Rabu, 16 Agustus 2023

Pelanggaran New York Agreement 15 Agustus 1962, Melahirkan Kekerasan Negara Di Papua Barat, Profil Dalam Gambar

 

Gambar Ilustrasi: Salah satu bentuk kekerasan alat kekuasaan Negara Republik Indonesia di Papua Barat

Subtansi Masalah Dalam Perjuangan Pembebasan Bangsa Papua Barat Adalah “Pelanggaran Hak Politik Bangsa Papua Barat” Dalam Pelaksanaan Act of Free Choice Tahun 1969 di Papua Barat.

Oleh: Kristian Griapon, Agustus 16, 2023.

New York Agreement, 15 Agustus 1962 adalah Perjanjian Internasional Antar Negara, tentang penyelesaian sengketa kekuasaan wilayah tidak berpemerintahan sendiri New Guinea Bagian Barat (Papua Barat), antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda.

Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, Sifatnya mengikat, dan telah menjadi deposit Sekretaris Jenderal PBB, atau dengan kata lain telah terdaftar pada Sekretariat Majelis Umum PBB dengan Nomor Register. 6311. INDONESIA dan BELANDA, Perjanjian (dengan lampiran) tentang Nugini Barat (Papua Barat). Ditandatangani di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, pada tanggal 15 Agustus 1962

Didaftarkan pada tanggal 21 September 1962 oleh Sekretaris Jenderal PBB yang bertindak atas nama pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sesuai dengan ayat 2 pasal XXVIII Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.

New Guinea Barat (Papua Barat) termasuk dalam kategori salah satu wilayah sengketa antar negara setelah perang dunia ke-2,  dan penyelesaiannya melalui perjanjian internasional, sehingga wilayah New Guinea Barat masuk dalam daerah perwalian PBB (trust-territories/daerah pengwasan) yang diatur melalui piagam PBB Bab XII Pasal 75 s/d Pasal 85 dan Bab XIII Pasal 86 s/d Pasal 91.

New Guinea Barat setelah diregistrasi, seharusnya menjadi kewenangan dan tanggunjawab dibawah pengawasan Dewan Perwalian PBB bersama dengan daerah-daerah perwalian PBB lainnya, misalnya Kepulauan Palau di Sub Regional Mikronesia Kawasan Pasifik, adalah daerah perwalian PBB terakhir yang dimerdekakan dari administrator AS pada tanggal 1 Oktober 1994.

Papua Barat wilayah yang oleh Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 pada artikel II s/d VIII mengamanatkan bahwa, New Guinea Barat setelah diregistrasi menjadi kewenangan dan tanggungjawab Sekjen PBB dalam rangka mengambil alih kekuasaan  wilayah tidak berpemerintahan sendiri New Guinea Barat dari Pemerintahan Kerajaan Belanda dan mentransfernya kepada Pemerintahan Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia setelah menerima tanggungjawab internasional melalui perjanjian yang dibuatnya dengan Pemeritah Kerajaan Belanda, adalah menjalankan kewajiban internasional mempersiapkan Act of Free Choice pada tahun 1969.

Subtansi masalah yang menimbulkan konflik setelah Act of Free Choice tahun 1969, dengan adanya Deklarasi Perang Politik Bangsa Papua Barat pada, tanggal, 1 Juli 1971, adalah respons terhadap “Pelanggaran Hak Politik Bangsa Papua Barat” dalam pelaksanaan Act of Free Choice tahun 1969 oleh Pemerintah Republik Indonesia, pihak yang menjalankan administrator PBB di New Guinea Barat.

Bentuk pelanggaran hak politik bangsa Papua Barat, adalah Administrator Pemerintah Republik Indonesia menggantikan tata cara pemilihan bebas yang tertera pada klausul perjanjian New York 15 Agustus 1962, artikel XVIII poin (d), dengan tata cara budaya kebiasaan bangsa Indonesia, yaitu “perwakilan, musyawarah dan mufakat” .1025 orang Asli Papua dan Imigran Indonesia yang ditunjuk oleh Otoritas Indonesia, mewakili > 800.000 penduduk asli Papua yang memiliki hak pilih dalam penentuan nasib sendiri pada tahun 1969.

Kasus hukum itu menjelaskan bahwa “orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat tidak pernah menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang diamanatkan dalam klausul New York Agreement 15 Agustus 1962 Pasal XVIII Poin (d), tentang syarat  penggunaan hak pilih dalam penentuan nasib sendiri orang-orang asli Papua Barat di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat”.

Perjanjian internasional dilandasi oleh enam asas yang berfungsi sebagai dasar-dasar perjanjian internasional yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat.

Enam asas perjanjian internasional dan penjelasannya:

1)  Pacta Sunt Servanda

Pacta Sunt Servanda diambil dari bahasa latin yang berarti perjanjian harus ditepati. Ini merupakan asas pertama dan tertua yang mendasari perjanjian internasional.

Dilansir dari Oxford Public International Law, Pacta Sunt Servanda berarti hak dan kewajiban semua pihak dalam perjanjian internasional harus dilakukan, dan pelanggarannya akan dikenakan konsekueknsi sesuai hukum internasional yang berlaku.

2)  Egality Rights

Yang dimaksud egality rights adalah kesetaraan semua pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional. Sehingga tidak ada perbedaan level antar negara yang terlibat dalam perjanjian, semua negara setara.

Negara maju maupun berkembang adalah setara dan hak-hak negara tersebut tidak boleh dilanggar. Egality rights menyetarakan negara dan juga mencegah terjadinya penjajahan, perjanjian yang berat sebelah, dan pemaksaan dalam perjanjian.

3)  Reciprocity

Reciprocity atau timbal balik adalah asas internasional yang mengatur bahwa semua pihak yang terlibat melaksanakan hak dan kewajiban yang sama rata. Sehingga dalam perjanjian internasional, tidak ada pihak yang terlalu rugi, tidak ada pihak yang terlalu diuntungkan, semuanya seimbang dan merupakan jalan tengah.

4)  Bonafides

Bonafides berarti iktikad baik. Dalam perjanjian internasional harus dilandasi iktikad atau niat baik dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memiliki iktikad baik berarti negara-negara tersebut memiliki tujuan yang baik untuk membentuk suatu perjanjian internasional.

5)  Courtesy

Couteresy atau kehormatan adalah asas yang mewajibkan pihak-pihak dalam perjanjian untuk saling menghormati satu sama lain. Asas couteresy mengharuskan sopan santun dan rasa saling hormat karena semua pihak dalam perjanjian internasional adalah setara.

6)  Rebus sic Stantibus

Rebus sic Stantibus adalah asas perjanjian yang diambil dari bahasa latin dan berarti hal-hal yang berdiri. Dilansir dari Cambridge University Press, asas Rebus sic Stantibus memperbolehkan perubahan atau penghentian perjanjian atas dasar keadilan.

Asas Rebus sic Stantibus adalah pengecualian dari asas Pacta Sunt Servanda, karena perjanjian dapat ditinjau ulang jika ada hal-hal fundamental ataupun keadaan yang berubah, dengan jalan perundingan kembali pihak-pihak yang terlibat.

Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 memenuhi standar perjanjian internasional berdasarkan Piagam PBB pasal 102, sehingga mempunyai kekuatan hukum perjanjian internasional, dan berbagai bentuk pelanggaran yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian itu yang merugikan salah satu pihak, maka kasusnya dapat ditinjau melalui jalur politik di majelis Umum PBB dan, atau melalui jalur hukum yurudiksi mahkamah internasional (ICJ), guna penyelesaian kasusnya.

Konsekuensi ipso facto terhadap semua negara anggota PBB berdasarkan piagam PBB pasal 93  ayat (1), maka Indonesia terikat pada statuta mahkamah internasional (ICJ). Oleh karena itu pelanggaran Act of Free Choice dijamin dalam pasal 35 ayat (1) dan pasal 36 statuta mahkamah internasional (ICJ), untuk penyelesaiaan konsekuensi hukumnya melalui yuridiksi mahkamah internasional.

Syarat untuk masalah Papua Barat dapat di selesaikan di Majelis Umum PBB dan, atau di mahkamah internasional, prosedurnya harus berdasarkan negara.

Papua Barat bukan sebuah negara berdaulat, namun berdasarkan pengelompokan etnik dan budaya penduduknya termasuk dalam rumpun Melanesia, serta letak wilayah geografi Papua Barat termasuk dalam kawasan sub regional pasifik selatan. Sehingga atas dasar pertimbangan itu, menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG).

MSG mempunyai tanggungjawab moral terhadap kewajiban internasiaonalnya berdasarkan Piagam PBB Bab VIII untuk mencari jalan penyelesaian masalah Papua Barat,  baik ditingkat MSG maupun di tingkat regional dan lembaga multilateral PBB. Untuk mencari jalan penyelesaian damai.konflik rakyat Papua Barat dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Syarat untuk MSG menggunakan hak politik internasional dalam mendorong penyelesaian damai masalah Papua Barat, yaitu ULMWP sebagai representatif perlawanan politik bangsa Papua Barat harus menjadi anggota resmi (full member) MSG, sebagai simbol terintegrasinya Papua Barat ke dalam kawasan pasifik selatan.

Bentuk penyelesaian  masalah Papua Barat menuju pedamaian abadi, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu, referendum ulang model pilihan bebas rakyat Timor-Timur, atau melalui pengakuan kemerdekaan langsung oleh Negara Republik Indonesia terhadap Bangsa dan Negara Berdaulat Papua Barat, model Pengakuan lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) antar Belanda dan Indonesia, wasalam. (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.


Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...