Image caption Penyelesaian hukum terhadap 11 kasus tersebut melibatkan berbagai lembaga pemerintah dan masyarakat.
Janji Penyelesaian 11 Kasus Pelanggaran HAM di Papua
Heyder Affan
Wartawan BBC Indonesia-19 Mei 2016
Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam dan
jajarannya berjanji menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di
Papua, termasuk kasus Biak Numfor 1998 dan peristiwa Paniai 2014.
Penyelesaian
hukum terhadap 11 kasus tersebut melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan
Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat
Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.
Dari 11 kasus
dugaan pelanggaran HAM, Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih diberi
kewenangan menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM, kata
Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw.
Adapun lima kasus akan ditangani secara hukum oleh
Mabes Polri, Kejaksaan Agung, serta Komnas HAM, dan dua kasus lainnya
yaitu kasus penyanderaan Mapenduma 1996 dan kerusuhan Biak Numfor 1998
akan diselesaikan melalui 'keputusan politik'.
"Ada yang sudah
diperiksa, olah tempat kejadian perkara. Mudah-mudahan yang akan datang
kita sudah sampaikan siapa terduga pelaku," ungkap Waterpauw saat
ditanya apakah pihaknya sudah menetapkan tersangka dari empat kasus
tersebut.
"Kami kebagian empat kasus, termasuk kasus hilangnya
Aristoteles Masoka (10 November 2001), sopirnya Theys Eluay (aktivis
Papua merdeka)," kata Paulus Waterpauw kepada wartawan usai rapat
koordinasi di kantor Menkopolhukam, Rabu (18/05) sore.
Paulus Waterpauw menambahkan selain menyelidiki
kasus hilangnya Aristoteles Masoka, mereka tengah menyelidi tewasnya
aktivis Opinus Tabuni (8 Agustus 2008), kasus penangkapan Yawan Wayeni
(3 Agustus 2009), serta kasus Kongres Rakyat Papua III (19 Oktober
2011).
Ditegaskan pula pihaknya sudah menyelesaikan secara hukum
tiga kasus kekerasan yaitu penyerangan Mapolsek Abe (7 Desember 2000),
penangkapan Mako Tabuni (14 Juni 2012) dan kerusuhan di depan kampus
Universitas Cenderawasih (16 Maret 2006).
Dugaan Pelanggaran HAM Berat
Sementara
itu Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya diberi
wewenang untuk menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di Papua yang
diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
"Yang masuk kategori (pelanggaran) HAM berat, yaitu
kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), kasus Paniai (Desember 2014), dan
masih usulan tapi belum disepakati betul yaitu kasus Biak berdarah
(Juli 1998). Empat kasus ini yang kami tangani," kata Imdadun setelah
rapat di kantor Menkopolhukam.
Peristiwa Wamena, 4 April 2003,
diawali pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena, yang
ditindaklanjuti upaya pengejaran oleh TNI terhadap terduga pelaku.
Dalam
proses pengejaran, terjadi dugaan tindak kekerasan seperti penangkapan,
penyiksaan, pembunuhan terhadap penduduk sipil, dan pembakaran gedung
dan poliklinik setempat.
Sementara kasus Wasior, 13 Juni 2001, terjadi di
Desa Wonoboi, Distrik Wasior, Manokwari, dipicu oleh terbunuhnya lima
anggota Brimob dan seorang warga sipil.
Aparat Polres Manokwari
kemudian melakukan penyisiran dan terjadi dugaan tindak kekerasan berupa
pembunuhan, perampasan kemerdekaan, dan penyiksaan di Distrik Wasior.
Kedua kasus ini, menurut Kantor Menkopolhukam, tengah ditangani Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Sejak
awal para pegiat HAM menuntut agar berbagai dugaan pelanggaran HAM di
Papua diselesaikan melalui peradilan HAM adhoc. Mereka juga menuntut
kehadiran tim independen internasional untuk mengawasi proses hukumnya.
Dan ketika ditanya kenapa Komnas HAM dan pemerintah
memutuskan 11 kasus kekerasan yang harus diselidiki, komisoner Komnas
HAM Imdadun mengatakan, "Proses seleksi kasus itu sudah berlangsung di
Jayapura, dan ketika dibawa ke sini sudah merupakan kesepakatan antara
kepolisian, pemda, Komnas HAM Papua, serta civil society di sana."
Imdadun
mengatakan, upaya penyelesaian 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua
merupakan sebuah kemajuan. "Ini pertemuan keempat, lalu suasana yang
terbangun sangat terbuka, teman-teman Papua diberi kesempatan untuk
bebas mengajukan usulan, bebas bicara dan kesepakatan yang dibuat snagat
demokratis."
Dia mengharapkan upaya hukum terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua dapat menegakkan keadilan di wilayah itu.
"Dipulihkannya hak asasinya rakyat Papua, soal kemudian ada dampak politik, itu bonus," kata Imdadun.
'Dua persoalan berbeda'
Adapun
anggota Dewan Adat Papua, Willem Bonay, yang merupakan anggota tim
penyelesaian kasus HAM di Papua, mengatakan upaya hukum pemerintah ini
merupakan persoalan yang berbeda dengan aspirasi tuntutan kemerdekaan
Papua.
"Masalah aspirasi rakyat Papua yang ingin merdeka, harus
diselesaikan dengan dialog pada jalurnya sendiri. Dan masalah
pelanggaran HAM diselesaikan di jalur berbeda. Ini dua hal berbeda,"
kata Bonay.
"Kita tidak bilang kalau masalah HAM selesai, maka tuntutan kemerdekaan akan selesai pula," tambahnya.
Sementara,
usai menggelar rapat, Menkopolhukam Luhut Panjaitan menyatakan optimis
dapat menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua ini selesai
pada akhir tahun 2016.
"Kalau (kasus dugaan pelanggaran HAM) Papua saya optimis selesai akhir tahun 2016," kata Luhut kepada wartawan, Rabu malam.
Tuntutan
pemisahan diri sebagian warga Papua terus disuarakan oleh para
pendukungnya, termasuk melakukan kampanye di dunia internasional,
diantaranya dengan menggulirkan referendum di Papua.
Pemerintah pusat sendiri menyatakan masalah Papua
sudah selesai semenjak PBB menyatakan bahwa Papua adalah bagian dari
Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.
Presiden
Joko Widodo telah melakukan berbagai terobosan politik untuk
menyelesaikan masalah separatisme dengan antara lain membebaskan
sejumlah tahanan politik tokoh-tokoh yang dikenal sebagai tokoh
pendukung kemerdekaan Papua.
Melalui kunjungannya beberapa kali ke
Papua, Jokowi juga telah meresmikan beberapa proyek infrastruktur
seperti pembangunan jalan, perluasan bandara serta perbaikan pasar.
Dalam
berbagai pernyataannya, Presiden juga menjanjikan untuk menyelesaikan
masalah separatisme di Papua dengan dialog dan tidak mengedepankan lagi
pendekatan keamanan.(.)
Komentar Admin:
Janji
penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Wilayah Papua
Barat hanya menjadi bagian dari Retorika Politik (propaganda) Pemerintah
Republik Indonesia untuk menghindari pantauan masyarakat internasional. Kenyataannya Pelanggaran HAM terus terjadi bersistim
dan menyebar luas terhadap orang asli Papua, baik itu terjadi
pelanggaran diatas tanah leluhurnya Papua Barat, maupun diluar Wilayah Papua
Barat (wilayah Indonesia).