New York Agreement merupakan salah satu upaya diplomasi yang difasilitasi oleh PBB, yang menghasilkan kesepakatan tentang road map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/irian Barat dan menciptakan sebuah Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku pada 21 September 1962.2 Jun 2017
Kementerian Luar Negeri Indonesia -
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
9-11 minutes
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan di San
Francisco, Amerika Serikat pada 24 Oktober 1945 setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Namun, Sidang Majelis Umum yang pertama
baru diselenggarakan pada 10 Januari 1946 di Church House, London yang dihadiri
oleh wakil-wakil dari 51 negara. Saat
ini terdapat 192 negara yang menjadi anggota
PBB. Semua negara yang tergabung dalam PBB menyatakan
independensinya masing-masing.
Sejak
didirikan pada tahun 1945, negara-negara anggota PBB berkomitmen penuh untuk
memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan
persahabatan antar negara, mempromosikan pembangunan sosial, peningkatan
standar kehidupan yang layak, dan Hak Azasi Manusia. Dengan karakternya yang unik, PBB dapat
mengambil sikap dan tindakan terhadap berbagai permasalahan di dunia
internasional, serta menyediakan forum terhadap 192 negara-negara anggota untuk
mengekspresikan pandangan mereka, melalui Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan
Ekonomi dan Sosial, Dewan Hak Azasi Manusia, dan badan-badan serta komite-komite
di dalam lingkup PBB. Sekretaris Jenderal
PBB saat ini adalah Ban Ki-moon asal Korea Selatan yang menjabat sejak 1 Januari 2007.
Ruang lingkup peran PBB mencakup penjaga perdamaian,
pencegahan konflik dan bantuan kemanusiaan. Selain itu, PBB juga menanganii
berbagai permasalahan mendasar seperti pembangunan berkelanjutan, lingkungan
dan perlindungan pengungsi, bantuan bencana, terorisme, perlucutan senjata dan
non-proliferasi, mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender
dan pemberdayaan perempuan, pemerintahan, ekonomi dan pembangunan sosial,
kesehatan, upaya pembersihan ranjau darat, perluasan produksi pangan, dan
berbagai hal lainnya, dalam rangka mencapai tujuan dan mengkoordinasikan
upaya-upaya untuk dunia yang lebih aman untuk ini dan generasi mendatang.
Sekilas Diplomasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa
Indonesia resmi menjadi anggota PBB ke-60 pada tanggal 28
September 1950 dengan suara bulat dari para negara anggota. Hal tersebut
terjadi kurang dari setahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda melalui
Konferensi Meja Bundar. Indonesia dan PBB memiliki keterikatan sejarah yang
kuat mengingat kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945,
tahun yang sama ketika PBB didirikan dan sejak tahun itu pula PBB secara
konsisten mendukung Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka, berdaulat, dan
mandiri. Oleh sebab itu, banyak negara yang mendaulat Indonesia sebagai “truly
a child” dari PBB. Hal ini dikarenakan peran PBB terhadap Indonesia pada masa
revolusi fisik cukup besar seperti ketika terjadi Agresi Militer Belanda I,
Indonesia dan Australia mengusulkan agar persoalan Indonesia dibahas dalam
sidang umum PBB. Selanjutnya, PBB membentuk Komisi Tiga Negara yang membawa
Indonesia-Belanda ke meja Perundingan Renville. Ketika terjadi Agresi militer
Belanda II, PBB membentuk UNCI yang mempertemukan Indonesia-Belanda dalam
Perundingan Roem Royen.
Pemerintah RI mengutus Lambertus Nicodemus Palar sebagai
Wakil Tetap RI yang pertama di PBB. Duta Besar Palar bahkan telah memiliki
peran besar dalam usaha mendapatkan pengakuan internasional kemerdekaan
Indonesia pada saat konflik antara Belanda dan Indonesia pada tahun 1947. Duta
Besar Palar memperdebatkan posisi kedaulatan Indonesia di PBB dan di Dewan
Keamanan walaupun pada saat itu beliau hanya sebagai "peninjau" di
PBB karena Indonesia belum menjadi anggota pada saat itu. Pada saat berpidato
di muka Sidang Majelis Umum PBB ketika Indonesia diterima sebagai anggota PBB,
Duta Besar Palar berterima kasih kepada para pendukung Indonesia dan berjanji
bahwa Indonesia akan melaksanakan kewajibannya sebagai anggota PBB. Posisi
Wakil Tetap RI dijabatnya hingga tahun 1953.
Sebagai negara anggota PBB, Indonesia dalam menyelesaikan
sengketa Irian Jaya dengan Belanda mengupayakan solusi dengan mengajukan
penyelesaian permasalahan tersebut kepada PBB pada tahun 1954. Posisi Indonesia
ini didukung oleh Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1955 yang
mengeluarkan sebuah resolusi untuk mendukung Indonesia dan kemudian meminta PBB
untuk menjembatani kedua pihak yang berkonflik dalam meraih solusi damai. Namun
demikian, hingga tahun 1961 tidak ada indikasi solusi damai meskipun dalam
faktanya isu tersebut dibahas dalam rapat pleno Majelis Umum PBB dan di Komite
I.
Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-17 tahun 1962,
penyelesaian sengketa tersebut akhirnya menemukan titik terang dengan
dikeluarkannya Resolusi No. 1752 yang mengadopsi ”The New York Agreement” pada
21 September 1962. Selanjutnya, United Nations Executive Authority (UNTEA)
sebagai badan yang diberi mandat oleh PBB untuk melakukan transfer kekuasaan
Irian Jaya dari Belanda kepada Indonesia menjalankan tugasnya secara efektif
mulai 1 Oktober 1962 dan berakhir pada 1 Mei 1963.
Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan
Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB,
Presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB
pada tanggal 20 Januari 1965. Setelah pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke
Orde Baru, Pemerintah Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan
bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada
tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima untuk
pertama kalinya.
Sebagai kelanjutan penyelesaian masalah Irian Barat,
Pemerintah Indonesia melaksanakan "Pepera" di Irian Jaya (Papua) di
bawah pengawasan PBB tahun 1969. Pelaksanaan
Pepera dilakukan secara demokratis dan transparan dengan melibatkan masyarakat
Irian Jaya serta melibatkan partisipasi, bantuan, dan saran PBB melalui utusan
khususnya yaitu Duta Besar Ortiz Sanz dari Bolivia.
Pada
akhirnya Pepera telah diterima oleh masyarakat internasional melalui sebuah
Resolusi No. 2504 dalam Sidang Umum PBB ke-24 pada 19 November 1969 yang
mengukuhkan perpindahan kekuasaan di wilayah Irian Jaya dari Belanda kepada
Indonesia.
Sebagai
anggota PBB, Indonesia terdaftar dalam beberapa lembaga di bawah naungan PBB.
Misalnya, ECOSOC (Dewan Ekonomi dan Sosial), ILO (Organisasi Buruh
Internasional), maupun FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian). Salah satu prestasi
Indonesia di PBB adalah saat Menteri Luar Negeri Adam Malik menjabat sebagai
ketua sidang Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.
Indonesia
juga terlibat langsung dalam pasukan perdamaian PBB. Dalam hal ini Indonesia
mengirimkan Pasukan Garuda untuk mengemban misi perdamaian PBB di berbagai
negara yang mengalami konflik.
Pencapaian
Indonesia di Dewan Keamanan (DK) PBB adalah ketika pertama kali terpilih
sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 1974-1975. Indonesia terpilih untuk
kedua kalinya menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk periode 1995–1996. Dalam
keanggotaan Indonesia di DK PBB pada periode tersebut, Wakil Tetap RI Nugroho
Wisnumurti tercatat dua kali menjadi Presiden DK-PBB. Terakhir, Indonesia
terpilih untuk ketiga kalinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk masa
bakti 2007–2009. Proses pemilihan dilakukan Majelis Umum PBB melalui pemungutan
suara dengan perolehan 158 suara dukungan dari keseluruhan 192 negara anggota
yang memiliki hak pilih.
Di
Komisi Hukum Internasional PBB/International Law Commission (ILC), Indonesia
mencatat prestasi dengan terpilihnya mantan Menlu Mochtar Kusuma Atmadja
sebagai anggota ILC pada periode 1992-2001. Pada pemilihan terakhir yang
berlangsung pada Sidang Majelis Umum PBB ke-61, Duta Besar Nugroho Wisnumurti
terpilih sebagai anggota ILC periode 2007-2011, setelah bersaing dengan 10
kandidat lainnya dari Asia.
Indonesia
merupakan salah satu anggota pertama Dewan HAM dari 47 negara anggota PBB
lainnya yang dipilih pada tahun 2006. Indonesia kemudian terpilih kembali
menjadi anggota Dewan HAM untuk periode 2007-2010 melalui dukungan 165 suara
negara anggota PBB.
PBB
sebagai organisasi internasional dengan legitimasi yang bersumber dari
keanggotaan yang bersifat universal, hendaknya selalu menjadi forum penanganan
berbagai tantangan dan krisis global yang semakin kompleks di masa mendatang.
Reformasi PBB khususnya Dewan Keamanan agar lebih mencerminkan kondisi politik
dunia saat ini penting dimajukan agar upaya ini dapat efektif dan memiliki nilai
legitimasi. Indonesia akan terus berada di garis depan dalam memajukan peranan
PBB mengatasi krisis global dan pada saat yang sama menyerukan perlunya
reformasi PBB.
Berikut
ini adalah para Wakil Tetap RI yang pernah dan sedang mewakili Indonesia di PBB:
1. Lambertus Nicodemus Palar, 1950-1953
2. Sudjarwo Tjondronegoro, 1953-1957
3. Ali Sastroamidjojo,
1957-1960
4. Soekardjo Wirjopranoto,
1960-1962
5. Lambertus Nicodemus
Palar,1962-1965
6. Dr. H. Roeslan Abdulgani,
1967-1971
7. Yoga Soegomo, 1971-1974
8. Ch.
Anwar Sani, 1974-1979
9. Abdullah
Kamil,1979-1982
10. Ali Alatas, 1982-1988
11. Nana Sutresna, 1988-1992
12. Noegroho
Wisnumurti, 1992-1997
13. Makarim Wibisono, 1997-2001
14. Makmur
Widodo, 2001-2004
15. Rezlan Ishar Jenie, 2004-2007
16.
R.M. Marty M. Natalegawa,
2007-2009
17. Hassan
Kleib, 2010-2012
18.
Desra Percaya, 2012-Sekarang