[By;Kristian Griapon, 23 November 2020].
Dua Strategi Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya meng-Indonesia-kan Wilayah Geografi West Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang pertama melalui “pendekatan diplomasi politik luar negeri”, dan yang kedua melalui “tindakan preventif (soft action) melalui kebijakan politik dalam negeri, dan didukung tindakan represif (crackdown) terhadap ekspresi hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua” oleh alat kekuasaan negara (TNI-POLRI).
Diplomasi Politik Luar Negeri.
Dalam diplomasi politik luar negeri, Indonesia menggunakan pendekatan hubungan bilateral di kawasan Pasifik terutama terhadap negara-negara yang di pandang sangat sensitif atau riskan terhadap pergeseran isu hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua ke dunia Internasional, memasuki Negara lain (keluar dari Indonesia).
Australia adalah negara yang mempunyai hubungan emosional dengan Indonesia, sehubungan dengan negara itu mempunyai andil dalam mendorong kemerdekaan Indonesia melalui Dewan Keamanan PBB pada tahun 1940-an. Pada saat itu Indonesia tidak layak menjadi sebuah Negara berdasarkan wilayah geografi, sehingga rancangan Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi solusi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.
Kini Australia menjadi negara yang sedang diwaspadai oleh Indonesia setelah Timor-Timur terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, membentuk sebuah Negara Republik Demokratik Timor Leste.
Australia sebuah negara kunci di Indo-Pasifik, menjadi serif AS melalui hubungan Unilateral Fakta Pertahanan ANZUS di kawasan regional pasifik, dalam mengawal kepentingan AS menghadapi perang dingin. Indonesia dan Negara-negara lain di sekitar Australia di bawah Kontrolnya pada masa perang dingin, dan Indonesia sendiri pada masa perang dingin merasa aman terhadap isu hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua, dengan membangun hubungan yang lebih dekat dengan Negara Australia.
Papua New Guinea (PNG) sebuah Negara yang dimerdekakan oleh Australia pada, 16 September 1975, mempunyai hubungan sanak-saudara dengan bangsa West Papua di bagian barat Pulau New Guinea. Pemerintahan PNG tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah berbagai kasus tindakan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua di sebelah barat Negara itu (PNG), yang dilakukan oleh kekuasaan Negara Republik Indonesia (NKRI), karena terikat 0leh perjanjian kerja sama dalam hubungan bilateral, didasari pada prinsip non intervensi urusan dalam negeri masing-masing negara.
Dibawah kontrol pemerintah Australia hubungan bilateral Indonesia – PNG dimulai sejak tahun 1973 yaitu dua tahun sebelum PNG memperoleh kemerdekaan pada tahun 1975 dari Australia, dan sejak itu hubungan bilateral RI-PNG mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, langkah stategis Indonesia untuk membendung pergeseran isu politik hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua di New Guinea bagian Barat, bergeser ke wilayah Negara PNG di bagian timur dan dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri pemerintah PNG.
Secara konsisten pemerintah PNG mendukung kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas wilayah West Papua, dan melarang keras kegiatan kelompok TPN/OPM di wilayah PNG yang dapat merugikan kepentingan Republik Indonesia. Setiap tahunnya, aparat keamanan PNG telah menginstruksikan dengan tegas pengibaran bendera Bintang Kejora pada upacara peringatan HUT West Papua 1 Desember yang dirayakan oleh kelompok pengungsi masyarakat Papua garis keras di PNG. Dan pada forum regional Pacific Island Forums (PIF), maupun Melanesian Spearhead Group (MSG) Pemerintah PNG selalu menolak agenda untuk membicarakan West Papua.
Langkah strategis Indonesia yang sama dalam hubungan bilateral dengan PNG dikembangkan ke Negara-negara di kawasan regional pasifik untuk mencegah berkembangnya isu hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua di wilayah geografi West Papua, dan Kepulauan Solomon negara anggota MSG yang vocal terhadap hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua, harus melunak setelah Indonesia berhasil melakukan pendekatan melalui hubungan bilateral.
Tindakan Preventif Dan Represif Di dalam Negeri.
Pada masa perang dingin, Indonesia begitu muda dapat mengontrol dan mengendalikan berbagai pergerakan kemerdekaan rakyat Papua melalui strategi operasi intelijen (perang tertutup). Operasi intelijen adalah langkah preventif bertujuan mengeliminir ideology kemerdekaan West Papua.
Memasuki perkembangan global setelah perang dingin berakhir pada tahun 1991, dunia dihadapkan pada transisi perubahan nilai-nilai peradaban baru, yang berorientasi pada “Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), Liberalisme, dan Universalisme”.
Perubahan nilai-nilai peradaban baru, bertendensi terhadap keterbukaan (transfaransi) didororong oleh liberalisme yang menempatkan demokrasi dan hak asasi manusia secara universal memasuki ruang ketatanegaraan dunia menembus batas-batas negara, dan menggeser tirani otoritarianisme yang menempatkan manusia sebagai budak kekuasaan.
Indonesia salah satu Negara yang tidak bisa menghindari perubahan nilai-nilai peradaban baru yang ditandai oleh era reformasi di Indonesia dengan ditumbangnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998.
Era reformasi di Indonesia membuka ruang demokrasi di Indonesia, dan mendorong tuntutan hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua muncul kepermukaan, ditandai Tim 100 masyarakat Papua menyampaikan aspirasi penentuan nasib sendiri rakyat Papua sebagai suatu bangsa secara langsung dan terbuka kepada persiden RI ke-3 B J.Habibie di Istana Negara Jakarta pada tahun 1999. Dan puncak dari perenungan aspirasi itu dilaksanakan konggres Rakyat Papua II tahun 2000 di Port Numbay West Papua.
Konggres II melahirkan agenda pelurusan sejarah Papua. Agenda itu digiring oleh Jakarta dibawah kepemimpinan presiden RI ke-4 Megawati Sukarno Putri melahirkan otonomi khusus Papua dengan UU No 21 tahun 2001, bagian dari tindakan preventif (soft action) melalui kebijakan politik Jakarta menghadang hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua.
Era reformasi membawa perubahan di Indonesia kearah kehidupan Negara berdemokrasi, pergeseran kekuasaan militeristik ke arah tatanan kehidupan masyarakat sipil hanya bertahan seumur jagung (1998-2000).
Terpilihnya Megawati Sukarno Putri menjadi presiden RI ke-4 didukung oleh barisan militer garis keras (nasionalisme), pertanda buruk bagi proses demokrasi di Indonesia. Militerisme dihidupkan kembali dibawah symbol “NKRI HARGA MATI”.
Ruang demokrasi di Papua ditutup ditandai terbunuhnya pemimpin besar pribumi Papua Dortheys.Hiyo.Eluay pada 10 November 2001, bertepatan langsung dengan hari pahlawan Indonesia.
Otonomi khusus Papua merupakan kamuflase politik Jakarta, hal itu dapat diamati dari berbagai tindakan represif militer Indonesia (TNI-POLRI) di West Papua maupun di daerah Indonesia diluar wilayah West Papua, terhadap tuntutan hak demokrasi pribumi Papua yang bersinggungan langsung dengan hak-hak kewilayahan geografi West Papua, yaitu hak-hak sipil dan Politik (Sipol), serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob).
Dari sudut pandang filosofis politik
ketatanegaraan di Indonesia, UU OTSUS Papua Nomor.21 Tahun 2001, dapat
dikatakan uji coba (trial and errol) Proses pemantapan integrasi nasional atas
wilayah West Papua untuk meredam Ideology Papua Merdeka, yang pada prinsipnya
melibatkan dua problema dasar, yaitu:
Pertama: Bagaimana membuat Pribumi
Papua harus tunduk, taat dan patuh kepada tuntutan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kedua: Bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik masyarakat atau individu-individu yang ada di dalam cakupan Otonomi Khusus itu.
Dua problema dasar itu dijadikan konsep dasar guna pengembangan metode untuk mencari jalan penyelesaian masalah West Papua menjadi bagian Integrasi Wilayah Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa melibatkan pribumi Papua.
Indikasinya jelas, sejak otonomi khusus Papua diberlakukan hingga memasuki masa berakhirnya, pemerintah pusat telah menggunakan alat kekuasaan Negara yang berlebihan. Melalui tindakan represif TNI dan POLRI, memaksa pribumi Papua harus tunduk dan taat terhadap kemauan Jakarta, dan hal tersebut telah menimbulkan berbagai tindakan, penindasan, terjadi ketidak adilan, yang pada prinsipnya melanggar hak-hak sipol dan ekosob pribumi Papua diatas negeri mereka West Papua.
Teramati dua pendekatan dalam negeri untuk meredam isu hak penentuan nasib sendiri pribumi Papua, yaitu melalui tindakan lunak (soft action) bersifat preventif, diberlakukan berbagai kebijakan politik yang berorientasi nasional di wilayah West Papua, menjadikan wilayah terbuka bagi migran Indonesia untuk menetap dan berasimilasi terhadap pribumi Papua tanpa adanya proteksi kewilayahan yang menjamin hak dasar pribumi Papua diatas negeri mereka. Berbagai kebijakan pemerintah pusat yang berorientasi nasional di West Papua didukung secara represif oleh alat kekuasaan Negara (TNI-POLRI) tanpa peduli terhadap hak-hak komunal pribumi Papua.
Dampak dari berbagai kebijakan (soft
action) Jakarta yang berorientasi nasional di West Papua, melahirkan tidakan
keras (crackdown) oleh alat kekuasaan Negara (TNI-POLRI) untuk mendukung
kebijakan Jakarta, sehingga terbentur dengan hak-hak sipol dan ekosob (hak
komunal) pribumi Papua yang berakibat fatal, terjadi berbagai kasus tindakan
kekerasan yang mengarah pada dugaan pelanggaran HAM berat yang kini menjadi
keprihatinan komunitas internasional.(Kgr)