Selasa, 28 Februari 2023

Melihat Perjanjian New York,15 Agustus 1962 Dan Peluang Referendum Ulang Di Papua Barat.

By: Kristian Griapon, Februari 28, 2023

Wilayah New Guinea Bagian Barat yang kini disebut Papua Barat, menjadi objek sengketa wilayah Kekuasaan antara Indonesia dan Belanda setelah perang dunia ke-2, dan penyelesaiaannya melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.

Makna dasar dari Perjanjian New York 15 Agustus 1962, adalah bentuk penyelesaiaan sengketa kekuasaan atas wilayah tidak berpemerintahan sendiri Papua Barat, serta menjalankan administrator PBB mempersiapkan penentuan nasib sendiri penduduk asli Papua, di Wilayah papua Barat.

Perjanjian New York 15 Agustus 1962 telah ditanda tangani dan diratifikasi antara Permerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda, kedua belah pihak yang bersengketa, serta menjadi laporan SEKJEN PBB dan tersimpan (deposit) pada Majelis UMUM PBB. Sehingga Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 telah memenuhi standar perjanjian internasional berdasarkan konvensi Wina hukum perjanjian internasional tahun 1969.

Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 dapat diterapkan aplikasi retroaktif dan retrospektif yang terkandung dalam konvensi Wina hukum perjanjian internasional tahun 1969. sebagaimana yang terurai dalam pasal 28, bahwa: “SEMUA PERJANJIAN BERLAKU SURUT JIKA MAKSUD DALAM PERJANJIAN, ATAU SECARA JELAS TERSIRAT DARI KETENTUAN-KETENTUANNYA”. Artinya pasal ini menjamin semua bentuk pelanggaran dari klausul perjanjian New York, 15 Agustus 1962 untuk diminta pendapat hukumnya di Mahkamah Internasional (ICJ) atas dasar rujukan Majelis Umum PBB.

Pelanggaran dalam pelaksanaan Act of Free Choice 1969, yang bersinggungan langsung pada klausul perjanjian New York pasal XVIII poin (d) “Hak Pilih semua orang dewasa penduduk asli Papua laki-laki dan perempuan, dirobah dengan cara perwakilan budaya Indonesia, yaitu, 1025 orang asli Papua dan imigran Indonesia yang menetap di wilayah Papua Barat, ‘mengatas namakan Penduduk Asli Papua mewakili ± 800.000 orang asli Papua yang mempunyai hak pilih. Kasus itu akan menjadi dasar pertimbangan Majelis Umum PBB merujuk ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk mendengarkan pendapat hukum internasional (opinio juris) tentang keabsahan Act of free Choice di wilayah Papua Barat. Dan jika dinyatakan pelaksanaan Act of Free Choice bertentangan dengan standar hukum kebiasaan internasional, maka suka atau tidak suka, Indonesia akan memikul tanggung jawab international melaksanakan referendum ulang dibawah pengawasan PBB.di wilayah Papua Barat.

Tentu saja untuk menuju referendum ulang tidak segampang dibayangkan, harus mendapat dukungan mayoritas negara-negara anggota PBB.

ULMWP adalah lembaga politik strategis dan representatif perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat di dalam negeri maupun di luar negeri dalam kiprahnya di Dunia Internasional, sehingga ULMWP harus diupayakan secara maksimal menjadi anggota resmi MSG sebagaimana FLNKS Kanak, gerakan pro kemerdekaan Kaledonia Baru. Karena menjadi anggota resmi merobah status dari obsever menjadi anggota penuh, ULMWP mempunyai power politik dalam kedudukan hukum yang jelas diantara masyarakat Pasifik. Sehingga masalah Papua Barat dapat diakomodir dalam forum-forum resmi masyarakat pasifik, baik itu dikawasan pasifik maupun go internasional.

ULMWP menjadi symbol gugatan Act of Free Choice 1969 di wilayah Papua Barat dan jembatan refendum ulang di wilayah Papua Barat, wasalam.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat

Sabtu, 25 Februari 2023

Mengapa Orang-Orang Papua Barat Menuntut Kemerdekaannya dari Indonesia?  

By: Kristian Griapon, Februari 10, 2023

Orang-orang Papua Barat tidak terikat oleh Kontitusi Negara Republik Indonesia, karena mereka tidak pernah hadir duduk bersama (terlibat) dalam pembahasan hingga mendeklarasi kemerdekan Indonesia, baik itu yang dideklarasi Sukarno-Hatta,  17 Agustus 1945, maupun melalui KMB Den Haag-belanda, dalam bentuk Negara Federasi Republik Indonesia Serikat, 27 Desember 1949.

Tidak terikat itu menjadi Landasan Pengakuan Nasionalisme Papua pada, 1 Desember 1961 oleh Negara Berdaulat Kerajaan Belanda, negara koloni yang mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab internasional atas dekolonisasi daerah-daerah koloninya bedasarkan piagam PBB, prinsip dasar hukum internasional, dan hukum kebiasaan internasional.

Indonesia mengklaim New Guinea Barat bagian dari deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 bersifat sepihak tidak memenuhi landasan hukum. Hal itu bertentangan dengan piagam dasar PBB pasal 73, resolusi Mu-PBB 1514 dan 1541, tahun 1960, serta prinsip dasar hukum internasional erga omnes, status quo ante bellum dan uti possidetis iuris.

Dalam sengketa wilayah New Guinea Bagian Barat yang dipermasalahkan oleh pihak Indonesia terhadap Belanda dimulai sejak tahun 1940-an hingga tahun 1962, yang puncaknya ditandai perjanjian New York 1962, yang terjadi adalah ‘status quo ante bellum dan uti possidetis iuris’, artinya wilayah New Guinea Bagian Barat dikembalikan pada daerah koloni Hindia-Belanda sebelum perang dunia ke dua dan setelah perang dunia ke-2 dipisahkan dari kemerdekaan Indonesia atas dasar prinsip erga omnes, yaitu jaminan hak penentuan nasib sendiri orang-orang asli Papua (kelompok etnik) di Wilayah New Guinea Bagian Barat, yang sebagaimana dituangkan melaui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, diratifikasi Indonesia dan Belanda.

Jadi tidak ada kata menang atau kalah dalam sengketa wilayah New Guinea Bagian Barat antara Indonesia dan Belanda, yang terjadi Indonesia menerima tanggung jawab transfer kekuasaan dari United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Mei 1963, menjalankan administrator PBB di New Guinea Barat, mempersiapkan Act of Free Choice (referendum) bagi orang-orang asli Papua di New Guinea Bagian Barat pada Juli-Agustus 1969, berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB, 1752 yang diberlakukan mulai 21 September 1962.

Dari konteks diatas nampak jelas bahwa, Papua Barat tidak termasuk dalam proklamasi kemerdekaan daerah- daerah koloni Hindia-Belanda di Hindia Timur, yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, maupun berdasarkan kemerdekaan Negara Federasi Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949, berdasarkan wilayah geografi, etnik, dan budaya.

Masalah Act of Free Choice telah dijelaskan Prof.Pieter Drooglever dalam studinya, yang telah melakukan wawancara dengan ratusan tokoh Papua Barat. Ia mencatat bahwa Rakyat Papua Barat sejak awal Menyangsikan Peralihan Papua Barat ke PBB (UNTEA) dan Rencana Act Of Free Choice tidak akan membawa harapan bagi orang Papua Barat. Mereka menyaksikan bahwa Kekuatan PBB secara Militer sangat lemah, apalagi penempatan Pasukan Perdamaian PBB asal Pakistan hanya bertahan setahun. Sementara itu pengiriman Pasukan Angkatan Darat, Laut, dan Udara dari Jakarta begitu banyak. Sulit dibayangkan bahwa Indonesia akan melepaskan Papua Barat menjadi Negara yang Berdaulat.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...