Doktrin Uti Possidetis Sukarno, Mencaplok Wilayah Geografi Diluar Kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Pengantar
Suatu prinsip dasar dalam hukum internasional tidak dapat dipisahkan dari prinsip dasar yang lainnya dalam mengkaji, membentuk sebuah pemahaman yang utuh dalam mengadopsi sebuah resolusi Perseikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dijadikan dasar sebuah opini yuris hukum internasional, guna menjawab kasus-kasus internasiaonal, atau sengketa wilayah antar negara. Misalnya dalam prinsip Uti possidetis juris tertera kata “pengecualian”. Kata pengecualian dapat dipahami mempertegas prinsip dasar yang satu dengan prinsip dasar yang lain dalam membatasi klaim kepemilikan teritori/wilayah atau properti di luar kedaulatan suatu negara (jus tertii).
Tinjauan Kasus
Perjanjian Linggarjati, Cirebon yang
ditandatangani Indonesia-Belanda pada, 25 Maret 1947 yang ditengahi oleh
Inggris, menghasilkan tentang persetujuan kemerdekaan Indoneia yang tertuang
dalam dua poin dasar:
1. Pengakuan secara De facto atas
wilayah Negara Republik Indonesia yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat yang salah satu Negara bagiannya, adalah Republik Indonesia.(Sumber: Googlee.com search/22/6/2020)
Perjanjian Renville yang ditengahi
Amerika Serikat, Australia dan Belgia, pada, 17 januari 1948 menghasilkan
kesepakatan:
1. Belanda hanya mengakui Jawa
Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra, menjadi bagian dari Wilayah Republik
Indonesia.
2. Disetujui sebuah garis demarkasi
yang memisahkan Wilayah Indonesia, dan daerah pendudukan Belanda.
3. Militer Indonesia harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur.(Sumber: Ensiklopedia bebas)
Dua prinsip yang terungkap pada saat
masalah Indonesia diangakat oleh masyarakat internasional melalui Dewan
Keamanan PBB untuk pertama kalinya dan menentukan posisi perjuangan rakyat
Indonesia memperoleh kemerdekaan dari Belanda:
1. Prinsip yang ditegaskan oleh
Belanda, bahwa masalah Indonesia diluar batas kekuasaan Dewan Keamanan PBB,
oleh karena, Pertama – Piagam PBB hanya menyentuh perhubungan antar
Negara-negara berdaulat. Kedua – Persengketaan di Indonesia adalah urusan dalam
negeri dari Pemerintah Belanda. Ketiga – Keadaan di Indonesia tidak
membahayakan Perdamaian dan keamanan Internasional.
2. Prinsip yang ditegaskan oleh Perancis dan Belgia dalam perdebatan masalah Indonesia di DK-PBB pada, 12 Agustus 1947, Pertama – Selama dalam Perundingan tentang Kekuasaan DK-PBB untuk membicarakan masalah Indonesia tidak pernah membuahkan suatu keputusan DK-PBB. Kedua – Menurut Hukum Internasional Republik Indonesia tidak mencukupi syarat-syarat menjadi sebuah Negara, sebagaimana dimaksud dalam piagam PBB. Ketiga – Oleh karena itu sikap yang sah yang dapat diambil oleh DK-PBB adalah menawarkan jasa-jasa baik kepada Belanda untuk menyelesaikan masalahnya dengan Indonesia. (sumber: UNO PBB,Mr.Sumarto Djojodiharjo, Abdul Hamid, Konsul RI, San Francisco, pustaka-W.Van Hoeve Bandung1952)
“Jasa Baik” yang dianjurkan, atau ditawarkan melalui sidang DK-PBB ke-181, 12 Agustus 1947 menjadi rujukan Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai administrator penguasa koloni atas wilayah-wilayah geografis di Hindia Timur yang disebut Hindia-Belanda, dan rujukan itu dijadikan dasar perundingan damai kemerdekaan Indonesia melalui konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda yang berhasil membentuk Negara Republik Indonesia Serikat, yang merdeka berdasarkan jurisdiksi hukum internasional.
Konferensi Inter-Indonesia (Pra-KMB) diselenggarakan pada 31 Juli - 2 Agustus 1949 di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para peserta konferensi setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
Perundingan KMB menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. KMB juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
kesepakatan tentang status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Negara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat.
Pada 15 Agustus 1950, diadakan rapat gabungan parlemen (DPR) dan Senat RIS. Dalam rapat gabungan ini Presiden Soekarno membacakan Piagam Persetujuan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada hari itu, Presiden Soekarno langsung ke Yogyakarta untuk menerima kembali jabatan Presiden Negara Kesatuan dari pejabat Presiden RI, Mr Asaat.
Dengan demikian, negara RIS berakhir dan secara resmi pada 17 Agustus 1950 terbentuk kembali NKRI. Dengan Soekarno sebagai Presiden dan Moh Hatta sebagai Wakil Presiden RI. (Sumber: Kompas.com - 12/03/2020).
Dua pandangan yang betolak belakang
antara dua tokoh bangsa Indonesia Sukarno dan Moh Hatta, tentang prinsip Uti
Possidetis Juris dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Saat itu terjadi
perdebatan antara Sukarno,Cs, dan Muhammad Hatta. “Sukarno,Cs, bilang bahwa
batas wilayah Indonesia itu sampai ke wilayah Thailand sekarang, mengikuti
bekas wilayah Majapahit.
Sedangkan Muhammad Hatta, jelasnya, berprinsip bahwa wilayah Indonesia yang akan merdeka tidak akan seluas itu. Wakil Presiden Indonesia pertama ini menggunakan prinsip Uti Possidetis Juris tersebut sebagai salah satu alasan argumennya. “Hatta bilang tidak, wilayah kita mengikuti bekas wilayah Hindia, jajahan Belanda [https://historia.id/.../ketika-hatta-menolak.../page/2...]
Opini Yuris Papua Barat Disetarakan Dengan Kasus Kepulauan Chagos.
Dalam argumentasi pendapat penasehat hukum internasional delegasi Vanuatu yang disampaikan oleh dua penasehat hukum masing-masing: Mr.McCorquodale dan Ms.Robinson, teradopsi pendapat hukum (opini yuris) tentang Papua Barat yang disetarakan dengan kasus Kepulauan Chagos.
OPINI YURIS MR.MCCORQUODALE, yang disampaikan dalam paragraf (25), lembaran pendapat
hukum menyatakan:
25. Britania Raya juga berusaha menimbulkan rasa takut bahwa keputusan ini dalam pendapat ini akan berdampak pada prinsip uti possidetis. Ini adalah penyerahan Vanuatu bahwa integritas teritori dari wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri tidak boleh digabung dengan prinsip 33 Lihat UNGA res. 108 (II) “Penerimaan Yaman dan Pakistan ke Keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa” (A / RES / 108 (II) tanggal 30 Desember 1947) (mengakui Pakistan sebagai Anggota baru Perserikatan Bangsa-Bangsa);
Resolusi UNGA. 448 (V) “Pengembangan Pemerintahan Sendiri di Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri” (A / RES / 448 (V) tanggal 12 Desember 1950) (tentang kemerdekaan Indonesia). Bahwa, Resolusi UNGA. 448 pada 29 Juni 1950 secara khusus menyebutkan Papua Barat (saat itu disebut Netherlands New Guinea) akan tetap menjadi Koloni Belanda setelah Kemerdekaan Indonesia.
Majelis Umum mencatat "komunikasi tertanggal 29 Juni 1950 dari Pemerintah Belanda di mana dinyatakan bahwa Belanda tidak akan lagi menyajikan laporan sesuai dengan Pasal 73 (e) tentang Indonesia dengan ‘Pengecualian’ Papua Barat" (penekanan ditambahkan). Resolusi tersebut juga meminta agar “Komite Khusus Informasi yang ditransmisikan berdasarkan Pasal 73 (e) Piagam untuk memeriksa informasi tersebut yang mungkin dikirimkan di masa depan kepada Sekretaris Jenderal [dalam kaitannya dengan wilayah non-pemerintahan di Papua Nugini ] dan melaporkannya ke Majelis Umum ” Ini secara eksplisit mengakui bahwa Belanda harus terus melaporkan sesuai dengan Pasal 73 (e) Piagam PBB tentang Papua Barat, mengakui Papua Barat sebagai wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri. [Lihat mis. StAU, parag. 74-128; StMU, paras. 6.20-6.38. 35 Pengajuan lisan dari Belize: CR 2018/23, hlm. 11, para. 17 (Juratowitch). 36 UNGA res. 2066 (XX)]
“Pertanyaan Mauritius”, A / RES / 2066 (XX) tanggal 16 Desember 1965) (menyesalkan kegagalan administrasi yang mengelola untuk sepenuhnya mengimplementasikan resolusi 1514 sehubungan dengan Kepulauan Chagos). 37 Lihat mis. StGB, paragraf. 8,29 dan seq., 9.18; StMU, para. 6.58. - 35 - uti possidetis.
Uti possidetis adalah prinsip yang menyangkut pemeliharaan batas-batas kolonial pada saat kemerdekaan wilayah kolonial. Ini tidak menyangkut batas-batas sah suatu wilayah kolonial sebelum menjadi Negara atau menggunakan hak untuk menentukan nasib sendiri. Karenanya, penerapan uti possidetis terhadap perbatasan Mauritius pada kemerdekaan pada tahun 1968 tidak dapat diterapkan, karena batas tersebut didasarkan pada divisi yang melanggar hukum pada tahun 1965 dari batas kolonialnya oleh Inggris, yang bertentangan dengan integritas teritorial wilayah kolonial .(Sumber: ICJ, 2019/Translat:Kgr)
OPINI YURIS Ms.ROBINSON,
yang disampaikan dalam paragraf (13, 14, dan 16) lembaran pendapat hukum
menyatakan:
13. Dalam hal ini, Vanuatu ingin
menyampaikan
keprihatinannya bahwa Amerika Serikat, dalam upaya untuk berargumen bahwa tidak ada aturan hukum kebiasaan internasional, mengutip kasus Papua Barat. Pada tahun 1962, Papua Barat adalah wilayah tanpa pemerintahan sendiri yang dikenal sebagai Netherlands New Guinea.
14. Vanuatu ingin mengklarifikasi bahwa Perjanjian 1962 di mana Belanda Nugini dipindahkan dari Belanda ¾ pertama, ke administrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kemudian ke administrasi Indonesia ¾ mensyaratkan bahwa penduduk Papua Barat akan memiliki kesempatan untuk mengekspresikan mereka kebebasan memilih apakah akan berintegrasi dengan Indonesia atau menjadi mandiri48. Perjanjian itu, yang dicatat oleh Majelis Umum dalam resolusi 175249, mensyaratkan ¾ konsisten dengan hukum kebiasaan internasional ¾ bahwa kebebasan akan dipastikan dengan hak pilih universal dari penduduk wilayah tersebut, sesuai dengan praktik internasional.
16. Telah diterima oleh Pengadilan ini dalam kasus Timor Timur bahwa merupakan prinsip erga omnes bahwa orang-orang di wilayah yang tidak memerintah sendiri adalah “bangsa” untuk keperluan hak untuk melihat perjanjian antara Republik Indonesia. dan Kerajaan Belanda Mengenai Papua Nugini Barat (Irian Barat), 15 Agustus 1962, 437 UNTS 273. Perjanjian tersebut menyatakan dalam Pasal XVIII bahwa salah satu tujuannya adalah “untuk memberi orang-orang di wilayah tersebut kesempatan untuk menggunakan kebebasan pilihan ", yang akan didasarkan pada" (d) kelayakan semua orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga negara asing untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri yang akan dilakukan sesuai dengan praktik internasional ". 49 UNGA res. 1752 (XVII), “Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang West New Guinea (Irian Barat)”, A / RES / 1752 (XVII) pada 21 Sep 1962. Majelis Umum “mencatat” perjanjian antara Belanda dan Indonesia. 50 AS mengakui bahwa pemungutan suara tidak dilakukan sesuai dengan proses demokrasi: lihat StUS, para. 4,71, dan khususnya fn.180. - 40 - penentuan nasib sendiri.(Sumber: ICJ,2019/Translate:Kgr)
Sengketa Wilayah Papua Barat
Pemahaman dasar Hindia-Belanda, adalah “Wilayah-Wilayah Geografis di Samudera Hindia bagian timur yang menjadi daerah Jajahan Belanda”, diantaranya Papua Barat di bagian Pasifik Barat Daya.
Status Papua Barat sama dengan daerah jajahan Belanda lainnya, Suriname di Amerika Latin, dan Antilen di Karibia, terlepas dari Hindia Timur yang kini disebut Indonesia. Dan jika ada yang mempersoalkan status Hindia-Belanda atas Papua Barat, itu dapat dipahami sehubungan dengan masalah teknis pengelolahan suatu wilayah yang menjadi daerah jajahan (masalah intern negara penjajah) bersfat politis, terlepas dari prinsip dasar hukum internasional jus tertii dan erga omnes serta prinsip lainnya. Hal tersebut telah dipertegas melalui kemerdekaan Indonesia yang disahkan berdasarkan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 desember 1949 dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat, yang mempunyai wilayah kedaulatan meliputi Sabang (Aceh) sampai Maluku (Ambon), dan Papua Barat adalah Wilayah tidak berpemerintahan sendiri, di luar dari proklamasi kemerdekaan Indonesia Serikat.(fakta juridis)
Uti possidetis (dalam bahasa Latin berarti "seperti yang Anda miliki") adalah prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa teritori (wilayah) dan properti lainnya tetap di tangan pemiliknya pada akhir konflik, kecuali jika hal yang berbeda diatur oleh suatu perjanjian. Apabila perjanjian tersebut tidak termasuk kondisi tentang kepemilikan properti dan wilayah diambil selama perang, maka prinsip uti possidetis akan berlaku. Asas ini mengakar dari hukum Romawi dan berasal dari frase Latin "ita possideatis, yang berarti "Anda dapat tetap memiliki apa yang Anda miliki". Prinsip ini memungkinkan pihak yang berperang untuk mengklaim wilayah yang telah direbut selama perang.
Sengketa wilayah geografi Papua Barat ditinjau berdasarkan prinsip jus tertii, maka argumen jus tertii menjelaskan, bahwa dalam perselisihan sengketa suatu objek kepemilikan properti atau wilayah, tujuannya untuk memperjelas salah satu klaim kepemilikan pihak utama atau yang mempunyai hak kepemilikan yang sebenarnya.
Sukarno Presiden Republik Indonesia Pertama mengklaim properti atau wilayah Hindia-Belanda (uti possidetis juris) atas wilayah geografi Papua Barat sangat bertentangan dengan asas pengecualian yang tertera dalam prinsip uti possidetis juris, artinya asas pengecualian membatasi klaim kedaulatan suatu negara atas wilayah atau properti diluar batas suatu negara berdasar prinsip jus tertii dan erga omnes, dimana untuk Papua Barat adalah wilayah tidak berpemerintahan sendiri dan rakyat Papua Barat adalah suatu bangsa, sehinga mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Dan kedua prinsip ini dengan sendirinya memposisikan rakyat Papua Barat adalah pihak ke tiga diluar kemerdekaan Republik Indonesia Serikat, yang disahkan pada, 27 Desember 1949.
Dalam perjanjian New York, 15 Agustus 1962 antara Indonesia dan Belanda, Penduduk Asli Papua adalah pihak ke tiga yang dimaksud “jus tertii”, artinya status penduduk asli Papua jelas, adalah pemilik pihak utama, atau yang mempunyai hak kepemilikan atas wilayah geografi maupun properti Papua Barat, yang disengketakan oleh Indonesia terhadap Belanda atas kepemilikan daerah jajahan. Dan Rakyat Papua Barat sebagai suatu bangsa, mempunyai hak fundamental yang telah diatur dengan jelas dalam klausul perjanjian New York, 15 Agustus 1962.
Sejak Indonesia mengambil alih administrator PBB dari UNTEA pada 1 Mei 1963, saat itu dimulai berbagai pelanggaran terhadap klausul (item) perjanjian New York yang bersentuhan langsung dengan Hak Fundamental Penduduk asli Papua, dan mencapai puncaknya pada PEPERA 1969.
Yang menjadi Pertanyaan mendasar untuk direnungkan bagi seluruh bangsa Indonesia, mengapa hingga saat ini Belanda Negara Penjajah di Hindia Timur, yang disebut Hindia-Belanda tidak mengakui kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 17 Agustus 1945?
Rekomendasi MU-PBB
2504 Bisa Dicabut Sesuai Tata Cara
PBB
By:Kristian Griapon - Jumat , 9 April 2021
Tidak dapat dibenarkan jika
ada yang mengatakan Rekomendasi MU-PBB 2504 yang dituangkan dalam bentuk
Resolusi menjadi garansi (jaminan) bahwa, “Papua Barat Sudah Final di dalam
Negara Republik Indonesia”. Itu adalah pandangan yang keliru, dan pandangan
tersebut dapat dipahami sebagai kata-kata penghibur diri dalam menghadapi
diplomasi politik luar negeri Indonesia yang semakin rumit, tentang isu hak
menentukan nasib sendiri rakyat Papua Barat sebagai suatu bangsa diatas wilayah
geografi Papua Barat, yang berkembang dan meluas di hampir seluruh penjuru
bumi. Jangan menipu diri membangun narasi poltik tidak mencerdaskan bagi yang
tidak mengerti.
Yang menjadi pertanyaan,
Resolusi PBB 2504 itu dalam bentuk apa dikatakan final, apakah dalam bentuk
keputusan yang mengikat atau rekomendasi yang sifatnya tidak mengikat?
Sebuah keputusan PBB yang
dituangkan dalam bentuk resolusi sewaktu-waktu dapat dicabut seiring dengan
evolusi perkembangan hukum internasional, terkecuali deklarasi dan
keputusan-keputusan yang melalui transpormasi menjadi hukum kebiasaan
internasional yang mengikat semua anggota PBB dan juga Negara-negara bukan
anggota PBB. Jadi kita tidak bisa berprinsip apriori artinya merasa diri benar
tanpa melihat kebenaran yang sebenarnya berada di luar di sekeliling kita.
“Sebuah keputusan bisa
dicabut, apalagi yang namanya rekomendasi”.
Resolusi MU-PBB 2504 dalam
bentuk rekomendasi pembangunan sosial-ekonomi di Papua Barat yang dimandatkan
kepada Indonesia telah gagal total, hal tersebut berkenaan dengan berbagai
laporan tindakan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua Barat kini telah
menjadi perhatian Komisioner Tinggi HAM PBB.
Sebuah Resolusi yang
dikeluarkan MU-PBB, tidak serta merta menjadi hukum internasional, harus
melalui transpormasi untuk menjadi hukum kebiasaan internasional. Dan sebuah
resolusi tidak bersifat mutlak atau final, sewaktu-waktu dapat dicabut menurut
tata cara PBB, disesuaikan dengan evolusi perkembangan hukum internasional.
Dari kasus Resolusi 3379
yang dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975
dapat membuka mata kita bahwa sebuah resolusi PBB tidak bersifat mutlak dan
final.
Resolusi 3379 dikeluarkan
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975. Resolusi ini
menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Resolusi ini lolos
dengan 72 suara yang mendukung, 35 menolak dan 32 abstain. Jumlah 72 suara yang
mendukung ini termasuk 20 negara Arab, 12 negara lainnya dengan mayoritas
Muslim, termasuk Turki yang mengakui Israel kala itu, 12 negara komunis, 14
negara Afrika non-Muslim dan 14 negara lainnya termasuk Brasil, India, Meksiko,
dan Portugal.
Pencabutan
Pada tahun 1991, situasi
dunia internasional menjadi berbeda setelah runtuhnya Uni Soviet, kemenangan
pasukan sekutu di Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan hegemoni negara
adidaya ini di dunia internasional. Maka pada tanggal 16 Desember 1991, Dewan
Umum mengeluarkan Resolusi 46/86, yang menarik Resolusi 3379 dengan 111 suara
setuju dan 25 suara menolak. Sementara itu ada 13 yang abstain dan 17 delegasi
tidak hadir. Sementara itu 13 dari 19 negara Arab, termasuk yang berunding
dengan Israel, menolak resolusi ini. Enam lainnya tidak hadir. Tidak ada Negara
Arab yang setuju. PLO mengecam keras resolusi ini. Hanya tiga Negara non-Muslim
yang menolak resolusi ini: Kuba, Korea Utara dan Vietnam. Hanya satu negara
dengan mayoritas penduduk Muslim mendukung resolusi ini, yaitu Albania, lainnya
abstain atau tidak hadir. https://id.wikipedia.org/.../Resolusi_3379_Majelis_Umum....
Keputusan MU-PBB 3379 dan Rekomendasi MU-PBB 2504, yang dituangkan dalam bentuk Resolusi, bentuk dan sifatnya sama, yaitu resolusi yang dikeluarkan oleh PBB pada suasana perang dingin, tentunya terlihat ada implikasi atau keterlibatan kepentingan para pihak dalam suasana perang dingin itu. Jadi kesimpulannya tidak tutup kemungkinan Resolusi PBB 2504 akan mengikuti jejak Resolusi PBB 3379. Untuk itu rakyat Papua Barat harus bersatu, bertekun dalam doa dalam satu perjuangan, dan berpengharapan teguh, waktu Tuhan yang akan menjawabnya, wasalam.
Tulisan ini tidak sempurna, banyak kekurangannya, dan selain
itu, tidak bermaksud mendiskredit pihak manapun dalam melihat konflik sengketa
wilayah geografi Papua Barat, antara Pribumi Papua dan Pemerintah Republik
Indonesia yang berkuasa atas wilayah dimaksud, Namun penulis berupaya memberi
sumbangan pemikiran melalui penulisan ini, guna membuka cakrawala wawasan
pembaca dan melihat serta menilai akar permasalahan yang sebenarnya menjadi
sumber konflik di Papua Barat, wasalam.(Kgr)