Kamis, 22 April 2021

 

Doktrin Uti Possidetis Sukarno, Mencaplok Wilayah Geografi Diluar Kedaulatan Negara Republik Indonesia.


(By: Kristian Griapon, Selasa 20 April 2021)

Pengantar

Suatu prinsip dasar dalam hukum internasional tidak dapat dipisahkan dari prinsip dasar yang lainnya dalam mengkaji, membentuk sebuah pemahaman yang utuh dalam mengadopsi sebuah resolusi Perseikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dijadikan dasar sebuah opini yuris hukum internasional, guna menjawab kasus-kasus internasiaonal, atau sengketa wilayah antar negara. Misalnya dalam prinsip Uti possidetis juris tertera kata “pengecualian”. Kata pengecualian dapat dipahami mempertegas prinsip dasar yang satu dengan prinsip dasar yang lain dalam membatasi klaim kepemilikan teritori/wilayah atau properti di luar kedaulatan suatu negara (jus tertii).

Tinjauan Kasus

Perjanjian Linggarjati, Cirebon yang ditandatangani Indonesia-Belanda pada, 25 Maret 1947 yang ditengahi oleh Inggris, menghasilkan tentang persetujuan kemerdekaan Indoneia yang tertuang dalam dua poin dasar:

1. Pengakuan secara De facto atas wilayah Negara Republik Indonesia yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.

2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat yang salah satu Negara bagiannya, adalah Republik Indonesia.(Sumber: Googlee.com search/22/6/2020)

Perjanjian Renville yang ditengahi Amerika Serikat, Australia dan Belgia, pada, 17 januari 1948 menghasilkan kesepakatan:

1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra, menjadi bagian dari Wilayah Republik Indonesia.

2. Disetujui sebuah garis demarkasi yang memisahkan Wilayah Indonesia, dan daerah pendudukan Belanda.

3. Militer Indonesia harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur.(Sumber: Ensiklopedia bebas)

Dua prinsip yang terungkap pada saat masalah Indonesia diangakat oleh masyarakat internasional melalui Dewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya dan menentukan posisi perjuangan rakyat Indonesia memperoleh kemerdekaan dari Belanda:

1. Prinsip yang ditegaskan oleh Belanda, bahwa masalah Indonesia diluar batas kekuasaan Dewan Keamanan PBB, oleh karena, Pertama – Piagam PBB hanya menyentuh perhubungan antar Negara-negara berdaulat. Kedua – Persengketaan di Indonesia adalah urusan dalam negeri dari Pemerintah Belanda. Ketiga – Keadaan di Indonesia tidak membahayakan Perdamaian dan keamanan Internasional.

2. Prinsip yang ditegaskan oleh Perancis dan Belgia dalam perdebatan masalah Indonesia di DK-PBB pada, 12 Agustus 1947, Pertama – Selama dalam Perundingan tentang Kekuasaan DK-PBB untuk membicarakan masalah Indonesia tidak pernah membuahkan suatu keputusan DK-PBB. Kedua – Menurut Hukum Internasional Republik Indonesia tidak mencukupi syarat-syarat menjadi sebuah Negara, sebagaimana dimaksud dalam piagam PBB. Ketiga – Oleh karena itu sikap yang sah yang dapat diambil oleh DK-PBB adalah menawarkan jasa-jasa baik kepada Belanda untuk menyelesaikan masalahnya dengan Indonesia. (sumber: UNO PBB,Mr.Sumarto Djojodiharjo, Abdul Hamid, Konsul RI, San Francisco, pustaka-W.Van Hoeve Bandung1952)

“Jasa Baik” yang dianjurkan, atau ditawarkan melalui sidang DK-PBB ke-181, 12 Agustus 1947 menjadi rujukan Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai administrator penguasa koloni atas wilayah-wilayah geografis di Hindia Timur yang disebut Hindia-Belanda, dan rujukan itu dijadikan dasar perundingan damai kemerdekaan Indonesia melalui konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda yang berhasil membentuk Negara Republik Indonesia Serikat, yang merdeka berdasarkan jurisdiksi hukum internasional.

Konferensi Inter-Indonesia (Pra-KMB) diselenggarakan pada 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para peserta konferensi setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.

Perundingan KMB menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. KMB juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.

kesepakatan tentang status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Negara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat.

Pada 15 Agustus 1950, diadakan rapat gabungan parlemen (DPR) dan Senat RIS. Dalam rapat gabungan ini Presiden Soekarno membacakan Piagam Persetujuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada hari itu, Presiden Soekarno langsung ke Yogyakarta untuk menerima kembali jabatan Presiden Negara Kesatuan dari pejabat Presiden RI, Mr Asaat.

Dengan demikian, negara RIS berakhir dan secara resmi pada 17 Agustus 1950 terbentuk kembali NKRI. Dengan Soekarno sebagai Presiden dan Moh Hatta sebagai Wakil Presiden RI. (Sumber: Kompas.com - 12/03/2020).

Dua pandangan yang betolak belakang antara dua tokoh bangsa Indonesia Sukarno dan Moh Hatta, tentang prinsip Uti Possidetis Juris dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Saat itu terjadi perdebatan antara Sukarno,Cs, dan Muhammad Hatta. “Sukarno,Cs, bilang bahwa batas wilayah Indonesia itu sampai ke wilayah Thailand sekarang, mengikuti bekas wilayah Majapahit.

Sedangkan Muhammad Hatta, jelasnya, berprinsip bahwa wilayah Indonesia yang akan merdeka tidak akan seluas itu. Wakil Presiden Indonesia pertama ini menggunakan prinsip Uti Possidetis Juris tersebut sebagai salah satu alasan argumennya. “Hatta bilang tidak, wilayah kita mengikuti bekas wilayah Hindia, jajahan Belanda [https://historia.id/.../ketika-hatta-menolak.../page/2...]

Opini Yuris Papua Barat Disetarakan Dengan Kasus Kepulauan Chagos.

Dalam argumentasi pendapat penasehat hukum internasional delegasi Vanuatu yang disampaikan oleh dua penasehat hukum masing-masing: Mr.McCorquodale dan Ms.Robinson, teradopsi pendapat hukum (opini yuris) tentang Papua Barat yang disetarakan dengan kasus Kepulauan Chagos.

OPINI YURIS MR.MCCORQUODALE, yang disampaikan dalam paragraf (25), lembaran pendapat hukum menyatakan:

25. Britania Raya juga berusaha menimbulkan rasa takut bahwa keputusan ini dalam pendapat ini akan berdampak pada prinsip uti possidetis. Ini adalah penyerahan Vanuatu bahwa integritas teritori dari wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri tidak boleh digabung dengan prinsip 33 Lihat UNGA res. 108 (II) “Penerimaan Yaman dan Pakistan ke Keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa” (A / RES / 108 (II) tanggal 30 Desember 1947) (mengakui Pakistan sebagai Anggota baru Perserikatan Bangsa-Bangsa);

Resolusi UNGA. 448 (V) “Pengembangan Pemerintahan Sendiri di Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri” (A / RES / 448 (V) tanggal 12 Desember 1950) (tentang kemerdekaan Indonesia). Bahwa, Resolusi UNGA. 448 pada 29 Juni 1950 secara khusus menyebutkan Papua Barat (saat itu disebut Netherlands New Guinea) akan tetap menjadi Koloni Belanda setelah Kemerdekaan Indonesia.

Majelis Umum mencatat "komunikasi tertanggal 29 Juni 1950 dari Pemerintah Belanda di mana dinyatakan bahwa Belanda tidak akan lagi menyajikan laporan sesuai dengan Pasal 73 (e) tentang Indonesia dengan ‘Pengecualian’ Papua Barat" (penekanan ditambahkan). Resolusi tersebut juga meminta agar “Komite Khusus Informasi yang ditransmisikan berdasarkan Pasal 73 (e) Piagam untuk memeriksa informasi tersebut yang mungkin dikirimkan di masa depan kepada Sekretaris Jenderal [dalam kaitannya dengan wilayah non-pemerintahan di Papua Nugini ] dan melaporkannya ke Majelis Umum ” Ini secara eksplisit mengakui bahwa Belanda harus terus melaporkan sesuai dengan Pasal 73 (e) Piagam PBB tentang Papua Barat, mengakui Papua Barat sebagai wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri. [Lihat mis. StAU, parag. 74-128; StMU, paras. 6.20-6.38. 35 Pengajuan lisan dari Belize: CR 2018/23, hlm. 11, para. 17 (Juratowitch). 36 UNGA res. 2066 (XX)]

“Pertanyaan Mauritius”, A / RES / 2066 (XX) tanggal 16 Desember 1965) (menyesalkan kegagalan administrasi yang mengelola untuk sepenuhnya mengimplementasikan resolusi 1514 sehubungan dengan Kepulauan Chagos). 37 Lihat mis. StGB, paragraf. 8,29 dan seq., 9.18; StMU, para. 6.58. - 35 - uti possidetis.

Uti possidetis adalah prinsip yang menyangkut pemeliharaan batas-batas kolonial pada saat kemerdekaan wilayah kolonial. Ini tidak menyangkut batas-batas sah suatu wilayah kolonial sebelum menjadi Negara atau menggunakan hak untuk menentukan nasib sendiri. Karenanya, penerapan uti possidetis terhadap perbatasan Mauritius pada kemerdekaan pada tahun 1968 tidak dapat diterapkan, karena batas tersebut didasarkan pada divisi yang melanggar hukum pada tahun 1965 dari batas kolonialnya oleh Inggris, yang bertentangan dengan integritas teritorial wilayah kolonial .(Sumber: ICJ, 2019/Translat:Kgr)

OPINI YURIS Ms.ROBINSON, yang disampaikan dalam paragraf (13, 14, dan 16) lembaran pendapat hukum menyatakan:

13. Dalam hal ini, Vanuatu ingin menyampaikan

keprihatinannya bahwa Amerika Serikat, dalam upaya untuk berargumen bahwa tidak ada aturan hukum kebiasaan internasional, mengutip kasus Papua Barat. Pada tahun 1962, Papua Barat adalah wilayah tanpa pemerintahan sendiri yang dikenal sebagai Netherlands New Guinea.

14. Vanuatu ingin mengklarifikasi bahwa Perjanjian 1962 di mana Belanda Nugini dipindahkan dari Belanda ¾ pertama, ke administrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kemudian ke administrasi Indonesia ¾ mensyaratkan bahwa penduduk Papua Barat akan memiliki kesempatan untuk mengekspresikan mereka kebebasan memilih apakah akan berintegrasi dengan Indonesia atau menjadi mandiri48. Perjanjian itu, yang dicatat oleh Majelis Umum dalam resolusi 175249, mensyaratkan ¾ konsisten dengan hukum kebiasaan internasional ¾ bahwa kebebasan akan dipastikan dengan hak pilih universal dari penduduk wilayah tersebut, sesuai dengan praktik internasional.

16. Telah diterima oleh Pengadilan ini dalam kasus Timor Timur bahwa merupakan prinsip erga omnes bahwa orang-orang di wilayah yang tidak memerintah sendiri adalah “bangsa” untuk keperluan hak untuk melihat perjanjian antara Republik Indonesia. dan Kerajaan Belanda Mengenai Papua Nugini Barat (Irian Barat), 15 Agustus 1962, 437 UNTS 273. Perjanjian tersebut menyatakan dalam Pasal XVIII bahwa salah satu tujuannya adalah “untuk memberi orang-orang di wilayah tersebut kesempatan untuk menggunakan kebebasan pilihan ", yang akan didasarkan pada" (d) kelayakan semua orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga negara asing untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri yang akan dilakukan sesuai dengan praktik internasional ". 49 UNGA res. 1752 (XVII), “Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang West New Guinea (Irian Barat)”, A / RES / 1752 (XVII) pada 21 Sep 1962. Majelis Umum “mencatat” perjanjian antara Belanda dan Indonesia. 50 AS mengakui bahwa pemungutan suara tidak dilakukan sesuai dengan proses demokrasi: lihat StUS, para. 4,71, dan khususnya fn.180. - 40 - penentuan nasib sendiri.(Sumber: ICJ,2019/Translate:Kgr)

Sengketa Wilayah Papua Barat

Pemahaman dasar Hindia-Belanda, adalah “Wilayah-Wilayah Geografis di Samudera Hindia bagian timur yang menjadi daerah Jajahan Belanda”, diantaranya Papua Barat di bagian Pasifik Barat Daya.

Status Papua Barat sama dengan daerah jajahan Belanda lainnya, Suriname di Amerika Latin, dan Antilen di Karibia, terlepas dari Hindia Timur yang kini disebut Indonesia. Dan jika ada yang mempersoalkan status Hindia-Belanda atas Papua Barat, itu dapat dipahami sehubungan dengan masalah teknis pengelolahan suatu wilayah yang menjadi daerah jajahan (masalah intern negara penjajah) bersfat politis, terlepas dari prinsip dasar hukum internasional jus tertii dan erga omnes serta prinsip lainnya. Hal tersebut telah dipertegas melalui kemerdekaan Indonesia yang disahkan berdasarkan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 desember 1949 dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat, yang mempunyai wilayah kedaulatan meliputi Sabang (Aceh) sampai Maluku (Ambon), dan Papua Barat adalah Wilayah tidak berpemerintahan sendiri, di luar dari proklamasi kemerdekaan Indonesia Serikat.(fakta juridis)

Uti possidetis (dalam bahasa Latin berarti "seperti yang Anda miliki") adalah prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa teritori (wilayah) dan properti lainnya tetap di tangan pemiliknya pada akhir konflik, kecuali jika hal yang berbeda diatur oleh suatu perjanjian. Apabila perjanjian tersebut tidak termasuk kondisi tentang kepemilikan properti dan wilayah diambil selama perang, maka prinsip uti possidetis akan berlaku. Asas ini mengakar dari hukum Romawi dan berasal dari frase Latin "ita possideatis, yang berarti "Anda dapat tetap memiliki apa yang Anda miliki". Prinsip ini memungkinkan pihak yang berperang untuk mengklaim wilayah yang telah direbut selama perang.

Sengketa wilayah geografi Papua Barat ditinjau berdasarkan prinsip jus tertii, maka argumen jus tertii menjelaskan, bahwa dalam perselisihan sengketa suatu objek kepemilikan properti atau wilayah, tujuannya untuk memperjelas salah satu klaim kepemilikan pihak utama atau yang mempunyai hak kepemilikan yang sebenarnya.

Sukarno Presiden Republik Indonesia Pertama mengklaim properti atau wilayah Hindia-Belanda (uti possidetis juris) atas wilayah geografi Papua Barat sangat bertentangan dengan asas pengecualian yang tertera dalam prinsip uti possidetis juris, artinya asas pengecualian membatasi klaim kedaulatan suatu negara atas wilayah atau properti diluar batas suatu negara berdasar prinsip jus tertii dan erga omnes, dimana untuk Papua Barat adalah wilayah tidak berpemerintahan sendiri dan rakyat Papua Barat adalah suatu bangsa, sehinga mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Dan kedua prinsip ini dengan sendirinya memposisikan rakyat Papua Barat adalah pihak ke tiga diluar kemerdekaan Republik Indonesia Serikat, yang disahkan pada, 27 Desember 1949.

Dalam perjanjian New York, 15 Agustus 1962 antara Indonesia dan Belanda, Penduduk Asli Papua adalah pihak ke tiga yang dimaksud “jus tertii”, artinya status penduduk asli Papua jelas, adalah pemilik pihak utama, atau yang mempunyai hak kepemilikan atas wilayah geografi maupun properti Papua Barat, yang disengketakan oleh Indonesia terhadap Belanda atas kepemilikan daerah jajahan. Dan Rakyat Papua Barat sebagai suatu bangsa, mempunyai hak fundamental yang telah diatur dengan jelas dalam klausul perjanjian New York, 15 Agustus 1962.

Sejak Indonesia mengambil alih administrator PBB dari UNTEA pada 1 Mei 1963, saat itu dimulai berbagai pelanggaran terhadap klausul (item) perjanjian New York yang bersentuhan langsung dengan Hak Fundamental Penduduk asli Papua, dan mencapai puncaknya pada PEPERA 1969.

Yang menjadi Pertanyaan mendasar untuk direnungkan bagi seluruh bangsa Indonesia, mengapa hingga saat ini Belanda Negara Penjajah di Hindia Timur, yang disebut Hindia-Belanda tidak mengakui kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 17 Agustus 1945?

Rekomendasi MU-PBB 2504 Bisa Dicabut Sesuai Tata Cara PBB       

By:Kristian Griapon - Jumat , 9 April 2021

Tidak dapat dibenarkan jika ada yang mengatakan Rekomendasi MU-PBB 2504 yang dituangkan dalam bentuk Resolusi menjadi garansi (jaminan) bahwa, “Papua Barat Sudah Final di dalam Negara Republik Indonesia”. Itu adalah pandangan yang keliru, dan pandangan tersebut dapat dipahami sebagai kata-kata penghibur diri dalam menghadapi diplomasi politik luar negeri Indonesia yang semakin rumit, tentang isu hak menentukan nasib sendiri rakyat Papua Barat sebagai suatu bangsa diatas wilayah geografi Papua Barat, yang berkembang dan meluas di hampir seluruh penjuru bumi. Jangan menipu diri membangun narasi poltik tidak mencerdaskan bagi yang tidak mengerti.

Yang menjadi pertanyaan, Resolusi PBB 2504 itu dalam bentuk apa dikatakan final, apakah dalam bentuk keputusan yang mengikat atau rekomendasi yang sifatnya tidak mengikat?

Sebuah keputusan PBB yang dituangkan dalam bentuk resolusi sewaktu-waktu dapat dicabut seiring dengan evolusi perkembangan hukum internasional, terkecuali deklarasi dan keputusan-keputusan yang melalui transpormasi menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua anggota PBB dan juga Negara-negara bukan anggota PBB. Jadi kita tidak bisa berprinsip apriori artinya merasa diri benar tanpa melihat kebenaran yang sebenarnya berada di luar di sekeliling kita.

“Sebuah keputusan bisa dicabut, apalagi yang namanya rekomendasi”.

Resolusi MU-PBB 2504 dalam bentuk rekomendasi pembangunan sosial-ekonomi di Papua Barat yang dimandatkan kepada Indonesia telah gagal total, hal tersebut berkenaan dengan berbagai laporan tindakan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua Barat kini telah menjadi perhatian Komisioner Tinggi HAM PBB.

Sebuah Resolusi yang dikeluarkan MU-PBB, tidak serta merta menjadi hukum internasional, harus melalui transpormasi untuk menjadi hukum kebiasaan internasional. Dan sebuah resolusi tidak bersifat mutlak atau final, sewaktu-waktu dapat dicabut menurut tata cara PBB, disesuaikan dengan evolusi perkembangan hukum internasional.

Dari kasus Resolusi 3379 yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975 dapat membuka mata kita bahwa sebuah resolusi PBB tidak bersifat mutlak dan final.

Resolusi 3379 dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975. Resolusi ini menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Resolusi ini lolos dengan 72 suara yang mendukung, 35 menolak dan 32 abstain. Jumlah 72 suara yang mendukung ini termasuk 20 negara Arab, 12 negara lainnya dengan mayoritas Muslim, termasuk Turki yang mengakui Israel kala itu, 12 negara komunis, 14 negara Afrika non-Muslim dan 14 negara lainnya termasuk Brasil, India, Meksiko, dan Portugal.

Pencabutan

Pada tahun 1991, situasi dunia internasional menjadi berbeda setelah runtuhnya Uni Soviet, kemenangan pasukan sekutu di Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan hegemoni negara adidaya ini di dunia internasional. Maka pada tanggal 16 Desember 1991, Dewan Umum mengeluarkan Resolusi 46/86, yang menarik Resolusi 3379 dengan 111 suara setuju dan 25 suara menolak. Sementara itu ada 13 yang abstain dan 17 delegasi tidak hadir. Sementara itu 13 dari 19 negara Arab, termasuk yang berunding dengan Israel, menolak resolusi ini. Enam lainnya tidak hadir. Tidak ada Negara Arab yang setuju. PLO mengecam keras resolusi ini. Hanya tiga Negara non-Muslim yang menolak resolusi ini: Kuba, Korea Utara dan Vietnam. Hanya satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendukung resolusi ini, yaitu Albania, lainnya abstain atau tidak hadir. https://id.wikipedia.org/.../Resolusi_3379_Majelis_Umum....

Keputusan MU-PBB 3379 dan Rekomendasi MU-PBB 2504, yang dituangkan dalam bentuk Resolusi, bentuk dan sifatnya sama, yaitu resolusi yang dikeluarkan oleh PBB pada suasana perang dingin, tentunya terlihat ada implikasi atau keterlibatan kepentingan para pihak dalam suasana perang dingin itu. Jadi kesimpulannya tidak tutup kemungkinan Resolusi PBB 2504 akan mengikuti jejak Resolusi PBB 3379. Untuk itu rakyat Papua Barat harus bersatu, bertekun dalam doa dalam satu perjuangan, dan berpengharapan teguh, waktu Tuhan yang akan menjawabnya, wasalam.

Tulisan ini tidak sempurna, banyak kekurangannya, dan selain itu, tidak bermaksud mendiskredit pihak manapun dalam melihat konflik sengketa wilayah geografi Papua Barat, antara Pribumi Papua dan Pemerintah Republik Indonesia yang berkuasa atas wilayah dimaksud, Namun penulis berupaya memberi sumbangan pemikiran melalui penulisan ini, guna membuka cakrawala wawasan pembaca dan melihat serta menilai akar permasalahan yang sebenarnya menjadi sumber konflik di Papua Barat, wasalam.(Kgr)

 

Selasa, 20 April 2021

 

historia.id

Ketika Hatta Menolak Papua

Oleh Martin Sitompul | 17 Mei 2019

Mohammad Hatta saat diwawancarai oleh beberapa media asing. (Perpusnas RI).

BERBEDA dengan mayoritas anggota  BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh negeri Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis, dan Papua, Hatta adalah kekecualian. Menurutnya Indonesia cukup meliputi negeri Hindia Belanda saja. Adapun Papua – yang di sebut-sebut kaya dan punya ikatan sejarah dengan Nusantara – tidaklah masuk dalam keluarga besar Republik Indonesia..

“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945  yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.

Menurut Hatta memasukan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.  

“Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ketengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?,” tanya Hatta kepada hadirin sidang.

Hatta juga menentang pandangan Yamin yang bersikukuh mengatakan Papua bagian dari Indonesia sejak zaman kerajaan Nusantara. Yamin secara panjang lebar menguraikan pendapatnya soal Papua lewat analisis historis, politik, dan geopolitik. Bagi Hatta, semua itu

Gustika Jusuf Hatta Bicara Mohammad Hatta

“Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia, ” kata Hatta.

Ketimbang Papua, Hatta lebih cenderung mempertimbangkan Malaya dan Borneo Utara. Pasalnya, rakyat di kedua wilayah  ini  - yang kini menjadi negeri Malaysia – sama-sama beretnis serumpun Melayu seperti halnya Indonesia. Oleh karena itu, Hatta mempertahankan usulannya agar wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda dan Malaya minus Papua.

Akhir kata dalam sidang, Hatta menghimbau rekan-rekannya di BPUPKI agar bersikap realistis dalam membangun bangsa dan negara. Ini menurut Hatta, penting sebagai teladan bagi generasi muda. Menghilangkan nafsu ekspansi ke luar dan mengubahnya untuk mempertahankan kedaulatan.

“Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan,” pungkas Hatta.  

Sayangnya, gagasan Hatta harus kandas dalam pemungutan suara. Konsep kesatuan gagasan Yamin dan Sukarnolah yang diterima dengan perolehan suara terbanyak. Meski kalah dalam BPUPKI, Hatta tetap konsisten dalam pendapatnya soal Papua. Ini pun disampaikan Hatta kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Dirk Stikker, dalam sebuah perundingan pada November 1948.

Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever mencatat, Hatta mengulangi kepada Stikker pendiriannya yang bertahun-tahun silam sudah diutarakan dalam BPUPKI, yaitu bahwa ia tidak berminat terhadap Papua, karena tidak termasuk Indonesia. Bagi Stikker, pernyataan Hatta ini merupakan ucapan penting.

“Ia segera menarik kesimpulan dari situ, bahwa wilayah ini dapat direservasi untuk Belanda,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

Sikap Hatta tidak berubah ketika memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Oktober 1949 di Den Haag, Belanda. Hatta tampak enggan beradu klaim menghadapi Menteri Urusan Negeri Hajahan Belanda, Henricus van Maarseven yang begitu menginginkan Papua. Hatta bersedia menangguhkan status kepemilikan wilayah itu dan membicarakannya lagi setahun kemudian.

Hatta kembali pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh pengakuan kedaulatan. Namun Papua masih jauh dari genggaman Republik - sebagaimana yang dipesankan oleh Sukarno. “Dalam keadaan semacam itu, jalan sebaiknya ialah menunda penyelesaian. Orang yang berpendirian semuanya harus tercapai 100% sekaligus, tentu tidak puas dengan cara begitu. Tapi adakah jalan untuk mencapai tuntutan itu sekarang juga?,” kata Hatta di depan Badan Pekerja KNIP, 25 November 1949 dikutip Soebandrio dalam Meluruskan Sejarah Irian Barat.

Menurut Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, Hatta tahu mengapa Belanda ngotot mempertahankan kekuasaannya di Papua. Alih-alih meneruskan tuntutan, Hatta lebih memilih untuk menyelesaikan perundingan lewat kompromi. Misi pengakuan kedaulatan menjadi yang terpenting sedangkan masalah Irian Barat dapat diselesaikan di kemudian hari.

Bagi Hatta, revolusi telah selesai dengan memperoleh kedaulatan politik meski tanpa Papua. Seiring dengan itu, tibalah saatnya membangun negara. Namun tidak demikian halnya dengan kaum Republiken lain yang mendambakan kekuasaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kendati sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia, siapa nyana soal Papua malah menjadi batu sandung Indonesia dalam pergaulan internasional hingga kini. https://historia.id/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ/page/3?fbclid=IwAR1xwWA7pWAGMrb_tnX2vAAh1DoaD5VtthTyNS6kO7GM1xS7BBNX7D0ItZs

Minggu, 18 April 2021

 

YƱigo Ortiz de Retez

YƱigo Ortiz de Retez ( fl. 1545) adalah seorang penjelajah maritim Spanyol abad ke-16 yang berasal dari Basque , yang menavigasi garis pantai utara Pasifik - pulau Melanesia di New Guinea , dan dikreditkan karena memberikan nama pulau itu ( "Nueva Guinea" ) .

Masa mudaSunting

YƱigo Ortiz de Retez lahir di Retes de Llanteno ( Alava , Spanyol) dalam keluarga bangsawan tanpa gelar ( hidalgos ) pada dekade pertama abad ke-16. Kisah pertama yang kami miliki tentang dia adalah sebagai bagian dari ekspedisi Alvarado tahun 1538 untuk mengambil alih jabatan gubernur Guatemala dan Honduras . Dia berpartisipasi dalam ekspedisi untuk meringankan pengepungan NochistlĆ”n pada tahun 1541 selama perang MixtĆ³n , yang dipimpin oleh Alvarado. Pada tahun 1542 ia ditunjuk untuk ekspedisi Lopez de Villalobos ke Islas de Poniente ( Filipina ). Setibanya di Mindanaopada Februari 1543, Ortiz de Retes dipromosikan menjadi Maestre de Campo . [1]

Penemuan New GuineaSunting

Ekspedisi Retez
Peta New Guinea, 1600

Setelah upaya Bernardo de la Torre yang gagal pada tahun 1543 untuk melakukan perjalanan pulang pergi dan kembali ke Meksiko, LĆ³pez de Villalobos menugaskan Ortiz de Retez untuk misi yang sama tetapi kali ini mengambil rute yang lebih selatan. Pada 16 Mei 1545 Ortiz de Retez, di bawah komando San Juan de Letran , meninggalkan pelabuhan di Tidore , sebuah pulau yang merupakan benteng pertahanan Spanyol di Kepulauan Maluku dan melewati Kepulauan Talaud dan Schoutens., mencapai pantai utara New Guinea, yang merupakan pantai sampai akhir Agustus ketika, setelah mencapai garis lintang 5 ° S, angin dan arus yang berlawanan memaksa kembali ke Tidore di mana ia tiba pada tanggal 5 Oktober 1545. Banyak pulau ditemui dan pertama kali dipetakan, di sepanjang pantai utara New Guinea, dan di Padaidos , Le Maires , Ninigos , Kaniets dan Hermits , yang beberapa di antaranya diberi nama Spanyol. [2] [3] [4]

Pada tanggal 20 Juni 1545 di muara sungai Mamberamo (yang dipetakan sebagai San Agustin ) ia mengambil kepemilikan tanah untuk Kerajaan Spanyol, dalam proses memberikan nama pulau yang dikenal saat ini. Dia menyebutnya Nueva Guinea karena kemiripan penduduk lokal dengan orang-orang di pantai Guinea di Afrika Barat . [5]

Sumber utama pelayaran Retez adalah Garcia de Escalante Alvarado, yang merupakan bagian dari ekspedisi Villalobos, dan yang, setelah kembali ke Spanyol, menulis kronik yang ia kirim ke Antonio de Mendoza , raja muda Spanyol Baru . [6] [7]

Ortiz de Retez kemudian dipenjarakan oleh Portugis di Maluku bersama dengan anggota ekspedisi Villalobos yang tersisa; menurut Escalante, dia adalah salah satu dari 117 orang yang kemudian dipulangkan oleh Portugis pada tahun 1548.

ReferensiSunting


  • GonzĆ”lez Ochoa, JosĆ© MarĆ­a (2006). "El marino alavĆ©s IƱigo Ortiz de Retes". Revista de Estudios MarĆ­timos del PaĆ­s Vasco . Museo Naval San Sebastian. 5 : 680.

  • Coello, Francisco (1885). La CuestiĆ³n de las Carolinas. Discursos pronunciados en la Sociedad GeogrĆ”fica de Madrid por su presidente Don Francisco Coello con un mapa, notas y apuntes bibliogrĆ”ficos sobre los antiguos descubrimientos de los espaƱoles en los archipielagos de la Micronesia y sus cercanias . Madrid: Imprenta Fontanet. hlm. 119–122.

  • Sharp, Andrew (1960). Penemuan Kepulauan Pasifik . Oxford: Clarendon Press. hlm.  30–32 .

  • Brand, Donald D. (1967). Friis, Herman R. (ed.). Cekungan Pasifik . Burlington: American Geographical Society. p. 123.

  • Quanchi, Max (2005). Kamus Sejarah Penemuan dan Eksplorasi Kepulauan Pasifik . The Scarecrow Press. p. 215. ISBN  0810853957.

  • de Escalante Alvarado, Garcia. ColecciĆ³n de documentos inĆ©ditos relativos al descubrimiento, conquesta y organization de las antiguas posesiones espaƱolas en AmĆ©rica y Oceania (edisi 42 jilid 1864-1884). Madrid. hlm. jilid 5, 117–209.

    1. Martinez Shaw, Carlos (1999). RelaciĆ³n del viaje que hizo desde Nueva EspaƱa a las Islas de Poniente, despues Filipinas, Ruy LĆ³pez de Villalobos, de orden del Virrey de Nueva EspaƱa, Don Antonio de Mendoza / GarcĆ­a de Escalante Alvarado . Santander: Universidad de Cantabria. ISBN  84-8102-234-9.

    Selasa, 06 April 2021

     

    KEKUATAN RESOLUSI MAJELIS UMUM PBB (UNGA) DAN DEWAN KEAMANAN PBB (UNSC) SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL 

    A. Leovaldi Tirta 

    Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surabaya Jalan Raya Kalirungkut Surabaya 

    Abstract 

    United Nations General Assembly (UNGA) Resolution as a declaration will be transformed into an international custommary that has binding legal force as like other sources of international law. This process is called the 'instant customary of law'. Decisions of the United Nations Security Council (UNSC) have legally binding force based on Article 25 of the Charter. Its decisions have an impact for a country in coriflict or dispute to comply and implement so for those states that violate will be given a sanction as regulated in the UN Charter. 

    Abstrak Resolusi bersifat deklarasi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB (MU-PBB) akan bertransformasi menjadi kebiasaan internasional sehingga memiliki kekuatan hukum dan mengikat layaknya sumber hukum internasionallainnya. Proses ini disebut dengan 'instant customary of law'.

    Keputusan Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) inempunyai kekuatan mengikat secara hukum (legally binding) berdasarkan Pasal 25 Piagam. Keputusan-keputusannya mempunyai dampak bagi suatu negara yang terlibat konflik atau sengketa untuk mematuhi dan melaksanakannya sehingga bagi negarayang melanggar akan diberikan sanksi sebagaimanayang telah diatur dalam Piagam PBB. Kata kunci: 

    Resolusi, MU-PBB, DK-PBB Organisasi-organisasi intemasional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya telah mampu menciptakan dan membentuk kaidah-kaidah hukum internasional baik yang berlaku khusus di kalangan anggota organisasi internasional itu sendiri maupun yang dapat berkembang menjadi prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku umum atau universal. 

    1.Prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang lahir dari organisasi-organisasi internasional yang dituangkan dalam bentuk keputusan-keputusan dipandang memiliki derajat 93 dan daya mengikat yang sama dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional lainnya. 

    Hasil-hasil yang ditetapkan atau diputuskan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) wajib dan harus dilaksanakan baik oleh para anggotanya maupun badan-badan yang ada dibawah naungannya. Hasil-hasil itu bisa berbentuk resolusi (resolution), keputusan (decision), deklarasi (declaration), atau rekomendasi (recommendation). 

    2.Pengambilan keputusan di dalam sistem PBB seringkali tidak dapat dipisahkan antara resolusi (resolution), keputusan (decision), ataupun deklarasi (declaration). Akan tetapi adakalanya suatu keputusan dapat berdiri sendiri di dalam hal yang menyangkut prosedur kerja yang dilihat secara kasus perkasus dan tidak diatur secara khusus di dalam aturan tata cara PBB.

    3. Resolusi (Resolution) adalah suatu hasil keputusan dari suatu masalah yang telah disetujui baik melalui consensus maupun pemungut suara menurut aturan dantata cara yang telah ditetapkan oleh Organisasi Internasional atau badan yang bersangkutan. 

    Resolusi pada umumnya terdiri dari dua bagian yaitu paragraph yang bersifat mukadimah (preambuler paragraph) dan paragraf yang bersifat operasional (operative paragraph). 

    Mengenai keberlakuannya secara hukum (legal validity) tergantung dari penafsirannya khususnya resolusi-resolusi PBB.

    4 Menurut Black's Law Dictionari, keputusan (decision) dalam "a determination arrived at after consideration of 2 Sumaryo Suryokusumo. 1990, Hokum Organisasi Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia Press, h .. 30 3 Ibid., h .. 32 4 Sumaryo Suryokusumo. 1995, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, Bandung: Alumni, 1995, h .. 173 5 Black, Henry CampbelL 1990, Black's Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn: West Publishing Co, h .. 407 . 94 facts and, in legal context, law" 

    5. yaitu suatu ketentuan yang telah dicapai setelah mempertimbangkan fakta, dan dalam konteks hukum. Sedangkan "Resolution: a formal expression of the opinion or will of an official body or a public assembly, adopted by vote; as a legislative resolution " 

    6 , yaitu bahwa resolusi adalah suatu pernyataan resmi tentang pendapat atau kehendak dari suatu badan resmi atau suatu majelis yang bersifat umum yang disahkan melalui pemungutan suara, sebagai suatu penyelesaian secara legislatif. 

    Sifat dari keputusan atau resolusi yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) adalah sangat berbeda dengan resolusi yang dikeluarkan oleh badan-badan utama lainnya seperti Majelis Umum PBB (MU-PBB), The Economic and Social Council (ECOSOC) dan Dewan Perwalian.

    Keputusan-keputusan dari ketiga badan utama tersebut bersifat resolusi yang mempunyai dua ciri yaitu bersifat mengikat dan tidak rekomendatif (interna corporis) dan bersifat rekomendatif dan tidak rekomendatif (externa corporis). 

    Sedangkan keputusan-keputusan DK-PBB didasarkan pada Pasal 25 Piagam yaitu benar-benar mengikat secara hukum bahkan lebih dari itu yaitu dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian internasional (Konvensi Wina 1969) yaitu prinsip pacta tertiis 6 Ibid., h .. 1310 7 Barros, James, 1990, United Nations, Past, Present and Future, diteljemahkan oleh D.H. Gulo, PBB, Dulu, Kini dan Esok, Edisi Kedua, Jakarta: Bumi Aksara, h .. I 03 

    Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB Dan Dewan Keamanan PBB nee nocent nee prosunt karena semua keputusan-keputusan itu bisa mengikat kepada negara-negara yang bukan merupakan anggota PBB (negara yang tidak meratifikasi Piagam dan Statutanya) seperti tersebut dalam Pasal 2 ayat (6) Piagam dan Pasal49 Piagam. 

    Pembahasan Berdasarkan penjelasan tersebut maka permasalahan dalam tulisan ini adalah: "Apakah dampak dari resolusi (resolution) yang dikeluarkan baik oleh Majelis Umum PBB (UNGA) dan Dewan Keamanan PBB (UNSC) bagi suatu negara?". 

    I. Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB sebagai Sumber Hukum Internasional Kekuatan hukum dari suatu resolusi organisasi internasional, dalam hal ini resolusi dari Majelis Umum PBB, telah lama menjadi suatu kontroversi. Meskipun demikian, memang benar adanya bahwa resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB memiliki peran yang penting untuk bermain dalam pembentukan hukum internasional. 8 Bil1:1 kita mendiskusikan mengenai pengaruh resolusi dalam hukum internasional, kita perlu melihat kategorisasi yang dikemukakan oleh Sloan, yang mengidentifikasi tiga kategori utama resolusi, antara lain: 

    a. Keputusan (Decisions) Berdasarkan Pasal 17 Piagam PBB, Majelis Umum dapat mengambil keputusan tentang masalah anggaran dan keuangan yang mengikat para anggotanya. Ketidak-patuhan terhadap keputusan anggaran dapat menyebabkan suspensi dan pengusiran dari keanggotaan. Selain itu, Pasal 2 ayat ( 5) Piagam PBB menetapkan bahwa semua anggota harus memberikan PBB bantuan penuh dalam segala tindakan yang diperlukan sesuai dengan Piagam ini, dan tidak akan memberi bantuan kepada negara manapun yang oleh PBB dilakukan tindakan pencegahan atau penegakan. Jadi dapat dikatakan, resolusi PBB yang berkomitmen untuk mengambil 'tindakan' dapat mengikat negara-negara anggota.

    b. Rekomendasi (Recommendations) Pasal 10 Piagam PBB mengatur bahwa Majelis Umum dapat mendiskusikan persoalan-persoalan mengenai hal-hal dalam ruang lingkup Piagam PBB. Disamping itu MU PBB juga dapat membuat rekomendasi kepada anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau kepada Dewan Keamanan, atau keduanya, pada setiap persoalan atau masalah. 

    Esensi dari 'rekomendasi' adalah bahwa mereka tidak mengikat. Namun, rekomendasi yang terbukti digunakan secara terus menerus dan berkesinambungan oleh negara-negara akan dengan sendirinya membentuk suatu kebiasaan yang akhirnya akan menjadi hukum internasional.  

    c. Deklarasi (Declarations) Deklarasi adalah salah satu spesies resolusi Majelis Umum PBB yang didasarkan pada Bab IV dari Piagam PBB. Deklarasi bukanlah rekomendasi dan tidak berlaku atau dievaluasi layaknya suatu rekomendasi.

    Sejak tahun 1945, Majelis Umum telah melahirkan sejumlah deklarasi yang telah menciptakan banyak prinsip-prinsip hukum internasional. 

    Deklarasi pada umumnya lahir oleh suara bulat dari anggota atau oleh konsensus (yaitu tanpa pemungutan suara). Contoh deklarasi yang paling komprehensif dan menjadi prinsip-prinsip umum hukum internasional, antara lain: Declarations on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among states, GA Resolusi 2625 (XXV) Tahun 1970. 

    Deklarasi penting lainnya adalah Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Wilayah Kolonial dan Masyarakat/Declaration on the Granting Independence to Colonial Territories and People (GA Resolusi 1514 (XV) Tahun 1960.'

    Resolusi-resolusi yang merupakan deklarasi tersebut telah diterima secara universal sebagai prinsip-prinsip umum hukum internasional saat ini, oleh karena itu, dalam situasi tertentu resolusi PBB dapat digunakan untuk menetapkan aturan - aturan yang mengikat hukum internasional.

    Apakah resolusi tertentu akan dianggap sebagai hukum internasional yang berlaku akan tergantung pada sejumlah kriteria termasuk konteks di mana resolusi disahkan, perilaku suara dan analisis ketentuan yang bersangkutan. 

    Dalam kasus Texaco Overseas Petroleum Co dengan Libya (1978)14, arbiter Profesor Dupuy, membahas hukum internasional yang berkaitan dengan nasionalisasi aset milik asing. Secara khusus merujuk pada Resolusi Majelis Umum, yaitu Permanent Sovereignty over Natural Resources, 1962 (GA Res 1803 (XVII)) dan Charter of Economic Rights and Duties of States, 1974 (GA Res 3281 (XXIX)).

    Resolusi tersebut mengakui hak-hak negara untuk mengambilalih kepemilikan asing terhadap properti suatu negara tersebut karena alasan utilitas publik, keamanan atau kepentingan nasional dan dimana kompensasi dibayarkan. 

    Arbiter Dupuy, yang telah 12Hillier Tim. 1998, 'Sourcebook on Public International Law', p. 96. 13Ibid. 14 (1978) 17 ILM at pp 1-37 

    Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB Dan Dewan Keamanan PBB ditunjuk oleh Presiden ICJ berkomentar: "On the basis of the circumstances of adoption ... and by expressing an opinio juris communis, Resolution 1803(XVII) seems to this Tribunal to reflect the state of customary law existing in this field... The consensus by a majority of states belonging to the various repre[1]sentatives groups indicates without the slightest doubt universal recognition of h l h . . t d "15 t e rues t erezn zncorpora e . 

    Karena saat ini resolusi telah diterima secara universal, maka resolusi cukup memiliki kekuatan dalam hukum internasional. Banyak negara mengungkapkan pandangan bahwa sifat mengikat deklarasi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa deklarasi itu merupakan praktek negara dan juga juris opinio yang diperlukan untuk membentuk suatu kebiasaan. 

    Bin Cheng menyebutnya sebagai 'instant customary of law'. 16 Dalam kasus Nikaragua (1986), ICJ menyatakan pandangan bahwa Resolusi PBB merupakan opinio juris dan bukti praktek negara yang membentuk suatu "customary law" (kebiasaan). 

    Sampai pada saatnya nanti Pasal 38 huruf (f) dari Statuta ICJ diamandemen, nampaknya pengadilan intemasional akan terus merujuk pada resolusi untuk membuktikan suatu kebiasaan intemasional. 

    15 Ibid 16 Bin Cheng, 'UN Resolutions on Outer Space: Instant International Cus[1]tomary Law?' (1965) 5 Indian Journal of International Law 23 97 II. 

    Kekoatan Resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai Somber Hukum Internasional Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Piagam, untuk menjamin agar PBB dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan tepat maka anggota-anggota memberikan tanggung jawab utama (primary responsibility) kepada DK-PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui agar DK-PBB dalam menjalankan kewajiban-kewajiban bertindak atas nama anggota. 

    DK-PBB juga terikat oleh tujuan dan prinsip-prinsip PBB dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya (Pasal 24 ayat (2) Piagam), sehingga pada prinsipnya DK-PBB tidak dapat bertindak sewenang -wenang. 

    Pada saat yang sama, anggota-anggota PBB terikat oleh tindakan DK-PBB dan menurut Pasal 25 Piagam, mereka "setuju menerima dan melaksanakan keputusan-keputusan DK-PBB sesuai dengan Piagam", sehingga resolusi-resolusi yang dikeluarkan oelh DK-PBB mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (legally binding). 

    Kekuasaan DK-PBB yang begitu besar ini dapat menimbulkan suatu kekuasaan yang eksepsional/luar biasa dan luas yang kadang-kadang di luar kekuasaan yang ditetapkan oleh Piagam (ultra vires) bagi DK-PBB. Hal ini bisa terjadi dengan dalih untuk memelihara perdamaian dan keamanan intemasional.

    Walaupun begitu, tidak berarti kekuasaannya itu tidak terbatas melainkan tetap mempunyai pembatasan-pembatasan secara hukum. Oleh karena itu DK-PBB hanya dapat bertindak atas dasar ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 24 ayat (2) Piagam PBB, Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB dan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB!?. 

    Prosedur pemungutan suara di DK-PBB dalam Pasal 27 Piagam. Setiap anggota DK-PBB berhak memberikan satu suara berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Piagam. 

    Keputusan-keputusan DK-PBB mengenai masalah-masalah procedural harus ditetapkan dengan suara setuju (affirmative) dari sembilan anggota (Pasal 27 ayat (2) Piagam), sedangkan untuk masalah-masalah lainnya (non-prosedural) ditetapkan dengan suara setuju dari sembilan anggota DK-PBB dengan syarat adanya kesepakatan suara dari lima anggota tetap, dengan ketentuan bahwa keputusan-keputusan yang diambil dalam rangka Bab VI dan Pasal 52 ayat (3) Piagam, pihak yang berselisih tidak ikut memberikan suara (Pasal 27 ayat (3) Piagam). 

    Dalam prosedur pemungutan suara terdapat perbedaan antara prosedur-prosedur yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Piagam, yang terletak pada pembedaan antara salah-masalah procedural dan semua permasalahan lain, tetapi tidak terdapat penjelasan rinci mengenai masalah-masalah apakah yang termasuk dalam kedua kategori ini jika dibandingkan dengan penjelasan mengenai "masalah-masalah penting, dalam Pasal 18 Piagam PBB yang menyangkut pemungutan suara dalam MU-PBB. 

    Dengan demikian DK-PBB dihadapkan pada persoalan untuk memutuskan mengenai ke dalam kategori mana suatu keputusan tertentu harus dimasukkan. Dalam praktek beberapa masalah tertentu yang ditetapkan sebagai masalah prosedural adalah keputusan-keputusan sehubungan dengan agenda, penangguhan sidang-sidang, pelaksanaan kerja, undangan kepada negara-negara untuk ikut serta dalam sidnag-sidang dan penundaan pertimbangan atas suatu permasalahan. 

    18 Keputusan-keputusan DK-PBB mempunyai dampak bagi suatu negara yang terlibat konflik atau sengketa untuk mematuhi dan melaksanakan keputusan tersebut. Dalam hal ini jika tindakan-tindakan pencegahan atau pemaksaan terhadap suatu negara diambil oleh DK-PBB maka negara lain baik anggota maupun tidak anggota PBB yang menghadapi persoalan-persoalan ekonomi yang timbul karena tindakan-tindakan tersebut, berhak meminta pertimbangkan DK-PBB untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut (Pasal 50 Piagam PBB). 

    Dengan demikian suatu keputusan DK-PBB mempunyai kekuatan mengikat baik bagi anggota PBB maupun bukan anggota PBB. Hal ini bertentangan dengan prinsip Perjanjian Internasional (Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak memeberi hak dan kewajiban kepada pihak ketiga (pacta tetiis nee nocent nee prosunt), tetapi ketentuan tentang keputusan DK-PBB adalah mengikat sudah diterima sebagai prinsip Hukum Internasional.

    Ketentuan terse[1]but telah dijamin oleh Pasal 2 ayat (6) Piagam yang menyebutkan bahwa "negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip PBB apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional". Jadi negara yang bukan anggota PBB terikat oleh keputusan DK-PBB apabila keputusan tersebut bertujuan untuk perdamaian dan keamanan internasional. 

    Sanksi DK-PBB diperlukan untuk memberikan respon yang lebih cepat dan efektif respon yang lebih cepat dan efektif (allow a more prompt and ef fective response) terhadap ancaman perdamaian dan keamanan internasional. 

    Sanksi-sanksi bagi negara yang meanggar keputusan-keputusan DK-PBB adalah: 

    Penangguhan Hak-Hak Istimewa Sebagai Anggota PBB (Pasal 5 Piagam). PBB dapat mengenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Piagam PBB. 

    Pasal 5 Piagam PBB menguasakan kepada MU-PBB berdasarkan rekomendasi DK-PBB untuk menangguhkan (suspension) hak-hak istimewa keanggotaan dari anggota yang menentang tindakan penegakan yang diambil berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Pasal 5 Piagam PBB menentukan persyaratan penangguhan hak-hak dan hak-hak istimewa negara anggota dari keanggotaannya, yaitu:

    a. Bila suatu negara melakukan tindakan pencegahan atau penegakan yang telah diambil oleh DK-PBB terhadap negara tertentu. 

    b. DK-PBB harus merekomendasikan kepada MU-PBB bahwa negara tertentu tersebut ditangguhkan dari hak-hak atau hak-hak istimewa keanggotaan. 

    c. MU-PBB harus melakukan pengambilan suara 2/3 anggota setelah adanya rekomendasi dari DK-PBB sesuai dengan Pasal-pasal 18 ayat (2) Piagam PBB, yang mengatakan, "penundaan hak-hak dan hak-hak istimewa keanggotaan" sebagai suatu "masalah yang penting". 

    Jika pembebasan keanggotaan PBB adalah masalah substansial maka ancaman penangguhan atau pengusiran dapat berarti sebagai alat pencegahan untuk melakukan tindakan yang melawan norma organisasi (PBB). Tetapi ancaman akan nyata, bila PBB telah menyiapkan secara benar (actually) untuk menangguhkan atau mengusir jika keadaan membenarkan/ menuntutnya.  

    Pengusiran Suatu Negara dari Keanggotaan di PBB (Pasal 6 Piagarn): PBB juga dapat mengenakan sanksi berdasarkan Pasal 6 Piagam PBB. 

    Pasal 6 Piagam PBB mengijinkan MU-PBB berdasarkan rekomendasi DK-PBB untuk mengeluarkan/melakukan pengusiran (expulsion) suatu anggota yang secara terus menerus melanggar prinsip-prinsip sebagaimana yang tercantum dalam Piagam PBB.

    Pengusiran (expulsion) merupakan masalah-masalah khusus (particular problems) sejak PBB mempunyai pengaruh bagi negara yang suka melawan. Akibatnya ancarnan pengusiran muncul dalarn dua situasi yaitu:

    a. Bila suatu negara anggota menghentikan membayar kontribusi apa saja pada organisasi tetapi terus mendapatkan keuntungan substansial. 

    b. Bila negara-negara anggota mengharapkan suatu penghukuman moral yang fundamental (a fundamental moral condemnation) dari kebijakan yang diikuti oleh negara anggota lainnya. 

    Pengusiran (expulsion) merupakan langkah yang diambil oleh MU-PBB atas rekomendasi DK-PBB terhadap negara yang selalu membangkang. 

    Bagi PBB, hal tersebut sebenamya akan memperoleh kesulitan Karena dengan pengusiran ini akan dapat menutup pintu untuk diajukan di kemudian hari. Pengusiran tidak perlu menghalangi adanya usaha negara tersebut untuk mengajukan lagi sebagai anggota PBB. 

    Pengusiran merupakan cara terakhir yang diambil jika suatu negara anggota PBB secara terus menerus mengabaikan kewajiban-kewajibannya. 

    Pengusiran bukan suatu tindakan yang otomatis tetapi suatu tindakan yang diputuskan oleh dua badan utama PBB yaitu MU-PBB dengan 2/3 suara atas rekomendasi DK-PBB (Pasal 6 Piagam PBB). 

    Sesuai dengan pembicaraan di San Fransisco, tindakan pengusiran harus diprakarsai oleh DK-PBB bukan dari MU-PBB. Contohnya adalah kasus Yugoslavia bahwa pada tahun 1992 MU-PBB telah mengeluarkan resolusi 4711 yang isinya, "Yugoslavia (dalarn hal ini Serbia dan Montenegro) tidak dapat meneruskan keanggotaan Yugoslavia di PBB dan harus mengajukan lagi keanggotaannya sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Piagam PBB dan tidak lagi dapat ikut serta dalam persidangan. 

    Pengenaan Embargo Ekonomi dalam rangka Bab VII Piagam PBB (Pasal 41 Piagam) Wewenang DK-PBB dalam berurusan dengan konflik dan situasi yang mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan intemasional adalah konsekuensi logis dari "tanggung jawab utama" yang diberikan kepada badan tersebut berdasarkan Pasal 24 Piagam PBB. 

    Wewenang khusus yang diberikan kepada DK-PBB oleh Bab VI dan VII Piagam PBB dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis wewenang yang memberi peluang bagi badan tersebut untuk dapat bekerja dengan tujuan menghasilkan penyelesaian damai dari perselisihan dan wewenang yang memudahkan DK-PBB bekerja untuk tujuan memelihara atau mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional dengan segera setelah timbulnya ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian intemasional. 

    Apabila suatu perselisihan dianggap mempunyai sifat yang serius yaitu pihak-pihak yang terlibat mengancan menggunakan kekerasan, atau secara sungguh-sungguh rnenggunakannya atau apabila dianggap merupakan suatu bahaya yang dapat melanggar perdarnaian, rnaka DK-PBB dapat rnemutuskan adanya suatu "ancaman terhadap perdarnaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi" maka akan menganjurkan atau rnernutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasal 41 Piagam dan Pasal 42 Piagam PBB untuk rnemelihara atau  memulihkan perdamaian dan kearnanan internasional (Pasal39 Piagam). 

    Jadi dengan ketentuan-ketentuan Pasal 39 Piagam PBB, DK-PBB dapat rnernbuat rekornendasi-rekornendasi kepada pihak-pihak yang terlibat pertikaian. 

    Apabila terjadi pertikaian, DK-PBB dapat melakukan cara-cara penyelesaian secara damai berdasarkan Bah VI Piagarn PBB. Jika terdapat gerakan kekuatan bersenjata atau serangan militer yang dapat mengancam dan mernperburuk situasi maka DK-PBB dapat rnendatangi pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan langkah-langkah pencegahan tindakan yang rnernperburuk situasi yaitu menyampaikan anjuran-anjuran untuk mencapai penyelesaian suatu pertikaian dengan jalan damai. 

    Jika dalarn situasi yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdarnaian dan tindak agresi (Bab VII Piagarn PBB), rnaka DK-PBB dapat memutuskan penggunaan langkah-langkah paksaan (kekerasan) yang bersifat kolektif berdasarkan Pasal 41 Piagam dan Pasal 42 Piagam PBB dengan tujuan pengekangan (embatasi) agresi dan pengembalian perdamian dan keamanan internasional. 

    Tindakan DK-PBB atas dasar Bab VII Piagam tersebut dikenakan kepada negara yang melanggar prinsip-prinsip PBB yang langsung dapat mengancam perdarnaian dan keamanan intemasional dan jika tidak dipatuhi dapat dikenakan sanksi berdasar Pasal 41 Piagam PBB yaitu tindakan pernutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonorni, termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegrap, radio dan alat-alat komunikasi lainnya serta pemutusan hubungan diploomatik. 

    Sanksi ekonomi yang bersifat mandatory atau dapat dipaksakan sesuai dengan Pasal 41 Piagam PBB untuk pertama kalinya telah dikenakan kepada Iraq pada tanggal 6 Agustus 1990 (Resolusi DK-PBB No. 661 tangga1 6 Agustus 1990). Sanksi tersebut dijatuhkan empat hari setelah invasi Iraq ke Kuwait, Iraq masih tetap tidak menaati resolusi DK-PBB. 

    Pengenaan Sanksi Militer (Pasal 42 Piagam PBB) apabila dengan sanksi ekonomi yang dikenakan terhadap suatu negara pelanggar, ternyata masih tetap membangkan untuk tidak melaksanakan kepu~ tusan-keputusan DK-PBB, maka hal itu dapat diikuti dengan sanksi militer berdasarkan Pasal 42 Piagam PBB bahwa DK-PBB dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan kemaanan internasional. 

    Dalam tindakan itu termasuk pula demonstrasi-demonstrasi, blockade dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat dari negara anggota PBB. 

    Keputusan-keputusan yang diambil oleh DK-PBB berdasarkan pasal-pasal tersebut adalah mengikat negara-negara anggota walaupun berdasarkan Pasal 43 Piagam disebutkan bahwa semua anggota PBB dalam memberikan bantuan dan fasilitas-fasilitas yang dianggap perlu untuk memelihara perdamaian dan kemanan internasional sesuai dengan persetujuan atau persetujuan-persetujuan khusus. Namun Pasal 106 Piagam PBB telah memperjelas bahwa kekuatan mengikat dari keputusan DK-PBB adalah untuk menggunakan langkah-langkah militer dengan maksud untuk atas nama PBB dalam mengambil tindakan bersama yang dianggap perlu untuk tujuan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional. 

    Pelaksanaan sanksi militer dilakukan melalui tindakan kekerasan atas dasar Pasal 42 Piagam PBB dengan syarat-syarat sebagai berikut :  

    a. DK-PBB harus membuat perse[1]tujuan khusus (special agreement) terlebih dahulu dengan negara-negara anggota mengenai penyediaan pasukan semacam multinational force dalam rangka untuk mengadakan operasi-operasi militer. 

    Persetujuan khusus tersebut sebelumnya harus diratifikasi terlebih dahulu oleh negara-negara tersebut melakui proses konstitusi nasional negara masing-masing (Pasal 43 Piagam). 

    Tanpa adanya persetujuan khusus tersebut tidak mungkin operasi militer dapat dilakukan (Until those agreements had been concluded and enter into force, the Council would be unable 27Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., h.79 Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB Dan Dewan Keamanan PBB to fulfill its responsibilities as the enforcement agency of the United Nations and that the provisions of Chapter VII relating to military enforcement measure would remain inoperative). 

    b. Segera setelah sanksi militer diputuskan, maka DK-PBB harus membentuk Komite Staf Militer yang anggotanya terdiri dari Kepala-Kepala Staf Angkatan Perang dari kelima anggota tetap DK-PBB (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan RRC) atas dasar Pasal 45- 47 Piagam PBB yang tugasnya adalah untuk memberi saran kepada DK-PBB sendiri khususnya anggota tetap DK-PBB tanpa ada rekomendasi dari Komite Staf Militer tersebut. 

    c. Guna menetapkan anggran tam·· bahan (extra budget) di luar anggaran PBB yang sudah ada untuk membiayai operas-operasi militer itu, DK-PBB dapat meminta kepada MU-PBB untuk mengadakan Sidang Khusus Darurat apabila Majelis tidak dalam waktu persidangannya. 

    Bagaimanapun juga atas dasar Pasal 17 Piagam biaya semacam itu sebagaimana biaya untuk pasukan-pasukan perdamaian PBB juga akan ditanggung bersama oleh semua anggota. Namun demikian pengenaan sanksi tersebut dapat dilakukan semena-mena karena telah dibatasi secara hukum (legal limits):

    a. PBB khususnya DK-PBB walaupun mempunyai kekuasaan penentu, badan tersebut bukanlah merupakan supra negara atau supra nasional. Tidak sebagaimana negara, badan dunia tersebut tidaklah berdaulat. Sedangkan negara menurut sistem hukum internasional dapat bertindak apa saja asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum secara umum atau kewajiban-kewajibannya yang ditentukan oleh suatu perjanjian. Sebagaimana tercermin di dalam Pasal 2 ayat ( 1) Piagam PBB bahwa organisasi tersebut .. didasarkan atas prinsip persamaan kedaulatan bagi semua negara. 

    b. Kekuasaan DK-PBB bukan tidak terbatas karena tindakan-tindakannya akan dibatasi oleh ketentuan di dalam Pasal 24 ayat (2) Piagam dimana DK-PBB dalam melakukan tindakan-tindakannya haruslah didasarkan atas prinsip-prinsip dan tujuan PBB sendiri. 

    Apa yang disebut dalam ketentuan Pasal 1 ayat ( 1) Piagam PBB prinsip-prinsip dan tujuan PBB di dalam memulihkan perdamaian dan keamanan internasional haruslah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan hukum internasional. 

    c. Atas dasar prinsip-prinsip dan tujuan tersebut, DK-PBB juga mempunyai kewajiban untuk tetap menghormati keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara. Dengan demikian pelaksanaan sanksi militer melalui pemaksaan (enforcement measures) bagaimanapun juga tidak boleh mengakibatkan pemisahan-pemisahan negara yang hakekatnya dapat berpengaruh terhadap keutuhan sesuatu negara. 

    d. PBB tidak dibenarkan untuk mengadakan campur tangan urusan dalam negeri sesuatu negara kecuali jika hal itu dilakukan dalam kerangka Bab VII Piagam PBB. Namun campur tangan tersebut tidak dapat berlangsung terus menerus. Apabila tindakan pemaksaan dalam kerangka Bab VII telah selesai campur tangan PBB harus segera dihentikan. 

    Sejak tahun 1945, DK-PBB baru pertama kali menerapkan sanksi militernya yaitu kepada Iraq pada tanggal 29 Nopember 1990 (Resolusi DK-PBB No. 678i9 Iraq terancam sanksi yang mendasarkan pada Bab VII Piagam hila Iraq tidak melaksanakan Resolusi DK-PBB No. 1441 tanggal 8 November 2002). 

    Pembentukan Pengadilan Kejahatan Internasional oleh DK-PBB untuk Mengadili Pelanggar HAM Berat (Pasal 29 Piagam PBB). 29Ibid, h. 201 104 DK-PBB pernah memutuskan untuk membentuk Pengadilan Kejahatan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran secara serius terhadap hukum kemanusiaan internasional yang mereka lakukan di wilayah bekas Yugoslavia yang dikenal dengan nama International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICYT) pada tanggal 22 Februari 1993, dan kemudian telah pula dibentuk Pengadilan Kejahatan untuk Rwanda (International Tribunal for Rwanda).30 Pembentukan Pengadilan ini oleh DK PBB didasarkan pada Pasal 29 Piagam yang menyatakan bahwa "DK-PBB dapat membentuk badan-badan subsider apabila dipandang perlu demi pelaksanaan tugas-tugasnya". 

    Atas dasar Pasal 29 Piagam, DK-PBB dapat saja membentuk Pengadilan HAM Internasional ad hoc bila Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh suatu negara (Indonesia) dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (Timtim) tidak sesuai dengan standar internasional. Oleh karena itu Indonesia harus mempertimbangkan adanya empat hal dalam rangka menjaga kredibilitas dan menyesuaikan dengan standar hukum internasional yaitu:

    31 30Sumaryo Suryokusumo. 200 I, "Mungkinkah Pengadilan Kejahatan Intemasional Untuk Bekas Timtim Dibentuk?", Makalah, 2001 ,, 31Sumaryo Suryokusumo, Hindarkan Pembentukan Pengadilan lnternasional, dalam Suara Pembaharuan, 6 September 2000 Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB Dan Dewan Keamanan PBB 

    a. Harus benar-benar bersifat bebas dan tidak memihak. Jika peradilan nasional HAM temyata bersifat memihak antara lain dengan menutup-nutupi para terdakwa dari tanggung jawabnya terhadap kejahatan yang telah dilakukan, maka pengadilan intemasional dapat dibentuk. 

    Secara resmi pengadilan intemasional akan meminta kepada yurisdiksi pengadilan intemasional sesuai dengan tata cara yang akan ditetapkan dan adanya bukti-bukti lain yang diperoleh pengadilan internasional. 

    b. Yurisdiksi pengadilan nasional ad hoc orang-orang yang telah melakukan pelanggaran yang berat terhadap HAM dan hukum humaniter internasional (grave breaches and other violations of international humanitarian law) di wilayah Timor-Timur. 

    c. Tidak diperbolehkan untuk mengu[1]bah tindak kejahatan internasional khususnya kejahatan terhadap ke[1]manusiaan (crime against humanity) menjadi kejahatan biasa (ordinary crime). 

    d. Pengusutan harus dilakukan dengart bersungguh-sungguh dan tidak menutup-nutupi tuduhan mengenai tanggung jawab terhadap kejahatan internasional yang telah dilakukan. 

    Jika kondisi tersebut tidak dapat terpenuhi maka seseorang yang telah diadili oleh Pengadilan Nasional seperti Pengadilan HAM Ad Hoc karena tindakan-tindakan yang mengakibatkan pelanggaran yang serius terhadap HAM dapat diadili lagi oleh Pengadilan Internasional yang sewaktu-waktu (jika dianggap perlu) dapat dibentuk oleh DK-PBB sebagaimana Pengadilan-pengadilan Kejahatan lainnya. 

    Walaupun Pengadilan Internasional dan Pengadilan Nasional mempunyai yurisdiksi yang sama untuk menuntut orang-orang yang melakukan pelanggaran serius terhadap HAM (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) di bekas wilayah Tim-Tim, Pengadilan Internasional memiliki keunggulan (primacy) terhadap Pengadilan Nasional. Oleh karena itu dalam suatu tahap prosedur, Pengadilan Internasional dapat meminta secara resmi kepada Pengadilan Nasional untuk menangguhkan kepada yurisdiksi atau kewenangan Pengadilan Intemasional sesuai aturan-aturan tata cara yang ada serta bukti-bukti dari Pengadilan Internasiona.

    Pengadilan Kejahatan Internasional Untuk Bekas Tim-Tim (International Criminal Tribunal for Former East Timor) atau semacamnya bisa dibentuk oleh DK-PBB setelah DK-PBB menerima rekomendasi dari Sekjen PBB atas laporan dari International Force in East Timor (INTERFET), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), United Nations Transitional Administration in East Timor (UNT AET) atau Commision of Enquiry for East Timor (CIET) mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Timtim,

    berdasarkan Reso 32 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., h. 4 33Sumaryo Suryokusumo, Ibid., h. 2. Jurnal YUSTIKA Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 lusi DK-PBB 1264 (1999) dan 1272 (1999). Penutup Dari uraian tersebut diatas mal

    Entri yang Diunggulkan

        MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...