Selasa, 28 Maret 2023

FILOSOFI SOSIAL “PAPUA BARAT BUKAN TANAH KOSONG”



Sekilas Melihat Pola Kejahatan Genosida, Ekosida Dan Tuntutan Kemerdekaan Papua Batat

By :Kristian Griapon, Maret 26, 2023.

Kekayaan Sumber Daya Ekonomi (SDA, mineral, minyak dan gas) di Wilayah Geografi Papua Barat (West New Guinea) menjadi lahan bisnis kekuasaan Jakarta, serta alat negara (TNI-POLRI) dilibatkan mengamankan kegiatan bisnis penguasa Jakarta di Papua Barat, dibawah komando operasi Intelijen. Hal itu dimulai sejak rezim orde baru berkuasa.

Presiden Republik Indonesia ke-2 Suharto, menandatangani kontrak  karya pertambangan nikel dengan perusahan AS Freeport McMoRan pada tahun 1967, dan praktek bisnis Jakarta berlanjut dari rezim ke rezim yang berkuasa, dikembangkan ke berbagai sektor bisnis hingga saat ini, tanpa mempedulikan Masyarakat Adat Papua Pemilik Property Wilayah Geografi Papua Barat. 

Kontrak karya  pertambangan nilkel di Timika Papua Barat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahan AS Freeport McMoRan, dapat dilihat sebagai pintu masuk kejahatan genosida dan ekosida terhadap penduduk asli Papua dan lingkungan kehidupannya, serta awal dari praktek penguasa Negara Indonesia merampas hak-hak Sipol dan Ekosob Masyarakat Adat Papua di wilayah geografi Papua Barat mengatasnamakan negara.

Indonesia sebagai negara anggota PBB yang menjalankan administator PBB di Papua Barat sejak tanggal, 01 Mei 1963, berdasarkan perjanjian New York, 15 Agustus 1962 dan resolusi MU-PBB 1752 (XVII) 21 September 1962, diberi tanggungjawab menjamin perlindungan terhadap hak dan kebebasan penduduk asli Papua. Sehingga kontrak karya pertambangan nikel antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahan AS Freeport McMoRan pada tahun 1967, dapat dilihak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak Sipol dan Ekosob Masyarakat adat Papua.

Setelah Pepera 1969, Indonesia Dimandatkan Oleh Masyarakat Internasional Melalui Resolusi MU-PBB, 2504 (XXIV), 19 November 1969, Memikul Tanggungjawab Pembangunan Sosial-Ekonomi Di Wilayah Geografi Papua Barat.

-----------------------------------------------------

Resolusi 2504 (XXIV). Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengenai West New Guinea (Irian Barat)

Majelis Umum,

Mengingat resolusi 1752 (XVII) dari 21 September 1962, di mana ia mencatat Perjanjian dari 15 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengenai West New Guinea (Irian Barat),  mengakui peran peran yang diberikan pada Sekretaris Jenderal dalam Perjanjian dan berwenang dia untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya di dalamnya,

Mengingat juga keputusan dari 6 November 1963  untuk mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal  pada penyelesaian United Nations Temporary Executive Authority di Irian Barat,

Mengingat lebih lanjut bahwa pengaturan untuk tindakan pilihan bebas adalah tanggung jawab Indonesia dengan saran, bantuan dan partisipasi dari perwakilan khusus Sekretaris Jenderal, sebagaimana diatur dalam Perjanjian,

Setelah menerima laporan tentang pelaksanaan dan hasil dari tindakan pilihan bebas  disampaikan oleh Sekretaris Jenderal sesuai dengan pasal XXI, ayat 1, Perjanjian,

Mengingat bahwa, sesuai dengan pasal XXI, ayat 2, kedua belah pihak untuk Persetujuan telah diakui hasil ini dan mematuhi mereka,

Memperhatikan bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasional, memberikan perhatian khusus terhadap kemajuan Irian Barat, mengingat kondisi spesifik penduduknya, dan bahwa Pemerintah Belanda, bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia, akan terus memberikan bantuan keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank Pembangunan Asia dan lembaga-lembaga PBB,

1. Membawa catatan dari laporan Sekretaris Jenderal dan mengakui dengan penghargaan pemenuhan oleh Sekretaris Jenderal dan wakilnya tugas yang dipercayakan kepada mereka di bawah Perjanjian 15 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang West New Guinea (Irian Barat);

2. Menghargai setiap bantuan yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa atau melalui cara lain kepada Pemerintah Indonesia dalam upaya untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan sosial dari Irian Barat.

Pleno 1813th,
19 November 1969
.

________________
4 Ibid., Ketujuhbelas Sesi, Lampiran, agenda barang 89, dokumen A / 5170, lampiran.

------------------------------------------------------------------------

Apa maknah dari pembangunan sosial-ekonomi?

“Teramati tiga kata: pembangunan, sosial dan ekonomi”.

“Kalau berbicara tentang pembangunan, tentu saja arah tujuan-nya membangun kesejahteraan baik itu non fisik maupun fisik. Kalau berbicara tentang sosial tentu saja tidak bisa terlepas dari penduduk asli pepua dan kearifan lokalnya, yang bersentuhan langsung dengan hak aktif, yakni, hak-hak sipil dan politik (Sipol). Kalau berbicara tentang ekonomi tentu saja tidak bisa terlepas dari hak pasif, yakni, hak-hak property adat (hak komunal), yang bersinggungan langsung denga hak-hak ekonomi dan sosial-budaya (Ekosob)”.

Membangun dalam arti, bagaimana sinergitas Negara mengolah hak-hak Sipol dan Ekosob masyarakat adat Papua untuk kemajuan wilayah Papua Barat dan kesejahteraan penduduk asli Papua, bukan untuk menguasai, atau merampas hak dan kebebasan mereka.

Kehadiran Indonesia sebagai Negara yang berkuasa di Papua Barat berdasarkan resolusi MU-PBB 2504 (XXIV), 19 November 1969, bukan untuk membungkam (memenjarakan) hak-hak Sipol, serta merampas hak-hak ekosob penduduk asli Papua di wilayah geografi Papua Barat. Namun sebagai Negara yang menjalankan kewajiban internasionalnya berdasarkan resolusi MU-PBB 2504 (XXIV), 19 November 1969, memikul tanggungjawab internasionalnya melindungi dan memenuhi penikmatan hak-hak Sipol dan Ekosob penduduk asli Papua diatas tanah leluhurnya Papua Barat.

Status Akhir Papua Barat di dalam resolusi MU-PBB 2504 (XXIV),19 November 1969 tidak terdapat pasal yang secara jelas dan tegas mengikat penduduk asli Papua dan wilayah geografi Papua Barat diintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga hal tersebut tidak bisa menggugurkan hak pembangunan dan hak politik penduduk asli Papua, dalam pengelompokan suatu bangsa di wilayah geografi Papua Barat.

Pelanggaran Hak-Hak Sipol dan Ekosob Masyarakat Adat Papua memunculkan perlawanan terhadap kekuasaan negara di Papua Barat.

Politik hukum nasional Indonesia dalam aplikasinya sebagai instrument pengelolaan dan pengendalian negara di wilayah geografi Papua Barat terjadi kontra politik, hal itu karena terbentur dengan hukum adat masyarakat Papua yang telah terbangun dan melekat di dalam kelompok-kelompok suku yang masih mempertahankan hak-hak komunalnya turun temurun, sebelum adanya kekuasaan negara.

Kodifikasi politik hukum nasional Indonesia tanpa mempehatikan kearifan lokal masyarakat adat Papua yang secara kontinu merugikan hak-hak adat penduduk asli Papua, memicu ketidak percayaan penduduk asli Papua terhadap kekuasaan Jakarta, sehingga memperdalam konflik Papua-Jakarta yang berujung pada tuntutan kemerdekaan Papua Barat.

Tuntutan kemerdekaan bangsa Papua Barat didasarkan pada prinsip rasional, artinya dalam suasana tertindas, orang-orang Papua Barat terbangun kesadaran politiknya atas kebutuhan kebebasan dan perlindungan di dalam sebuah negara berdaulat diatas wilayah geografi mereka, Papua barat. Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa menjawab hal itu, maka solusi membentuk sebuah Negara Papua Barat berdaulat, adalah jalan tengah untuk menjawab kebutuhan kebebasan dan perlindungan di dalam sebuah negara.

Kesadaran politik atas kebutuhan kebebasan di dalam perlindungan sebuah negara telah menjadi sebuah ideology nasional Papua Barat yang nampaknya sudah tidak bisa ditawar-menawar lagi dengan berbagai kemauan politik Jakarta.

Catatan Penulis:

Dikutif dari Dokumen PBB Nomor.6311-Halaman 2

274

Perserikatan Bangsa Bangsa-Seri Perjanjian 1962

PERJANJIAN I ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KERAJAAN BELANDA TENTANG WEST NEW GUINEA (IRIAN BARAT), DITANDATANGANI DI KANTOR PUSAT PERSERIKATAN BANGSA BANGSA, NEW YORK, TANGGAL, 15 AGUSTUS 1962.

  • Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.
  • Mengingat Kepentingan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah tersebut.
  • New Guinea Barat (Irian Barat) selanjutnya disebut sebagai “Wilayah”.
  • Ingin menyelesaikan perselisian mereka tentang wilayah tersebut.

Sekarang, oleh karena itu, disetujui sebagai berikut:

RATIFIKASI PERJANJIAN DAN RESOLUSI MAJELIS UMUM PERSEIKATAN BANGSA BANGSA…Artikel I s/d XXIX.

Dari pembukaan perjanjian New York Indonesia Belanda terurai tiga alinea yang menjadi dasar perjanjian, yaitu:

  • Mengingat kepentingan dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
  • New Guinea Barat (Irian Barat) selanjutnya disebut sebagai “wilayah”.
  • Ingin menyelesaikan perselisian mereka tentang wilayah tersebut.

Tiga poin diatas yang menjadi catatan Sekjen PBB merekomendasikan reolusi Majelis Umum PBB 2504 (XXIV), 19 November 1969. Artinya masalah penyelesaian perselisian sengketa wilayah New Guinea Barat belum selesai, apabila “Kepentingan dan Kesejahteraan masyarakat Adat Papua di wilayah geografi Papua Barat belum terpenuhi”. 

Pertanyaan mendasar, Kepentingan apa? dan kesejahteraan bentuk apa? yang diperuntukan untuk masyarakat adat Papua, yang harus dipenuhi oleh Indonesia?(Kgr)

 

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

 

 

 

Minggu, 05 Maret 2023

Nota Protes Pemerintah Indonesia Terhadap Pemerintah Fiji Adalah Bentuk Pemaksaan Dalam Hubungan Internasional

Gambaran Bentuk Pembebanan Biaya Politik Indonesia Untuk Negara-Negara MSG, Dibalik Kepentingan Terselubung Masalah Papua Barat.(*)

Nota Protes Pemerintah Indonesia Terhadap Pemerintah Fiji Adalah Bentuk Pemaksaan Dalam Hubungan Internasional, Dampak Dari Pembebanan Biaya Politik Indonesia kepada Fiji. 

By: Kristian Griapon

Dalam Hubungan Internasional “Paksaan” mengacu pada pembebanan biaya oleh suatu negara kepada negara lain dan atau aktor diluar negara, untuk mencegah atau memaksa negara yang menerima biaya pembebanan melakukan tindakan politik maupun kewajiban hukum internasionalnya guna pembelaan, atau mendukung kepentingan negara pembebanan biaya dalam kepentingan Internasionalnya. Pembebanan biaya pada umumnya dilakukan dalam bentuk bantuan hibah.

Jadi bantuan hibah sebenarnya  bentuk politisasi internasional yang dilakukan oleh sebuah negara yang mempunyai motivasi terselubung terhadap negara penerima hibah. Motivasi kepentingan terselubung pada umumnya bermotif kepentingan Politik dan ekonomi pada ranah hubungan internasional.

Dari berbagai kasus bantuan hibah Indonesia kepada negara-negara MSG, mengajar penulis untuk melihat lebih jauh daripada sekedar memahami konsep dasar paksaan dalam pemahaman hubungan internasionl.

Fiji dan Papua New Guinea dua negara penerima bantuan hibah berkelanjutan dari Pemerintah Republik Indonesia di kawasan sub regional pasifik selatan. Tentu saja hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dukungan kedua negara itu untuk memperkuat “pengakuan diplomasi politik internasianal” terhadap Kedaulatan Negara Republik Indonesia atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat (Papua Barat).

Pemerintah Papua New Guinea yang kemudian disusul Kepulauan Solomon memilih menutup mulut untuk masalah Papua Barat karena takut kehilangan bantuan hibah dari Indonesia, yang oleh masyarakat akar rumput di kawasan regional pasifik menyebut dengan istilah “Blood Money” yang pemahamannya, "sogokan uang darah dari Papua Barat". Beda dengan Fiji yang sebelumnya penerima bantuan hibah terbesar dari Indonesia dibawah kepemimpinan PM Frank Bainimarama seorang berdarah Indo-pasifik, yang memilih membela Indonesia dalam kepentingan politiknya di Pasifik selatan (MSG). Ketika Kepemimpinan PM Frank Bainimarama diganti oleh PM Sitiveni Rabuka yang adalah seorang berdarah Melanesia Asli, teramati terjadi perubahan yang mendasar terhadap pandangan politik luar negeri pemerintah Fiji, terhadap perjuangan pembebasan bangsa Papua Barat.

Penyematan Noken Berlogo Bendera Kebangsaan Papua Barat, oleh Benny Wenda kepada PM Sitiveni Rabuka/Feb,2023.

Perkembangan aspirasi masyarakat akar rumput di Fiji yang memihak kepada penderitaan orang-orang Melanesia di Papua Barat telah meningkat, hal itu ditangkap oleh partai oposisi Fiji Social Democratic Liberal Party (SODELPA) yang mengemban prinsip dasar "Kebebasan untuk Kebenaran, keadilan dan Perdamaian". Partai oposisi yang dipimpin oleh Sitiveni Rabuka pada saat kepemimpinan PM Frank Bainimarama. Jadi bukan hal yang luar biasa ketika pemimpin gerakan kemerdekaan Papua Barat Benny Wenda melangkah mulus memasuki ruangan perkantoran PM Fiji,Sitiveni Rabuka, serta menyematkan noken symbol bintang kejora padanya.

Yang perlu dicatat dan di pahami oleh para diplomat Indonesia dan segenap orang Indonesia, bahwa “orang-orang Melanesia masih terikat oleh adat budaya dan kepercayaan yang melekat dan terbawa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Jadi ketika orang-orang Melanesia berkomitmen terhadap masalah Papua Barat, itu adalah suatu dorongan moral yang tinggi terhadap rumpun budaya dan ras Melanesia, bukan dorongan politik maupun ekonomi.

Sitiveni Rabuka salah satu politikus senior di MSG, memperlihatkan bentuk wajah MSG yang asli setelah diporak-poranda oleh kepentingan Indonesia di Pasifik Selatan.

Mengutif pernyataan PM Vanuatu Ismail Kalsakau (Feb/2023): Biarlah ULMWP menjadi anggota penuh di MSG, agar bisa membicarakan masalah Papua Barat secara langsung, dan PM Sitiveni Rabuka (Feb/2023): FLNKS menjadi preseden dalam mengakomodir ULMWP menjadi anggota penuh di MSG.

Pernyataan Kunci:

Nota Protes Pemerintah Indonesia  yang ditujukan kepada Pemerintah Fiji sangat berlebihan, sebagai bentuk ancaman terhadap PM Fiji untuk merobah pendiriannya berkaitan dengan dukungan Pemerintah Fiji terhadap Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat (ULMWP). Nota Protes itu bentuk tindakan diluar norma hukum internasional dan hubungan internasional, yaitu:"Tindakaan pemaksaan dan mengintervensi hak konstitusi kedaulatan negara lain".(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat. 


Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...