Hak asasi manusia - Wikipedia bahasa
Hak asasi manusia (disingkat HAM, bahasa
Inggris: human rights, bahasa
Prancis: droits de
l'homme) adalah sebuah
konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang
melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia
berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal.
HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak asasi manusia juga tidak dapat
dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak asasi manusia
biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban
kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia,
termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh
swasta. Dalam terminologi modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebebasan
sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi, sosial, dan budaya
yang berkaitan dengan akses ke barang
publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas
kesehatan, atau hak atas perumahan).
Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan
pada keyakinan bahwa hak tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh
alam semesta, Tuhan, atau nalar. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur
alamiah meyakini bahwa hak asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai
yang disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai
perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga
terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan
bahwa hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan
konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia
sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan
biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan
dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat
dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam "kehidupan bangsa",
dan pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini. Selama perang, hukum kemanusiaan internasional
berlaku sebagai lex specialis. Walaupun begitu, sejumlah hak
tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak untuk bebas
dari perbudakan
maupun penyiksaan.
Masyarakat kuno tidak mengenal konsep hak asasi manusia
universal seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak
asasi manusia adalah konsep hak kodrati yang dikembangkan pada Abad
Pencerahan, yang kemudian memengaruhi wacana politik selama Revolusi
Amerika dan Revolusi Prancis. Konsep hak asasi manusia modern
muncul pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang
Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) di Paris pada tahun
1948. Semenjak itu, hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang pesat
dan menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global.
Pelaksanaan hak asasi manusia di tingkat internasional diawasi oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan badan-badan
traktat PBB seperti Komite Hak Asasi Manusia PBB dan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, sementara di tingkat regional, hak asasi manusia ditegakkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa,
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Antar-Amerika, serta Pengadilan Hak
Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika. Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) sendiri
telah diratifikasi
oleh hampir semua negara di dunia saat ini.
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Piagam Magna Carta yang sering dianggap sebagai piagam hak
pertama, walaupun piagam ini sangat berbeda dengan piagam HAM modern karena
hanya menjamin hak-hak para bangsawan Inggris.[1]
Upaya untuk menelusuri sejarah hak asasi manusia
terganjal oleh perdebatan mengenai titik awalnya.[2][3]
Secara umum dan abstrak, nilai-nilai yang mendasari hak asasi manusia (seperti keadilan, kesetaraan, dan martabat)
dapat ditemukan dalam berbagai masyarakat dalam sejarah.[4]
Konsep-konsep yang terkait dengan hak asasi manusia sudah dapat ditelusuri
paling tidak semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Hammurabi di Babilonia
pada abad ke-18 SM, dan juga dengan munculnya kitab-kitab agama.[2]
Apabila yang dijadikan tolok ukur adalah sejarah gagasan bahwa semua manusia
memiliki hak
kodrati, konsep ini sudah ada setidaknya dari zaman Yunani
Kuno dengan munculnya pemikiran filsuf-filsuf Stoikisme.[2]
Namun, klaim-klaim historis semacam ini telah menuai kritikan karena dianggap
menyamaratakan gagasan mengenai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dengan
konsep hak asasi manusia modern.[5]
Apabila sejarah HAM yang ditelusuri adalah sejarah HAM
modern yang ditegakkan secara hukum di tingkat nasional dan internasional saat
ini, dapat dikatakan bahwa sejarahnya bermula dari piagam-piagam yang
mencantumkan kebebasan-kebebasan yang melindungi pemilik hak dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin, dan dokumen yang mungkin bisa dianggap
sebagai titik awalnya adalah Magna Carta di Kerajaan
Inggris dari tahun 1215.[2][4]
Namun, Magna Carta pun masih dianggap bermasalah, karena dokumen ini hanya
melindungi para bangsawan yang kuat dari kekuasaan Raja
Inggris.[1]
Maka dari itu, masa yang dianggap sangat berpengaruh terhadap konsep HAM modern
yang mencakup semua umat manusia adalah Abad
Pencerahan pada abad ke-18 dengan munculnya tulisan-tulisan karya John Locke
yang terkait dengan hukum kodrat.[4]
Pakar hak asasi manusia Eva Brems bahkan membuat pernyataan yang lebih keras
dalam bukunya yang berjudul Human Rights: Universality and Diversity
(2001) dengan menyatakan bahwa "Sumber rumusan hak asasi manusia di
tingkat internasional saat ini sulit untuk ditilik kembali ke masa sebelum Abad
Pencerahan, atau di tempat di luar Eropa dan Amerika. Gagasan bahwa PUHAM berakar dari
segala kebudayaan tidaklah lebih dari sekadar mitos."[6]
Pakar HAM Jack Donnelly juga menulis bahwa "Tidak ada masyarakat,
peradaban, atau budaya sebelum abad ketujuhbelas (...) yang telah memiliki
praktik, atau bahkan visi, yang banyak didukung mengenai hak asasi manusia
secara individual yang setara dan tak dapat dicabut."[7]
Para pemikir pencerahan[sunting | sunting sumber]
John Locke, pemikir Abad Pencerahan yang dikenal akan
gagasan-gagasannya mengenai hak kodrati.
Thomas Hobbes menerbitkan karyanya yang berjudul Leviathan
pada tahun 1651. Dalam buku tersebut, Hobbes berpendapat bahwa kekuasaan
absolut wajib ada, dan ia menolak gagasan mengenai pembatasan terhadap
kekuasaan. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa semua bawahan seyogianya tunduk
kepada penguasanya, dan ia tidak banyak bersentuhan dengan hak kodrati.
Walaupun begitu, Hobbes meyakini bahwa penguasa harus menjalankan wewenangnya
secara bertanggung jawab dan dengan mengikuti hukum Allah dan hukum kodrat. Selain
itu, Hobbes dianggap berjasa karena telah memperkenalkan gagasan kontrak
sosial yang menyatakan bahwa penguasa punya wewenang untuk berkuasa karena
rakyat sebelumnya sudah menyatakan kesediaan mereka untuk diperintah.[8]
John Locke mengembangkan gagasan ini lebih lanjut dalam
karyanya, Two Treatises of Government, yang
diterbitkan pada tahun 1689. Locke dikenal dengan pemikirannya mengenai hak
kodrati bahwa manusia terlahir dengan "kebebasan sempurna" dan
penikmatan hak-hak dan keistimewaan yang "tak terkendali" dalam keadaan
alamiah sebelum adanya negara. Manusia secara alamiah juga memiliki
kekuatan untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan, dan hak-hak pemilikannya
dari ancaman atau serangan manusia lain.[8]
Ia menolak mentah-mentah klaim bahwa manusia dapat melepaskan hak-hak
kodratinya. Menurutnya, tidak ada orang yang bisa menyerahkan wewenang yang
lebih besar daripada yang dimilikinya. Selain itu, berdasarkan pandangan Locke,
tidak ada satu pun insan yang punya kekuasaan mutlak dan sewenang-wenang
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain sampai-sampai mereka dapat
membunuh atau merampas hak milik orang lain. Maka dari itu, manusia dianggap
tidak dapat menundukkan dirinya kepada kekuasaan sewenang-wenang orang lain.
Dari sini, muncul kesimpulan bahwa manusia masih tetap mempertahankan kebebasan
alamiahnya bahkan ketika mereka hidup di suatu negara, dan perumusan kontrak
sosial untuk mendirikan negara bukan dianggap sebagai penyerahan hak tanpa
syarat seperti yang dibayangkan oleh Hobbes. Gagasan ini membuka jalan bagi
kemunculan hak asasi yang melindungi seseorang dari permintaan-permintaan yang
tidak berdasar dari negara.[9]
Lebih jauh lagi, Locke mengatakan bahwa penguasa kadang-kadang perlu dilawan
jika mereka sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya atau memakainya
untuk mengakibatkan kehancuran, dan bukannya untuk kebaikan umat manusia dan
perlindungan hak mereka.[8]
Gagasan ini kelak tertuang dalam mukadimah PUHAM: "Menimbang bahwa hak-hak
asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan
terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman
dan penindasan."[10]
Pada tahun yang sama, pemerintah Inggris mengeluarkan
piagam Bill of Rights yang memberikan hak-hak yang
terbatas, seperti pelarangan pengganjaran hukuman yang "lalim dan tak
lazim". Namun, sumbangsih terbesar piagam ini adalah dalam menetapkan
konsep kedaulatan parlemen secara konstitusional.
Berdasarkan pemahaman masyarakat modern, piagam ini tidak memenuhi syarat
sebagai piagam hak asasi manusia, tetapi dianggap penting karena telah
memastikan gagasan bahwa kekuasaan mutlak di tangan negara perlu dibatasi demi
kepentingan individu-individu di dalamnya.[1]
Menjadi hukum positif[sunting | sunting sumber]
Gagasan Locke mengenai hak kodrati untuk pertama kalinya
diejawantahkan secara hukum di Amerika
Serikat. Deklarasi Hak-Hak Virginia yang dikeluarkan
pada tanggal 12 Juni 1776 dianggap sebagai piagam hak pertama yang sejalan
dengan konsep modern; dokumen tersebut tidak hanya mengakui bahwa semua manusia
itu setara, bebas, dan memiliki hak-hak yang melekat pada dirinya, tetapi juga
mencantumkan daftar hak-hak yang dilindungi, seperti hak untuk memperoleh proses hukum yang semestinya dan kebebasan berekspresi.[11]
Setelah itu, Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat yang dikumandangkan pada tanggal 4 Juli 1776 berisi preambul yang
sangat tersohor:
“ |
Kami menganggap
kebenaran-kebenaran ini terbukti sendiri, bahwa semua manusia diciptakan
sama, bahwa mereka dianugerahi oleh Pencipta mereka hak-hak tertentu yang
tidak bisa dipungkiri, di antaranya hidup, kebebasan, dan mengejar
kebahagiaan. Bahwa untuk mengamankan hak-hak ini, Pemerintahan dilembagakan
di antara manusia, kekuasaan mereka diperoleh dari persetujuan mereka yang
diperintah; bahwa kapan saja setiap bentuk pemerintahan menghambat tujuan
ini, maka hak rakyat untuk mengubah atau membubarkannya (...).[12]
|
” |
Pada tahun yang sama, ketika Revolusi
Prancis tengah bergelora, Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara dimaklumkan oleh Majelis Nasional Prancis pada tanggal 26
Agustus 1789.[13]
Deklarasi ini turut menegaskan bahwa manusia memiliki hak yang alamiah dan
tidak dapat dicabut.[14]
Setelah itu, di negara yang sama, muncul pula Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara 1793 dan Deklarasi Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Manusia
dan Warga Negara 1795. Di Amerika Serikat, hak asasi turut diakui di
tingkat negara bagian, seperti di New York pada tahun 1777 dan Massachusetts
pada tahun 1780, serta di tingkat federal dalam bentuk Deklarasi
Hak-Hak tahun 1791 yang merupakan sepuluh amendemen pertama terhadap Konstitusi Amerika Serikat.[4]
Deklarasi-deklarasi ini pada praktiknya tidak memiliki
cakupan yang universal. Pada Abad Pencerahan, "manusia" dianggap
sebagai laki-laki yang dapat melindungi dirinya sendiri, sehingga budak kulit
hitam, perempuan, anak-anak, dan bahkan hamba tani
tidak termasuk ke dalam cakupan. Banyak dari para perumus Deklarasi Hak-Hak di
Amerika Serikat yang menerima institusi perbudakan
dan menganggap wanita tidak layak untuk terlibat dalam urusan politik.[15]
Di Prancis, walaupun para perumus Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara
tahun 1789 tidak membatasi cakupannya kepada orang Prancis saja, usulan "Deklarasi Hak
Asasi Wanita dan Warga Negara Perempuan" yang dicetuskan oleh Olympe
de Gouges pada tahun 1791 tidak digubris.[15]
Pada zaman tersebut, wanita juga dianggap memiliki kodrat irasional, sehingga Konvensi Nasional Prancis menyatakan pada
tahun 1793 bahwa anak-anak, wanita, orang gila, dan tahanan tidak akan dianggap
sebagai warga negara (untuk tahanan, sampai ia direhabilitasi).[16]
Walaupun begitu, dokumen-dokumen ini tetap berhasil mengubah gagasan Locke dan
filsuf-filsuf pencerahan lainnya menjadi hukum positif. Selain itu,
deklarasi-deklarasi ini juga menjadi terobosan karena mampu membatasi kekuasaan
negara dengan berbagai cara, termasuk dengan melindungi hak-hak individu.
Tatanan konstitusi semacam ini kemudian menyebar ke negara-negara lain, seperti
Belanda pada tahun 1798, Spanyol pada tahun 1812, Belgia pada tahun
1831, Liberia
pada tahun 1847, Sardinia pada tahun 1848, dan Prusia pada tahun
1850.[17]
Abad ke-19 dan permulaan abad ke-20[sunting | sunting sumber]
Walaupun gagasan mengenai hak-hak dasar telah menyebar ke
berbagai negara, konsep "hak asasi manusia" yang berlaku untuk semua
manusia tanpa terkecuali masih jarang ditemui di hukum nasional maupun
internasional pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Selain itu, gagasan hak
kodrati sendiri juga tidak banyak menyita perhatian para pemikir pada abad
tersebut; pemikir-pemikir politik seperti Alexis de Tocqueville, Karl Marx,
dan Max
Weber hanya menyebut hak asasi manusia secara sepintas dan mereka malah
memandangnya dengan kritis.[18]
Salah satu pemikir pada masa tersebut yang mengemukakan kritik yang keras
terhadap pendekatan hak kodrati adalah filsuf Inggris Jeremy
Bentham. Ia menganggap konsep hukum kodrati sebagai suatu "omong kosong",
dan ia menyatakan bahwa "hak yang sesungguhnya" berasal dari
"hukum yang sesungguhnya", sedangkan hak yang berasal dari
"hukum imajiner" merupakan hak yang juga bersifat
"imajiner".[19]
Abad ke-19 juga dikenal dengan munculnya dorongan untuk
menghapuskan perbudakan, dan gerakan abolisionisme
sendiri sudah diprakarsai di Inggris pada tahun 1787 dengan didirikannya Society for the Abolition of
Slave Trade oleh kaum Quaker. Pada tahun 1833, Imperium
Britania membebaskan semua budaknya, dan Prancis juga mengambil langkah yang
sama pada tahun 1848. Amerika Serikat sendiri baru berhasil menghapuskan
perbudakan pada tahun 1865 seusai perang saudara melawan konfederasi negara-negara bagian selatan yang
mendukung perbudakan, sementara Rusia
menghapuskan sistem perhambaan tani pada tahun 1861.[18]
Namun, muncul keraguan bahwa abolisionisme benar-benar dilancarkan atas dasar
moral, apalagi "hak asasi manusia". Diduga Inggris mengambil tindakan
tersebut demi kepentingan ekonomi, karena kelanjutan perdagangan
budak dianggap akan menguntungkan jajahan negara-negara saingan Inggris.[14]
Selain itu, Inggris juga dinilai ingin menjalankan "misi
pemberadaban" yang akan membuatnya seolah memiliki moral yang lebih
baik daripada negara-negara Eropa lainnya. Setelah itu, pada zaman Imperialisme
Baru, penolakan terhadap perbudakan sering dijadikan dalih oleh
negara-negara Eropa untuk melakukan "campur tangan kemanusiaan".[20]
Konstitusi negara-negara Eropa pada abad ke-19 juga
menghindari penyebutan konsep "hak asasi manusia" maupun "hak
kodrati". Hak asasi manusia sudah tidak lagi disebutkan dalam Konstitusi
Prancis setelah tahun 1799 dan baru muncul lagi pada tahun 1946.[20]
Di tengah bergeloranya Revolusi 1848, rancangan Konstitusi Frankfurt mengandung daftar
"hak-hak dasar" (Grundrechte). Namun, seperti
konstitusi-konstitusi lainnya pada zaman itu, hak-hak tersebut hanya dapat
dinikmati oleh warga negara, seperti yang dapat dilihat dari namanya, Grundrechte
des deutschen Volkes, sehingga hak-hak tersebut bukanlah hak yang berlaku
secara universal seperti halnya hak asasi pada zaman modern. Setelah kegagalan
revolusi ini, positivisme hukum, atau gagasan bahwa tidak ada
hukum di luar undang-undang, berhasil menyingkirkan doktrin hukum kodrati
sebagai justifikasi untuk menganugerahkan hak. Hak asasi manusia sendiri tidak
disebutkan dalam Konstitusi Kekaisaran Jerman tahun
1871, dan daftar hak-hak dan kewajiban-kewajiban baru muncul lagi dalam Konstitusi Republik Weimar tahun 1919.[21]
Di tingkat internasional, gagasan "hak kodrati" hanya dijadikan
sebagai dalih untuk melancarkan misi pemberadaban.[22]
Sebagai contoh, Prancis memiliki konsep mission civilisatrice sebagai
pembenaran untuk "membebaskan" orang-orang Afrika dari kekuasaan
pemimpin penduduk asli yang "terbelakang".[20]
Pada masa itu, bangsa Eropa memang masih membedakan antara negara-negara yang
"beradab" dengan masyarakat "tidak beradab" di luar Eropa
dan Amerika. Hanya negara yang dianggap "beradab" yang memiliki hak,
sementara wilayah masyarakat yang "tidak beradab" dapat sewaktu-waktu
dicaplok oleh negara Eropa karena dianggap sebagai terra
nullius ("tanah tak bertuan").[23]
Pada masa seusai Perang
Dunia I, perlindungan hak asasi manusia sama sekali tidak masuk ke dalam
cakupan Piagam Liga Bangsa-Bangsa,[24]
walaupun perlindungan kelompok minoritas tetap menjadi perhatian dari
organisasi internasional tersebut.[25]
Meskipun begitu, di tingkat nasional, muncul pergerakan-pergerakan hak asasi
manusia, seperti Fédération
Internationale des Droits de l’Homme yang didirikan di Paris pada tahun
1922. Organisasi tersebut menuntut dikeluarkannya deklarasi atau piagam hak
asasi manusia dunia yang bersifat mengikat. Di kota yang sama, Académie Diplomatique Internationale
yang didirikan oleh sejumlah pengacara internasional pada tahun 1926 merumuskan
sebuah deklarasi, yang kemudian menginspirasi Deklarasi Hak Asasi Manusia
Internasional yang dikeluarkan oleh Institut Hukum Internasional di New
York pada tahun 1929.[26]
Pasca-Perang Dunia II[sunting | sunting sumber]
Pada saat berkecamuknya Perang
Dunia II, pada Januari 1941, Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt mencetuskan Empat
Kebebasan yang menurutnya perlu dijamin oleh semua negara, yaitu
"kebebasan mengeluarkan pendapat", "kebebasan beribadah kepada
Tuhan dengan cara masing-masing", "hak untuk bebas dari kekurangan
dan kemiskinan", serta "kebebasan dari ketakutan". Pada tanggal
14 Agustus 1941, Roosevelt dan Perdana Menteri Britania Raya Winston
Churchill mengeluarkan Deklarasi
Atlantik yang mengungkapkan harapan agar "manusia di semua negeri
dapat menjalani hidup mereka bebas dari rasa takut atau kekurangan."[28]
Kemudian, pada awal tahun 1942, Deklarasi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa dikumandangkan. Deklarasi yang menjadi cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini
ditandatangani oleh 47 negara yang menyatakan kesediaannya untuk mengikuti asas
yang menyatakan bahwa "kemenangan mutlak atas musuh diperlukan untuk
mempertahankan hidup, kebebasan, kemerdekaan, dan kebebasaan beragama, dan
untuk memelihara hak asasi manusia dan keadilan di negeri mereka sendiri dan
juga di negeri lain."[28]
Maka dari itu, hak asasi manusia pun menjadi salah satu aspirasi yang ingin
diwujudkan oleh negara-negara Sekutu setelah mengalahkan Blok Poros.[28]
Seusai perang, aspirasi ini untuk pertama kalinya
diejawantahkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Mukadimah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang ditetapkan pada tahun 1945 mengumandangkan tekad masyarakat PBB untuk:
“ |
... menyelamatkan generasi penerus
dari bencana perang, yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan
yang tak terhitung kepada umat manusia, dan menegaskan kembali keyakinan akan
hak asasi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dalam persamaan
hak laki-laki dan perempuan dan bangsa-bangsa besar dan kecil, (...)[29]
|
” |
Dengan ini, hak asasi manusia akhirnya menjadi perhatian
masyarakat internasional, walaupun penyebutan istilah "hak asasi
manusia" sebanyak enam kali dalam pasal-pasal Piagam PBB tidak membebankan
kewajiban yang besar kepada negara-negara anggota.[30]
Mereka hanya diharuskan untuk mempromosikan "penghormatan hak asasi
manusia seantero jagad demikian pula pengejawantahannya serta
kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin,
bahasa atau agama."[29]
Sebelumnya, terdapat usulan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Chili dan Kuba bersedia menerima
pasal-pasal yang menjamin hak-hak spesifik, sementara Panama pernah
mengusulkan agar piagam tersebut mencantumkan daftar hak-hak asasi. Namun,
usulan-usulan ini ditolak akibat kekhawatiran bahwa hal tersebut akan berdampak
buruk terhadap kedaulatan masing-masing negara.[30]
Pada tahun 1946, Komisi Hak Asasi Manusia PBB dibentuk
dengan tugas untuk merumuskan Piagam Hak-Hak Internasional yang berlaku di
seluruh dunia tanpa mengecualikan siapapun. Komisi ini kemudian memutuskan agar
piagam semacam ini terdiri dari tiga bagian, yaitu sebuah deklarasi, sebuah
konvensi yang berisi kewajiban-kewajiban hukum, serta bagian yang berisi
tentang sistem pengawasan dan pengendalian. Tugas untuk merumuskan piagam ini
diberikan kepada sebuah komite yang terdiri dari delapan anggota asal Australia,
Chili, Tiongkok, Prancis, Lebanon, Britania, Amerika
Serikat, dan Uni Soviet, dan komite ini dikepalai oleh Eleanor
Roosevelt, istri mendiang Franklin Roosevelt. Maka dirumuskanlah Pernyataan Umum tentang
Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) yang dibuat berdasarkan rancangan dari ahli
hukum Kanada John Peters Humphrey serta berdasarkan sebuah
rancangan dari Britania Raya. Pada tanggal 10 Desember 1948, PUHAM
diproklamasikan oleh 48 negara anggota PBB di Majelis Umum.[27]
Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan
hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar
kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia...
— Kalimat 1 dari Pembukaan Pernyataan Umum tentang
Hak-hak Asasi Manusia
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang sama.
— Pasal 1 dari Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi
Manusia PBB[10]
PUHAM diterima di Majelis Umum PBB tanpa ada negara yang
menentang, walaupun enam negara komunis (Republik Sosialis Soviet Byelorusia,
Cekoslowakia,
Polandia, Republik Sosialis Soviet Ukraina, Uni Soviet,
dan Yugoslavia),
Arab
Saudi, dan Afrika Selatan menyatakan abstain.[27]
Namun, deklarasi ini bukanlah sebuah perjanjian internasional dan tidak
memiliki kekuatan hukum. Bahkan terdapat kemungkinan bahwa ketiadaan kekuatan
hukum adalah hal yang mendorong 48 negara anggota PBB pada masa itu untuk
menerima deklarasi ini.[31]
Walaupun begitu, seperti yang diamati oleh ahli hukum internasional asal
Jerman, Christian Tomuschat, "Untuk pertama
kalinya dalam sejarah umat manusia, telah lahir sebuah dokumen yang menetapkan
hak asasi setiap manusia, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, atau kondisi lainnya. Bab baru dalam sejarah manusia telah dimulai pada
hari itu."[32]
Tahun 1948–1949 juga merupakan momen yang penting bagi upaya untuk memajukan
hak asasi manusia karena Konvensi
tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida sudah dapat
ditandatangani oleh negara-negara dunia pada tanggal 11 Desember 1948, dan
begitu pula dengan Konvensi-Konvensi Jenewa yang berkaitan dengan hukum perang pada tahun berikutnya.[27]
Terkait dengan piagam hak asasi manusia yang memiliki
kekuatan hukum, Komisi HAM PBB baru selesai merumuskan isi dari dokumen-dokumen
yang kelak akan dikenal dengan nama Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (bahasa
Inggris: International
Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR) dan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (bahasa
Inggris: International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR) pada tahun 1954.
Namun, kedua perjanjian ini baru dapat ditandatangani oleh negara-negara
anggota pada tahun 1966 dan mulai berlaku pada tahun 1976 setelah diratifikasi
oleh 35 negara. Sejarah perumusan kedua perjanjian ini menunjukkan banyaknya
penyesuaian dan kompromi yang perlu dilakukan agar dapat diterima oleh
negara-negara anggota PBB.[31]
Walaupun perkembangannya berlangsung lambat, kini kedua perjanjian ini telah
diratifikasi oleh hampir semua negara dan menjadi bagian dari hukum internasional. Pandangan masyarakat
internasional terhadap hak asasi juga telah mengalami perubahan besar,[33]
dan hak asasi manusia telah menjadi semacam kode etik yang diterima dan
ditegakkan secara global.[34]
Landasan konseptual[sunting | sunting sumber]
Analisis hak[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan pemikiran yang dicetuskan oleh pakar hukum
asal Amerika Serikat Wesley Newcomb Hohfeld, "hak"
dapat dianalisis dengan menggunakan empat macam "fenomena" yang
menunjukkan hubungan antara hak dan kewajiban, yaitu "klaim",
"keistimewaan" atau "kebebasan", "kuasa", dan
"kekebalan". A dapat dikatakan memiliki hak-klaim yang menuntut B
untuk melakukan sesuatu jika dan hanya jika B memiliki kewajiban kepada
A untuk mengambil tindakan tersebut. Contohnya adalah hak atas kesehatan,
karena hak ini membebankan kewajiban kepada negara untuk menjamin ketersediaan
layanan kesehatan minimal.[35]
Kemudian, hak-kebebasan pada dasarnya adalah ketiadaan hak-klaim. A memiliki
hak-kebebasan terhadap B untuk melakukan sesuatu jika dan hanya jika A tidak
memiliki kewajiban terhadap B untuk tidak mengambil tindakan tersebut. Dalam
kata lain, A tidak akan melanggar kewajiban terhadap B untuk tidak melakukan
sesuatu jika A memutuskan untuk melakukan hal tersebut. Contohnya adalah hak
atas kebebasan beragama. Hak atas kebebasan beragama biasanya dipandang sebagai
ketiadaan hak-klaim dari negara terhadap rakyatnya untuk memeluk agama
tertentu, sehingga siapapun tidak memiliki kewajiban terhadap negara untuk
memeluk agama tertentu.[36]
Hak-klaim dan hak-kebebasan dapat disebut sebagai
"aturan primer" (primary rules) berdasarkan terminologi pakar
hukum asal Britania Raya, H.L.A. Hart, sebab keduanya berkaitan dengan aturan
yang mewajibkan seseorang untuk mengambil atau menjauhi tindakan tertentu.[37]
Sementara itu, hak-kuasa dan hak-kekebalan dapat dikatakan sebagai "aturan
sekunder" (secondary rules), yaitu aturan yang memberikan kemampuan
kepada suatu pihak untuk mengubah aturan primer. Hak-kuasa pada dasarnya adalah
hak apapun yang memberikan kemampuan kepada suatu pihak untuk mengubah
hak-klaim atau hak-kebebasan. Contoh dari hak-kuasa adalah hak untuk merumuskan
perjanjian dalam hukum perdata. Hak ini pada dasarnya memberikan kuasa
kepada A untuk menganugerahkan hak-klaim baru kepada B yang membebankan
kewajiban kepada A untuk melakukan hal tertentu. Sementara itu, hak-kekebalan
merupakan ketiadaan hak-kuasa. Contohnya adalah pelarangan perbudakan:
pemerintah tidak punya kuasa untuk memaksa rakyatnya menjadi budak, sehingga
rakyat dapat dikatakan memiliki hak-kekebalan.[38]
Hakikat[sunting | sunting sumber]
Di kalangan akademisi, terdapat empat mazhab dengan
perbedaan pandangan perihal hakikat daripada konsep "hak asasi
manusia", yaitu mazhab "natural", "deliberatif",
"protes", dan "diskursus".[39]
Mazhab "natural" memakai definisi hak asasi manusia yang paling
dikenal, yaitu bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh seseorang
karena ia adalah seorang manusia.[39][40]
Para penganut mazhab ini percaya bahwa hak asasi manusia
"dianugerahkan" secara "alamiah", baik itu oleh Tuhan, alam
semesta, berdasarkan nalar, ataupun dari sumber-sumber transendental
lainnya. Bagi mereka, hak asasi manusia bersifat universal karena hak tersebut
bersifat alamiah. Mereka juga berkeyakinan bahwa hak asasi manusia itu selalu
ada terlepas dari pengakuan oleh masyarakat, walaupun mereka tetap menyambut kodifikasi
hak asasi manusia dalam hukum positif.[41]
Mazhab natural ini merupakan pandangan
"tradisional" dalam bidang hak asasi manusia, tetapi seiring
berjalannya waktu, semakin banyak yang beralih ke mazhab
"deliberatif", yaitu sebuah mazhab yang menganggap hak asasi manusia
sebagai nilai-nilai politik yang disepakati oleh suatu masyarakat. Mazhab ini
menolak upaya untuk memasukkan unsur-unsur naturalistik ke dalam konsep hak
asasi manusia. Para pendukung mazhab ini tetap ingin agar hak asasi manusia
bersifat universal, tetapi mereka merasa bahwa hal ini hanya akan tercapai
apabila semua orang menerima hak asasi manusia sebagai standar hukum dan
politik terbaik untuk mengatur jalannya hidup masyarakat. Menurut mazhab
deliberatif, salah satu cara untuk mengungkapkan nilai-nilai hak asasi manusia
yang telah disepakati adalah melalui hukum
tata negara.[41]
Mazhab yang ketiga, yaitu mazhab "protes",
menyatakan bahwa hak asasi manusia menyampaikan klaim-klaim dari kaum miskin
dan tertindas. Maka dari itu, hak asasi manusia dipandang sebagai klaim dan
aspirasi yang berupaya mengubah status quo demi kepentingan kaum yang
terpinggirkan.[41]
Sementara itu, mazhab "diskursus" mengklaim bahwa hak asasi manusia
hanya ada karena orang-orang membicarakan konsep tersebut. Oleh sebab itu,
tokoh-tokoh yang memiliki pandangan seperti ini merasa bahwa hak asasi manusia
tidaklah dianugerahkan secara alamiah. Mereka tetap mengakui bahwa hak asasi
manusia telah menjadi alat untuk mengemukakan klaim-klaim politik, tetapi mereka
merasa khawatir dengan "imperialisme" berupa pemaksaan hak asasi
manusia, dan mereka juga berupaya menunjukkan keterbatasan sistem hak asasi
manusia yang bersifat individualistik. Pada saat yang sama, ada juga dari
kalangan pendukung mazhab ini yang berpandangan bahwa hak asasi manusia
kadang-kadang berdampak positif, tetapi mereka masih tidak percaya kepada hak
asasi manusia dan menginginkan adanya proyek emansipasi
yang lebih baik.[42]
Ciri-ciri utama dari mazhab-mazhab ini
dapat dilihat di tabel berikut:
HakAsasi Manusia |
Natural |
Deliberatif |
Protes |
Diskursus |
Hakikat |
Dianugerahkan |
Disepakati |
Diperjuangkan |
Dibicarakan |
Rupa |
Hak |
Asas |
Klaim/Aspirasi |
Tergantung pencetusnya |
Fungsi |
Untuk semua orang |
Untuk menjalankan pemerintahan
dengan adil |
Terutama bagi mereka yang
menderita |
Seharusnya untuk yang menderita,
tapi pada praktiknya tidak |
Sumber |
Alam/Tuhan/nalar |
Konsensus |
Tradisi perjuangan sosial |
Bahasa |
Bisa Menjadi Hukum? |
Memang inilah tujuannya |
Bisa, dan HAM biasanya memang ada dalam
bentuk hukum |
Perlu, tetapi hukum sering
mencederai HAM |
Hukum HAM itu ada, tetapi tidak
mengejawantahkan sesuatu yang lebih besar |
Bersifat universal? |
Ya, bagian dari struktur alam
semesta |
Bisa jadi, tergantung konsensus |
Pada dasarnya karena penderitaan
bersifat universal |
Tidak, sifat universal hanya
berupa dalih |
Sumber: Dembour 2010a[43] |
Ciri-ciri[sunting | sunting sumber]
Hak asasi manusia bersifat universal dan berlaku untuk
semua orang tanpa terkecuali.
Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai hakikatnya,
berdasarkan makna harfiahnya, hak asasi manusia umumnya dianggap sebagai hak
yang dimiliki seseorang karena ia adalah seorang manusia.[45]
Hak asasi manusia bersifat "universal", atau dalam kata lain hak
tersebut dimiliki oleh semua orang di seantero jagad. Maka dari itu, konsep
"universal" dalam artian ini berkaitan dengan cakupan penerapan hak
asasi manusia yang memadukan cakupan wilayah (ratione loci) terluas
dengan cakupan perorangan (ratione personae) yang juga paling luas.
Bahkan dapat dikatakan bahwa penyebutan istilah geografis dalam makna dari
konsep "universal" itu berlebihan, karena hak asasi manusia berlaku
kepada semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak masalah orang itu sedang
berada di mana. Dalam konsep ini juga terkandung pemahaman bahwa tidak ada
manusia yang lebih rendah daripada yang lain, dan juga bahwa tidak ada manusia
yang "bukan manusia", sehingga asas universal sangat terkait dengan
asas kesetaraan dan non-diskriminasi.[46]
Hal ini juga menandakan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dicabut (inalienable)
karena seseorang tidak dapat mengubah ataupun meniadakan jati diri manusianya.[47]
Hak asasi manusia bersifat subjektif, dalam artian selalu
ada yang menjadi pemilik hak. Setiap hak juga memiliki objek, misalnya "kebebasan berkumpul". Hak selalu
dialamatkan kepada suatu pihak atau pihak-pihak lain, dan hak asasi manusia
utamanya diarahkan kepada negara.[48]
Maka dari itu, hak asasi manusia dapat dianggap memiliki hakikat ganda dalam
artian yang dikumandangkan tidak hanya keberadaan hak-hak, tetapi juga
kewajiban serta pihak yang menjadi pemegang kewajiban tersebut.[49]
Setiap hak juga merincikan posisi normatif pemilik hak dan pihak yang
dialamatkan oleh hak tersebut. Sebagai contoh, hak untuk menikah bukan berarti
setiap orang bisa mengklaim bahwa ia harus menikah.[48]
Kandungan normatif dari hak tersebut menyatakan bahwa setiap orang bebas
mengubah status hukum mereka untuk hidup bersama dengan orang lain yang
bersedia, dan tidak ada yang bisa dipaksa untuk menikah ataupun menerima
lamaran orang lain. Berbagai hak juga memiliki pengecualian, contohnya adalah
kebebasan berkumpul yang tidak dapat menghentikan negara dalam upaya mereka
untuk memberantas organisasi kriminal.[50]
Dari sudut pandang hukum internasional, penerima hak asasi manusia
adalah individu, dan hak asasi hanya dapat dialamatkan kepada negara. Oleh
sebab itu, hak asasi manusia tidak dapat dialamatkan kepada pihak perorangan
ataupun organisasi masyarakat yang bukan bagian dari pemerintah,[51]
walaupun pemerintah tetap diwajibkan untuk melindungi rakyatnya dari
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh swasta.[52]
Hak asasi manusia pada dasarnya berlaku pada masa damai maupun perang, meskipun
terdapat berbagai hak dapat dikurangi dalam keadaan darurat.[51]
Hak asasi manusia sendiri dilindungi di tingkat internasional dengan tujuan
untuk menjaga martabat manusia, sehingga hak-hak tersebut haruslah hak yang
bersifat mendasar.[53]
Proklamasi Teheran pada tahun 1968 menyatakan
bahwa hak asasi manusia bersifat utuh atau tidak dapat dibagi (indivisible).[54]
Dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina
yang dikumandangkan pada tahun 1993, negara-negara juga mengakui bahwa hak
asasi manusia bersifat "universal", "tidak dapat dibagi",
"saling bergantung" (interdependent), dan "saling
berhubungan" (interrelated).[55]
Hal ini ditegaskan kembali dalam Pertemuan Puncak Dunia 2005 dan juga
oleh Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2006 yang mendirikan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.[56]
Selain itu, Deklarasi dan Program Aksi Wina juga menyatakan bahwa
"penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar tanpa
membeda-bedakan atas dasar apapun merupakan aturan dasar hukum hak asasi
manusia internasional",[57]
dan instrumen-instrumen hak asasi manusia di tingkat internasional menjamin hak
kesetaraan dan non-diskriminasi.[58]
Jenis-jenis hak[sunting | sunting sumber]
"Hak untuk berkumpul secara damai" dalam Pasal
21 ICCPR[59]
merupakan salah satu contoh hak sipil dan politik.
Hak atas pendidikan merupakan salah satu contoh hak
ekonomi, sosial, dan budaya.
Terdapat berbagai macam hak yang terkandung dalam
instrumen-instrumen internasional, seperti hak kesetaraan dan non-diskriminasi,[58]
hak
untuk hidup, hak atas peradilan yang jujur, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, hak atas standar hidup yang layak,
hak untuk memperoleh pendidikan, hak atas pekerjaan, dan lain-lain.[60]
Meskipun hak asasi manusia pada hakikatnya bersifat utuh, pengategorian dapat
dilakukan atas dasar konseptual. Dalam penerapannya, hak asasi manusia tetap
tidak dapat dipecah-pecah dan harus dilihat secara keseluruhan.[61]
"Hak sipil dan politik" dan
"hak ekonomi, sosial, dan budaya"[sunting
| sunting
sumber]
Hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi "hak sipil dan politik" dan "hak ekonomi, sosial, dan budaya".[60]
Pada dasarnya, hak ekonomi, sosial, dan budaya berupaya memastikan agar
individu dapat mengakses barang publik tertentu seperti perumahan, pendidikan,
atau layanan kesehatan.[62]
Oleh sebab itu, hak ekonomi, sosial, dan budaya membutuhkan investasi yang
besar dari negara, sehingga hak-hak tersebut tidak dapat diwujudkan dalam
sekejap.[63][64]
ICESCR mengakui kenyataan ini, dan Pasal 2 ICESCR hanya mengharuskan negara
untuk mengupayakan "perwujudan progresif" (progressive realization):[60]
“ |
Setiap Negara Pihak pada Kovenan
ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun
melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan
teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan
penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai,
termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif.[65]
|
” |
Di sisi lain, hak-hak sipil dan politik berurusan dengan kebebasan
sipil, contohnya adalah hak untuk hidup, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul,
kebebasan berekspresi, atau hak atas peradilan yang jujur. Negara hanya
diwajibkan untuk tidak melanggar kebebasan tersebut. Contohnya, negara dapat
dengan mudah menghormati hak untuk hidup dengan tidak membantai rakyatnya, dan
pemerintah juga tidak akan melanggar hak atas kebebasan berpendapat jika mereka
tidak membredel media yang tidak disukainya. Dalam kata lain,
kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam ICCPR bersifat langsung (immediate).[60]
Maka dari itu, perbedaan di antara keduanya berkenaan dengan kewajiban yang
diemban oleh negara sehubungan dengan kedua jenis hak tersebut.[60]
Klasifikasi semacam ini sebenarnya tidak terkandung dalam
PUHAM, tetapi ketegangan antara Blok Barat
dan Timur
pada masa Perang Dingin mengakibatkan kemunculan kedua kategori
ini. Negara-negara Barat yang memiliki ekonomi
pasar mementingkan hak-hak sipil dan politik, sementara negara-negara komunis di Blok
Timur mempunyai ekonomi yang direncanakan dari pusat dan lebih
mengutamakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hasilnya adalah dua
perjanjian hak asasi manusia internasional yang terpisah, yaitu ICCPR dan ICESCR.[63]
Saat ini perbedaan di antara keduanya sudah lagi tidak dianggap besar, dan
bahkan Kantor Komisaris
Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (bahasa
Inggris: Office of the
United Nations High Commissioner for Human Rights, disingkat OHCHR) menganggapnya
sebagai perbedaan yang dibuat-buat dan kontraproduktif.[66]
Sehubungan dengan kewajiban negara, ICESCR juga mengandung berbagai kewajiban
dengan efek langsung (immediate effect). Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya dalam Komentar Umum No. 3 memberikan contoh berupa penghapusan
diskriminasi dalam upaya perwujudan hak-hak dalam ICESCR sesuai dengan Pasal
2(2) dan 3, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat
buruh dan untuk berdemonstrasi dalam Pasal 8, serta perlindungan anak-anak
dan pemuda dari eksploitasi ekonomi dan sosial dalam Pasal 10(3).[60]
Berbagai kewajiban dalam ICCPR juga membutuhkan investasi dari negara, seperti
pendirian sistem peradilan, pembangunan penjara yang memenuhi standar minimal
untuk tahanan, atau pemberian bantuan hukum.[63]
Maka dari itu, secara konseptual, tidak ada lagi batas yang jelas di antara
kedua kategori ini.[64]
Hak ekonomi, sosial, dan budaya lebih sering menuai
kritikan karena dianggap sebagai sekadar "aspirasi" tanpa bisa
ditegakkan secara hukum.[64]
Walaupun begitu, dalam beberapa dasawarsa terakhir, semakin banyak pengadilan
yang menegakkan hak semacam ini, contohnya adalah dengan mengeluarkan putusan
yang memerintahkan kepada negara untuk menunda penggusuran, menyediakan layanan
medis, atau menghubungkan kembali persediaan air.[67]
Sebagai ilustrasi, dalam perkara Minister of Health and Others v. Treatment
Action Campaign and Others yang berkaitan dengan hak atas kesehatan dalam Konstitusi Afrika Selatan, pemerintah Afrika
Selatan menerapkan sebuah kebijakan yang membatasi akses terhadap obat antiretroviral (obat untuk meredam infeksi
virus HIV) yang
disebut Nevirapin.
Obat yang dipakai untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak ini ini
disediakan secara luas oleh produsennya, tetapi pemerintah Afrika Selatan
membatasinya di klinik-klinik umum tertentu dengan alasan bahwa mereka ingin
menguji coba obat ini dan karena mereka merasa masih kurang petugas yang mampu
memberikan obat ini. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan
menolak argumen ini dan menegaskan bahwa obat ini mujarab, dan bahwa sumber
daya tambahan yang perlu digelontorkan untuk melatih para petugas medis
tidaklah besar bila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari pencegahan
transmisi HIV dari ibu ke anak. Maka dari itu, Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan memutuskan bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan pembatasan obat
Nevirapin telah melanggar kewajiban untuk mengambil tindakan yang berada dalam
batas wajar (reasonable measure) untuk menyediakan layanan kesehatan.
Walaupun cakupannya hanya di tingkat nasional, perkara ini menunjukkan bahwa
hak atas kesehatan (yang merupakan salah satu hak ekonomi, sosial, dan budaya)
dapat ditegakkan secara hukum.[68]
Hak generasi pertama, kedua, dan
ketiga[sunting | sunting sumber]
Hak asasi manusia juga dapat digolongkan berdasarkan
generasi. Pengategorian ini pertama kali dicetuskan oleh pakar hak asasi
manusia Ceko-Prancis
Karel
Vasak.[69]
Berdasarkan klasifikasi ini, terdapat tiga jenis hak, yakni hak generasi
pertama, kedua, dan ketiga. Hak generasi pertama adalah hak sipil dan politik
yang melindungi kebebasan sipil. Hak-hak ini berasal dari
deklarasi-deklarasi hak asasi manusia yang dikeluarkan di Amerika Serikat dan
Prancis pada akhir abad ke-18. Kemudian, hak generasi kedua pada dasarnya
adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang dimaksudkan agar individu dapat
mengakses sumber daya, barang, dan jasa tertentu, dan mewajibkan negara untuk
mengambil langkah-langkah progresif untuk mewujudkan hak-hak ini. Hak-hak ini
dikatakan berakar dari tindakan-tindakan yang diambil pada abad ke-19 untuk
menyelesaikan masalah kemiskinan dan eksploitasi pasca-industrialisasi
di Eropa.[53]
Yang terakhir, yaitu hak generasi ketiga, merupakan hak kolektif yang
dikembangkan pada paruh kedua abad ke-20, tetapi hak ini baru belakangan ini
mulai dimasukkan ke dalam hukum internasional, seperti dalam Piagam Afrika
tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk. Contohnya adalah hak
pembangunan, perdamaian, serta hak untuk menikmati lingkungan yang bersih dan
sehat. Keberadaan hak ini masih dipertentangkan oleh negara-negara maju, dan
aspek hukum dari hak ini pun masih belum jelas (seperti pertanyaan soal siapa
yang dapat menjadi pemilik haknya, dan kepada siapa kewajiban untuk menghormati
hak tersebut dapat dialamatkan).[70]
Hak individu dan hak kolektif[sunting | sunting sumber]
PUHAM dan perjanjian-perjanjian HAM internasional
memiliki pendekatan yang individualistik, atau dalam kata lain, individulah
yang menjadi penerima hak.[71]
Pasal 27 ICCPR memang menyatakan bahwa "Di negara-negara yang memiliki
kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang
tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam
masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya
mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau
menggunakan bahasa mereka sendiri."[59]
Namun, perjanjian ini tidak menyebut "kelompok minoritas" sebagai
penerima hak, tetapi malah menggunakan istilah "orang-orang yang tergolong
ke dalam kelompok minoritas". Hal ini mungkin disebabkan oleh kekhawatiran
bahwa pasal ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan separatis.
Pendekatan semacam ini juga digunakan oleh Deklarasi
tentang Hak-Hak Orang-Orang yang Tergolong ke dalam Minoritas Nasional atau
Etnis, Agama, dan Bahasa (1992).[71]
Walaupun begitu, pendekatan yang lebih bersifat kolektivis dapat ditemui dalam Deklarasi tentang Hak-Hak
Penduduk Asli (2007). Deklarasi tersebut menyebutkan hak-hak yang diberikan
kepada kelompok penduduk asli sekaligus individu yang merupakan bagian dari
kelompok tersebut. Contoh hak kolektif dalam deklarasi tersebut adalah hak penentuan nasib sendiri bagi
kelompok penduduk asli, sementara contoh hak individu adalah hak untuk hidup
bagi individu penduduk asli. Sebagai tambahan, sehubungan dengan hak penentuan
nasib sendiri, Deklarasi dan Program Aksi Wina menganggap peniadaan hak
tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia.[72]
Hak-hak inti[sunting | sunting sumber]
Tanpa menghapuskan unsur keutuhan dari hak asasi manusia,
beberapa hak dianggap lebih penting untuk mempertahankan nyawa manusia dan
menegakkan martabatnya. Oleh sebab itu, hak-hak tersebut dipandang memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lainnya dan memerlukan tanggung jawab
khusus dari negara.[73]
Sebagai contoh, hak untuk hidup dan pelarangan penyiksaan dianggap lebih utama
daripada hak untuk beristirahat seperti yang dicantumkan dalam Pasal 24 PUHAM.[73]
Biasanya hak yang dianggap sebagai "hak inti" adalah hak-hak sipil
dan politik, tetapi filsuf Amerika Serikat Henry Shue
juga telah mengidentifikasi sejumlah "hak-hak dasar" yang dianggap
menjadi prasyarat demi tegaknya hak-hak lain, dan salah satu hak yang ia
sebutkan adalah "hak untuk memperoleh sumber penghidupan minimal"
yang sangat terkait dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.[74]
Perjanjian-perjanjian HAM internasional sendiri mengakui
sejumlah hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan darurat yang mengancam
kehidupan bangsa dan keberadaannya, dan hak tersebut boleh dikatakan sebagai
"hak inti".[75]
Menurut Pasal 4(2) ICCPR, hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
darurat meliputi hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan atau "perlakuan
atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat
manusia", pelarangan perbudakan, larangan menjebloskan seseorang ke
penjara karena tidak mampu memenuhi kewajiban kontrak, asas
legalitas dalam hukum pidana, pengakuan bahwa semua orang setara di
mata hukum, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.[59][75]
Namun, Komite Hak Asasi Manusia PBB
menyatakan dalam Komentar Umum No. 24 bahwa pasal ini tidak dapat dianggap
sebagai bukti adanya hierarki dalam ICCPR.[76]
Tipologi kewajiban HAM[sunting | sunting sumber]
Kewajiban HAM negara dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
kewajiban positif dan negatif. Kewajiban negatif mengharuskan negara untuk
tidak melanggar hak asasi yang diakui oleh perjanjian-perjanjian HAM
internasional dan hanya dapat membatasinya sesuai dengan ketentuan dari
perjanjian-perjanjian tersebut. Sementara itu, kewajiban positif menuntut
negara untuk mengambil tindakan untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh aparatur pemerintah maupun pihak-pihak swasta. Negara akan
dianggap melanggar kewajiban ini jika mereka gagal mengambil tindakan untuk
mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh swasta, tidak menyelidiki perkaranya,
tidak menghukum pelakunya, atau tidak memberikan pemulihan
kepada korban pelanggaran tersebut.[77]
Pada pertengahan dasawarsa 1980-an, Pelapor Khusus PBB untuk
Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas, Asbjorn
Eide, menggagas bahwa negara memiliki empat macam kewajiban HAM, yaitu
kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan mempromosikan. Kemudian
konsep ini direvisi menjadi tiga kewajiban saja, yaitu kewajiban untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi.[78]
Semenjak itu, tipologi ini telah digunakan untuk menganalisis kewajiban HAM
negara, baik itu untuk hak sipil dan politik[77]
maupun untuk hak ekonomi, sosial, dan budaya.[79]
Pada dasarnya, kewajiban untuk "menghormati" adalah kewajiban negatif
yang mengharuskan negara untuk tidak mengganggu ataupun mencederai hak asasi
manusia. Sementara itu, kewajiban untuk "melindungi" dan
"memenuhi" merupakan kewajiban positif: negara tidak hanya harus
"melindungi" individu dan kelompok dari pelanggaran HAM oleh pihak
lain, tetapi juga "memenuhi" dengan mengambil tindakan yang
memfasilitasi hak asasi mereka.[77]
Sebagai contoh, sehubungan dengan hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan
umum dalam Pasal 25 ICCPR, negara diwajibkan untuk mengambil tindakan positif
salah satunya dengan memberikan hak suara kepada semua warga dewasa, dan pada
saat yang sama juga mengambil langkah untuk memastikan bahwa mereka benar-benar
bisa memakai hak tersebut.[80]
Sehubungan dengan ICESCR, terdapat pula tipologi khusus
yang digunakan untuk hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni tipologi
"4A" yang terdiri dari empat unsur yang saling berhubungan, yaitu
"ketersediaan" (availability), "keterjangkauan" (accessibility),
"keberterimaan" (acceptability), dan "kebersesuaian"
(adaptability). Tipologi ini pertama kali dikembangkan oleh mantan
Pelapor Khusus PBB tentang Hak Pendidikan, Katarina Tomasevski. Kemudian tipologi ini
dijabarkan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Komentar Umum No.
13 tentang hak pendidikan.[62]
Sehubungan dengan hak pendidikan, "ketersediaan" berarti lembaga dan
program pendidikan yang fungsional harus tersedia dengan jumlah yang cukup.
"Keterjangkauan" menyiratkan bahwa lembaga dan program pendidikan
harus dapat dijangkau oleh semua orang tanpa terkecuali di wilayah suatu
negara, dan pada dasarnya elemen ini terdiri dari tiga aspek, yaitu
"non-diskriminasi", "keterjangkauan fisik" (pendidikan
harus dapat dijangkau dengan aman), dan "keterjangkauan ekonomi"
(salah satunya dengan menggratiskan pendidikan dasar dan mengambil langkah
progresif untuk menghapuskan iuran pendidikan menengah dan tinggi). Sementara itu,
"keberterimaan" menyatakan bahwa bentuk dan isi dari pendidikan harus
dapat diterima (bermutu baik dan relevan), sedangkan "kebersesuaian"
mengatur bahwa pendidikan harus dapat disesuaikan dengan perubahan yang terjadi
dalam masyarakat dan juga memenuhi kebutuhan beraneka ragam siswa.[81]
Pada kesempatan lain, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengemukakan
tipologi "AAAQ" dalam Komentar Umum No. 14 yang berkaitan dengan hak
kesehatan. Perbedaannya ada di unsur yang terakhir, yaitu "Q"
alih-alih "A", yang merupakan singkatan dari quality (mutu).
Dalam konteks hak atas kesehatan, yang dimaksud dengan "mutu" di sini
adalah kewajiban untuk memastikan bahwa komersialisasi atau privatisasi
tidak merusak mutu layanan kesehatan, karena biasanya setelah diprivatisasi,
pemerintah sulit mengawasi dan menjaga mutu layanan kesehatan yang disediakan
oleh swasta.[82]
Jus cogens[sunting | sunting sumber]
Dalam hukum internasional, terdapat beberapa norma
yang telah memperoleh status jus cogens.
Pasal 53 Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian mendefinisikan jus cogens sebagai norma yang diakui dan
diterima oleh komunitas internasional secara keseluruhan sebagai norma yang
tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun dan hanya dapat diubah dengan
norma yang memiliki sifat yang sama.[83][84]
Penggunaan kata "secara keseluruhan" di sini bukan berarti bahwa
suatu norma hanya akan mendapatkan status jus cogens apabila sudah
diterima oleh semua negara tanpa terkecuali. Seperti yang ditegaskan oleh ketua
Komite Perumusan Konvensi Wina, Mustafa Kamil Yasseen, sama sekali tidak ada
iktikad untuk menetapkan hal tersebut; suatu norma akan menjadi jus cogens
jika sudah diterima oleh banyak sekali negara, dan penolakan dari segelintir
negara tidak akan menghentikannya.[85]
Norma jus cogens berlaku untuk semua negara,
termasuk negara yang menampik keberadaan norma tersebut; contohnya adalah
pemerintah Afrika Selatan pada masa apartheid
yang terus menerus menolak pelarangan diskriminasi
ras, tetapi norma tersebut sebagai norma jus cogens tetap dianggap
mengikat terhadap mereka.[86]
Dari sejumlah norma yang paling sering disebut-sebut sebagai norma jus
cogens, sebagian besar tergolong sebagai kewajiban HAM.[87]
Contohnya adalah larangan penyiksaan, larangan genosida,
larangan perbudakan, serta larangan diskriminasi ras dan apartheid.[86]
Perlindungan di tingkat internasional[sunting | sunting sumber]
Puluhan tahun setelah dikeluarkannya PUHAM, sistem
perlindungan HAM di tingkat internasional telah mengalami perkembangan pesat
hingga akhirnya muncul sejumlah perjanjian hak asasi manusia di tingkat
internasional ditambah dengan badan-badan
traktat yang melindunginya dan mengawasi pelaksanaannya.[88]
Selain itu, dalam organisasi PBB sendiri, hak asasi manusia telah menjadi salah
satu perhatian utama organisasi tersebut, dan hal ini ditunjukkan dengan
didirikannya Dewan Hak Asasi Manusia yang menjadi
organ hak asasi utama PBB.[89]
Selain itu, terdapat pula Kantor Komisaris
Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia yang bertugas mempromosikan dan
melindungi penikmatan hak asasi manusia oleh semua orang, misalnya dengan
bekerja sama dengan badan-badan PBB lainnya, memberikan saran untuk
meningkatkan perlindungan HAM, melakukan pendidikan kepada masyarakat, mengirim
petugas untuk hadir secara langsung di lapangan, atau dengan memberikan bantuan
teknis.[90]
Dewan HAM PBB[sunting | sunting sumber]
Ruang pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss.
Pasal 1 Piagam PBB mengakui hak asasi manusia sebagai
salah satu tujuan utama organisasi internasional tersebut. Selain itu, Pasal 55
dan 56 mengharuskan negara anggota untuk mengambil tindakan kolektif maupun
terpisah untuk memastikan penghormatan dan pengejawantahan hak asasi manusia di
seantero jagad tanpa mengecualikan siapapun. Dengan adanya landasan hukum ini,
sejumlah lembaga hak asasi manusia telah dibentuk di bawah naungan PBB. Pada
tahun 1946, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB sebagai
salah satu organ utama PBB mendirikan Komisi Hak Asasi
Manusia yang terdiri dari 53 utusan dari negara-negara anggota PBB. Komisi
ini berdiri selama 60 tahun dan telah melaksanakan berbagai kegiatan demi
perlindungan dan pemberdayaan hak asasi manusia. Beberapa sumbangsih terpenting
dari organisasi ini adalah perumusan PUHAM, ICCPR, dan ICESCR, serta
pengembangan kemampuan lembaga PBB dalam melindungi dan mempromosikan HAM.
Komisi ini pernah mendirikan Sub-Komisi
Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang mempersiapkan berbagai
kajian tematik dan mengizinkan masyarakat
madani ikut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Selain itu, Komisi HAM PBB
juga telah berjasa dalam memperbaiki situasi hak asasi manusia di berbagai
negara karena lembaga ini telah mengirim para ahli yang diberi mandat untuk
menyelidiki masalah hak asasi manusia tertentu atau pelanggaran hak asasi
manusia di negara tertentu, dan juga karena lembaga ini memiliki mekanisme
rahasia yang memberi ruang bagi individu untuk melaporkan pelanggaran HAM berat
dan sistematis di negara mereka.[89]
Namun, banyak pula yang mengkritik komisi ini karena politik internasional
dirasa telah menghambat kinerja lembaga tersebut. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan
mengakui dalam laporannya pada tahun 2005 bahwa komisi tersebut sedang merosot
kredibilitas dan profesionalismenya, dan negara-negara sering kali ingin
menjadi anggota komisi tersebut bukan untuk melindungi hak asasi manusia,
tetapi untuk melindungi negara mereka dari kritik sekaligus menyerang negara
lain. Maka dari itu, Kofi Annan menyerukan reformasi yang mengubah sistemnya
dari "penetapan standar" (seperti perumusan dan perundingan instrumen
HAM baru) menjadi berpusat pada implementasi di lapangan untuk menanggulangi
krisis dan kedaruratan HAM. Ia juga menolak usulan pendirian sebuah lembaga
dengan keanggotaan yang terdiri dari semua negara, dan ia lebih mendukung
pendirian sebuah dewan dengan jumlah anggota yang terbatas dan berperan sebagai
badan subsider Majelis Umum PBB. Ia ingin agar dewan ini berperan sebagai
"ruang peninjauan sejawat" dengan tugas untuk mengevaluasi pemenuhan
semua kewajiban HAM yang diemban oleh semua negara, dan setiap negara anggota
akan dipanggil secara berkala untuk melalui peninjauan menyeluruh terhadap
rekam jejak HAM mereka. Awalnya usulan Kofi Annan menuai tanggapan negatif,
tetapi perundingan tetap dapat dimulai pada musim panas tahun 2005.[91]
Berbagai permasalahan yang timbul (seperti soal jumlah anggota dan proses
pengambilan keputusan) dapat diselesaikan, dan pada tanggal 15 Maret 2006,
Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 60/251 yang mendirikan Dewan Hak Asasi Manusia.[92]
Dewan Hak Asasi Manusia PBB terdiri dari 47 kursi
keanggotaan, dan semua negara anggota PBB dapat menjadi bagian dari dewan
tersebut asalkan mereka dipilih oleh Majelis Umum dengan dukungan mayoritas
sederhana. Keanggotaannya disesuaikan berdasarkan wilayah: terdapat 13
kursi khusus untuk negara-negara Asia, 13 untuk negara-negara Afrika, 8 untuk
negara-negara Amerika Latin dan Karibia, 6 untuk negara-negara Eropa Timur, dan
7 untuk negara-negara Eropa Barat dan kelompok lainnya, sehingga negara-negara
Afrika dan Asia secara otomatis memiliki suara mayoritas, dan hal ini sangatlah
berdampak terhadap kinerja dewan. Dewan HAM PBB bertemu paling tidak tiga kali
dalam setahun, walaupun mereka juga dapat mengadakan sesi ad hoc.
Tugas utama dewan ini dijabarkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 60/251.[92]
Salah satunya adalah dalam menggelar Peninjauan Berkala Universal (Universal
Periodic Review) yang menilai rekam jejak negara-negara anggota PBB. Setiap
negara ditinjau empat tahun sekali, sehingga terdapat 48 negara yang ditinjau
oleh Dewan setiap tahunnya.[93]
Peninjauan ini tidak bersifat mengikat, hanya dapat memberikan rekomendasi,
bersifat melengkapi, dan tidak "bersaing" dengan prosedur-prosedur
badan-badan traktat di PBB. Semenjak Juni 2006, Dewan juga mengadakan sesi-sesi
khusus yang berupaya menanggapi pelanggaran hak asasi manusia yang serius di
beberapa tempat, seperti di Republik Demokratik Kongo, Darfur, Myanmar, Sri Lanka,
dan yang paling sering, Palestina.[94]
Selain itu, sebagai salah satu peninggalan Komisi HAM, Dewan HAM PBB memiliki
mekanisme prosedur khusus yang melibatkan ahli-ahli independen yang bekerja
sendiri atau dalam suatu kelompok kerja untuk mengkaji situasi HAM di negara
tertentu atau isu-isu tematik yang berkenaan dengan semua negara.[95]
Para ahli yang mendapatkan mandat prosedur khusus memiliki masa jabatan
maksimal selama enam tahun, dan mereka dapat mengadakan misi pencari fakta atau
menggelar kunjungan ke suatu negara. Namun, mereka hanya dapat mendatangi suatu
negara jika diundang oleh negara tersebut.[96]
Sebagian besar pemegang mandat juga dapat meninjau keluhan dari individu atau
kelompok-kelompok lainnya, dan beberapa dari mereka telah menghasilkan
pendapat-pendapat yang bersifat otoritatif walaupun tidak mengikat.[97]
Sebagai tambahan, Paragraf 6 Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 juga menyediakan
"prosedur keluhan". Dengan ini, keluhan-keluhan dari korban atau
perwakilan korban dapat disampaikan kepada Dewan, tetapi korban harus terlebih
dahulu menghabiskan segala upaya untuk memperoleh pemulihan di tingkat
nasional.[98]
Keluhan sendiri tidak dapat langsung dikirim ke Dewan dan harus diseleksi oleh
Sekretariat OHCHR dan dua kelompok kerja yang berada di bawah naungan Dewan,
yaitu Kelompok Kerja Komunikasi dan Kelompok Kerja Situasi. Keluhan yang
berkenaan dengan situasi yang sedang dipertimbangkan dalam prosedur khusus di
PBB atau dalam mekanisme perlindungan HAM regional tidak akan diterima.[98]
Namun, Dewan HAM juga telah menuai banyak kritik akibat
kentalnya unsur politisasi dalam tubuh dewan. Sebagai contoh, pada Mei 2009,
anggota Dewan dari negara-negara Uni Eropa
menghadapi kesulitan dalam mencari 16 dukungan dari negara anggota Dewan lainnya
untuk menghimpun sesi khusus untuk membahas situasi HAM di Sri Lanka.[94]
Selain itu, akibat banyaknya kursi yang dimiliki oleh negara-negara Afrika dan
Asia, terbentuk blok-blok regional yang dapat menentukan apakah akan meloloskan
atau menolak suatu resolusi atas dasar politik. Organisasi Konferensi Islam sangat
berpengaruh dalam hal ini. Faktor ini pula yang mengakibatkan munculnya kritik
bahwa Dewan bertindak selektif atau bahkan bias. Sebagai contoh, Dewan HAM
dianggap terlalu sering mengadakan sesi khusus mengenai Palestina, sementara
upaya negara-negara Barat untuk mengadakan sesi khusus mengenai Zimbabwe gagal
karena negara-negara Asia dan Afrika enggan mendukungnya.[95]
Badan traktat PBB[sunting | sunting sumber]
Di tingkat internasional, terdapat berbagai perjanjian
HAM yang telah dirumuskan dan diratifikasi oleh banyak negara. Tidak seperti
PUHAM, perjanjian-perjanjian tersebut mengikat secara hukum. Setiap perjanjian
HAM utama memiliki sebuah badan
traktat yang mengawasi pelaksanaannya.[99]
Pendirian badan-badan tersebut diatur oleh perjanjian masing-masing, kecuali
untuk Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, yang didirikan oleh Resolusi 1985/17 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB.[100]
Instrumen |
Badan pengawas |
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial |
|
Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik |
Komite Hak Asasi Manusia |
Komite Hak Asasi Manusia |
|
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya |
|
Protokol Opsional Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya |
Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya |
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita |
|
Protokol Opsional Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita |
Komite Penghapusan Diskriminasi
terhadap Wanita |
Protokol Opsional tentang Perdagangan Anak, Prostitusi
Anak, dan Pornografi Anak |
Komite Hak-Hak Anak |
Protokol Opsional tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik
Bersenjata |
Komite Hak-Hak Anak |
Protokol Opsional Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas |
Komite Hak-Hak Penyandang
Disabilitas |
Disadur dari Schmidt 2010[101] |
Negara anggota perjanjian-perjanjian ini telah
berkomitmen untuk membuat laporan secara berkala mengenai perkembangan upaya
mereka dalam mewujudkan hak-hak yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian ini
di tingkat nasional. Setelah laporannya dikirim dan diproses, laporan tersebut
akan diperiksa oleh badan traktat dalam salah satu sesi yang digelar oleh badan
tersebut di muka umum dengan dihadiri oleh utusan negara terkait dan juga
melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM).[102]
Setelah itu, badan traktat akan mengeluarkan "kesimpulan pengamatan"
(concluding observation) yang mengidentifikasi masalah-masalah HAM di
suatu negara beserta rekomendasi khusus untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Semenjak tahun 2001, semua badan traktat PBB memiliki mekanisme
penindaklanjutan terhadap kesimpulan pengamatan.[103]
Hampir semua badan traktat (kecuali Subkomite Pencegahan
Penyiksaan) juga dapat mengeluarkan "komentar umum" (general
comment). Sementara itu, terminologi yang digunakan oleh Komite Penghapusan
Diskriminasi Rasial dan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita adalah
"rekomendasi umum".[104]
Komentar dan rekomendasi ini ditetapkan berdasarkan konsensus
dan tidak mengikat secara hukum, tetapi penafsiran yang terkandung di dalamnya
bersifat otoritatif dalam memandu upaya untuk memahami pasal-pasal dalam
perjanjian terkait. Komentar umum dianggap sangat membantu karena banyak
perjanjian yang dirumuskan dengan kata-kata yang tidak jelas maknanya atau
rancu.[105]
Saat ini terdapat delapan badan traktat yang memiliki
mekanisme yang menerima keluhan dari individu. Delapan badan tersebut adalah
Komite Hak Asasi Manusia, Komite Menentang Penyiksaan, Komite Penghapusan
Diskriminasi Rasial, Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Komite
Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Komite tentang Penghilangan Paksa, Komite Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Komite Hak-Hak Anak. Komite Hak Buruh Migran
juga memiliki mekanisme keluhan individu seperti yang diatur dalam Pasal 77
Konvensi Buruh Migran, tetapi mekanisme untuk komite ini masih belum berlaku
pada Januari 2019 karena jumlah negara yang mengeluarkan deklarasi untuk
bergabung dengan mekanisme ini masih kurang dari 10. Mekanisme keluhan individu
di badan traktat PBB tidak bersifat wajib, dan negara dapat bergabung dengan
meratifikasi protokol yang berisikan mekanisme ini (untuk Komite Menentang
Penyiksaan, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, dan Komite tentang
Penghilangan Paksa, dengan mengeluarkan deklarasi sesuai dengan pasal yang
mengatur soal mekanisme masing-masing).[106]
Oleh sebab itu, individu dari negara yang belum menyatakan resmi bergabung
(baik itu lewat ratifikasi protokol ataupun deklarasi) tidak dapat memanjatkan
keluhan kepada badan traktat terkait. Mekanisme keluhan di badan traktat PBB
bersifat tertulis dan rahasia.[107]
Badan-badan traktat ini dapat mengeluarkan putusan sela (interim measure)
sebagai perlindungan apabila keadaannya mendesak dan dapat mengakibatkan
kerugian yang tidak dapat dipulihkan kepada pihak yang mengeluh, contohnya
adalah perkara yang terkait dengan hukuman
mati dan deportasi.
Setiap komite juga akan meninjau beberapa prasyarat. Pihak yang mengeluh harus
menjadi korban pelanggaran,[108]
pelanggaran harus terjadi setelah protokol yang berisi tentang mekanisme
keluhan mulai berlaku untuk negara yang diadukan, dan keluhan harus terkait
dengan hak yang terkandung dalam perjanjian terkait. Selain itu, keluhan tidak
boleh diperiksa secara bersamaan dalam mekanisme pemulihan lainnya (misalnya di
tingkat regional), dan pihak yang mengeluh harus sudah menghabiskan segala
upaya untuk memperoleh pemulihan di tingkat nasional. Badan traktat sendiri
membuat kesimpulan terkait dengan perkara-perkara ini berdasarkan konsensus,
dan hasil peninjauan ini disebut "pandangan" (views) atau
"pendapat" (opinions).[108]
Hal ini dianggap sebagai kelemahan badan-badan traktat, karena hasil peninjauan
mereka tidak mengikat secara hukum, walaupun negara tetap diharapkan untuk
menindaklanjuti hasil peninjauan badan traktat dan mengirim keterangan yang
menjelaskan hal tersebut dalam waktu beberapa bulan setelah komite mengeluarkan
pendapatnya.[109]
Perlindungan di tingkat regional[sunting | sunting sumber]
Sistem perlindungan hak asasi manusia juga telah muncul
di tingkat regional setelah beberapa organisasi antarpemerintah memutuskan
untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu dari tujuan utama mereka.[110]
Organisasi-organisasi tersebut meliputi Majelis
Eropa, Organisasi Negara-Negara Amerika,
dan Uni
Afrika.[111]
Mantan Pelapor Khusus PBB mengenai hak atas pangan, Olivier De Schutter, berpendapat bahwa sistem
di Eropa dan Amerika dengan rekam jejaknya yang panjang merupakan sistem
perlindungan HAM yang paling "matang" dan "maju".[112]
Kemunculan sistem regional dapat membantu upaya untuk
mewujudkan HAM, karena dengan ini masyarakat madani mendapatkan lebih banyak ruang
untuk didengar oleh pemerintah alih-alih harus mengantre dan berebut ruangan di
PBB.[110]
Selain itu, sering kali muncul keluhan bahwa sistem HAM PBB yang berpusat di
kota Jenewa
terlalu sulit untuk dijangkau, dan sistem regional memiliki keunggulan berupa
lokasinya yang lebih dekat dengan masyarakat madani di kawasannya. Maka dari
itu, dapat dikatakan bahwa mekanisme hak asasi manusia regional menjadikan
sistem hak asasi manusia internasional lebih tanggap dan demokratis.[113]
Namun, terdapat pula inisiatif di tingkat regional yang dianggap membahayakan
HAM karena dinilai dapat merusak standar HAM yang telah ditetapkan di tingkat
global dan juga akibat adanya kemungkinan bahwa mekanisme regional tersebut
akan disalahgunakan untuk melindungi negara pelanggar HAM dari pengawasan.
Contohnya adalah Piagam Hak Asasi Manusia Arab yang
dikeluarkan pada tahun 1994, yang telah menuai kritikan karena dianggap lebih
mundur daripada standar global. Pada tahun 2004, dikeluarkan rumusan piagam
yang baru agar lebih sesuai dengan hukum HAM internasional, tetapi rumusan ini
pun juga dikritik karena masih tidak sepenuhnya sejalan dengan standar global.
Sementara itu, di Asia Tenggara, Komisi Hak-Hak Asasi
Manusia Antarnegara Perbara menetapkan Deklarasi
Hak Asasi Manusia Perbara pada November 2012.[114]
Deklarasi ini telah disambut sebagai komitmen besar dari Perbara untuk
melindungi HAM, tetapi pada saat yang sama, deklarasi ini juga dinilai
"cacat" karena sama sekali tidak mendirikan mekanisme pengawasan yang
berarti, dan juga akibat adanya asas "non-intervensi" dalam deklarasi
tersebut yang dapat menghalangi kemampuan lembaga regional untuk melindungi
HAM.[115]
Eropa[sunting | sunting sumber]
Negara-negara anggota Majelis Eropa.
Majelis Eropa didirikan pada tahun 1949, dan salah satu
tujuannya adalah untuk menegakkan hak asasi manusia. Kemudian, pada tahun 1950,
Konvensi Eropa tentang Hak
Asasi Manusia ditetapkan oleh negara-negara anggota Majelis Eropa di Roma sebagai langkah
bersama untuk menegakkan beberapa hak yang terkandung dalam PUHAM.[116]
Konvensi ini mendirikan dua lembaga pengawas, yaitu Komisi Hak Asasi Manusia Eropa dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa.
Kedua lembaga ini merupakan lembaga internasional pertama yang dapat memberikan
pemulihan
kepada korban pelanggaran HAM. Awalnya yurisdiksi mereka cukup terbatas dan
tidak bersifat wajib bagi negara anggota. Sistem ini mengalami perubahan secara
perlahan, dan pada tahun 1998, Protokol 11 mulai berlaku. Protokol ini
menghapuskan Komisi Eropa dan juga menjadikan Pengadilan HAM Eropa sebagai
pengadilan dengan yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) untuk
negara-negara anggota.[117]
Saat ini, terdapat dua prosedur untuk membawa perkara ke
Pengadilan HAM Eropa, yaitu aplikasi antarnegara atau aplikasi individual.
Dalam aplikasi antarnegara, suatu negara dapat menuntut negara lain yang
dianggap telah melanggar hak yang terkandung dalam Konvensi. Semua upaya untuk
memperoleh pemulihan di tingkat domestik harus sudah dihabiskan, kecuali jika
tuduhannya terkait dengan suatu undang-undang atau praktik administratif.[118]
Sementara itu, dalam prosedur aplikasi individual, korban pelanggaran HAM dapat
membawa perkara ke pengadilan HAM Eropa jika mereka juga sudah menghabiskan
segala upaya untuk mendapatkan pemulihan di tingkat nasional.[119]
Pengadilan ini juga berwenang mengeluarkan opini nasihat.[120]
Pengadilan HAM Eropa menjalankan asas "penafsiran
otonom" yang berarti bahwa mereka dapat menetapkan makna dari pasal-pasal
yang terkandung dalam konvensi. Pengadilan ini juga mengenal asas penafsiran
evolutif atau dinamis agar Konvensi HAM Eropa tidak ketinggalan zaman.[121]
Selain itu, pengadilan ini dikenal dengan doktrin margin
apresiasi (margin of appreciation) yang memberikan ruang kepada
negara anggota mengenai cara untuk menerapkan standar HAM di tingkat nasional.
Menurut pengadilan ini dalam perkara Sunday Times v. the United Kingdom,
tujuan utama Konvensi adalah untuk menetapkan standar internasional yang perlu
dipatuhi, tetapi negara tetap bebas memilih tindakan macam apa yang dianggap
sesuai untuk menerapkan standar tersebut. Doktrin ini tidak diterima di luar
yurisdiksi pengadilan HAM Eropa, dan doktrin ini sendiri telah dikritik karena
dapat berujung pada penerapan HAM yang terlalu relativistik. Walaupun begitu,
margin apresiasi bukanlah doktrin yang statis. Salah satu cara untuk menemukan
perubahan ini adalah dengan meninjau konsensus mengenai praktik tertentu di
antara negara anggota.[122]
Secara prinsipil, putusan Pengadilan HAM Eropa bersifat
mengikat terhadap pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Pada kenyataannya,
putusan Pengadilan HAM Eropa juga berpengaruh terhadap negara-negara lain, dan
anggota legislatif di berbagai negara Eropa sering kali mengkaji
putusan-putusan pengadilan HAM Eropa terlebih dahulu untuk menghindari
pelanggaran.[123]
Pengadilan ini sendiri telah digadang-gadang sebagai "mahkota dan
perhiasan" (crown jewel) dalam sistem perlindungan hak-hak sipil
dan politik.[124]
Setiap tahunnya, pengadilan ini dapat mengeluarkan lebih dari 1.500 putusan.[125]
Namun, pengadilan ini menghadapi masalah besar akibat terlalu banyaknya perkara
yang masuk dan membuat mereka kewalahan.[126]
Majelis Eropa sendiri tidak hanya berurusan dengan hak
sipil dan politik. Piagam Sosial Eropa telah ditetapkan di bawah
naungan organisasi ini pada tahun 1961, dan kemudian piagam ini direvisi pada
tahun 1991. Piagam ini mendirikan Komite Hak Sosial Eropa yang memiliki
sistem laporan negara yang serupa dengan sistem di PBB.[117]
Amerika[sunting | sunting sumber]
Negara-negara yang hanya meratifikasi
Konvensi HAM Amerika
Meratifikasi Konvensi HAM dan Protokol
Pertama
Meratifikasi Konvensi HAM dan Protokol Kedua
Meratifikasi Konvensi HAM dan kedua
protokolnya
Telah membatalkan Konvensi HAM Amerika secara
sepihak
Salah satu tujuan utama dari Organisasi Negara-Negara Amerika (bahasa
Inggris: Organization of
American States, disingkat OAS) adalah hak asasi manusia. Di bawah naungan organisasi ini,
Deklarasi Hak Asasi
dan Kewajiban Manusia Amerika ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1948 secara
bersamaan dengan Piagam OAS. Langkah besar berikutnya diambil pada tahun
1959 dengan didirikannya Komisi Hak Asasi Manusia
Antar-Amerika sebagai lembaga yang bersifat otonom. Lembaga ini kemudian
menjadi salah satu lembaga yang berada di bawah naungan Piagam OAS setelah
disahkannya Protokol Buenos Aires pada tahun 1970.
Kemudian, Konvensi Amerika tentang Hak
Asasi Manusia ditetapkan di San Jose, Kosta Rika,
pada tahun 1969.[127]
Konvensi ini khususnya melindungi hak-hak sipil dan politik. Setelah Konvensi
HAM Antar-Amerika mulai berlaku pada tahun 1978,[128]
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Antar-Amerika didirikan setahun sesudahnya. Suatu negara yang terletak di
benua Amerika akan masuk ke dalam yurisdiksi pengadilan ini jika negara
tersebut sudah meratifikasi Konvensi HAM Antar-Amerika dan secara gamblang
menerima yurisdiksi pengadilan tersebut. Pengadilan ini sendiri terdiri dari tujuh
hakim yang dipilih untuk masa jabatan selama enam tahun oleh negara anggota
Konvensi HAM Antar-Amerika.[129]
Tidak seperti di Majelis Eropa, dalam sistem ini, hanya Komisi HAM
Antar-Amerika dan negara anggota yang memiliki wewenang untuk membawa perkara
ke pengadilan.[130]
Keputusan pengadilan mengikat secara hukum dan tidak dapat diganggu gugat.[131]
Selain mengeluarkan putusan resmi, pengadilan ini juga dapat menerima
permintaan dari negara anggota atau salah satu organ OAS untuk mengeluarkan
opini nasihat yang tidak mengikat, tetapi bersifat otoritatif, untuk
menjelaskan pasal-pasal tertentu yang dapat membantu negara anggota memahami
dan mematuhi kewajiban HAM mereka.[132]
Organisasi Negara-Negara Amerika juga telah menetapkan
dua protokol tambahan untuk Konvensi HAM Amerika. Protokol yang pertama adalah Protokol San Salvador yang ditetapkan pada
tahun 1988,[128]
mulai berlaku pada tahun 1999, dan berisi tentang hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Protokol yang kedua adalah protokol mengenai penghapusan hukuman
mati yang mulai berlaku pada tahun 1991. Selain itu, perjanjian-perjanjian
HAM regional lainnya juga telah ditetapkan di bawah naungan Organisasi
Negara-Negara Amerika. Contohnya adalah Konvensi Antar-Amerika untuk Mencegah
dan Menghukum Penyiksaan pada tahun 1987, Konvensi Bélem do Pará atau "Konvensi
Antar-Amerika mengenai Pencegahan, Penghukuman, dan Penghapusan Kekerasan
terhadap Wanita" yang mulai berlaku pada tahun 1995, Konvensi
Antar-Amerika tentang Penghilangan Paksa yang mulai berlaku pada tahun 1996,[133]
serta Konvensi Antar-Amerika tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Orang dengan Disabilitas yang mulai berlaku pada tahun 2001.[134]
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh sistem
HAM Antar-Amerika adalah kurangnya pendanaan.[135]
Selain itu, tidak semua negara anggota OAS telah meratifikasi Konvensi HAM Antar-Amerika,
dan kalaupun sudah juga tidak semuanya menerima yurisdiksi pengadilan.[136]
Negara-negara anggota OAS juga dianggap tidak memiliki iktikad politik untuk
melancarkan reformasi yang dapat menyelesaikan masalah-masalah ini.[137]
Afrika[sunting | sunting sumber]
Pada mulanya, hak asasi manusia tidak termasuk ke dalam
tujuan Organisasi Kesatuan Afrika.[137]
Meskipun begitu, pada tahun 2002, Uni Afrika
menggantikan Organisasi Kesatuan Afrika, dan organisasi ini mengakui hak asasi
manusia sebagai salah satu tujuan utamanya.[138]
Pada tahun 1981, negara-negara anggota Organisasi
Kesatuan Afrika menetapkan Piagam Afrika
tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk. Piagam ini cukup berbeda bila
dibandingkan dengan piagam-piagam HAM internasional lainnya karena piagam ini
mengakui "hak penduduk". Secara substansif, piagam ini juga mencantumkan
hak sipil dan politik, hak sosial, ekonomi, dan budaya, serta "hak
solidaritas" (seperti hak atas pembangunan, perdamaian, dan lingkungan).[138]
Selain itu, dalam piagam ini terkandung "kewajiban" bagi individu
terhadap komunitasnya, seperti kewajiban untuk keluarga dan negara.[139]
Piagam ini awalnya hanya menetapkan Komisi Hak Asasi
Manusia dan Hak Penduduk Afrika sebagai lembaga pengawas, dan lembaga ini
pertama kali berkumpul pada tahun 1987.[138]
Namun, pada tahun 1998, Protokol tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika ditetapkan di kota Addis
Ababa, Etiopia,
dan protokol ini mulai berlaku pada Januari 2004.[140]
Para hakim pertamanya dipilih pada tahun 2006.[138]
Pengadilan ini terdiri dari 11 hakim yang dinominasikan oleh negara anggota
yang telah meratifikasi protokol, dan kemudian mereka dipilih oleh Majelis Uni
Afrika.[140]
Biasanya Komisi HAM Afrika akan membawa perkara ke pengadilan ini jika
rekomendasi mereka tidak diikuti. Individu atau perwakilan individu juga dapat
membawa perkara ke pengadilan ini, tetapi hanya mereka yang berasal dari negara
yang telah meratifikasi protokol. Apabila pengadilan mendapati telah terjadi
pelanggaran, maka pengadilan dapat mengeluarkan perintah yang memberikan
pemulihan. Kemudian Dewan Eksekutif Uni Afrika akan mengawasi pelaksanaan
putusan pengadilan. Sementara itu, pengadilan ini juga dapat memberikan opini
nasihat jika diminta oleh Uni Afrika atau organisasi Afrika yang diakui oleh
uni tersebut.[141]
Pada Juli 2008, Majelis Uni Afrika telah mengeluarkan
Protokol tentang Statuta Mahkamah Kehakiman dan Hak
Asasi Afrika. Mahkamah ini rencananya akan menggantikan Pengadilan HAM
Afrika setelah protokolnya mulai berlaku. Mahkamah yang baru ini akan terdiri
dari dua bagian, yaitu bagian urusan umum dan bagian hak asasi manusia.[140]
Protokol ini baru akan berlaku setelah diratifikasi oleh 15 negara anggota, dan
pada tahun 2018, hanya ada 6 negara anggota Uni Afrika yang telah meratifikasi
protokol ini.[142]
Implementasi di tingkat nasional[sunting | sunting sumber]
Standar hak asasi manusia yang ditetapkan di tingkat
internasional pada akhirnya perlu diimplementasikan melalui sistem hukum di
tingkat nasional.[143]
Suatu negara dapat menerima perjanjian HAM internasional dengan cara
ratifikasi, aksesi, atau suksesi. Ratifikasi merupakan tindakan yang secara
resmi menyatakan persetujuan untuk terikat dengan suatu perjanjian
internasional. Ratifikasi biasanya didahului oleh penandatanganan perjanjian
oleh perwakilan negara, dan ratifikasi hanya dapat dilaksanakan setelah
memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam hukum
tata negara.[144]
Sebagai contoh, Konstitusi Amerika Serikat mengatur
bahwa suatu perjanjian baru dapat diratifikasi oleh Presiden setelah disetujui oleh dua
pertiga suara di Senat.[145]
Sementara itu, aksesi adalah pernyataan kesediaan suatu negara untuk terikat
kepada suatu perjanjian setelah perjanjian tersebut sudah mulai berlaku.
Suksesi sendiri adalah pewarisan perjanjian setelah dibubarkannya suatu negara,
contohnya adalah Rusia
yang mewarisi kewajiban ICCPR dari Uni Soviet.[144]
Ketika suatu negara sedang meratifikasi atau melakukan aksesi terhadap suatu
perjanjian, mereka dapat mengeluarkan "reservasi" yang
mengesampingkan atau mengubah hak atau kewajiban yang dibebankan oleh suatu
perjanjian terhadap negara tersebut. Pasal 19 Konvensi Wina tidak mengizinkan
reservasi yang dilarang oleh suatu perjanjian atau reservasi yang bertentangan
dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut. Sebagai contoh, Amerika
Serikat ketika meratifikasi ICCPR mengeluarkan reservasi yang mengesampingkan
penerapan Pasal 6(5) yang melarang pengganjaran hukuman mati terhadap seseorang
yang dijatuhi hukuman tersebut sebelum mereka mencapai usia 18 tahun. Reservasi
ini ditolak oleh negara-negara Eropa lainnya karena dianggap bertentangan
dengan maksud dan tujuan dari ICCPR. Negara juga dapat mengeluarkan
"deklarasi penafsiran" ketika meratifikasi suatu perjanjian, dan kadang-kadang
muncul pertanyaan mengenai apakah "deklarasi" yang dikeluarkan oleh
suatu negara hanya sekadar "deklarasi" atau merupakan sebuah
"reservasi". Misalnya, Mesir mengeluarkan deklarasi bahwa mereka
"menerima, mendukung, dan meratifikasi" ICCPR setelah
mempertimbangkan isi dari hukum syariah dan "fakta bahwa hukum tersebut tidak
bertentangan dengan ICCPR".[146]
Banyak anggota Komite Hak Asasi Manusia PBB yang merasa bahwa hukum Mesir
terlalu timpang dengan isi dari ICCPR, dan mereka menyarankan agar deklarasinya
diklarifikasi atau dicabut.[147]
Terkait dengan dampak dari reservasi itu sendiri, Pasal 21 Konvensi Wina
mengatur bahwa reservasi yang ditolak oleh suatu negara dapat dianggap tidak
berlaku antara negara yang mengeluarkan reservasi dengan negara yang menolak
reservasi tersebut.[148]
Akan tetapi, pada tahun 1994, Komite Hak Asasi Manusia menyatakan dalam
Komentar Umum No. 24 bahwa mereka dapat menentukan apakah suatu reservasi itu
sah atau tidak, dan mereka akan memutus reservasi yang dianggap tidak sesuai.
Komite HAM PBB sendiri tidak memberikan justifikasi yang kuat, dan pernyataan
ini telah dikritik oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Britania Raya,
dan Prancis.[149]
Dari sudut pandang normatif, ada yang berpendapat bahwa reservasi perlu
diizinkan agar semakin banyak negara yang mau terikat dengan perjanjian HAM.
Namun, reservasi terhadap perjanjian HAM telah dikritik karena dianggap
mengancam keutuhan dari perjanjian tersebut, sehingga kemampuan untuk
membatalkan reservasi dirasa perlu untuk semakin memperkuat perlindungan HAM di
tingkat internasional.[150]
Setiap negara memiliki aturannya sendiri sehubungan
dengan tata cara untuk memasukkan perjanjian HAM internasional ke dalam hukum
nasional. Secara umum, terdapat dua macam cara, yaitu "penerimaan
langsung" dan "penerimaan khusus" atau "individual".
Penerimaan langsung berarti bahwa pasal-pasal dalam perjanjian yang telah
diratifikasi dapat langsung digunakan di pengadilan nasional. Contoh
negara-negara yang menggunakan pendekatan ini adalah Amerika Serikat dan Jepang.
Sementara itu, Britania Raya dan negara-negara yang pernah menjadi jajahannya
memiliki sistem penerimaan khusus, yang berarti bahwa isi dari suatu perjanjian
HAM harus dituangkan ke dalam undang-undang nasional terlebih dahulu sebelum
dapat dipakai di pengadilan nasional. Sebagai ilustrasi, Britania Raya telah
menetapkan Human Rights Act 1998 pada tahun 2000,
sehingga rakyat Britania dapat membawa perkara mengenai pelanggaran Konvensi
HAM Eropa ke pengadilan nasional.[151]
Terkait dengan posisi perjanjian HAM internasional dalam hierarki hukum
nasional, setiap negara juga memiliki sistemnya sendiri. Negara seperti Belanda
memberikan kedudukan tertinggi kepada perjanjian internasional, dan perjanjian
yang bertentangan dengan undang-undang dasar tetap dianggap sah jika perjanjian
tersebut disetujui oleh dua per tiga suara di Eerste
Kamer dan Tweede Kamer[152]
Di sisi lain, terdapat negara seperti Prancis yang Jepang yang menyatakan bahwa
perjanjian internasional kedudukannya lebih rendah daripada undang-undang
dasar, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan hukum biasa. Sementara
itu, di Amerika Serikat, perjanjian internasional memiliki kedudukan yang sama
dengan hukum federal, sehingga hukum federal yang ditetapkan sesudahnya dapat
mengesampingkan perjanjian yang telah diratifikasi sesuai dengan asas lex posterior derogat legi priori
("hukum terbaru mengesampingkan hukum yang lama").[153]
Pembatasan dan pengurangan[sunting | sunting sumber]
"Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan
bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara
pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi
kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat
diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut
tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum
internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal usul sosial."
Pasal 4(1) ICCPR mengenai pengurangan (derogation) hak
asasi manusia dalam keadaan darurat.[59]
Dari sudut pandang hukum hak asasi manusia internasional,
tidak semua hak bersifat absolut dan berbagai hak dapat dibatasi penerapannya.
Terdapat dua cara yang dapat digunakan oleh negara untuk membatasi suatu hak,
yaitu dengan memenuhi syarat-syarat yang dicantumkan dalam suatu pasal (disebut
pembatasan atau limitation) atau dengan menangguhkan kewajiban hak asasi
manusia tertentu di tengah keadaan darurat (disebut pengurangan atau derogation).
Walaupun begitu, seperti yang telah dijabarkan dalam uraian mengenai jus
cogens di atas, terdapat sejumlah hak yang tidak dapat dikesampingkan dalam
keadaan apapun, seperti hak untuk tidak disiksa.[154]
Terkait dengan limitation, praktik penerapan hak
asasi manusia sering kali menimbulkan ketegangan antara hak individu dengan
kepentingan bersama. Contohnya adalah orang yang dijebloskan ke penjara setelah
melalui proses hukum yang adil; orang tersebut tidak akan bisa menggunakan hak
untuk tidak ditahan secara sembarangan untuk keluar dari penjara. Dalam
konvensi-konvensi internasional (seperti ICCPR dan Konvensi HAM Eropa), hak-hak
yang dapat dibatasi biasanya memiliki persyaratan tiga rangkap yang perlu
dipenuhi sebelum negara dapat membatasi hak tersebut, yaitu:[155]
- Pembatasan
harus ditentukan oleh hukum (prescribed by law)
- Pembatasan
diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang dianggap sah (legitimate
aim)
- Pembatasan
dianggap diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis (necessary in a
democratic society)
Sebagai contoh, Pasal 21 ICCPR menyatakan bahwa "hak
untuk berkumpul secara damai harus diakui", tetapi pasal tersebut masih
mengizinkan pembatasan "yang ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang
diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan
nasional dan keselamatan publik, atau ketertiban umum, perlindungan terhadap
kesehatan atau moral umum, atau perlindungan atas hak-hak dan
kebebasan-kebebasan orang lain."[59]
Secara garis besar, persyaratan mengenai ketentuan
berdasarkan hukum menyatakan bahwa pembatasan harus ditetapkan dalam undang-undang
yang disetujui oleh badan legislatif dan bukan eksekutif. Negara juga perlu
memastikan bahwa undang-undang tersebut dapat diakses oleh rakyat, dan
pembatasannya juga harus dirincikan secara jelas. Oleh sebab itu, pemberian
kuasa yang tidak terbatas kepada badan eksekutif untuk membatasi hak asasi
manusia dianggap tidak memenuhi syarat ini.[156]
Sementara itu, "tujuan-tujuan yang dianggap sah" biasanya dijabarkan
dalam masing-masing pasal yang mengizinkan pembatasan, seperti yang telah
ditunjukkan dalam Pasal 21 ICCPR di atas. Dalam yurisdiksi Pengadilan HAM
Eropa, tujuan yang dianggap sah harus berupa "kebutuhan sosial yang
mendesak", sehingga pembatasan tidak boleh menjadi sekadar pilihan
kebijakan. Sementara itu, syarat "diperlukan dalam suatu masyarakat
demokratis" berarti bahwa negara juga harus membuktikan bahwa pembatasan
yang mereka terapkan itu memang diperlukan untuk memenuhi tujuan-tujuan sah
yang ingin dicapai. Selain itu, pembatasan ini juga harus memenuhi asas proporsionalitas, sehingga negara tidak
boleh mengambil tindakan yang berlebihan dan hanya boleh membatasi sejauh mana
pembatasan tersebut memang diperlukan.[157]
Sebagai ilustrasi, dalam perkara Toonen v. Australia, pemerintah negara
bagian Tasmania
mencoba menjustifikasi hukum yang melarang sodomi dengan mengklaim bahwa
kriminalisasi diperlukan demi kesehatan umum untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS.
Namun, pemerintah federal Australia menegaskan bahwa kriminalisasi seks sesama
jenis malah menghalangi program kesehatan umum dengan mendesak kaum homoseksual
untuk bersembunyi, sehingga tindakan yang diambil pemerintah Tasmania justru
bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, Komite HAM PBB juga
menambahkan bahwa tidak ada keterkaitan antara kriminalisasi seks sesama jenis
dengan pengendalian penyebaran virus HIV. Maka dari itu, Komite HAM PBB
menyatakan bahwa "perlindungan kesehatan umum" tidak dapat dianggap
sebagai tujuan sah yang dapat membenarkan kriminalisasi seks sesama jenis.[158]
Sementara itu, aturan mengenai pengurangan (derogation)
hanya berlaku untuk keadaan darurat. Setiap konvensi memiliki aturan dan
yurisprudensinya sendiri mengenai derogation. Piagam HAM Afrika bahkan
sama sekali tidak memuat pasal mengenai derogation, sampai-sampai Komisi
HAM Afrika dalam perkara Commission Nationale des Droits de l'Homme et des
Libertés v. Chad menegaskan bahwa perang saudara di Chad pun tidak bisa
dijadikan alasan untuk mengurangi hak-hak yang terkandung dalam piagam
tersebut.[159]
Secara garis besar, negara dapat memutuskan untuk menangguhkan penerapan
sejumlah hak asasi asalkan keadaan daruratnya diumumkan terlebih dahulu dan
keberadaan keadaan darurat tersebut harus dilaporkan kepada instansi yang telah
ditetapkan oleh suatu konvensi. "Keadaan darurat" adalah syarat yang
sangat sulit untuk dipenuhi, karena keadaannya harus mengancam "kehidupan
bangsa". Akibatnya, tidak semua gangguan keamanan atau bencana dapat
langsung dianggap sebagai "keadaan darurat", dan bahkan perang tidak
bisa semerta-merta dianggap memenuhi syarat ini. Selain itu, pengurangan yang
dapat diberlakukan hanyalah pengurangan yang memang dibutuhkan untuk
mengembalikan keadaan seperti semula, sehingga pengurangan harus memenuhi asas
keperluan (necessity) dan proporsionalitas.[160]
Pengurangan ini harus bersifat sementara, dan begitu ancamannya sudah hilang,
pengurangan ini harus dicabut.[161]
Hukum kemanusiaan internasional[sunting | sunting sumber]
Kewajiban hak asasi manusia tetap berlaku dalam keadaan
perang, tetapi di tengah berkecamuknya konflik, korban jiwa akan berguguran.
Jalannya perang sendiri diatur oleh hukum kemanusiaan internasional.
Bidang hukum ini mencoba memasukkan unsur-unsur kemanusiaan ke dalam perang
dengan menetapkan berbagai aturan yang membatasi tata cara dan metode tempur.[162]
Pada dasarnya terdapat dua asas utama dalam hukum kemanusiaan internasional.
Asas pembedaan (distinction) menyatakan bahwa kombatan (orang yang
terlibat dalam pertempuran) harus dibedakan dari warga sipil dan sasaran
militer juga harus dibedakan dari sasaran sipil.[163]
Sementara itu, asas penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering)
melarang penggunaan senjata dan metode perang yang dapat mengakibatkan
penderitaan atau luka-luka yang melebihi dari apa yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan militer.[164]
Beberapa contoh aturan dalam hukum humaniter internasional adalah perlindungan
terhadap warga sipil yang tidak terlibat perang, larangan melakukan serangan
yang membabi buta, larangan menggunakan senjata-senjata kimia atau biologi,
serta larangan untuk memerintahkan agar tidak ada satu pun tawanan yang boleh
diampuni.[164]
Terkait dengan hubungan antara hukum hak asasi manusia internasional dengan
hukum humaniter internasional pada masa perang, Mahkamah Internasional dalam opini nasihat Legality of the Threat
of Use of Nuclear Weapons telah mengamati bahwa terdapat tiga situasi
yang dapat timbul:[165]
- Beberapa
hak mungkin hanya masuk ke dalam cakupan hukum kemanusiaan internasional,
contohnya yang menyangkut dengan wilayah pendudukan. Hukum kemanusiaan
internasional memiliki banyak aturan yang berdampak terhadap hak warga di
wilayah pendudukan. Sebagai contoh, negara yang melakukan pendudukan dapat
memanfaatkan bangunan atau lahan di wilayah pendudukan untuk kepentingan
militer, tetapi mereka tidak boleh merusaknya.[166]
- Beberapa
hak yang lainnya mungkin hanya masuk ke dalam cakupan hukum hak asasi
manusia. Misalnya, hak untuk tidak dipenjara atas dasar ketidakmampuan
untuk memenuhi kewajiban kontrak tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan
perang dan masih tetap berlaku.[166]
- Hak-hak
yang lain dapat masuk ke dalam cakupan dari keduanya. Sebagai contoh, hak
untuk tidak disiksa sama-sama dilindungi oleh hukum kemanusiaan
internasional dan hukum hak asasi manusia.[167]
Namun, dapat pula terjadi ketidakselarasan antara hukum
kemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia. Contoh yang paling mudah
adalah hak untuk hidup; ICCPR secara jelas melarang pencabutan nyawa orang lain
secara sembarangan, tetapi dalam keadaan perang, kombatan dapat membunuh
kombatan yang lainnya. Dalam keadaan seperti ini, berlaku asas lex specialis derogat legi generali
(hukum yang bersifat khusus mengesampingkan yang umum), dan sehubungan dengan
asas tersebut, Mahkamah Internasional telah menyatakan bahwa hukum kemanusiaan
internasional adalah hukum yang menjadi lex specialis dalam keadaan
perang.[168]
Kritik relativisme[sunting | sunting sumber]
"Konsep hak asasi manusia merupakan produk sejarah.
Hak asasi manusia sangat erat kaitannya dengan keadaan sosial, politik, dan
ekonomi, dan juga sejarah, budaya, dan nilai-nilai tertentu dari suatu negara.
Maka dari itu, kita tidak sepatutnya dan juga tidak dapat menjadikan standar
hak asasi manusia dan model dari negara tertentu sebagai satu-satunya yang
tepat dan menuntut agar negara-negara lain juga mengikutinya."
— Kepala Delegasi Tiongkok, Liu Huaqiu,
pada tanggal 17 Juni 1993 selama Konferensi Internasional Hak
Asasi Manusia di Wina,
Austria.[169]
"Dari segi budaya dan sejarah, masyarakat Barat
berbeda dengan masyarakat non-Barat. Namun argumen itu sendiri memperlihatkan
kenyataan bahwa latar belakang budaya dan sejarah negara-negara non-Barat
berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, konsep partikularistik tersebut tak
dapat digeneralisasi sebagai konsep yang berbeda secara linear hanya dengan
masyarakat Barat. Kenyataan bahwa sebuah masyarakat pada dasarnya adalah
individualistik dan bahkan kapitalistik, tidak otomatis berarti bahwa dengan
menerima konsep universalitas hak asasi manusia, maka semua manusia dibatasi
untuk menganut konsep tersebut. Hak asasi manusia merupakan rumusan berbagai hak
dasar yang inheren dalam diri setiap manusia. Perbedaan latar belakang budaya
dan sejarah antara masing-masing bangsa tidak berarti terdapat perbedaan dalam
hak asasi itu sendiri."
— Pakar hukum Indonesia Adnan Buyung Nasution dalam menanggapi
argumen partikularistik.[170]
Sifat "universal" hak asasi manusia telah
menghadapi gempuran dari sejumlah pandangan yang disebut "relativisme budaya",[171]
walaupun penggunaan istilah "relativisme budaya" telah dikritik
karena istilah tersebut merupakan nama sebuah mazhab dalam bidang antropologi
di Barat, sehingga menimbulkan asumsi bahwa klaim-klaim hak asasi manusia dari
sudut pandang non-Barat memiliki argumen yang sama dengan mazhab antropologi
tersebut. Aliran relativisme sangat berpengaruh di kawasan Asia Timur, Afrika,
dan dunia
Islam. Pada dasarnya, tokoh-tokoh yang berpandangan partikularis menegaskan
bahwa hak asasi manusia merupakan ciptaan Barat, sehingga konsep ini dirasa
tidak cocok untuk diberlakukan di kawasan lainnya. Selain itu, mereka juga
mengkritik sistem hak asasi manusia internasional yang dianggap terlalu didominasi
oleh negara-negara Barat dan konsep-konsep yang berasal dari kawasan tersebut.[172]
Di Asia, salah satu kritik relativisme yang paling
terkenal berasal dari tulisan-tulisan para tokoh yang tergolong ke dalam
"mazhab Singapura". Pemikiran-pemikiran mazhab ini dirintis oleh Perdana Menteri Singapura Lee Kuan
Yew dan kemudian dikembangkan oleh beberapa pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Singapura,
seperti Tommy
Koh, Bilahari Kausikan, dan Kishore
Mahbubani.[173]
Mazhab ini sama sekali tidak menolak keberadaan hak asasi manusia sebagai hak
"universal", tetapi mereka mengkritik kekentalan pengaruh Barat dalam
sistemnya, dan mereka juga berkeyakinan bahwa konsep "hak asasi manusia
universal" merupakan ciptaan Barat. Mereka menegaskan bahwa "hak
asasi manusia" dan "demokrasi" merupakan nilai-nilai yang
dibentuk oleh sejarah dan pengalaman suatu bangsa, sehingga bagi mereka,
standar Barat dari akhir abad ke-20 tidak dapat dianggap sebagai standar
universal.[174]
Selain itu, salah satu ciri khas dari mazhab Singapura adalah klaim yang
berkaitan dengan "nilai-nilai Asia". Menurut mereka, masyarakat Asia
lebih mengutamakan komunitas daripada individu.[175]
Dalam kata lain, orang-orang Asia dianggap lebih mengutamakan kewajiban kepada
keluarga, tetangga, atau bangsa.[176]
Dengan menggunakan dalil-dalil ini, para penulis dari mazhab Singapura
menyatakan bahwa hak yang universal hanyalah hak-hak inti, contohnya adalah
hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam ICCPR, sementara Koh semakin
mempersempit cakupan hak-hak inti ini menjadi pelarangan penyiksaan,
perbudakan, pembunuhan, dan genosida. Mereka tidak menolak keberadaan hak yang
lain, tetapi dari sudut pandang mereka, perbedaan dalam upaya untuk menafsirkan
hak-hak tersebut tidak dapat dihindari.[177]
Di tingkat internasional, Deklarasi Bangkok 1993 dinilai sebagai
ancaman terhadap universalisme. Walaupun negara-negara Asia yang mengeluarkan
deklarasi tersebut mengakui bahwa hak asasi manusia bersifat universal, menurut
mereka penafsirannya harus mempertimbangkan "kekhususan" nasional dan
regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya, dan agama.[178]
Kalimat semacam ini kemudian juga dapat ditemui dalam Deklarasi Hak Asasi
Manusia Perbara 2012.[179]
Deklarasi Kairo
tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam yang ditetapkan pada tahun 1990 oleh Organisasi Konferensi Islam juga
dianggap sebagai salah satu bentuk relativisme.[180]
Di dalamnya tercantum konsep-konsep Islami yang tidak dapat ditemui dalam
instrumen-instrumen HAM internasional, seperti Pasal 1(b) tentang amal saleh
dan ketakwaan sebagai hal yang dapat membuat seseorang lebih unggul daripada
yang lain, Pasal 4 tentang perlindungan jasad dan pemakaman, atau Pasal 22(b)
tentang hak untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Deklarasi ini
juga sangat sering mengacu kepada hukum syariah, dan Pasal 1(a) memiliki
kekhususan tersendiri karena mengumandangkan bahwa semua manusia disatukan oleh
ketundukan kepada Allah dan merupakan keturunan Adam. Selain itu,
beberapa hak yang diakui di tingkat internasional dan regional sama sekali
tidak disebutkan dalam deklarasi ini, seperti kebebasan beragama, kebebasan
berkumpul dan berserikat, serta pernyataan kesetujuan dari kedua mempelai
sebagai syarat perkawinan.[181]
Pendekatan relativisme yang dilandaskan pada perbedaan
budaya sendiri telah dikritik karena mengasumsikan bahwa budaya itu bersifat
statis dan tidak pernah berubah. Selain itu, pandangan ini seolah memberikan
ruang bagi praktik-praktik budaya yang tidak bisa diterima secara etika.[182]
Walaupun begitu, pakar hak asasi manusia asal Belgia, Marie-Bénédicte Dembour,
berpendapat bahwa perdebatan antara universalisme dan relativisme akan selalu
muncul setiap kali ada upaya untuk menetapkan suatu standar bersama.[183]
Dalam yurisdiksi pengadilan HAM Eropa sendiri terdapat sebuah doktrin hukum
yang dianggap dapat merukunkan kedua pandangan ini, yaitu doktrin margin
apresiasi. Dengan diterapkannya doktrin ini, standar yang sama dapat memiliki
penerapan yang berbeda-beda di setiap negara anggota Majelis Eropa. Contohnya
adalah dalam kasus penistaan agama. Pengadilan HAM Eropa memberikan
margin apresiasi yang luas kepada negara-negara anggota untuk menentukan
cakupan pembatasan terhadap pendapat yang dapat menyinggung agama dalam perkara
Wingrove v. the United Kingdom, karena menurut mereka tidak ada satu
standar yang seragam di Eropa terkait dengan "perlindungan hak-hak orang
lain" sebagai salah satu alasan yang dapat digunakan untuk membatasi hak
atas kebebasan berpendapat. Akibatnya, walaupun negara-negara anggota Majelis
Eropa secara hukum melindungi kebebasan berpendapat, penerapannya dalam kasus
penistaan agama berbeda-beda di setiap negara;[184]
berbagai negara di Eropa (seperti Belanda dan Britania
Raya) memperbolehkan pendapat yang secara terang-terangan menghina suatu
agama, sementara beberapa negara yang lain diizinkan membatasi pendapat semacam
itu dengan menggunakan hukum pidana (contohnya adalah Austria dan Yunani).[185]
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Catatan kaki[sunting | sunting sumber]
- ^ a
b
c
Bates
2010, hlm. 19.
- ^ a
b
c
d
Bates
2010, hlm. 18.
- ^ Hoffmann
2011, hlm. 4.
- ^ a
b
c
d
Brems
2001, hlm. 17.
- ^ Donnelly
2007, hlm. 284.
- ^ Brems
2001, hlm. 7.
- ^ Donnelly
2007, hlm. 284-285.
- ^ a
b
c
Bates
2010, hlm. 20.
- ^ Tomuschat
2008, hlm. 12.
- ^ a
b
PUHAM
1948.
- ^ Bates
2010, hlm. 21-22.
- ^ Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat 1776.
- ^ Bates
2010, hlm. 22.
- ^ a
b
Tomuschat
2008, hlm. 14.
- ^ a
b
Brems
2001, hlm. 18.
- ^ Brems
2001, hlm. 19.
- ^ Bates
2010, hlm. 25.
- ^ a
b
Hoffmann
2011, hlm. 7.
- ^ Bates
2010, hlm. 24.
- ^ a
b
c
Hoffmann
2011, hlm. 8.
- ^ Hoffmann
2011, hlm. 9.
- ^ Hoffmann
2011, hlm. 11.
- ^ Hoffmann
2011, hlm. 10-11.
- ^ Beitz
2009, hlm. 15.
- ^ Bates
2010, hlm. 29-31.
- ^ Beitz
2009, hlm. 15-16.
- ^ a
b
c
d
Bates
2010, hlm. 35.
- ^ a
b
c
Bates
2010, hlm. 33.
- ^ a
b
Piagam
PBB 1945.
- ^ a
b
Bates
2010, hlm. 34.
- ^ a
b
Bates
2010, hlm. 36.
- ^ Tomuschat
2008, hlm. 24.
- ^ Bates
2010, hlm. 37.
- ^ Heyns
& Killander 2013, hlm. 670.
- ^ Kar
2013, hlm. 109.
- ^ Kar
2013, hlm. 110.
- ^ Kar
2013, hlm. 110-111.
- ^ Kar
2013, hlm. 111.
- ^ a
b
Dembour
2010a, hlm. 2.
- ^ Beitz
2009, hlm. 49.
- ^ a
b
c
Dembour
2010a, hlm. 3.
- ^ Dembour
2010a, hlm. 4.
- ^ Dembour
2010a, hlm. 11.
- ^ Dembour
2010a, hlm. 20.
- ^ Donnelly
2007, hlm. 282.
- ^ Brems
2001, hlm. 4.
- ^ Donnelly
2007, hlm. 283.
- ^ a
b
Nickel
& Reidy 2010, hlm. 41.
- ^ Shelton
& Gould 2013, hlm. 562.
- ^ Nickel
& Reidy 2010, hlm. 42.
- ^ a
b
Kälin
& Künzli 2009, hlm. 31.
- ^ Joseph
2010, hlm. 155-156.
- ^ a
b
Kälin
& Künzli 2009, hlm. 32.
- ^ van
Boven 2010, hlm. 178.
- ^ Kälin
& Künzli 2009, hlm. 20.
- ^ van
Boven 2010, hlm. 178-179.
- ^ Deklarasi
dan Program Aksi Wina 1993.
- ^ a
b
Moeckli
2010, hlm. 189.
- ^ a
b
c
d
e
ICCPR
1966.
- ^ a
b
c
d
e
f
van
Boven 2010, hlm. 174.
- ^ van
Boven 2010, hlm. 173.
- ^ a
b
De
Schutter 2010, hlm. 253.
- ^ a
b
c
OHCHR
2008, hlm. 9.
- ^ a
b
c
van
Boven 2010, hlm. 175.
- ^ ICESCR
1966.
- ^ OHCHR
2008, hlm. 8.
- ^ Langford
2008, hlm. 3.
- ^ Tobin
2012, hlm. 206.
- ^ Claude
& Weston 2006, hlm. 8.
- ^ Kälin
& Künzli 2009, hlm. 32-33.
- ^ a
b
van
Boven 2010, hlm. 176.
- ^ van
Boven 2010, hlm. 177.
- ^ a
b
van
Boven 2010, hlm. 181.
- ^ Scheinin
2013, hlm. 528.
- ^ a
b
van
Boven 2010, hlm. 182.
- ^ Scheinin
2013, hlm. 530.
- ^ a
b
c
Shelton
& Gould 2013, hlm. 566.
- ^ De
Schutter 2010, hlm. 242.
- ^ De
Schutter 2010, hlm. 243.
- ^ Shelton
& Gould 2013, hlm. 567.
- ^ De
Schutter 2010, hlm. 254.
- ^ Toebes
2008, hlm. 448-450.
- ^ de
Wet 2013, hlm. 541.
- ^ Chinkin
2010, hlm. 113-114.
- ^ Kahgan
1997, hlm. 775-776.
- ^ a
b
de
Wet 2013, hlm. 543.
- ^ de
Wet 2013, hlm. 544.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 404-405.
- ^ a
b
Schmidt
2010, hlm. 392.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 418-422.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 393.
- ^ a
b
Schmidt
2010, hlm. 394.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 395.
- ^ a
b
Schmidt
2010, hlm. 397.
- ^ a
b
Schmidt
2010, hlm. 398.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 399.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 400.
- ^ a
b
Schmidt
2010, hlm. 401.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 404.
- ^ De
Schutter 2010, hlm. 791.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 405.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 406-407.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 407.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 408.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 409.
- ^ OHCHR.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 410.
- ^ a
b
Schmidt
2010, hlm. 412.
- ^ Schmidt
2010, hlm. 413.
- ^ a
b
Heyns
& Killander 2013, hlm. 672.
- ^ Heyns
& Killander 2013, hlm. 675-682.
- ^ De
Schutter 2010, hlm. 898.
- ^ Heyns
& Killander 2013, hlm. 673.
- ^ Heyns
& Killander 2013, hlm. 674.
- ^ Davies
2013, hlm. 51.
- ^ Heyns
& Killander 2013, hlm. 675.
- ^ a
b
Heyns
& Killander 2013, hlm. 676.
- ^ Greer
2010, hlm. 464-466.
- ^ Greer
2010, hlm. 466-468.
- ^ Heyns
& Killander 2013, hlm. 683.
- ^ Greer
2010, hlm. 471.
- ^ Mégret
2010, hlm. 133.
- ^ Helfer
2008, hlm. 136.
- ^ Helfer
2008, hlm. 125.
- ^ Heyns
& Killander 2013, hlm. 685.
- ^ Greer
2008, hlm. 680-702.
- ^ Heyns
& Killander 2013, hlm. 677.
- ^ a
b
Heyns
& Killander 2013, hlm. 678.
- ^ Pasqualucci
2010, hlm. 442.
- ^ Pasqualucci
2010, hlm. 443.
- ^ Pasqualucci
2010, hlm. 444.
- ^ Pasqualucci
2010, hlm. 448.
- ^ Pasqualucci
2010, hlm. 435.
- ^ Pasqualucci
2010, hlm. 435-436.
- ^ Pasqualucci
2010, hlm. 450.
- ^ Pasqualucci
2010, hlm. 450-451.
- ^ a
b
Heyns
& Killander 2013, hlm. 679.
- ^ a
b
c
d
Heyns
& Killander 2013, hlm. 681.
- ^ Heyns
& Killander 2010, hlm. 485.
- ^ a
b
c
Heyns
& Killander 2010, hlm. 492.
- ^ Heyns
& Killander 2010, hlm. 493.
- ^ Uni
Afrika.
- ^ Ando
2013, hlm. 698.
- ^ a
b
Ando
2013, hlm. 699.
- ^ Ando
2013, hlm. 699-700.
- ^ Ando
2013, hlm. 700.
- ^ Ando
2013, hlm. 700-701.
- ^ VCLT
1969.
- ^ Moloney
2004, hlm. 165.
- ^ Moloney
2004, hlm. 155-156, 160.
- ^ Ando
2013, hlm. 702.
- ^ Ando
2013, hlm. 703.
- ^ Ando
2013, hlm. 704.
- ^ Mégret
2010, hlm. 140.
- ^ Mégret
2010, hlm. 141.
- ^ Mégret
2010, hlm. 141-142.
- ^ Mégret
2010, hlm. 142.
- ^ Joseph
& Castan 2013, hlm. 556-557.
- ^ Nugraha
2018, hlm. 201.
- ^ Mégret
2010, hlm. 143.
- ^ Mégret
2010, hlm. 144.
- ^ Sivakumaran
2010, hlm. 521.
- ^ Sivakumaran
2010, hlm. 522.
- ^ a
b
Sivakumaran
2010, hlm. 523.
- ^ Sivakumaran
2010, hlm. 531.
- ^ a
b
Sivakumaran
2010, hlm. 532.
- ^ Sivakumaran
2010, hlm. 534.
- ^ Sivakumaran
2010, hlm. 533.
- ^ Brems
2001, hlm. 62.
- ^ El
Muhtaj 2017, hlm. 5-6.
- ^ Brems
2001, hlm. 22.
- ^ Brems
2001, hlm. 27.
- ^ Brems
2001, hlm. 36.
- ^ Brems
2001, hlm. 36-37.
- ^ Brems
2001, hlm. 41.
- ^ Brems
2001, hlm. 42.
- ^ Brems
2001, hlm. 43.
- ^ Brems
2001, hlm. 58.
- ^ Wu
2016, hlm. 277.
- ^ Brems
2001, hlm. 259.
- ^ Brems
2001, hlm. 260.
- ^ Dembour
2010b, hlm. 75-76.
- ^ Dembour
2010b, hlm. 77.
- ^ Brems
2008, hlm. 66-67.
- ^ Gatti
2015, hlm. 49-51.
Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]
Buku[sunting | sunting sumber]
- Beitz,
Charles R (2009). The
Idea of Human Rights. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199572458.
- Brems,
Eva (2001). Human
Rights: Universality and Diversity. Den Haag:
Martinus Nijhoff. ISBN 9789041116185.
- De Schutter, Olivier (2010). International
Human Rights Law. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9780511779312.
- El Muhtaj,
Majda (2017) [2005]. Hak
Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan
Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 (edisi ke-2). Jakarta: Kencana. ISBN 9786021186657.
- Joseph,
Sarah; Castan, Melissa (2013). The
International Covenant on Civil and Political Rights: Cases, Materials,
and Commentary. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199641949.
- Kälin,
Walter; Künzli, Jörg (2009). The
Law of International Human Rights Protection. Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780191018688.
- Tobin,
John (2012). The
Right to Health in International Law. Oxford: Oxford University Press.
ISBN 9780199603299.
- Tomuschat, Christian (2008) [2003]. Human
Rights: Between Idealism and Realism (edisi ke-2). Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780199232741.
Bab buku[sunting | sunting sumber]
- Ando,
Nisuke (2013). "National Implementation and Interpretation".
Dalam Shelton, Dinah. The
Oxford Handbook of International Human Rights Law. Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780199640133.
- Bates, Ed
(2010). "History". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta;
Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Brems, Eva
(2008). "Accommodating Diversity in International Human Rights: Legal
Techniques". Dalam Meerts, Pauk. Culture and
International Law. Den Haag: Hague Academic Press. ISBN 9789067042833.
- Chinkin,
Christine (2010). "Sources". Dalam Moeckli, Daniel; Shah,
Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Claude,
Richard Pierre; Weston, Burns H (2006). "Issues". Dalam Claude,
Richard Pierre; Weston, Burns H. Human
Rights in the World Community: Issues and Action (edisi ke-3).
Philadelphia: Pennsylvania University Press. ISBN 9780812219487.
- de Wet,
Erika (2013). "Jus Cogens and Obligations Erga Omnes". Dalam
Shelton, Dinah. The
Oxford Handbook of International Human Rights Law. Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780199640133.
- Dembour,
Marie-Bénédicte (2010). "Critiques". Dalam Moeckli, Daniel;
Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Gatti,
Mauro (2015). "Blasphemy in European Law". Dalam Bosch, MÃriam
DÃez; Torrents, Jordi Sánchez. On
Blasphemy. Barcelona: Blanquerna Observatory.
- Greer,
Steven (2010). "Europe". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta;
Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Hoffmann, Stefan-Ludwig (2011).
"Introduction: Genealogies of Human Rights". Dalam Hoffmann,
Stefan-Ludwig. Human
Rights in the Twentieth Century. Cambridge: Cambridge University
Press. ISBN 9780198767237.
- Joseph,
Sarah (2010). "Sources". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta;
Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Langford,
Malcolm (2008). "The Justiciability of Social Rights: From Practice
to Theory". Dalam Langford, Malcolm. Social
Rights Jurisprudence: Emerging Trends in International and Comparative Law.
Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9780521678056.
- Mégret,
Frédéric (2010). "Nature of Obligations". Dalam Moeckli, Daniel;
Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Moeckli,
Daniel (2010). "Equality and Non-Discrimination". Dalam Moeckli,
Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Nickel,
James W.; Reidy, David A. (2010). "Philosophy". Dalam Moeckli,
Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Schmidt,
Markus (2010). "United Nations". Dalam Moeckli, Daniel; Shah,
Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Heyns,
Christof; Killander, Magnus (2010). "Africa". Dalam Moeckli,
Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Heyns,
Christof; Killander, Magnus (2013). "Universality and the Growth of
Regional Systems". Dalam Shelton, Dinah. The
Oxford Handbook of International Human Rights Law. Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780199640133.
- Kar, Robin
Bradley (2013). "Psychology". Dalam Shelton, Dinah. The
Oxford Handbook of International Human Rights Law. Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780199640133.
- Pasqualucci,
Jo (2010). "The Americas". Dalam Moeckli, Daniel; Shah,
Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Scheinin,
Martin (2013). "Core Rights and Obligations". Dalam Shelton,
Dinah. The
Oxford Handbook of International Human Rights Law. Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780199640133.
- Shelton,
Dinah; Gould, Ariel (2013). "Positive and Negative Obligations".
Dalam Shelton, Dinah. The
Oxford Handbook of International Human Rights Law. Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780199640133.
- Sivakumaran,
Sandesh (2010). "International Humanitarian Law". Dalam Moeckli,
Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Toebes,
Brigit (2008). "Taking a Human Rights Approach to Healthcare
Commercialization". Dalam Cholewka, Patricia A.; Motlagh, Mitra M. Health
Capital and Sustainable Socioeconomic Development. Boca
Raton/London/New York: Taylor & Francis Group. ISBN 9781420046915.
- van
Boven, Theo (2010). "Categories of Rights". Dalam Moeckli,
Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Wu,
Chien-Huei (2016). "Human Rights in ASEAN Context: Between
Universalism and Relativism". Dalam Lo, Chang-fa; Li, Nigel; Lin,
Tsai-yu. Legal
Thoughts between the East and the West in the Multilevel Legal Order: A
Liber Amicorum in Honour of Professor Herbert Han-Pao Ma. Berlin:
Springer. ISBN 9789811019944.
Jurnal[sunting | sunting sumber]
- Davies,
Mathew (2013). "The
ASEAN Synthesis: Human rights, Non-intervention, and the ASEAN Human
Rights Declaration" (PDF). Georgetown Journal of International
Affairs. 14: 51-58.
- Dembour,
Marie-Bénédicte (2010). "What
Are Human Rights? Four Schools of Thought". Human Rights
Quarterly. 32: 1-20.
- Donnelly,
Jack (2007). "The
Relative Universality of Human Rights". Human Rights Quarterly. 29:
281–306.
- Greer,
Steven (2008). "What's
Wrong with the European Convention on Human Rights?". Human
Rights Quarterly. 30: 680-702.
- Helfer,
Laurence R. (2008). "Redesigning
the European Court of Human Rights: Embeddedness as a Deep Structural
Principle of the European Human Rights Regime". European Journal
of International Law. 19: 125–159.
- Kahgan,
Carin (1997). "Jus
Cogens and the Inherent Right to Self-Defense" (PDF). ILSA
Journal of International and Comparative Law. 3: 767-827.
- Moloney,
Roslyn (2004). "Incompatible
Reservations to Human Rights Treaties: Severability and the Problem of
State Consent" (PDF). Melbourne Journal of International Law. 5:
155–168.
- Nugraha,
Ignatius Yordan (2018). "Human
Rights Derogation during Coup Situations". The International
Journal of Human Rights. 22: 194-206.
Dokumen[sunting | sunting sumber]
Deklarasi dan Perjanjian[sunting | sunting sumber]
Sumber daring[sunting | sunting sumber]
Bacaan lanjut[sunting | sunting sumber]
- (Indonesia)
Iskandar, Pranoto (2012) [2010]. Hukum
HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual (edisi ke-2). Cianjur:
IMR Press. ISBN 9786029648041.
- (Inggris) Alston,
Philip; Goodman, Ryan (2012). International
Human Rights. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199578726.
- (Inggris) Fredman,
Sandra (2018). Comparative
Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199689415.
- (Inggris) Nowak,
Manfred (2005). U.N.
Covenant on Civil and Political Rights: CCPR commentary. Kehl: N.P. Engel.
ISBN 3883571342.
- (Inggris) Saul,
Ben; Kinley, David; Mowbray, Jacqueline (2014). The
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights:
Commentary, Cases, and Materials. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199640300.
- (Inggris) Nowak,
Manfred; McArthur, Elizabeth (2008). The
United Nations Convention Against Torture: A Commentary. Oxford: Oxford
University Press. ISBN 9780199280001.
- (Inggris) Rainey,
Bernadette; Wicks, Elizabeth; Ovey, Clare (2017). Jacobs,
White, and Ovey: The European Convention on Human Rights (edisi ke-7).
Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767749.
- (Inggris) Medina
Quiroga, Cecilia (2016). The
American Convention on Human Rights: Crucial Rights and Their Theory and
Practice (edisi ke-2). Cambridge: Intersentia. ISBN 9781780683218.
- (Inggris) Smet,
Stijn (2017). Resolving
Conflicts between Human Rights: The Judge's Dilemma. Abingdon:
Routledge. ISBN 9781317218685.
- (Inggris) Viljoen,
Frans (2012). International
Human Rights Law in Africa (edisi ke-2). Oxford: Oxford University
Press. ISBN 9780199645596.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
- (Inggris) Situs resmi Kantor Komisaris Tinggi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia
- (Inggris) Situs resmi
Pengadilan HAM Eropa
- (Inggris) Situs resmi Pengadilan HAM
Antar-Amerika
- (Inggris) Situs resmi Pengadilan HAM Afrika
- (Inggris) Perpustakaan Hak Asasi Manusia
Universitas Minnesota
- (Inggris) Situs resmi Human Rights Watch
- (Indonesia)
Referensi Hak Asasi Manusia di
situs ELSAM