ADVISORY OPINION INTERNATIONAL COURT of JUSTICE CHAGOS ARCHIPELAGO,
MEMBERI WACANA FORMULASI WILAYAH TIDAK BEPEMERINTAHAN SENDIRI DAN HAK
MENENTUKAN NASIB SENDIRI.
By: Kristian Griapon, 5 Maret 2019
Sesi penulisan, penulis hanya berfokus pada paragraf yang mempunyai
relevansi pendapat hukum internasional tentang penentuan nasib
sendiri/daerah tidak berpemerintahan sendiri ,dari keseluruhan 183
paragraf advisori opinon ICJ.
ADVISORY OPINION INTERNATIONAL
COURT of JUSTICE CHAGOS ARCHIPELAGO, adalah “KEPUTUSAN PENGADILAN
YURIDIKSI, yaitu “Memberikan Pendapat Penasihat Hukum yang terurai ke
dalam 183 paragraf, tentang permintaan Majelis Umum PBB terhadap
Konsekuensi Hukum Pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius pada tahun
1965, sebelum wilayah itu merdeka pada tahun 1968. Peristiwa yang
mengarah pada penerapan resolusi Majelis Umum 71/292 yang meminta suatu
Pendapat Hukum.
ICJ-mengklarifikasi , Resolusi-Majelis Umum PBB:
1514 (XV) 1960-Memformulasi / merumuskan kembali pemahaman hukum
normatif daerah-daerah tidak berpemerintahan sendiri sesuai dengan
prinsip piagam PBB pasal (73), dan mengkategori daerah dekolonisasi
menuju hak penentuan nasib sendiri, serta meninjau pemahaman normatif
Pasal (6) Resolusi-Majelis Umum, 1514 tentang integritas wilayah
nasional suatu negara, yang selama ini dijadikan tameng persembunyian
penjajahan gaya baru (neo-Kolonialsime) oleh negara-negara kovenan
/terikat hukum internasional, yang dalam prakteknya tidak mencerminkan
prinsip piagam PBB pasal (73). Dan hal tersebut kembali dipertegas
dalam formulasi/rumusan uraian Paragraf-156 keputusan yuridiksi
pendapat hukum ICJ, dalam kaitan tuntutan perkembangan pendapat hukum
(evolusi opini yuris), yang akan dijadikan dasar untuk diadopsi kedalam
Resolusi pada- SU UNGA-2019 mendatang.
PERTAMA: TENTANG, RELEVANSI PERIODE WAKTU UNTUK TUJUAN MENGIDENTIFIKASI ATURAN HUKUM INTERNASIONAL YANG BERLAKU:
Paragraf-140. Dalam Pertanyaan (a), Majelis Umum menempatkan proses
dekolonisasi Mauritius pada periode antara pemisahan Kepulauan Chagos
dari wilayahnya pada tahun 1965 dan independensinya pada tahun 1968.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada periode inilah Mahkamah diharuskan
mengidentifikasi aturan-aturan hukum internasional yang berlaku untuk
proses itu.
Paragrap-141. Berbagai peserta telah menyatakan bahwa
hukum internasional tidak dibekukan pada tanggal ketika langkah pertama
diambil menuju realisasi hak untuk menentukan nasib sendiri sehubungan
dengan suatu wilayah.
Paragraf-142. Pengadilan berpendapat bahwa,
sementara penentuan hukum yang berlaku harus fokus pada periode 1965
hingga 1968, ini tidak akan mencegahnya, terutama ketika aturan normatib
berlaku untuk suatu masalah, dan mempertimbangkan evolusi hukum tentang
penentuan nasib sendiri sejak diadopsi Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan resolusi 1514 (XV) tanggal 14 Desember 1960 dengan
tema "Deklarasi Pemberian Kemerdekaan Kepada Wilayah dan Rakyat
Penjajahan". Mengingat, negara penjajah dalam prakteknya, dan evolusi
opinio juris, yaitu penerimaan praktik itu sebagai hukum (Pasal 38
Statuta Negara). Pengadilan, mengkonsolidasikan dan mengkonfirmasi
secara bertahap dari waktu ke waktu.
Paragraf-143. Pengadilan
juga dapat mengandalkan instrumen hukum yang menunda periode yang
bersangkutan, ketika instrumen tersebut mengkonfirmasi atau menafsirkan
aturan atau prinsip yang sudah ada sebelumnya (piagam dasar PBB)
KEDUA: TENTANG, HUKUM INTERNASIONAL YANG BERLAKU:
Paragraf-153. Kata-kata yang digunakan dalam resolusi 1514 (XV)
memiliki karakter normatif, sejauh ini menegaskan bahwa “[a] Semua orang
memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri”. Pernyataan pembukaan,
"itu membuka ruang penjajahan lebih cepat dan tanpa syarat dalam segala
bentuk dan manifestasi " dan paragraf pertamanya menyatakan bahwa" [t]
ia tunduk pada orang-orang terhadap penaklukan alienasi, dominasi dan
eksploitasi merupakan penolakan terhadap hak asasi manusia yang
fundamental [dan] bertentangan dengan Piagam PBB ”. Resolusi ini lebih
lanjut menyatakan bahwa “[i] langkah segera harus diambil, dalam Wilayah
Kepercayaan dan Wilayah Tiadak Berpemerintahan Sendiri , atau semua
wilayah lain yang belum mencapai kemerdekaan, untuk mentransfer semua
kekuasaan kepada orang-orang di wilayah itu, tanpa syarat atau syarat,
di sesuaikan dengan keinginan mereka yang diungkapkan secara bebas ”.
Dan untuk mencegah pemisahan/pemotongan wilayah yang bukan pemerintahan
sendiri, paragraf (6) dari resolusi 1514 (XV) menyatakan bahwa: "Setiap
upaya yang ditujukan pada gangguan sebagian atau keseluruhan dari
"persatuan nasional dan integritas teritorial suatu negara" dinyatakan
tidak sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB" (persatuan nasional
dan integritas teritorial suatu negara = ikatan kebangsaan berdasarkan
letak geografis dan demografis/budaya etnis suatu kelompok bangsa yang
membetuk suatu negara)
Paragraf-154. Pasal 1, umum untuk Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan untuk Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, diadopsi pada 16
Desember 1966, berdasarkan resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI),
menegaskan kembali hak semua orang untuk penentuan nasib sendiri, dan
mengakomodasi, antara lain, bahwa:
“Negara-negara Pihak pada Kovenan
ini, termasuk yang memiliki tanggung jawab terhadap administrasi
Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri dan Menerima Kepercayaan, untuk
mempromosikan realisasi hak penentuan nasib sendiri, dan tetap
menghormatinya secara benar, sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. "
155. Sifat dan ruang lingkup hak penentuan nasib sendiri suatu bangsa,
termasuk penghormatan terhadap "Persatuan nasional dan integritas
teritorial suatu Negara atau negara", ditegaskan kembali dalam Deklarasi
tentang Prinsip - prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan
Persahabatan dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam PBB.
Deklarasi ini dilampirkan pada Resolusi MajelisUmum, 2625 (XXV) yang
diadopsi oleh konsensus pada tahun 1970. Dengan mengakui hak untuk
menentukan nasib sendiri sebagai salah satu "prinsip dasar hukum
internasional", Deklarasi membenarkan karakter normatifnya di bawah
hukum kebiasaan internasional.
Paragraf-156. Cara untuk
menerapkan hak menentukan nasib sendiri dalam wilayah yang tidak
berpemerintahan sendiri, diformulasikan untuk "suatu daerah yang
terpisah secara geografis dan. . . berbeda secara etnik dan / atau
budaya dari negara yang mengelola/menguasainya ”, ditetapkan dalam
Prinsip VI Majelis Umum resolusi 1541 (XV), diadopsi pada 15 Desember
1960: Dan suatu “Wilayah Non-Pemerintahan Sendiri dapat dikatakan telah
mencapai ukuran penuh pemerintahan sendiri apabila:
(a) Telah
menjadi negara merdeka berdaulat; (b) Menjadi asosiasi bebas dengan
Negara merdeka (daerah otonom); atau,(c)Terintegrasi kedalam Negara
merdeka. "
Paragraf-161. Dalam pandangan Pengadilan,
undang-undang tentang penentuan nasib sendiri merupakan yang berlaku
dalam hukum internasional selama periode yang dipertimbangkan, yaitu
antara tahun 1965 dan 1968. Pengadilan mencatat dalam Pendapat
Penasihatnya tentang Namibia dalam konsolidasi hukum itu;
Dan“perkembangan selanjutnya dari hukum internasional sehubungan dengan
wilayah tidak berpemerintahan sendiri, sebagaimana diabadikan dalam
Piagam PBB, menjadi prinsip penentuan nasib sendiri yang berlaku untuk
semua daerah yang diformulasi sebagai daerah tidak berpemerintahan
sendiri (paragraf 156) ”(Konsekuensi Hukum untuk Negara Bagian dari
Afrika Selatan yang berkelanjutan di Namibia (Afrika Barat Selatan)
demikian juga Resolusi Dewan Keamanan 276 (1970), Opini Penasihat,
I.C.J. Laporan 1971, hlm. 31, para. 52).
KETIGA, CATATAN PENULIS:
Keputusan yuridiksi ICJ, memberi wacana bagi daerah-daerah koloni yang
dikaburkan oleh kepentingan “Geo stategi-ekonomi, politik dan
pertahanan keamanan dalam bentuk penjajahan gaya baru/neo-kolonialisme,
yang bersembunyi dibalik hukum kebiasaan internasional normatif Resolusi
Majelis Umum PBB, 1514 (XV) pasal (6) Penghormatan terhadap integritas
nasional suatu negara(Uti Possidetis).
Untuk Papua Barat
relevansi opini yuris tentang New York Agreement , 15 Agustus 1962,
harus mendapat dukungan negara-negara anggota PBB untuk membuat suatu
Resolusi Majelis Umum PBB, guna meninjau keabsahan PEPERA, 1969
berdasarkan standar hukum internasional sebagaimana yang telah
diratifikasi Indonesia dan Belanda tertuang pada Bab XVIII ayat (d)”One
man’One vote”. “Konsekuensi hukum paragraf 156 poin (c)”
"Apa
yang dilakukan oleh Negara Republik Vanuatu untuk Rakyat Papua Barat,
sudah sesuai dengan Kehendak Orang Asli Papua sendiri, yakni, mendasari
diatas Konsensus Bersama Seluruh Elemen Perjuangan Kemerdekaan Bangsa
Papua Barat, yang tertuang dalam "Komunike Saralana, Port Vila Vanuatu. 6
Desember 2014- diantaranya Meng-orbitkan ULMWP sebagai lembaga
representasi diplomasi politik luar negeri bangsa Papua Barat". Dan
langkah diplomasi luar negeri Vanuatu sudah tepat, tidak bertentangan
dengan mekanisme hukum internasional.
U/p:” Papua Barat tidak bisa melangkah maju tanpa Vanuatu...itu bagian dari aturan main.
Tulisan ini masih banyak kekurangan, namun dengan penuh harapan dapat
memotivasi khalayak bangsa Papua Barat untuk mengamati secara saksama
perkembangan / Evolusi Hukum Kebiasaan Internasional tentang Resolusi
Majelis Umum PBB, 1514 (XV), 1541 (XV), 2200 A (XXI), 276 (1970),…yang
tertuang dalam ADVISORY OPINI INTERNATIONAL COURT of JUSTICE KEPULAUAN
CHAGOS, “KEPUTUSAN PENGADILAN YURIDIKSI, yang “Memberikan Pendapat
Penasihat Hukum tentang permintaan Majelis Umum PBB Peristiwa yang
mengarah pada penerapan resolusi Majelis Umum 71/292 yang meminta suatu
Pendapat Hukum terhadap Konsekuensi Hukum pemisahan Kepulauan Chagos
dari mauritius pada tahun 1965, sebelum merdeka tahun 1968.Termuat,183
paragraf.
“Syaloom Tuhan memberkati Orang Asli Papua dan Bangsa
Vanuatu, serta Mengilhami Pemahaman Kebangsaan yang Sesungguhnya Kepada
Seluruh Anak Bangsa Indonesia. Amin”.(Kgr)