activist ConstĆ¢ncio Pinto reports
eyewitness accounts of beatings from Indonesian soldiers and police.
Kubiak, W. David. "20 Years of Terror:
Indonesia in Timor – An Angry Education with Max Stahl". Kyoto
Journal. 28. Reprinted at The Forum
of Democratic Leaders in the Asia-Pacific. Retrieved 14 February 2008.
- ^ Carey, p.
51; Jardine, p. 16. The Portuguese solidarity group A Paz Ć© PossĆvel em
Timor Leste compiled a careful survey of the
massacre's victims, listing 271 killed, 278 wounded, and 270
"disappeared".
- ^ Schwarz
(1994), p. 212-213
- ^ Jardine,
pp. 16–17; Carey, pp. 52–53.
- ^ a b Jardine,
pp. 67–69.
- ^ "About ETAN". East Timor Action Network.
Retrieved 18 February 2008.
- ^ a b Vickers
(2005), pp. 200–201
- ^ CIIR, pp.
62–63; Dunn, p. 311.
- ^ a b Friend
(2003), p. 433.
- ^ Schwarz
(1994), pp. 216, 218, 219.
- ^ Conflict-related
Deaths in Timor Leste, 1954–1999. The Findings of the CAVR Report Chega!
- ^ Chega! The CAVR Report Diarsipkan May 13,
2012, di Wayback Machine.
- ^ Kiernan,
p. 594.
- ^ "Archived
copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal
2012-07-22. Diakses tanggal 2010-07-03.
- ^ Dunn, pp.
283–285; Budiardjo and Liong, pp. 49–51
- ^ Asia
Watch, Human Rights in Indonesia and East Timor, Human Rights Watch, New
York, 1989, p. 253.
- ^ Pilger,
John (1998). Hidden Agendas.
hlm. 284.
- ^ CIIR
Report, International Law and the Question of East Timor, Catholic
Institute of International Relations/IPJET, London, 1995.
- ^ How many deaths? Problems in the
statistics of massacre in Indonesia (1965–1966) and East Timor (1975–1980) Diarsipkan
2020-05-14 di Wayback Machine.. Works.bepress.com (15 February
2008).
- ^ a b c d e f "Archived
copy" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF)
tanggal 2009-02-27. Diakses tanggal 2008-02-18.
- ^ a b c http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1001&context=robert_cribb[pranala nonaktif permanen]
- ^ http://works.bepress.com/robert_cribb/2/ Diarsipkan
2020-05-14 di Wayback Machine. How many deaths? Problems in the
statistics of massacre in Indonesia (1965–1966) and East Timor (1975–1980)
- ^ http://www.hawaii.edu/powerkills/SOD.TAB14.1C.GIF
- ^ Jardine;
Taylor (1991), p. ix; Nevins cites a wide variety of sources discussing
the question of genocide in East Timor, on p. 217–218.
- ^ Saul,
Ben. "Was
the Conflict in East Timor ‘Genocide’ and Why Does It Matter?". Melbourne
Journal of International Law. 2:2 (2001). Retrieved 17 February 2008.
- ^ Budiardjo
and Liong, p. 49; CIIR, p. 117.
- ^ "Selayang
Pandang Monumen Seroja" [Seroja Monument at a Glance].
Pelita.or.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal
24 November 2016.
Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]
- Aditjondro,
George. "Prospects for development in East Timor after the capture of
Xanana GusmĆ£o". International Law and the Question of East Timor.
London: Catholic Institute for International Relations, 1995. ISBN 1-85287-129-6. pp. 50–63.
- Aditjondro,
George. "The Silent Suffering of Our Timorese Sisters". Free
East Timor: Australia's Culpability in East Timor's Genocide. Random
House Milsons Point: Australia Pty Ltd, 1998. ISBN 0-09-183917-3 pp. 243–265.
- Amnesty
International. East Timor Violations of Human Rights: Extrajudicial
Executions, "Disappearances", Torture and Political
Imprisonment, 1975–1984. London: Amnesty International Publications,
1985. ISBN 0-86210-085-2.
- Amnesty
International. East Timor: The Santa Cruz Massacre. London: Amnesty
International, 1991. OCLC 28061998
- Amnesty
International USA. Women in Indonesian & East Timor: Standing
Against Repression. New York: Amnesty International USA, 1995. OCLC 34283963
- Budiardjo,
Carmel and Liem Soei Liong. The War against East Timor. London: Zed
Books Ltd, 1984. ISBN 0-86232-228-6.
- Carey,
Peter. "Historical Background". Generations of Resistance.
By Steve Cox. London: Cassell, 1995. ISBN 0-304-33252-6. pp. 13–55.
- Chinkin,
Christine. "Australia and East Timor in international law". International
Law and the Question of East Timor. London: Catholic Institute for
International Relations / International Platform of Jurists for East
Timor, 1995. ISBN 1-85287-129-6. pp. 269–289.
- Clark, Roger
S. "The 'decolonisation' of East Timor and the United Nations norms
on self-determination and aggression". International Law and the
Question of East Timor. London: Catholic Institute for International
Relations / International Platform of Jurists for East Timor, 1995. ISBN 1-85287-129-6. pp. 65–102.
- ComissĆ£o
de Acolhimento, Verdade e ReconciliaĆ§Ć£o de Timor Leste (CAVR). Chega! The Report of the
Commission for Reception, Truth and Reconciliation. Dili,
East Timor: 2005. Online at East Timor
& Indonesia Action Network. Retrieved 11 February 2008.
- Dunn, James (1996).
Timor: A People Betrayed. Sydney: Australian Broadcasting Corporation. ISBN 0-7333-0537-7.
- Friend, T.
(2003). Indonesian
Destinies. Harvard University Press. ISBN 0-674-01137-6.
- Horner,
David (2001). Making the Australian Defence Force. The Australian
Centenary History of Defence. Volume IV. Melbourne: Oxford University
Press. ISBN 0-19-554117-0.
- Hainsworth,
Paul and McCloskey, Stephen (eds.) The East Timor Question: The Struggle
for Independence from Indonesia. New York: I.B. Tauris Publishers,
2000, ISBN 1-86064-408-2
- Hill,
Helen Mary. Fretilin: the origins, ideologies and strategies of a
nationalist movement in East Timor. Canberra: Centre for Continuing
Education, Australia National University, 1978. OCLC 07747890
- Indonesia.
Department of Foreign Affairs. Decolonization in East Timor.
Jakarta: Department of Information, Republic of Indonesia, 1977. OCLC 4458152.
- Indonesia.
Department of Foreign Affairs and Department of Information. The
Province of East Timor: Development in Progress. Jakarta: Department
of Information, Republic of Indonesia, 1981.
- Jardine,
Matthew. East Timor: Genocide in Paradise. Monroe, ME: Odonian
Press, 1999. ISBN 1-878825-22-4.
- Jolliffe,
Jill. East Timor: Nationalism and Colonialism. Queensland:
University of Queensland Press, 1978. OCLC 4833990
- Kiernan,
Ben. "The
Demography of Genocide in Southeast Asia: The Death Tolls in Cambodia,
1975–79, and East Timor, 1975–80". Critical Asian Studies.
35:4 (2003), 585–597.
- Kohen,
Arnold and John Taylor. An Act of Genocide: Indonesia's Invasion of
East Timor. London: TAPOL, 1979. 0-9506751-0-5.
- Krieger,
Heike, ed. East Timor and the International Community: Basic Documents.
Melbourne: Cambridge University Press, 1997. ISBN 0-521-58134-6.
- Marker, Jamsheed (2003).
East Timor: A Memoir of the Negotiations for Independence. North Carolina:
McFarlnad & Company, Inc. ISBN 0-7864-1571-1.
- Martin,
Ian (2002). Self-Determination In East Timor: The United Nations, The
Ballot and International Intervention. International Peace Academy
Occasional Paper Series. Boulder: Rienner.
- Nevins,
Joseph (2005). A Not-So-Distant Horror: Mass Violence in East Timor.
Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014-8984-9.
- Ramos-Horta,
JosƩ. Funu: The Unfinished Saga of East Timor. Lawrenceville, NJ:
The Read Sea Press, 1987. ISBN 0-932415-15-6.
- Schwarz,
A. (1994). A Nation
in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. ISBN 1-86373-635-2.
- Smith,
M.G. (2003). Peacekeeping in East Timor: The Path to Independence.
International Peace Academy Occasional Paper Series. Boulder: Rienner.
- Taylor,
Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and
London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5.
- Taylor,
John G. The Indonesian Occupation of East Timor 1974–1989. London:
Catholic Institute for International Relations, 1990. ISBN 1-85287-051-6.
- Taylor,
John G. Indonesia's Forgotten War: The Hidden History of East Timor.
London: Zed Books Ltd, 1991. ISBN 1-85649-014-9.
- Turner,
Michele. Telling East Timor: Personal Testimonies 1942–1992. Sydney:
University of New South Wales Press Ltd., 1992.
- Vickers,
Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-6.
- Wesley-Smith,
Rob. "Radio Maubere and Links to East Timor". Free East
Timor: Australia's Culpability in East Timor's Genocide. Milsons
Point: Random House Australia, 1998. pp. 83–102.
- Winters,
Rebecca. Buibere: Voice of East Timorese Women. Darwin: East Timor
International Support Center, 1999. ISBN 0-9577329-3-7.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
- Matanasi,
Petrik (6 Juli 2018). Operasi
Komodo: Pendahuluan Sebelum Invasi Indonesia ke Timor Timur Tirto.id. Diakses
pada 7 September 2018.
Pembunuhan massal anti-komunis
Kontributor dari proyek Wikimedia.
1-2 minutes
Artikel ini merupakan bagian dari |
Konsep[tampilkan] |
Aspek [tampilkan] |
Jenis [tampilkan] |
Internasionale [tampilkan] |
Tokoh [tampilkan] |
Hal terkait [tampilkan] |
Pembunuhan massal anti-komunis adalah pembunuhan
massal terhadap komunis, terduga
komunis atau terguga pendukung mereka oleh masyarakat, organisasi politik dan
pemerintahan yang menentang komunisme. Gerakan
komunis menghadapi perlawnana sejak
didirikan dan perlawanan sering kali terorganisir dan berunsur kekerasan.
Asia
Indonesia
Artikel utama: Pembantaian
Indonesia 1965–1966
Pembersihan anti-komunis terjadi tak
lama setelah kudeta gagal di ibukota Indonesia,
Jakarta, yang
diduga ditunggangi oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Perkiraan jumlah orang yang
dibunuh oleh tentara Indonesia adalah antara 500.000 dan 1.000.000.[1][2]:3
Referensi
- ^
Friend (2003), p. 113.
- ^
Robinson, Geoffrey B. (2018). The Killing Season: A History of the Indonesian
Massacres, 1965-66.
Princeton
University Press.
ISBN 9781400888863.
Pembunuhan massal anti-komunis
Kontributor dari proyek Wikimedia.
1-2 minutes
Artikel ini merupakan bagian dari |
Konsep[tampilkan] |
Aspek [tampilkan] |
Jenis [tampilkan] |
Internasionale [tampilkan] |
Tokoh [tampilkan] |
Hal terkait [tampilkan] |
Pembunuhan massal anti-komunis adalah pembunuhan
massal terhadap komunis, terduga
komunis atau terguga pendukung mereka oleh masyarakat, organisasi politik dan
pemerintahan yang menentang komunisme. Gerakan
komunis menghadapi perlawnana sejak
didirikan dan perlawanan sering kali terorganisir dan berunsur kekerasan.
Asia
Indonesia
Artikel utama: Pembantaian
Indonesia 1965–1966
Pembersihan anti-komunis terjadi tak
lama setelah kudeta gagal di ibukota Indonesia,
Jakarta, yang
diduga ditunggangi oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Perkiraan jumlah orang yang
dibunuh oleh tentara Indonesia adalah antara 500.000 dan 1.000.000.[1][2]:3
Referensi
- ^
Friend (2003), p. 113.
- ^
Robinson, Geoffrey B. (2018). The Killing Season: A History of the Indonesian
Massacres, 1965-66.
Princeton
University Press.
ISBN 9781400888863.
Represi Stalinis di Mongolia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi
Loncat ke pencarian
Tengkorak korban yang ditembak di
kepala, dipajang di museum yang mendokumentasikan peristiwa tersebut
Represi Stalinis
di Mongolia
(bahasa Mongolia: ŠŃ
Š„ŃŠ»Š¼ŃŠ³Š“ŅÆŅÆŠ»ŃŠ»Ń,
Ikh KhelmegdĆ¼Ć¼lelt, "Penindasan Hebat" ) mengacu pada periode
meningkatnya kekerasan politik dan penganiayaan di Republik
Rakyat Mongolia antara 1937 dan 1939.[1]
Represi adalah bagian dari pembersihan
Stalinis (juga dikenal sebagai Pembersihan
Besar) yang berlangsung di seluruh Uni Soviet
di sekitar waktu yang sama. Penasihat NKVD Soviet, di bawah arahan nominal pemimpin de facto
Mongolia Khorloogiin Choibalsan, menganiaya individu dan organisasi yang dianggap sebagai
ancaman terhadap revolusi Mongolia dan meningkatnya pengaruh Soviet di negara itu. Seperti di
Uni Soviet, metode penindasan termasuk penyiksaan, pengadilan tontonan,
eksekusi, dan pemenjaraan di kamp-kamp kerja paksa terpencil. Perkiraannya
berbeda, tetapi antara 20.000 dan 35.000 "musuh revolusi" telah
dieksekusi, sebuah angka yang mewakili tiga hingga lima persen dari total
populasi Mongolia pada saat itu.[2]
Para korban termasuk mereka yang dituduh menganut lamaisme, nasionalisme
pan-Mongol, dan sentimen pro-Jepang. Pendeta Budha,
bangsawan, inteligensia, oposisi
politik, dan etnis Buryat dan Kazakh menderita
kerugian terbesar.
Daftar isi
Latar
belakang
Pendahuluan,
1921-1934
Setelah Revolusi Mongolia tahun 1921, pertikaian di dalam Partai Revolusi Rakyat Mongolia (MPRP) menghasilkan beberapa gelombang pembersihan politik
yang kejam, sering dihasut dan dibantu oleh agen-agen Komintern atau Soviet dan penasihat pemerintah. Pada bulan Agustus
1922, Dogsomyn
Bodoo, perdana menteri pertama dari
periode revolusioner, dan 14 lainnya dieksekusi tanpa pengadilan setelah
mengaku di bawah siksaan oleh agen Soviet untuk berkonspirasi untuk
menggulingkan pemerintah.[3]
Dua tahun kemudian kepala penuduh Bodoo, Soliin
Danzan, dieksekusi selama Kongres Pihak
Ketiga karena mewakili "kepentingan borjuis".[4]
Pada tahun 1928, beberapa anggota MPRP terkemuka termasuk Ajvaagiin
Danzan, Jamsrangiin
Tseveen, Tseren-Ochiryn Dambadorj,
dan Navaandorjiin
Jadambaa, dipenjara atau diasingkan dalam
pembersihan berskala
luas dari orang-orang yang dicurigai
sebagai orang sayap kanan ketika negara itu meluncurkan "Periode
Kiri" dengan pengambilalihan lahan yang lebih cepat, pengambilalihan
lahan, dan penganiayaan terhadap Gereja
Buddha. Setelah langkah-langkah drastis
itu menghasilkan pemberontakan rakyat di seluruh negeri, beberapa kiri garis
keras MPRP termasuk Zolbingiin
Shijee, Ćlziin Badrakh,
dan Perdana Menteri Tsengeltiin
Jigjidjav disalahkan dan secara resmi
dikeluarkan dari partai.[5]
Khorloogiin Choibalsan pada 1930-an
Pada 1933-1934, dalam apa yang dianggap
sebagai gladi resik bagi penindasan 1937-1939, Sekretaris Jenderal MPRP Jambyn
LkhĆ¼mbe dan elemen-elemen MPRP lainnya,
khususnya Buryat-Mongol, dituduh melakukan konspirasi dengan mata-mata Jepang.
Lebih dari 1.500 orang terlibat dan 56 dieksekusi.[6]
Histeria publik atas Peristiwa LkhĆ¼mbe sebagian didorong oleh invasi Jepang terhadap Manchuria
yang bertetangga pada 1931. Untuk mempertahankan kemungkinan ekspansi militer
Jepang ke Timur Jauh Soviet, Stalin berusaha menstabilkan Mongolia secara
politis dengan menghilangkan oposisi terhadap pemerintah yang didukung Soviet
dan mengamankan perjanjian untuk mengizinkan penempatan pasukan Tentara Merah
di negara itu.
Pembersihan
Genden
Perdana Menteri Mongolia Peljidiin Genden,
yang jemu dengan dominasi Soviet yang semakin besar, berupaya untuk menunda
Perjanjian Gentlemen bilateral tahun 1934 di mana Uni Soviet menjanjikan
perlindungan Soviet atas Mongolia dan "Perjanjian Persahabatan dan
Kerjasama" 1936 yang memungkinkan pasukan Soviet ditempatkan di negara
itu. Genden juga menolak keras atas rekomendasi Stalin bahwa ia mengangkat
komite urusan dalam negeri Mongolia, 26 persen dari stafnya adalah agen NKVD,
menjadi kementerian yang sepenuhnya independen dan bahwa ia memperbesar militer
Mongolia. Akhirnya, dia menolak tekanan Moskow untuk membasmi lebih dari
100.000 lama negara itu, yang disebut Stalin sebagai "musuh di
dalam". Frustrasi oleh ketegaran Genden, Stalin mendukung promosi Khorloogiin Choibalsan sebagai Marshal dan kepala Departemen Dalam Negeri. Pada
bulan Maret 1936, Choibalsan mengatur pemecatan Genden dari jabatannya karena menyabot
hubungan Mongol-Soviet. Genden ditangkap dan dikirim ke Moskow, di mana ia
dieksekusi setahun kemudian. Meskipun Anandyn Amar
yang populer tetapi lemah secara politis menjadi
Perdana Menteri, Choibalsan menjadi orang yang paling kuat secara de facto
di negara ini.
Penindasan
Hebat
Selama tiga tahun berikutnya, mentor
Soviet di Kementerian Dalam Negeri membimbing Choibalsan dalam merencanakan dan
melaksanakan pembersihan yang akan datang. Di bawah arahan pawangnya Soviet,
Chopyak,[7]
Choibalsan membuat aturan Komite Urusan Internal diubah pada Mei 1936 untuk
memfasilitasi penahanan politisi berpangkat tinggi tanpa terlebih dahulu
berkonsultasi dengan atasan politik. Segera setelahnya 23 lama berpangkat
tinggi ditangkap karena berpartisipasi dalam "pusat kontra
revolusioner." Setelah persidangan selama setahun, mereka dieksekusi
secara terbuka pada awal Oktober 1937. Ketika Jaksa Agung Mongolia memprotes
penuntutan para lama, dia juga ditangkap dan kemudian ditembak.[8]
Wakil Ketua NKVD, Frinovsky
Pada bulan Agustus 1937, Marshal
Demid yang berusia 36 tahun, yang
popularitasnya selalu dibenci Choibalsan,[9]
meninggal dalam keadaan yang mencurigakan yang mengakibatkan promosi Choibalsan
menjadi peran ganda Panglima Tertinggi militer dan Menteri Pertahanan Mongolia.
Hari berikutnya Choibalsan, sebagai Menteri Dalam Negeri, mengeluarkan Perintah
366 yang menyatakan bahwa banyak orang di Mongolia "telah jatuh di bawah
pengaruh mata-mata dan provokator Jepang." Pada bulan yang sama Stalin,
yang dikhawatirkan oleh gerakan militer Jepang di Manchuria[10]
memerintahkan penempatan 30.000 pasukan Tentara Merah di Mongolia dan telah
mengirim delegasi besar Soviet ke Ulaanbaatar di bawah Wakil Soviet NKVD
Commissar Mikhail
Frinovsky. Frinovsky ditugaskan menggerakkan
pembersihan kejam yang telah dilakukannya dengan sangat efektif di Uni Soviet
di bawah Kepala NKVD Nikolai Yezhov.
Bekerja melalui penasihat Soviet yang telah tertanam di dalam Kementerian Dalam
Negeri dan dengan Choibalsan yang patuh memberikan penutup simbolis, Frinovsky
membangun kerangka pembersihan dari belakang layar; membuat daftar penangkapan
dan menyusun "Komisi Darurat", sebuah gaya NKVD Troika (dipimpin oleh
Choibalsan) untuk mengadili dan menghukum tersangka secara ekstra-yudisial.
Penangkapan 65 pejabat tinggi
pemerintah dan intelejen pada malam 10 September 1937 menandakan peluncuran
pembersihan dengan sungguh-sungguh. Semua dituduh memata-matai untuk Jepang
sebagai bagian dari komplotan Genden-Demid dan sebagian besar mengaku di bawah
siksaan hebat.[11]
Persidangan pertunjukan pertama diadakan di Teater Pusat Ulaanbaatar dari 18
hingga 20 Oktober 1937. 13 dari 14 orang yang dituduh dijatuhi hukuman mati.
Dalam ajang kekerasan yang
berlangsung hampir 18 bulan, troika Choibalsan menyetujui dan melaksanakan
eksekusi lebih dari 18.000 lama kontra-revolusioner. Para bhikkhu yang tidak
dieksekusi diwajibkan masuk ke dalam angkatan bersenjata Mongolia [12]
sementara 746 biara di negara itu dilikuidasi. Ribuan lebih intelektual
oposisi, pejabat politik dan pemerintah berlabel "musuh revolusi,"
serta etnis Buryat dan Kazakh juga
ditangkap dan dibunuh. 25 orang dari posisi teratas dalam partai dan pemerintah
dieksekusi, 187 dari kepemimpinan militer, 36 dari 51 anggota Komite Sentral.[13]
Mengikuti model Rusia, Choibalsan membuka gulag di pedesaan untuk memenjarakan
para oposisi.[14]
Sementara NKVD secara efektif mengelola pembersihan dengan mengadakan uji coba
pertunjukan dan melaksanakan eksekusi,[15][16]
Choibalsan sering mabuk [16]
kadang-kadang hadir selama penyiksaan [16]
dan interogasi terhadap orang-orang yang dicurigai kontrarevolusioner, termasuk
teman-teman lama dan kawan-kawannya. Perintah eksekusi NKVD Choibalsan yang
dicap karet dan terkadang eksekusi yang diarahkan secara pribadi.[13]
Dia juga menambahkan nama-nama musuh politik ke daftar penangkapan NKVD hanya
untuk menyelesaikan masalah lama.[15][16]
Namun demikian, bahkan ketika ia berusaha untuk menyelamatkan korban dengan
merekomendasikan keringanan hukuman dalam kasus-kasus tertentu, petugas NKVD
sering mengesampingkan keputusannya.[17]
Lihat
pula
- Khorloogiin
Choibalsan
- Republik
Rakyat Mongolia
- Pembersihan
Besar
- Pemberontakan bersenjata 1932 (Mongolia)
- Revolusi
budaya
- Pembunuhan massal di bawah rezim komunis
Referensi
1.
^ Christopher,
Kaplonski. "Encyclopedia
of Mongolia and the Mongol Empire". Inner Asia (dalam bahasa Inggris). 7:
209. ISSN 1464-8172.
2.
^ Kuromiya,
Hiroaki (July 2014). "Stalin's Great Terror and the Asian Nexus".
Europe-Asia Studies. 66 (5): 787. doi:10.1080/09668136.2014.910940.
3.
^ Sanders,
Alan J. K. (2010). Historical Dictionary of Mongolia. Lanham: Scarecrow Press.
hlm. 113. ISBN 978-0-8108-7452-7.
4.
^ Atwood,
Christopher (2004). Encyclopedia of Mongolia and the Mongol
Empire. New York:
Facts on File inc. hlm. 130. ISBN 978-0-8160-4671-3.
5.
^ Bawden;
Bawden, C. R. (1989). Modern History of Mongolia (dalam bahasa English) (edisi
ke-2nd). Routledge. hlm. 326. ISBN 978-0-7103-0800-9.
6.
^ Baabar, B.
(1999-01-01). History of Mongolia (dalam bahasa English). Ulaanbaatar: Monsudar
Pub. hlm. 329. ISBN 9789992900383.
7.
^ Baabar 1999,
p. 353
8.
^ Baabar 1999,
p. 355
9.
^ Baabar 1999,
p. 355
10.
^ Baabar 1999,
p. 359
11.
^ Baabar 1999,
p. 361: quoting N. Erdene-Ochir, "Extra-Special Commission", Ardyn
Erh, No. 153, 1991
12.
^ Palmer,
James (2008). The Bloody White Baron. London: Faber and Faber. hlm. 237. ISBN 978-0-571-23023-5.
14.
^ Sandag,
Shagdariin (2000). Poisoned arrows: The Stalin-Choibalsan
Mongolian massacres, 1921-1941. University of
Michigan. hlm. 70. ISBN 978-0-8133-3710-4.
16.
^ a b c d Becker 1992,
p. 95
17.
^ BBC Films. "Secrets of the Steppe".
Menu
navigasi
- Belum masuk log
- Pembicaraan
- Kontribusi
- Buat akun baru
- Masuk log
Pencarian
- Halaman
Utama
- Daftar
isi
- Perubahan terbaru
- Artikel pilihan
- Peristiwa terkini
- Halaman baru
- Halaman
sembarang
Komunitas
Wikipedia
Bagikan
Perkakas
- Pranala balik
- Perubahan terkait
- Halaman istimewa
- Pranala
permanen
- Informasi
halaman
- Kutip halaman ini
- Butir di Wikidata
- Pranala menurut ID
Cetak/ekspor
Bahasa
lain
- Halaman ini terakhir diubah pada 11 Februari 2021,
pukul 02.09.
- Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Dengan
menggunakan situs ini, anda menyetujui Ketentuan Penggunaan
dan Kebijakan Privasi.
Wikipedia® adalah merek dagang terdaftar dari Wikimedia
Foundation, Inc., sebuah organisasi nirlaba.
Teror Merah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi
Loncat ke pencarian
Artikel ini
berisi uraian tentang Teror Merah di Russia. Untuk kegunaan lain, baca artikel Teror Merah (disambiguasi).
Artikel ini
bukan mengenai Ketakutan Merah.
Artikel atau bagian dari artikel
ini mungkin diterjemahkan dari Red Terror
di en.wikipedia.org. Isinya memiliki ketidakakuratan. Selain itu
beberapa bagian yang diterjemahkan masih memerlukan penyempurnaan. Pengguna
yang mahir dengan bahasa yang bersangkutan dipersilakan untuk menelusuri referensinya dan
menyempurnakan terjemahan ini, atau Anda juga dapat ikut bergotong royong
dalam ProyekWiki
Perbaikan Terjemahan. |
Teror Merah adalah sebuah
kampanye pembunuhan
massal, penyiksaan,
dan operasi sistematis yang dilakukan oleh Bolshevik setelah permulaan Perang Saudara Rusia pada 1918. Historiografi Soviet
mendeskripsikan Teror Merah secara resmi diumumkan pada September 1918 oleh Yakov Sverdlov dan berakhir
sekitar Oktober 1918. Namun, istilah tersebut kemudian ditujukan kepada represi politik pada seluruh
masa Perang Saudara (1918–1922).[1][2] Cheka (polisi rahasia Bolshevik)[3] melakukan
represi massal.[4] Perkiraan
jumlah orang yang tewas pada masa Teror Merah berkisar dari 10,000[5] sampai lebih
dari satu setengah juga orang.[6]
Catatan
1.
^ Melgunov,
Sergei Petrovich (1924).
The Red Terror in Russia. Hyperion Pr (dipublikasikan tanggal 1975). ISBN 0-88355-187-X. See also: The Record of the Red Terror
2.
^ Kesalahan
pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Black
3.
^ Kesalahan
pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Radzinsky
4.
^ Suvorov,
Viktor, Inside Soviet Military Intelligence, New York: Macmillan (1984)
5.
^ Ryan,
James (2012). Lenin's Terror: The Ideological Origins of Early Soviet State
Violence. London: Routledge. p. 114. ISBN 978-1138815681.
6.
^ Szaszdi,
Lajos (2008). Russian civil-military relations and the origins of the
second Chechen war.
University Press of America. hlm. 152. ISBN 9780761841784.
Referensi
dan bacaan tambahan
- Nicolas Werth, Karel Bartosek, Jean-Louis Panne,
Jean-Louis Margolin, Andrzej Paczkowski, Stephane Courtois, Black Book
of Communism: Crimes, Terror, Repression, Harvard
University Press, 1999, hardcover, 858 pages, ISBN 0-674-07608-7.
Chapter 4: The Red Terror
- George Leggett, The Cheka: Lenin's Political Police.
Oxford
University Press, 1987, ISBN 0-19-822862-7
- Melgounov,
Sergey Petrovich (1925) The Red Terror in
Russia. London & Toronto: J. M. Dent & Sons Ltd
- Ryan, James (2012). Lenin's Terror: The Ideological Origins of Early Soviet
State Violence.
London: Routledge. ISBN 978-1138815681.
Pranala
luar
- Terrorism or Communism book by Leon Trotsky
on the use of Red Terror.
- Down with the Death Penalty! by Yuliy Osipovich Martov, June/July 1918
- The Record of the Red Terror by Sergei
Melgunov
- More 'red terror' remains found in Russia UPI, 19 Juli 2010.
Di
dalam Konvensi Internasional Genosida dan Statuta Roma disebutkan
bahwa genosida hanya mencakup pembasmian terhadap 4 kategori yakni
genosida/pembasmian terhadap kelompok etnis, ras, agama dan kelompok
bangsa/nasional. Dalam hal ini mendasarkan konvensi yang berlaku Majelis Hakim
IPT 65 menyebutkan Genosida terjadi terhadap kelompok bangsa / nasional.
Sementara ada pandangan bahwa Genosida 1965 sesungguhnya lebih tepat
dikategorikan sebagai pembasmian terhadap suatu kelompok politik tertentu
walau hal ini belum terakomodir dalam konvensi ini. Beberapa kalangan juga
memandang preseden Genosida Politik (Politicide) di Indonesia bisa
menjadi salah satu dorongan lagi untuk revisi Konvensi Internasional ini.
Kejahatan Genosida Politik: Memperbaiki Tindakan Buta
Konvensi Genosida - Beth Van Schaack Sekolah Hukum Universitas Santa Clara
Glanville mendengar dari seorang ahli hukum internasional,
seorang sejarawan, dan peramal kekejaman. Topik yang dibahas termasuk apakah
kelompok-kelompok politik harus dimasukkan dalam definisi hukum genosida,
mengapa pembersihan etnis baru-baru ini di Myanmar tidak hanya dapat diprediksi
tetapi diprediksi, dan mengapa kebangkitan Cina mungkin berita buruk untuk
pencegahan genosida.
Genocide Convention Blind Spot : Why
Political Groups Are Not Protected? / Mengapa Kategori Kelompok Politik Tidak
Dilindungi Dalam Konvensi Genosida 1948
web.archive.org.
Csp
11-14 menit
Negara Bulan dimulai Tahun Dimulai Bulan Berakhir Tahun
Berakhir Deskripsi Singkat Acara Afghanistan 4 1978 4 1992 Kudeta Komunis
menghasilkan pembersihan politik Lingkaran yang berkuasa diikuti oleh invasi
Soviet. Pemberontakan pedesaan Mujahedeen yang tersebar luas memicu taktik
pemerintah Soviet dan Afghanistan dari teror sistematis, penghancuran desa, dan
pelaksanaan tahanan. Aljazair 7 1962 12 1962 setelah kemerdekaan dari Perancis,
gerilyawan Aljazair menyerang orang-orang Eropa dan warga sipil Muslim yang
berkolaborasi dengan otoritas kolonial Prancis. Angola 11 1975 11 1994 Kedua
Uni Nasional untuk Kemerdekaan Angola (UNITA) Pemberontak dan Gerakan Populer
untuk Pembebasan Angola (MPLA) Pasukan Pemerintah LED melakukan kampanye dan
kekejaman yang merusak terhadap warga sipil. Upaya internasional untuk
mendamaikan kekuatan yang bersaing menghasilkan penghentian taktik genosida
setelah Protokol Lusaka pada November 1994. Angola 12 1998 3 Rekonsiliasi
antara para pejuang Unita dan pasukan pemerintah terjatuhan pada Desember 1998
dan Perang Saudara. Forces yang bersaing menargetkan populasi sipil dalam upaya
mereka untuk mendapatkan keuntungan taktis. Setelah kematian pemimpin Unita,
Jonas Savimbi, pada bulan Februari 2002 dan pihak-pihak yang berperang mencapai
kesepakatan damai pada bulan Maret 2002 yang secara efektif mengakhiri
pertempuran. Argentina 3 1976 12 1980 tahap militer kudeta dan menyatakan keadaan
pengepungan. Pasukan Kematian menargetkan subversives untuk penghilangan,
penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Bosnia 5 1992 11 1995 penduduk Muslim
Bosnia tunduk pada langkah-langkah "pembersihan etnis" termasuk
penghancuran properti, pemukiman kembali, eksekusi, dan pembantaian oleh Serbia
dan Kroasia yang mencari Union dengan Serbia dan Kroasia. Myanmar (Burma) 1
1978 12 tahun 1978 untuk mengamankan wilayah perbatasan, unit militer reguler
yang didukung oleh elemen-elemen Buddhis militan mendegrulasikan komunitas
Muslim Arakan di Burma barat dengan penindasan, kehancuran, penyiksaan, dan
pembunuhan. Burundi 10 1965 12 1973 Mencoba kudeta oleh unit Hutu pada tahun
1965 menghasilkan pembantaian pedesaan Tutsis. Menguasai Tutsis merespon dengan
melepaskan tentara yang didominasi Tutsi untuk menghancurkan para pemimpin
Hutu. Pada tahun 1972, Militan Hutus pembantaian Tutsis, rezim Tutsi merespons
dengan pembunuhan besar-besaran. Burundi 8 1988 8 1988 Sebagai akibat dari
kekerasan pedesaan yang tidak terorganisir terhadap pejabat Tutsi setempat,
Massacres Tentara yang didominasi Tutsi Hutus. Burundi 10 1993 12 1993 memaksa
pasukan militer Tutsi memberontak, membunuh Presiden Hutu. Bentrokan dan
pembantaian bersenjata terjadi dalam tiga gelombang: tentara Tutsi melawan
warga sipil Hutu, Hutus melawan Tutsis, dan Tutsi terhadap Hutus. Kamboja 4
1975 1 1979 Khmer Rouge memulai restrukturisasi masyarakat dengan kematian
besar-besaran oleh kelaparan, perampasan, eksekusi, dan pembantaian pendukung
rezim lama, penghuni kota, dan minoritas etnis dan religius (khususnya. Chili 9
1973 12 1976 setelah kudeta militer, pendukung mantan rezim dan kaum kiri
lainnya ditangkap, disiksa, menghilang, diasingkan, dan dieksekusi. Cina 3 1959
12 1959 pasukan dan pasukan keamanan menekan elemen-elemen counter-revolusioner
masyarakat, termasuk Buddha Tibet, pemilik tanah, dan pendukung mantan rezim
Chiang Kai-shek. Cina 5 1966 3 1975 dengan dukungan militer dan dengan
persetujuan dari faksi partai, geng pemuda penjaga merah menargetkan spektrum
masyarakat yang luas untuk penangkapan, pelecehan, pemerintahan, penyiksaan,
dan eksekusi. Kongo-Kinshasa 2 1964 1 1965 untuk mengkonsolidasikan kontrol,
pemberontak pembantaian kontra-revolusioner, termasuk orang-orang Kongo yang
berpendidikan, misionaris, dan orang Eropa lainnya. Kongo-Kinshasa 3 1977 12
1979 pemberontakan dan agitasi episodik dilawan oleh pembunuhan lawan politik,
anggota suku pembangkang, dan tahanan. El Salvador 1 1980 12 1989 Dalam
menghadapi pemberontakan yang meluas, militer, unit keamanan, dan pasukan
kematian membunuh, memenjarakan, dan melecehkan dugaan kaum kiri di antara
pendeta, petani, pekerja perkotaan, dan intelektual. Guinea khatulistiwa 3 1969
8 1979 Guinea Ekuatorial memperoleh kemerdekaan dari Spanyol pada 12 Oktober
1968. Dalam upaya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan setelah kemenangannya
dalam pemilihan presiden pertama di negara itu (September 1968), tekanan
Presiden Spanyol untuk meninggalkan kontrol ekonomi di Indonesia Februari 1969.
Krisis berikutnya memicu upaya kudeta yang gagal, yang memicu tindakan keras
yang berkelanjutan dan berkelanjutan pada semua lawan politik, termasuk
separatis etnis-bubi di pulau Fernando PO (sekarang dikenal sebagai Bioko).
Negara teror berakhir dengan kudeta yang dipimpin oleh keponakan Macias pada
bulan Agustus 1979. Ethiopia 7 1976 12 1979 tentara, unit keamanan internal,
dan regu pertahanan sipil elit politik dan militer, pekerja, siswa, birokrat,
dan lain-lain untuk menentang revolusioner rezim. Guatemala 7 1978 12 1990
Pemerintah yang didominasi militer memulai serangkaian kampanye anti-gerilya
anti-subversif dengan penggunaan pasukan kematian tanpa pandang bulu terhadap
dugaan kaum kiri dan Mayans adat. Pembunuhan menjadi sistemati