Catatan
Peningkatan Status Papua Barat Menjadi Daerah Konflik Di Pasifik.
By: Kristian Griapon, September 20, 2023.
Peningkatan Status Papua Barat menjadi “Wilayah Konflik di Kawasan Regional Pasifik”, mengacu pada:
1. Deklarasi Saralana, 6 Desember 2014, bersatunya semua faksi pejuang politik bangsa Papua Barat ke dalam “Organisasi Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat, yang disebut “ULMWP”.
2. Pengakuan Negara-Negara MSG, bahwa ULMWP mewakili Papua Barat sebagai entitas non-negara dalam Organisasi Negara-Negara Melanesian Spearhead Group “menjadi anggota entitas pengamat non-negara”. Pengakuan itu terjadi melalui KTT-MSG 20, tahun 2016 di Negara Kepualaan Solomon.
3. Peta Jalan Penyelesaian (Roadmap) Konflik di Papua Barat melalui Resolusi PIF, 50, Tuvalu tahun 2019 dan diperkuat Resolusi OACP Nairobi, Kenya tahun 2019.
Papua Barat kini telah menjadi salah satu wilayah konflik yang statusnya telah terbuka ke publik internasional, wilayah yang dibawah kendali penuh otoritas Negara Republik Indonesia melalui resolusi MU-PBB 2504 tahun 1969.
Peningkatan status Papua Barat menjadi daerah konflik di pasifik, menunjukkan bahwa, telah terjadi “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Human Crime Againt) secara sistimatis (bermetode) dan meluas di seluruh kawasan yang termasuk dalam wilayah geografi Papua Barat. Motif utamanya “Genosida melalui pembunuhan diluar hukum dan impunitas alat kekuasaan Negara”, yang menjalankan otoritas negara Republik Indonesia di Papua Barat, baik itu diaras atas, menengah dan bawah.
Papua Barat dijadikan daerah kekuatan darurat (emergency power) sejak rezim orde baru berkuasa dan berlanjut hingga saat ini, dimana eksekutif (pemerintah) diberikan kekuasaan tidak terbatas pada hukum biasa non konstitusi, untuk mengatasi masalah perjuangan kemerdekaan penduduk asli Papua Barat untuk mendirikan sebuah negara merdeka dari Indonesia, pasca PEPERA tahun 1969.
Mengkondisikan emergency power di Papua Barat, eksekutif dapat bertindak melampaui batas-batas hukum biasa (non kontitusi) untuk melindungi rakyat dan kepentingan rezim yang berkuasa di Papua Barat, namun harus dibawah pengawasan legislatif (DPR).
Pengawasan DPR untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan darurat yang terjadi, sehingga bersinggungan
langsung dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia, diantaranya pembunuhan diluar
hukum dan impunitas alat kekuasaan negara yang bertugas di Papua Barat, baik
itu diaras atas, menengah dan bawah.
Dampak dari emergency power diluar kontrol yang terjadi di Papua Barat, kini telah menjadi beban Negara Republik Indonesia terhadap tanggungjawab dan kewajiban internasionalnya yang terikat oleh hukum internasional yang harus dipertanggungjawabkan berdasarkan negara, dimana konflik di Papua Barat telah melahirkan dua resolusi PIF dan OACP, yang meminta masyarakat internasional ikut mengambil bagian dalam penyelesaian damai masalah konflik di Papua Barat.
Dua poin penting yang kini menjadi perhatian masyarakat internasional dalam konflik yang terjadi di Papua Barat antara Otortas Negara Indonesia dan Penduduk Asli Papua, adalah "Pembunuhan diluar hukum dan Impunitas", wasalam.(Kgr).
Penulis adalah Aktivis Pemerhati
Masalah Papua Barat.