Kamis, 31 Agustus 2023

Indonesia Kalah Dilpomasi Papua Barat Di Kawasan Regional Pasifik


Resolusi OACP Akan Menjadi Peta Jalan Penyelesaain Konflik Papua Barat.

Ulasan-by :Kristian Griapon, 31 Agustus 2023

Kedudukan MSG

Dari segi teknis hukum internasional dan hubungan antar negara, dan politik internasional, “MSG adalah Kelompok Negara- Negara yang dikategori , Negara-negara blok  (block countries),  yang dibentuk dalam kawasan sub regional pasifik selatan berdasarkan “Wilayah Geografi, Etnik dan Budaya Melanesia” dan MSG bagian yang tidak dapat dipisahkan dari organisasi induknya di tingkat regional pasifik, yang disebut Forum Kepulauan Pasifik (PIF).

MSG memiliki tujuan dan kepentingan politik yang sama, serta bertindak bersama dalam merumuskan berbagai isu  yang dihahapinya di dalam kawasan pasifk selatan, melalui  Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) antar para pemimpin (kepala pemerintahan), untuk mengadopsi komunike yang menjadi kesepakatan bersama.

Komunike yang diadopsi memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua  negara anggota MSG di dalam kawasan sub regional pasifik selatan. Dan walaupun tidak mengikat negara negara di luar MSG, namun keberadaan negara asosiasi (negara rekan) di dalam ruang lingkup protokoler MSG, secara otomatis menerima konsekuensi etis dan moral, yaitu harus menghormati dan mematuhi protokoler yang belaku di MSG.

Status asosiasi Indonesia di MSG adalah negara rekan tidak lebih dari itu, karena tidak termasuk dalam kualifikasi kenegaraan yang berada di dalam kawasan sub regional pasifik selatan, yang memiliki hubungan etnik dan budaya Melanesia, atau dengan kata lain status dari sebuah entitas yang menjadi subyek dari hukum internasional, berdasarkan pada Internasional Political Sociologi. 

MSG adalah kelompok negara-negara di dalam kawasan sub regional pasifik selatan dengan batas wilayah luarnya di pasifik barat daya, meliputi di bagian timur kepulauan Fiji dan di bagian barat Papua Barat, serta di bagian dalam kawasam regional pasifik, di bagian utara Kaledonia Barau. yang termasuk dalam  etnik dan budaya Melanesia.

Indikator Kekalahan Indonesia Dalam Diplomasi Papua Barat

Dinamika Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat telah berada dalam situasi politik kontemporer, yang sedang dimainkan lewat masyarakat regional pasifik, dan telah melebar luas ke penjuru dunia. Artinya perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat telah melewati tantangan. hambatan dan rintangan yang di bangun dan dikawal ketat otoritas negara, di dalam negeri Indonesia, namun kini telah melewati tapal batas negara, memasuki zona dunia internasiaonal, yang diadvokasi dan dikawal negara-negara kepulauan pasifik (PIF).

Indikator, atau alat ukur yang menjelaskan Indonesia kalah diplomasi Papua Barat di regional pasifik, dapat diamati dari dinamika perkembangan dukungan negara terhadap situasi HAM di Papua Barat, yang diungkap sbb::


1.  Deklarasi Saralana, Port Vila Vanuatu, 6 Desember 2014, bersatunya faksi-faksi pejuang politik kemerdekaan bangsa Papua Barat ke dalam wadah politik ULMWP menjadi ujung tombak perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Bara di dunia internasional.

 

2. ULMWP telah diakomodir ke dalam MSG melalui KTT-MSG 20 dengan status Observer, pada tanggal, 26 Juni 2015, merupakan wujud pengakuan Negara-negara Melanesia terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat.

3. Status observer Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi anggota blok MSG pada KTT-MSG 20 2015 di Kepulauan Solomon, dalam lobi intensif Delegasi Indonesia yang mengikutkan perwakilan dari 5 Provinsi bercorak budaya Melanesia Indonesia, (Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat) tidak berhasil meyakinkan para pemimpin MSG menerima Indonesis menjadi anggota blok MSG, namun diakomodir menjadi anggota asosiasi (rekan), yang sebatas hubungan ekonomi, non politik, sosial dan budaya.

.

4. KTT-MSG 21, 2018 di PNG, terjadi intervensi Indonesia yang berdampak pada penundaan pengajuan peningkatan status ULMWP dari observer menjadi anggota blok MSG (full member).


5. Isu sensitif kejahatan kemanusiaan di Papua Barat yang tidak diakomodir pada KTT 21, 2018 di PNG,.menjadi isu yang berkembang diluar kontrol Indonesia, setahun kemudian masuk dalam agenda KTT-PIF 50, 2019 di Tuvalu, lewat delegasi Vanuatu di dukung NGO dan masyarakat sipil Pasfik, berhasil melobi dan medorong isu kejahatan kemanusiaan di Papua Barat menjadi item berdiri sendiri didalam komunike bersama para pemimpin Pasifik dan diajukan dalam KTT-OACP 2019 di Nairobi Kenya pada tanggal, 9-10 Desember 2019, dan disambut oleh semua pemimpin negara dan kepala pemerintahan menjadi resolusi.OACP 2019 Nairobi, tentang situasi HAM di Papua Barat dan mencari jalan penyelesaiannya..


6. Menindak lanjuti Resolusi OACP 2019, Dewan Menteri OACPS, pada Sidang ke- 111 yang diadakan secara virtual pada 14, 15 dan 17 Desember 2020, di bawah kepresidenan HE. Prof. Palamagamba John Ai dan HE. Mwaluko Kabudi, Menteri Luar Negeri dan Kerjasama Afrika Timur, Republik Bersatu Tanzania , mengadopsi Keputusan Nomor. 9, “Keputusan tentang situasi Hak Asasi Manusia di Papua Barat”, yang mengacu pada Resolusi Nomor. 3, Sidang ke- 110 Dewan Menteri di Nairobi, Kenya pada 7 Desember 2019.


7. Pada pertemuan di Brussels, 1 September 2021/OACPS, melalui Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-negara Afrika, Karibia dan Pasifik (OACPS), HE. Georges Rebelo Pinto Chikoti menyatakan, sesuai dengan Keputusan Dewan Menteri OACPS pada Sidang ke -111, pada Desember 2020, telah menyampaikan melalui surat tertulis kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNHCHR) atas nama OACPS, yang isinya, mengeluarkan Pernyataan tentang implementasi Keputusan.OACP tentang situasi HAM di Papua Barat.

 

8. Pada KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu, disimak dari pernyataan dua Perdana Menteri (PM):

Pertama Pernyataan PM Papua New Guinea, masalah Papua Barat akan diangkat ke Forum Kepulauan Pasifik, karena telah menjadi kewenangannya. Dan Indonesia dikenakan moratorium atas kedudukannya sebagai anggta asosiasi di MSG guna membuka jalan kunjungan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengujungi wilayah Papua Barat.

Kedua, Pernyataan PM Kepulauan Solomon mendesak Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia segera mengunjungi Papua Barat berdasarkan Resolusi PFI Tuvalu 2019.

Menyimak bahasa dalam politik internasional yang diungkapkan Sekjen OACP, HE. Georges Rebelo Pinto Chikoti: “OACPS mengakui bahwa Indonesia menjalankan kedaulatan penuh atas provinsi Papua Barat, namun Sekjen Chikoti, menegaskan kembali komitmen yang tak tergoyahkan dari Oacps, tentang Hak Asasi Manusia, supremasi hukum dan prinsip-prinsip demokrasi, yang harus ditegakkan di Papua Barat", wasalam. (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Sabtu, 26 Agustus 2023

Dinamika Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat Telah Berada Dalam Situasi Politik Kontemporer Yang Sedang Dimainkan Lewat Masyarakat Regional Pasifik.


By: Kristian Griapon, 26 Agustus 2023

Tulisan ini penulis menanggapi opini pengamat lokal Papua maupun nasional Indonesia, tentang walks out delegasi Indonesia di KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu, dan juga merespons permintaan pengguna FB atas pandangan penulis, tentang  proposal ULMWP untuk menjadi anggota penuh tidak dijawab oleh para pemimin negara-negara MSG dalam KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu

Tanggapan Untuk Opini Pengamat Lokal/Nasional

https://www.odiyaiwuu.com/2023/08/24/papua-bukan-timor/?fbclid=IwAR1T0i--zHLyJxYOq5PuZcVjQ_jHR85TWkX1FLlAfi8Wnjli6OG3wPiIJ0M

https://news.detik.com/berita/d-6893200/benny-wenda-bicara-di-forum-melanesia-internasional-delegasi-ri-walk-out

Pertama, Penulis mencermati, bahwa telah terjadi “Kerancuan Berpikir Untuk Tujuan Propaganda Publik Melalui Media Pro Indonesia”, yang sifatnya mendisinformasi sebuah fakta kebenaran yang sedang diperjuangkan oleh Bangsa Papua Barat.

Bahwa kerancuan atau kekeliruan dalam menafsir hukum internasional terhadap suatu masalah internasional, terjadi karena subtansi masalahnya tidak dikaji secara bersistem, artinya, tidak hanya melihat masalahnya saja, namun harus mengkaji latar belakang sebab akibat yang menimbulkan masalah dari berbagai aspek yang bersentuhan langsung dengan masalah dimaksud.

jika masalah Papua Barat disamakan dengan Taiwan wilayah semi negara yang mempunyai hubungan sejarah masa lalu dengan Tiongkok daratan (China), masalahnya tidak relevan, alias tidak nyambung untuk disamakan dengan masalah Papua Barat dengan Indonesia. Terkecuali masalah Papua Barat dapat dihubungkan dengan daerah otonom China Xinjiang, yang mayoritas penduduknya beretnis Uighur. Karena subtansi masalahnya ada kesamaan,  yaitu, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas negara.

Kedua, Pernyataan Papua Barat bukan Timor Leste. 

Memang benar, Papua Barat adalah Papua Barat, dan Timor Leste adalah Timor Leste,  dua wilayah geografi yang secara etnik dan budaya berbeda dan terpisah dari Melayu Jawa maupun melayu nusantara yang membentuk Negara Republik Indonesia. Dikaji berdasarkan prinsip hukum internasional “erga omnes”

“Subtansi Masalah Orang-orang Papua Barat dibawah Otoritas Negara Republik Indonesia dengan Orang-orang Timor Leste sebelum merdeka dari Indonesia sama, yaitu dua bangsa belum merdeka, yang memiliki hak menentukan nasib sendiri”.

Status Wilayah Timor leste  beda  dengan status wilayah Papua Barat berdasarkan hukum internasional.

Timor Leste daerah bekas koloni Portugal yang diinvasi militer Indonesia dan tidak menjadi daerah sengketa setelah perang dunia ke-2 antara Portugal dan Indonesia. Sehingga Timor Leste masuk dalam kategori daerah dekolonisasi, yang proses penentuan nasib sendiri melalui panitia khusus dekolonisasi PBB.

Sedangkan status wilayah Papua Barat adalah daerah sengketa kekuasaan setelah perang dunia ke-2, antaran Negara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Sehingga penyelesaiannya harus melalui perjanjian internasional  yang disebut New York Agreement, 15 Agustus 1962, dibawah hukum perjanjian internasional. Dan Wilayah Papua Barat diberi tanggungjawab dan kewenangan pengelolaan kekuasannya kepada negara anggota PBB Indonesia, menjalankan administrasi PBB dan mempersiapkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat sesuai dengan klausul perjanjian.

Seharusnya suatu wilayah tidak berpemerintahan sendiri seperti Papua Barat, yang menjadi sengketa kekuasaan antar negara Indonesia dan Kerajaan Belanda, setelah mengadakan perjanjian penyelesaianya melalui perjanjian internasional, statusnya harus berada dibawah pengawasan Dewan Perwalian PBB, sesuai dengan aturan dasar PBB yang termuat dan tertera dalam piagam PBB Bab XII dan XIII.

Perjanjian Internasional antara Indonesia dan Belanda menghendaki penyelesaian sengketa Papua Barat dan pelaksanaan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat diluar pengawasan Dewan Perwalian PBB, ditangani langsung dibawah kewenangan dan tanggung jawab Sekjen PBB. Dan sekjen PBB menyerahkan tanggungjawanya kepada Indonesia, negara anggota PBB  yang di percayakan menjalankan administrator PBB di Papua Barat, mempersiapkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat pada tahun 1969 (sesuai dengan klausul perjanjian New York, 15 Agustus 1962, artikel II s/d VIII).

Indonesia menjadi negara anggota PBB secara otomatis (ipso facto) menjadi pihak pada statuta mahkamah Internasional (ICJ) berdasarkan pasal 93 ayat (1) piagam dasar PBB, serta sebagai administrator PBB yang menjalankan kewajiban internasional di Papua Barat, telah melanggar klausul perjanjian yang dibuatnya dalam pelaksaan Act of Free Choice 1969. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 93 ayat (1) dan pasal 103 piagam dasar PBB, Indonesia dapat diminta pertanggungjawaban melalui Majelis Umum PBB dan, atau Mahkamah Internasional berdasarkan negara.

Tangapan Posisi ULMWP di MSG 

ULMWP sebagai ujung tombak perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat menjadi full member MSG atau tidak bukan tujuan akhir dari perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat, yang terpenting dan perlu dicatat, bahwa kedudukan ULMWP sebagai Observer di dalam blok organisasi negara-negara MSG adalah symbol pengakuan terhadap wilayah dan orang-orang Papua Barat  bagian integral dari Bangsa-bangsa Melanesia yang mendiami kawasan pasifik selatan.

Secara politik internasional dalam hubungan antar negara, Indonesia telah mengadakan hubungan bilateral dengan tiga negara anggota MSG, yaitu,  PNG, Fiji dan Kepulauan Solomon yang didasari atas asas non intervensi masalah dalam negeri masing-masing negara. Dan selain itu, keterlibatan langsung Indonesia dalam MSG sebagai anggota asosiasi dan memberikan kontribusi finansial dalam mendukung organisasi MSG, menjadi pertimbangan tersendiri atas keluhan Indonesia terhadap posisi ULMWP di MSG. Namun demikian para pemimpin MSG tetap konsisten mengakomodir berbagai masalah dikawasan Melanesia, termasuk masalah Papua Barat yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab internasionalnya.

Dillihat dari kacamata politik internasional, bahwa para pemimpin MSG mencermati masalah Papua Barat adalah masalah kawasan regional Pasifik, sehingga masalahnya harus diangkat lewat Forum Kepulauan Pasifik (PIF) untuk dicari jalan penyelesaiannya melalui pendekatan persuasif, atau dengan cara damai, dan mengungkap akar masalah, mencari jalan penyelesaiananya yang berprinsip pada piagam dasar PBB Bab VIII.

Jadi Orang-orang Papua Barat jangan berkecil hati apabila keanggotaan penuh di MSG ditunda atas pertimbangan rasional para pemimpin MSG, dan Indonesia jangan berbesar hati merasa unggul dalam percaturan politik kepentingannya di MSG, karena masalah Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat telah menjadi tematik HAM PBB berdasarkan Negara atas dasar Resolusi PIF Tuvalu, 2019 dan diperkuat Resolusi ACP Nairobi, 2019, wasalam.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Rabu, 16 Agustus 2023

Pelanggaran New York Agreement 15 Agustus 1962, Melahirkan Kekerasan Negara Di Papua Barat, Profil Dalam Gambar

 

Gambar Ilustrasi: Salah satu bentuk kekerasan alat kekuasaan Negara Republik Indonesia di Papua Barat

Subtansi Masalah Dalam Perjuangan Pembebasan Bangsa Papua Barat Adalah “Pelanggaran Hak Politik Bangsa Papua Barat” Dalam Pelaksanaan Act of Free Choice Tahun 1969 di Papua Barat.

Oleh: Kristian Griapon, Agustus 16, 2023.

New York Agreement, 15 Agustus 1962 adalah Perjanjian Internasional Antar Negara, tentang penyelesaian sengketa kekuasaan wilayah tidak berpemerintahan sendiri New Guinea Bagian Barat (Papua Barat), antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda.

Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, Sifatnya mengikat, dan telah menjadi deposit Sekretaris Jenderal PBB, atau dengan kata lain telah terdaftar pada Sekretariat Majelis Umum PBB dengan Nomor Register. 6311. INDONESIA dan BELANDA, Perjanjian (dengan lampiran) tentang Nugini Barat (Papua Barat). Ditandatangani di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, pada tanggal 15 Agustus 1962

Didaftarkan pada tanggal 21 September 1962 oleh Sekretaris Jenderal PBB yang bertindak atas nama pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sesuai dengan ayat 2 pasal XXVIII Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.

New Guinea Barat (Papua Barat) termasuk dalam kategori salah satu wilayah sengketa antar negara setelah perang dunia ke-2,  dan penyelesaiannya melalui perjanjian internasional, sehingga wilayah New Guinea Barat masuk dalam daerah perwalian PBB (trust-territories/daerah pengwasan) yang diatur melalui piagam PBB Bab XII Pasal 75 s/d Pasal 85 dan Bab XIII Pasal 86 s/d Pasal 91.

New Guinea Barat setelah diregistrasi, seharusnya menjadi kewenangan dan tanggunjawab dibawah pengawasan Dewan Perwalian PBB bersama dengan daerah-daerah perwalian PBB lainnya, misalnya Kepulauan Palau di Sub Regional Mikronesia Kawasan Pasifik, adalah daerah perwalian PBB terakhir yang dimerdekakan dari administrator AS pada tanggal 1 Oktober 1994.

Papua Barat wilayah yang oleh Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 pada artikel II s/d VIII mengamanatkan bahwa, New Guinea Barat setelah diregistrasi menjadi kewenangan dan tanggungjawab Sekjen PBB dalam rangka mengambil alih kekuasaan  wilayah tidak berpemerintahan sendiri New Guinea Barat dari Pemerintahan Kerajaan Belanda dan mentransfernya kepada Pemerintahan Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia setelah menerima tanggungjawab internasional melalui perjanjian yang dibuatnya dengan Pemeritah Kerajaan Belanda, adalah menjalankan kewajiban internasional mempersiapkan Act of Free Choice pada tahun 1969.

Subtansi masalah yang menimbulkan konflik setelah Act of Free Choice tahun 1969, dengan adanya Deklarasi Perang Politik Bangsa Papua Barat pada, tanggal, 1 Juli 1971, adalah respons terhadap “Pelanggaran Hak Politik Bangsa Papua Barat” dalam pelaksanaan Act of Free Choice tahun 1969 oleh Pemerintah Republik Indonesia, pihak yang menjalankan administrator PBB di New Guinea Barat.

Bentuk pelanggaran hak politik bangsa Papua Barat, adalah Administrator Pemerintah Republik Indonesia menggantikan tata cara pemilihan bebas yang tertera pada klausul perjanjian New York 15 Agustus 1962, artikel XVIII poin (d), dengan tata cara budaya kebiasaan bangsa Indonesia, yaitu “perwakilan, musyawarah dan mufakat” .1025 orang Asli Papua dan Imigran Indonesia yang ditunjuk oleh Otoritas Indonesia, mewakili > 800.000 penduduk asli Papua yang memiliki hak pilih dalam penentuan nasib sendiri pada tahun 1969.

Kasus hukum itu menjelaskan bahwa “orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat tidak pernah menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang diamanatkan dalam klausul New York Agreement 15 Agustus 1962 Pasal XVIII Poin (d), tentang syarat  penggunaan hak pilih dalam penentuan nasib sendiri orang-orang asli Papua Barat di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat”.

Perjanjian internasional dilandasi oleh enam asas yang berfungsi sebagai dasar-dasar perjanjian internasional yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat.

Enam asas perjanjian internasional dan penjelasannya:

1)  Pacta Sunt Servanda

Pacta Sunt Servanda diambil dari bahasa latin yang berarti perjanjian harus ditepati. Ini merupakan asas pertama dan tertua yang mendasari perjanjian internasional.

Dilansir dari Oxford Public International Law, Pacta Sunt Servanda berarti hak dan kewajiban semua pihak dalam perjanjian internasional harus dilakukan, dan pelanggarannya akan dikenakan konsekueknsi sesuai hukum internasional yang berlaku.

2)  Egality Rights

Yang dimaksud egality rights adalah kesetaraan semua pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional. Sehingga tidak ada perbedaan level antar negara yang terlibat dalam perjanjian, semua negara setara.

Negara maju maupun berkembang adalah setara dan hak-hak negara tersebut tidak boleh dilanggar. Egality rights menyetarakan negara dan juga mencegah terjadinya penjajahan, perjanjian yang berat sebelah, dan pemaksaan dalam perjanjian.

3)  Reciprocity

Reciprocity atau timbal balik adalah asas internasional yang mengatur bahwa semua pihak yang terlibat melaksanakan hak dan kewajiban yang sama rata. Sehingga dalam perjanjian internasional, tidak ada pihak yang terlalu rugi, tidak ada pihak yang terlalu diuntungkan, semuanya seimbang dan merupakan jalan tengah.

4)  Bonafides

Bonafides berarti iktikad baik. Dalam perjanjian internasional harus dilandasi iktikad atau niat baik dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memiliki iktikad baik berarti negara-negara tersebut memiliki tujuan yang baik untuk membentuk suatu perjanjian internasional.

5)  Courtesy

Couteresy atau kehormatan adalah asas yang mewajibkan pihak-pihak dalam perjanjian untuk saling menghormati satu sama lain. Asas couteresy mengharuskan sopan santun dan rasa saling hormat karena semua pihak dalam perjanjian internasional adalah setara.

6)  Rebus sic Stantibus

Rebus sic Stantibus adalah asas perjanjian yang diambil dari bahasa latin dan berarti hal-hal yang berdiri. Dilansir dari Cambridge University Press, asas Rebus sic Stantibus memperbolehkan perubahan atau penghentian perjanjian atas dasar keadilan.

Asas Rebus sic Stantibus adalah pengecualian dari asas Pacta Sunt Servanda, karena perjanjian dapat ditinjau ulang jika ada hal-hal fundamental ataupun keadaan yang berubah, dengan jalan perundingan kembali pihak-pihak yang terlibat.

Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 memenuhi standar perjanjian internasional berdasarkan Piagam PBB pasal 102, sehingga mempunyai kekuatan hukum perjanjian internasional, dan berbagai bentuk pelanggaran yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian itu yang merugikan salah satu pihak, maka kasusnya dapat ditinjau melalui jalur politik di majelis Umum PBB dan, atau melalui jalur hukum yurudiksi mahkamah internasional (ICJ), guna penyelesaian kasusnya.

Konsekuensi ipso facto terhadap semua negara anggota PBB berdasarkan piagam PBB pasal 93  ayat (1), maka Indonesia terikat pada statuta mahkamah internasional (ICJ). Oleh karena itu pelanggaran Act of Free Choice dijamin dalam pasal 35 ayat (1) dan pasal 36 statuta mahkamah internasional (ICJ), untuk penyelesaiaan konsekuensi hukumnya melalui yuridiksi mahkamah internasional.

Syarat untuk masalah Papua Barat dapat di selesaikan di Majelis Umum PBB dan, atau di mahkamah internasional, prosedurnya harus berdasarkan negara.

Papua Barat bukan sebuah negara berdaulat, namun berdasarkan pengelompokan etnik dan budaya penduduknya termasuk dalam rumpun Melanesia, serta letak wilayah geografi Papua Barat termasuk dalam kawasan sub regional pasifik selatan. Sehingga atas dasar pertimbangan itu, menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG).

MSG mempunyai tanggungjawab moral terhadap kewajiban internasiaonalnya berdasarkan Piagam PBB Bab VIII untuk mencari jalan penyelesaian masalah Papua Barat,  baik ditingkat MSG maupun di tingkat regional dan lembaga multilateral PBB. Untuk mencari jalan penyelesaian damai.konflik rakyat Papua Barat dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Syarat untuk MSG menggunakan hak politik internasional dalam mendorong penyelesaian damai masalah Papua Barat, yaitu ULMWP sebagai representatif perlawanan politik bangsa Papua Barat harus menjadi anggota resmi (full member) MSG, sebagai simbol terintegrasinya Papua Barat ke dalam kawasan pasifik selatan.

Bentuk penyelesaian  masalah Papua Barat menuju pedamaian abadi, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu, referendum ulang model pilihan bebas rakyat Timor-Timur, atau melalui pengakuan kemerdekaan langsung oleh Negara Republik Indonesia terhadap Bangsa dan Negara Berdaulat Papua Barat, model Pengakuan lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) antar Belanda dan Indonesia, wasalam. (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.


Sabtu, 12 Agustus 2023

Manifesto Politik 19 Oktober 1961 Mendapat Pengakuan 1 Desember 1961, Spirit Fundamentalisme Papua Merdeka.





Merefleksi 61 Tahun Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 - 15 Agustus 2023

By: Kristian Griapon, Agustus 12, 2023.

1 Desember 1961 adalah “Fundamentalisme Papua Merdeka” .  yang menjadi spirit (roh)  dalam membangun dan mendorong anak-anak bangsa Papua berjuang untuk  kemerdekaan bangsanya Papua Barat dari penindasan Negara dan  Bangsa Indonesia, untuk mendirikan sebuah Negara Berdaulat yang melindungi batas-batas wilayahnya dan segenap bangsa Papua Barat. 

Penulis mengkaji dari sudut pandang hukum internasional, bersifat universal yang diterapkan untuk wilayah-wilayah dekolonisasi/daerah tidak berpemerntahan sendiri di seluruh dunia, termasuk “Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat kini disebut Papua Barat, yang diakomdir melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962”.

Yang harus dipahami oleh semua anak-anak bangsa Papua, termasuk para pejuang kemerdekaan Papua Barat yang terpecah dalam faksi-faksi perjuangan, bahwa “Fundamentalime Papua Merdeka  adalah Manifesto Politik Rakyat Papua Barat 19 Oktober 1961, yang telah mendapat pengakuan Negara Kerajaan Belanda pada 1 Desember 1961, Negara yang memiliki hak kedaulatan atas pendudukan  wilayah geografi New Guinea Bagian Barat“.

Bahwa, Pengakuan Negara Berdaulat Kerajaan belanda terhadap hak politik rakyat Papua di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat yang telah terjadi pada tanggal, 1 Desember 1961, mempunyai kekuatan hukum yang berlaku universal tidak dapat dicabut, atau dibatalkan (diamortisasi) oleh siapapun, manusia diatas muka bumi, dan pengakuan itu hanya sekali terjadi untuk selamanya, bahwa:  “ Penduduk Asli Papua, berdasarkan etnik dan budaya yang mendiami wilayah geografi New Guinea Bagian Barat, adalah sebuah  bangsa yang memiliki hak ekonomi atas property wilayah geografi New Guinea Bagian Barat dan hak politik untuk menentukan nasib sendiri”.

Indonesia sebagai negara yang terikat pada kewajiban internasionalnya atas asas ketaatan terhadap prinsif jus congens (peremptory norms), telah melanggar hak politik bangsa Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, dalam pelaksanaan Act of Free choice 1969. Dan Indonesia sebagai negara yang terikat oleh prinsif jus congens harus berbesar hati untuk mengaku dan menerima kesalahan pemerintah masa lalu, yang telah melanggar Hak politik Bangsa Papua Barat, serta mencari jalan penyelesaian damai untuk mengakhiri konflik politik berdarah yang berkepanjangan, di wilayah konflik Papua Barat.

Manifesto Politik Komite Nasional Papua Dicetuskan Di Hollandia Ibukota Nederlans Nieuw-Guinea,19 Oktober 1961 "Tertera Nilai Sejarah Dan Ideologi Bangsa Papua"

Tinjauan Historis

MANIFEST
Kami yang bertanda tangan dibawah ini, penduduk tanah Papua bagian Barat terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama merasa terikat dan bersatu padu satu bangsa dan satu tanah air :

MENYATAKAN :
Kepada penduduk sebangsa dan setanah air bahwa :
I.Berdasarkan fasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa bahagian
a dan b :

II.Berdasarkan maklumat akan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang belum berpemerintahan sendiri, sebagaimana termuat dalam Resolusi yang diterima oleh Sidang Pleno Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang ke 15 dari 20 September 1960 sampai 20 Desember 1960.No.1514(XV).

III.Berdasarkan hak mutlak dari kita penduduk tanah Papua bahagian Barat atas tanah air kita :

IV.Berdasarkan hasrat dan Keinginan bangsa kita akan kemerdekaan kita sendiri :
Maka kami dengan perantaraan Komite Nasional dan badan Perwakilan Rakyat kita Nieuw-Guinea Raad mendorong Gubernemen Nederlands Nieuw-Guinea dan Pemerintah Nederlands supaya mulai dari 1 November 1961 :

a.Bendera kami dikibarkan disampin bendera Belanda Nederland:
b.Nyanyian kebangsaan kita (kami) “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan disamping Wilhemus:
c.Nama tanah kami menjadi Papua Barat dan,
d.Nama bangsa kami Papua.

Atas dasar-dasar ini kami bangsa Papua menuntut untuk mendapat tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka dan diantara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia.

Dengan manifest ini kami mengundang semua penduduk yang mencintai tanah air dan bangsa kita Papua menyetujui Manifest ini dan mempertahankannya. Oleh karena inilah satu-satunya dasar kemerdekaan bagi kita bangsa Papua.

Hollandia, 19 Oktober 1961…..Tertanda 52 Anggota Komite Nasional Papua.

Menindak lanjuti manifest ini, Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda menerbitkan tiga surat masing-masing :

1. Surat 1961 No.68, di umumkan, 20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.362), tentang “Bendera Negeri”. Mulai berlaku, 1 Desember 1961.

2. Surat 1961 No.70, diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No,364), tentang tata cara penggunaan Bendera Resmi Negeri bersamaan dengan Bendera Negara Kerajaan Belanda. Mualai berlaku, 1 Desember 1961.

3. Surat 1961 No.70 diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.366), tentang Lagu Kebangsaan New Guinea (Papua Barat) Mulai berlaku, 1 Desember 1961.

Penulis adalah Pemerhati Masalah Papua Barat.

( Referensi: Penyunting’Alexander L Griapon, Manifesto Politik Komite Nasional Papua Risalah Perdebatan di Nieuw Guinea Raad, 30 oktober 1961, Tabura Otober 2007)

 

Senin, 07 Agustus 2023

Paradox Papua, Media Publik Yang Berusaha Menyajikan Informasi Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat, Melalui Liputan Langsung Aktivis Dan Pejuang Kemerdekaan Papua Barat

By: Kristian Griapon, Agustus 5, 2023.

Sekian kali saya menonton tayangan live channel youtube Paradox Papua, namun saya tertarik pada produksi siaran live 2 Agustus 2023. Karena dalam tontonannya memperlihatkan perjuangan bangsa Papua Barat yang masih berada pada suasana sporadis dan menunjukkan kapasitas/kemampuan politik para pejuang kemerdekaan bangsa Papua Barat yang kualitasnya rendah. Itu kesan pribadi saya, kesimpulan setelah menonton Paradox Papua live 2 Agustus 2023

Terlepas dari Pro-Kontra terhadap tayangan live Paradox Papua selama ini, saya menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat saat ini, telah di manfaatkan secara efektif dan efisiensi untuk berbagai kepentingan dan tujuan, baik untuk pelayanan publik, kegiatan bisnis, kegiatan intelijen, dan kepentingan lainnya.

Tidak bisa dipungkiri jika saya melihat Paradox Papua dari kaca mata intelijen, alasannya:
Pertama, Papua Barat telah menjadi zona konflik di dalam wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia dan telah menjadi daerah operasi intelijen sejak 1 Mei 1963 hingga saat ini.
Kedua, channel live youtube paradox Papua terfokus pada perjuangan perlawanan Rakyat Papua Barat jang selama ini di jalankan oleh faksi-faksi pejuang politik dan para militer.

Dari dua alasan diatas, saya mengamati, bahwa Paradox Papua tidak dapat dikategori media intelijen, karena tidak ada indikasi yang kuat kearah dimaksud, namun secara langsung menjadi sarana yang menyediakan informasi tentang perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat ke public melalui channel live youtube paradox Papua, yang dapat menjadi komsumsi kegiatan intelijen, dalam proses pengumpulan, pengolahan, dan analisis data guna kepentingan intelijen. Selain itu sebagai media interaktif publik dapat disusupi pihak ketiga untuk mengadu domba faksi-faksi pejuang kemerdekaan Papua Barat.

SECARA ORGANISATORIS ULMWP TELAH MENGOPTIMALKAN DALAM LOBI INTERNASIONAL DAN TARGET DI MSG, MERUPAKAN STRATEGI PINTU MASUK KE PBB.
ULMWP bisa terlibat langsung mengambil bagian dalam misi dan tujuan MSG, jika telah menjadi anggota penuh MSG. Status observer ULMWP adalah pra syarat untuk menjadi full member.

MISI MSG

MISI MSG ADALAH:
• Memperkuat integritas, kekompakan dan kepemimpinan komunitas di semua lapisan masyarakat;
• Memastikan bahwa semua pemangku kepentingan memiliki pembangunan melalui hak atas manfaat yang diperoleh mereka;
• Memastikan bahwa semua pemangku kepentingan merasa terintegrasi tidak hanya ke dalam komunitas nasional mereka sendiri tetapi juga ke dalam komunitas sub-regional MSG mereka;
• Mendidik semua anak dan warga negara ke tingkat pembelajaran yang mereka cita-citakan;
• Menyediakan lapangan kerja yang berguna untuk semua dan yang untuknya mereka dihitung ulang dengan tepat;
• Menggunakan sumber daya secara berkelanjutan untuk memaksimalkan hasil bagi pemilik sumber daya ini dan membangun kekayaan;
• Memungkinkan semua untuk hidup bersama secara damai dengan pengertian bahwa tidak ada yang mengancam yang lain; Dan
• Mempromosikan bahwa semua adalah bebas dan setara dan seseorang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan orang lain ketika seseorang dirugikan oleh keadaannya.

TUJUAN MSG.

POLITIK
MSG akan menjadi 'busur stabilitas'; pemerintahan yang bagus; stabilitas politik; kemerdekaan politik orang-orang asal Melanesia, perdamaian abadi, persatuan dan kebebasan dari segala bentuk penindasan dan pengaruh negatif; investasi berkelanjutan dalam pembangunan perdamaian; komitmen untuk integrasi regional di tingkat nasional untuk mewujudkan sub-regionalisme yang terintegrasi dengan baik; ketergantungan bantuan berkurang; kebanggaan nasional – mempromosikan kebersihan dan keindahan; menghindari korupsi; menghormati hukum dan ketertiban; keberanian, pengetahuan dan keberanian untuk membentuk masa depan kita sendiri yang kita cita-citakan untuk mencapai kedamaian, keamanan dan kemakmuran yang langgeng.

EKONOMI
MSG akan menjadi wilayah peluang; kemakmuran; pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; keajaiban ekonomi; reformasi ekonomi dan struktural untuk memastikan integrasi yang lebih baik ke dalam ekonomi global; peningkatan pencapaian kekayaan; perlindungan sumber daya alam untuk generasi sekarang dan mendatang; skala ekonomi – produktivitas yang lebih besar dan permintaan yang meningkat; peluang ekspansi ekonomi; pembangunan infrastruktur pendukung; dan mandiri.

SOSIAL
MSG adalah untuk meningkatkan indikator pembangunan sosial; pencapaian standar hidup yang lebih tinggi; masa depan yang menjanjikan bagi seluruh warga negara; pembangunan manusia seutuhnya; masyarakat tercerahkan (terpelajar); partisipasi aktif pemuda dan perempuan; naik di atas biasa-biasa saja; memprakarsai perubahan untuk memberantas hambatan yang menghambat pembangunan dan menggagalkan tata pemerintahan yang baik; bertujuan untuk yang terbaik; dan ajari anak-anak nilai-nilai Melanesia tentang kerendahan hati, rasa hormat, perhatian, takut akan Tuhan, dan bermimpi dengan harapan akan masa depan yang lebih baik.

BERKELANJUTAN
MSG ditujukan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; mengembangkan pertumbuhan yang seimbang dan ekonomi berbasis sumber daya yang berkelanjutan; kebijakan Pertumbuhan Hijau; perlindungan lingkungan dan kesempatan abadi untuk pembangunan berkelanjutan bagi banyak generasi mendatang.

Penandatanganan Prinsip-Prinsip Kerja Sama yang Disetujui Di Antara Negara Anggota MSG - 14 Maret 1988, Port Vila, Republik Vanuatu. (Transkrip: Dokumen Resmi MSG)

Penulis adalah Pemerhati Masalah Papua Barat.

Jumat, 04 Agustus 2023

Papua Barat Telah Menjadi Masalah Diatas Masalah Bagi Indonesia.

 


Komentar Admin-By: Kristian Griapon, Agustus 3, 2023.

Fakta Informasi 6 orang warga di Kabupaten Puncak Papua Pegunungan meninggal dunia karena kelaparan, akibat dari kekeringan dan gagal panen hasil pertanian.

Kalau faktanya demikian, tidak perlu Wakil Presiden RI membangun polemik, seharusnya melihat akar pemasalahan dan penangulangannya sebagai penyelenggara negara yang bertanggungjawab di wilayah Papua Barat.

Berpolemik di media massa akan membangun opini mengalihkan isu untuk menghindari dan menutupi kegagalan tanggungjawab Pemerintah Republik Indonesia terhadap Kewajiban Internasional Negara yang diamanatkan Resolusi MU- PBB 2504 --Membangun dan Mensejahterakan Penduduk Asli Papua Diatas Negeri Mereka—

Perlu dicatat, Papua Barat daerah berstatus titipan oleh masyarakat Internasional atas dasar Resolusi MU-PBB 2504 di dalam Negara Republik Indonesia, kini telah mejadi daerah bermasalah di Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran HAM dan Pengabaian Pemerintah Pusat terhadap Hak Pembangunan Kesejahteraan Penduduk Asli Papua telah nampak jelas, dan menjadi sorotan komunitas internasional, menjadi masalah diatas masalah bagi Indonesia.

Mengalihkan isu untuk menutupi masalah yang sebenarnya terjadi, hal itu akan memperlebar masalah, bukan merupakan solusi untuk menyelesaikan masalah yang betumpuk dari waktu ke waktu di Papua Barat, dan sudah saatnya mencari solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah Papua Barat dengan cara demokrasi, bukan menggunakan cara menghindari tanggungjawab, wasalam.(Kgr)

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...