Advisory Opinion International court of Justice Chagos Archipelago, Memberi Wacana Formulasi Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri Dan Hak Menentukan Nasib Sendiri.
ADVISORY OPINION INTERNATIONAL COURT of JUSTCE CHAGOS ARCHIPELAGO, adalah KEPUTUSAN PENGADILAN YURIDIKSI, yaitu Memberikan Pendapat Penasihat Hukum yang terurai ke dalam 183 paragraf, tentang permintaan Majelis Umum PBB terhadap Konsekuensi Hukum Pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius pada tahun 1965, sebelum wilayah itu merdeka pada tahun 1968. Peristiwa yang mengarah pada penerapan resolusi Majelis Umum 71/292 yang meminta suatu Pendapat Hukum.
ICJ mengklarifikasi Resolusi-Majelis Umum PBB: 1514 (XV) 1960, memformulasikan/merumuskan kembali pemahaman hukum normatif daerah-daerah tidak berpemerintahan sendiri sesuai dengan prinsip piagam PBB pasal (73), dan mengkategori daerah dekolonisasi menuju hak penentuan nasib sendiri, serta meninjau pemahaman normatif Pasal (6) Resolusi-Majelis Umum, 1514 tentang integritas wilayah nasional suatu negara, yang selama ini dijadikan tameng persembunyian penjajahan gaya baru (neo-Kolonialsime) oleh negara-negara kovenan/terikat hukum internasional, yang dalam prakteknya tidak mencerminkan prinsip piagam PBB pasal (73). Dan hal tersebut kembali dipertegas dalam formulasi/rumusan uraian Paragraf-156 keputusan yuridiksi pendapat hukum ICJ, dalam kaitan tuntutan perkembangan pendapat hukum (evolusi opini yuris), yang akan dijadikan dasar untuk diadopsi kedalam Resolusi pada- SU UNGA-2019.
PERTAMA: TENTANG, RELEVANSI PERIODE WAKTU UNTUK TUJUAN MENGIDENTIFIKASI ATURAN HUKUM INTERNASIONAL YANG BERLAKU:
Paragraf-140. Dalam Pertanyaan (a), Majelis Umum menempatkan proses dekolonisasi Mauritius pada periode antara pemisahan Kepulauan Chagos dari wilayahnya pada tahun 1965 dan independensinya/kemerdekaan Mauritius pada tahun 1968. Oleh karena itu, dengan mengacu pada periode inilah Mahkamah diharuskan mengidentifikasi aturan-aturan hukum internasional yang berlaku untuk proses itu.
Paragraf-141. Berbagai peserta telah menyatakan bahwa hukum internasional tidak dibekukan pada tanggal ketika langkah pertama diambil menuju realisasi hak untuk menentukan nasib sendiri sehubungan dengan suatu wilayah.
Paragraf-142. Pengadilan berpendapat bahwa, sementara penentuan hukum yang berlaku harus fokus pada periode 1965 hingga 1968, ini tidak akan mencegahnya, terutama ketika aturan normatib berlaku untuk suatu masalah, dan mempertimbangkan evolusi hukum tentang penentuan nasib sendiri sejak diadopsi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan resolusi 1514 (XV) tanggal 14 Desember 1960 dengan tema "Deklarasi Pemberian Kemerdekaan Kepada Wilayah dan Rakyat Penjajahan". Mengingat, negara penjajah dalam prakteknya, dan evolusi opinio juris, yaitu penerimaan praktik itu sebagai hukum (Pasal 38 Statuta Negara). Pengadilan, mengkonsolidasikan dan mengkonfirmasi secara bertahap dari waktu ke waktu.
Paragraf-143. Pengadilan juga dapat mengandalkan instrumen hukum yang menunda periode yang bersangkutan, ketika instrumen tersebut mengkonfirmasi atau menafsirkan aturan atau prinsip yang sudah ada sebelumnya (piagam dasar PBB)
KEDUA: TENTANG, HUKUM INTERNASIONAL YANG BERLAKU:
Paragraf-153. Kata-kata yang digunakan dalam resolusi 1514 (XV) memiliki karakter normatif, sejauh ini menegaskan bahwa “[a] Semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri”. Pernyataan pembukaan, "itu membuka ruang penjajahan lebih cepat dan tanpa syarat dalam segala bentuk dan manifestasi " dan paragraf pertamanya menyatakan bahwa" [t] ia tunduk pada orang-orang terhadap penaklukan alienasi/mengisolasi, mendominasi dan mengeksploitasi merupakan penolakan terhadap hak asasi manusia yang fundamental [dan] bertentangan dengan Piagam Dasar PBB ”. Resolusi ini lebih lanjut menyatakan bahwa “[i] langkah segera harus diambil, dalam Wilayah Kepercayaan dan Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri , atau semua wilayah lain yang belum mencapai kemerdekaan, untuk mentransfer semua kekuasaan kepada orang-orang di wilayah itu, tanpa syarat atau syarat, di sesuaikan dengan keinginan mereka yang diungkapkan secara bebas ”. Dan untuk mencegah pemisahan/pemotongan wilayah yang bukan pemerintahan sendiri, paragraf (6) dari resolusi 1514 (XV) menyatakan bahwa: "Setiap upaya yang ditujukan pada gangguan sebagian atau keseluruhan dari "persatuan nasional dan integritas teritorial suatu negara" dinyatakan tidak sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam Dasar PBB" (persatuan nasional dan integritas teritorial suatu negara = ikatan kebangsaan berdasarkan letak geografis dan demografis/budaya etnis suatu kelompok bangsa yang membetuk suatu negara)
Paragraf-154. Pasal 1, umum untuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan untuk Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, diadopsi pada 16 Desember 1966, berdasarkan resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI), menegaskan kembali hak semua orang untuk penentuan nasib sendiri, dan mengakomodasi, antara lain, bahwa:
“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, termasuk yang memiliki tanggung jawab terhadap administrasi Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri dan Menerima Kepercayaan, untuk mempromosikan realisasi hak penentuan nasib sendiri, dan tetap menghormatinya secara benar, sesuai dengan ketentuan Piagam Dasar PBB. "
Paragraf-155. Sifat dan ruang lingkup hak penentuan nasib sendiri suatu bangsa, termasuk penghormatan terhadap "Persatuan nasional dan integritas teritorial suatu Negara atau negara", ditegaskan kembali dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam Dasar PBB. Deklarasi ini dilampirkan pada Resolusi MajelisUmum, 2625 (XXV) yang diadopsi oleh konsensus pada tahun 1970. Dengan mengakui hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai salah satu "prinsip dasar hukum internasional", Deklarasi membenarkan karakter normatifnya di bawah hukum kebiasaan internasional.
Paragraf-156. Cara untuk menerapkan hak menentukan nasib sendiri dalam wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri, diformulasikan untuk "suatu daerah yang terpisah secara geografis dan...berbeda secara etnik dan/atau budaya dari negara yang mengelola/menguasainya”, ditetapkan dalam Prinsip VI Resolusi Majelis Umum 1541 (XV), diadopsi pada 15 Desember 1960: Dan suatu “Wilayah Non-Pemerintahan Sendiri dapat dikatakan telah mencapai ukuran penuh pemerintahan sendiri apabila:
(a). Telah menjadi negara merdeka berdaulat; (b). Menjadi asosiasi bebas dengan Negara merdeka (daerah otonom); atau, (c). Terintegrasi kedalam Negara merdeka. "
Paragraf-161. Dalam pandangan Pengadilan, undang-undang tentang penentuan nasib sendiri merupakan yang berlaku dalam hukum internasional selama periode yang dipertimbangkan, yaitu antara tahun 1965 dan 1968. Pengadilan mencatat dalam Pendapat Penasihatnya tentang Namibia dalam konsolidasi hukum itu; Dan“perkembangan selanjutnya dari hukum internasional sehubungan dengan wilayah tidak berpemerintahan sendiri, sebagaimana diabadikan dalam Piagam Dasar PBB, menjadi prinsip penentuan nasib sendiri yang berlaku untuk semua daerah yang diformulasi sebagai daerah tidak berpemerintahan sendiri (paragraf 156) ”(Konsekuensi Hukum untuk Negara Bagian dari Afrika Selatan yang berkelanjutan di Namibia (Afrika Barat Selatan) demikian juga Resolusi Dewan Keamanan 276 (1970), Opini Penasihat, I.C.J. Laporan 1971, hlm. 31, para. 52).
KETIGA, CATATAN PENULIS:
Keputusan yuridiksi ICJ, memberi wacana bagi daerah-daerah koloni yang dikaburkan statusnya oleh kepentingan “Geo stategi-ekonomi, politik dan pertahanan keamanan dalam bentuk penjajahan gaya baru/neo-kolonialisme, yang bersembunyi dibalik normatif hukum kebiasaan internasional Resolusi Majelis Umum PBB, 1514 (XV), pasal (6) Penghormatan terhadap integritas nasional suatu negara(Uti Possidetis).
Untuk Papua Barat relevansi opini yuris tentang New York Agreement , 15 Agustus 1962, harus mendapat dukungan negara-negara anggota PBB untuk mengadopsi sebuah Resolusi Majelis Umum PBB, rujukan ke ICJ guna Mendapatkan "KEPUTUSAN PENGADILAN YURIDIKSI", tentang peninjauan keabsahan PEPERA, 1969 berdasarkan standar hukum internasional sebagaimana yang telah diratifikasi Indonesia dan Belanda tertuang pada klausul perjanjian Bab XVIII poin (d)”One man’One vote”. “Konsekuensi hukum dari paragraf 156 poin (c)”
"Apa yang dilakukan oleh Negara Republik Vanuatu untuk Rakyat Papua Barat, sudah sesuai dengan Kehendak Orang Asli Papua sendiri, yakni, mendasari diatas Konsensus Bersama Seluruh Elemen Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, yang tertuang dalam "Komunike Saralana, Port Vila Vanuatu. 6 Desember 2014- diantaranya Meng-orbitkan ULMWP sebagai lembaga representasi diplomasi politik luar negeri bangsa Papua Barat". Dan langkah diplomasi luar negeri Vanuatu sudah tepat, tidak bertentangan dengan mekanisme hukum internasional.
U/p:”Para Pejuang Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, harus mencari dukungan negara-negara berdaulat, guna mengoptimalkan Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat...Karena hal itu bagian terpenting dalam aturan main politik internasional".(Kgr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar