Kamis, 28 Februari 2019

PAPUA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

CHAGOS DAN PAPUA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
By:Kristian Griapon, 28 Feb 2019
 


KONSEKUENSI HUKUM DARI PEMISAHAN CHAGOS ARCHIPELAGO DARI MAURITIUS PADA TAHUN,1965
Peristiwa yang mengarah pada penerapan resolusi Majelis Umum 71/292 yang meminta suatu "OPINI PENASEHAT ICJ".
Prinsip Pendapat Advisory Internasional Court of Justice(ICJ) Status Hukum Kepulauan Chagos yang diumumkan pada, 25/2/2019-03.00 sore waktu Den Haag, mempertegas kembali prinsip-prinsip hukum internasional dan keputusan- keputusan majelis umum PBB yang tertuang dalam resolusi tentang hak-hak sipil sosial-politik, sosial-ekonomi dan sosial-budaya daerah-daerah tidak berpemerintahan sendiri, kelompok etnis, dalam kategori bangsa berdasarkan letak geografis, dan keadaan demografifis (etnis dan budaya),yang pada umumnya dikorbankan akibat dari hubungan bilateral maupun multilateral,yang diboncengi kepentingan terselubung geo-strategis.negara-negara adi daya.
Suatu keputusan hukum, menjadi langkah strategis dalam merespons berbagai penindasan masa lalu yang terbawa masuk kedalam era globalisasi.oleh sistem kapitalisme impereialisme, dan sosialisme yang berdampak pada peninindasan bangsa-bangsa yang tidak berdaya.
paragraf 156 keputusan pendapat hukum ICJ menjadi dasar Opini Yuris yang mempertegas kembali daerah-daerah dekolonisasi, berdasarkan hukum kebiasaan internasional. yang tertuang sebagai berikut:
"156. Cara untuk menerapkan hak menentukan nasib sendiri dalam wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri, digambarkan sebagai suatu daerah yang terpisah secara geografis dan. . . berbeda secara etnik dan / atau budaya dari negara yang mengelolanya ”, ditetapkan dalam Prinsip VI Majelis Umum resolusi 1541 (XV), diadopsi pada 15 Desember 1960: “Wilayah Non-Pemerintahan Sendiri dapat dikatakan telah mencapai ukuran penuh berpemerintahan sendiri oleh:
(a) Kemunculan menjadi Negara merdeka berdaulat;
(b) asosiasi bebas dengan Negara merdeka; atau
(c) Integrasi dengan Negara merdeka. "
Hukum kebiasaan internasional tentang hak penentuan nasib sendiri bagi daerah dekolonisasi yang diadopsi oleh ICJ, terurai jelas dalam paragraf. 156, mempertegas kembali tentang kategori daerah-daerah dekolonisasi. Artinya secara otomatis Keputusan pendapat hukum kepulauan Chagos memberi petunjuk dan arahan, serta isyarat kepada delegasi penasihat hukum Vanuatu yang mengadvokasi kasus Papua Barat telah terjawab, bahwa "Papua Barat termasuk dalam kategori daerah tidak.berpemerintahan sendiri".
Budaya Melanesia, kepercayaan dan kehidupan masyarakat adat dari kelompok etnogeografi Kepulauan Pasifik yang dikenal dengan sebutan Melanesia. Dari barat laut ke tenggara, pulau-pulau membentuk busur yang dimulai dari Papua bagian barat disebut Papua Barat, dan separuhnya bagian timur negara merdeka yang disebut Papua Nugini, dan berlanjut melalui Kepulauan Solomon, Vanuatu (sebelumnya disebut Hebrides Baru), Kaledonia Baru, Fiji, dan banyak pulau kecil lainnya. Garis Andesit, fitur geologis dari aktivitas vulkanik dan gempa bumi ekstrem, memisahkan Melanesia dari Polinesia di bagian timur dan dari Mikronesia dibagian barat.(Budaya melanesia, wilayah budaya, Samudra Pasifik-Ditulis oleh: Roger M. Keesing Miriam Kahn)



ADA PENDAPAT, KASUS KEPULAUAN CHAGOS KEDALAM RUMUSAN: (INGGRIS=BELANDA), (MAURITIUS=INDONESIA), DAN (CHAGOS=PAPUA).
Itu adalah rumusan “Uti Possidetis” yang digunakan untuk jawaban umum atas pemisahan suatu daerah yang menjadi keutuhan dari daerah lain berdasarkan kategori paragraf 156.Dimana pada masa penjajahan sebelum daerah lainnya yang berkaitan erat dengan daerah yang dipisahkan dimerdekakan. Artinya untuk Papua Barat dan Kepulauan Chagos, dilihat dalam kasus yang berbeda dari pernyataan diatas. yaitu yang dihadapi oleh Papua Barat dan Kepualuan Chagos adalah.masalah wilayah dekolonisasi di era globalisasi antara Indonesia (Papua Barat) dan Inggris (Kepulauan Chagos).

YANG MENJADI PERTANYAAN, APA KETERKAITAN INDONESIA-MAURITIUS DALAM KASUS PAPUA BARAT DAN KEPULAUAN CHAGOS?
Chagos dan Papua Barat adalah daerah pengecualian berdasarkan paragraf 156 opini yuris ICJ, terlepas dari jangkauan Uti Possidetis dalam hukum kebiasaan internasional yang telah diadopsi oleh daerah-daerah jajahan yang kini telah menjadi Negara merdeka.-Diadopsi pada tanggal 14 Desember 1960 dari Deklarasi Pemberian Kemerdekaan untuk Negara dan Rakyat Kolonial (resolusi Majelis Umum 1514 (XV)) - Pembentukan Komite Khusus Dekolonisasi ("Komite Dua Puluh Empat") untuk memantau implementasi resolusi 1514 (XV).
Disebut daerah pengecualian atas dasar wilayah tersebut terpisah / terlepas secara geografis dan demografis, terutama penduduk, etnik budayanya berbeda, sebut saja untuk Papua dan Indonesia.
Dalam rumusan: (Indonesia-Papua)=(Inggris - Chagossians), artinya Indonesia adalah bangsa penjajah diatas wilayah Papua Barat, sama dengan Inggris bangsa penjajah diatas wilayah kepulauan Chagos, dan Indonesia adalah turunan dari Koloni Belanda yang melanjutkan penjajahan ditas tanah papua barat, terlepas dari klaim Hindia-Belanda, jadi (Indonesia=Belanda) dalam arti bangsa penjajah, dan Jika kita sejajarkan dengan opini yuris. Paragraf 156 diatas terbaca jelas bahwa papua barat wilayah diluari klaim Integritas NKRI.
(Mauritius=Vanuatu), artinya dua bangsa yang mempunyai keterikatan emosional masa lalu dan berlanjut, dengan kedua daerah bermasalah itu, yaitu “Mauritius mempunyai hubungan emosional masa lalu dan berlanjut dengan komunitas Chagossians dan demikian sebalik Vanuatu dengan Papua Barat. Kedua Negara itu adalah menentang penjajahan terhadap bangsa mereka yang tertindas, dan juga penjajahan lainnya diatas muka bumi,
"Peninjauan Uti Possidetis Mauritius atas kepulauan Chagos dalam kategori pengecualian, yaitu daerah non merintahan /daerah yang diarahkan menuju daerah dekolonisasi".
Dan jika dikaitkan dengan Indonesia klaim Uti Possidetis atas Papua Barat, klaim tersebut tidak dapat diterima berdasarkan logika kebiasaan hukum internasional sebaimana yang dipertegas dalam paragraf 156 opini yuris ICJ.
Perbedaannya Indonesia tidak pernah melaksanakan kewajiban Uti Possidetis Yurisnya dengan benar dan konsekuen, sehingga daerah-daerah diluar hubungan geografis dan demografis dicaplok dan direkayasa dalam bentuk pembohongan integritas teritorial. Dan Mauritius diarahkan oleh pendapat hukum internasional ke arah Uti Possidetis menuju hak penentuan nasib sendiri.bagi komunitas Kepulauan Chagos berdasarkan paragraf 156 opni yuris ICJ poin (a),Apakah menjadi satu negara merdeka? (b),Menjadi daerah otonom Mauritius? dan atau (c) Diintegrasikan kedalam wilayah kedaulatan Mauritius? Tinggal keputusan Chagossians.(Kgr)

ARGUMEN HUKUM PENGACARA VANUATU, DIIKUT SERTAKAN KASUS PAPUA BARAT

Terjemahan Indonesia…
Tn. MCCORQUODALE:
1. Pendahuluan
1. Tn. Presiden, Wakil Presiden Madam, Anggota Pengadilan yang terhormat, merupakan kehormatan bagi saya untuk menampakkan diri kepada Anda hari ini dalam persidangan ini atas nama Republik Vanuatu.
2. Saya akan berbicara kepada Pengadilan tentang Pertanyaan (a) berkenaan dengan integritas teritorial wilayah kolonial, dan Nn. Jennifer Robinson akan berbicara kepada Anda tentang persyaratan konsultasi atas kehendak bebas orang-orang di wilayah kolonial dan Pertanyaan (b) . Kami berterima kasih kepada tim hukum kecil kami dari Ms Nicola Peart dan Mr. Noah Patrick Kouback dari Republik Vanuatu.
3. Ini adalah pertama kalinya Vanuatu muncul di hadapan Mahkamah Internasional. Ia melakukannya karena menganggap bahwa masalah di pengadilan sangat penting baginya. Vanuatu adalah Kondominium Perancis-Inggris dari tahun 1906 hingga 1980 dan kemudian, sebagai Negara merdeka, - 29 - Vanuatu telah menjadi pendukung hak penentuan nasib sendiri dan dekolonisasi, khususnya di wilayah Pasifik.
4. Dan jika saya boleh, saya akan mengutip dari Pastor Walter Lini, Perdana Menteri pertama Republik Vanuatu: “[Pasifik] adalah salah satu daerah terakhir di dunia di mana tangan kolonialisme yang berat terus dimainkan. . . Sisa-sisa masa lalu ini harus diangkat dari lautan kita, karena. . . sampai kita semua bebas, tidak ada satu pun dari kita. ”18 Vanuatu berharap agar Mahkamah mempertimbangkan pandangan Pasifik dan Kepulauan Melanesia ke dalam pendapat penasihat penting ini.
5. Inti dari pendapat penasehat ini adalah bahwa Britania Raya mengklaim bahwa pada tahun 1965 ia memiliki kekuasaan dan kebijaksanaan mutlak untuk memisahkan bagian dari wilayah kolonial dan secara paksa memindahkan penduduknya untuk melayani keperluan militernya sendiri, tanpa mengindahkan kehendak rakyat Mauritius, termasuk Kepulauan Chagos. Sebagai alternatif, Inggris berspekulasi bahwa cukup bahwa Mauritius, tiga tahun kemudian, mengadakan pemilihan umum di mana orang-orang tidak diberikan pilihan kemerdekaan tanpa melepaskan kepulauan Chagos19. Pada akhirnya, argumen ini adalah upaya untuk membenarkan yang tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana Vanuatu akan menunjukkan, dan sebagai Mahkamah, kami berharap, akan menegaskan, hukum kebiasaan internasional mensyaratkan bahwa tidak ada pembagian wilayah kolonial tanpa persetujuan yang bebas dan tulus dari orang-orang di wilayah itu.
 6. Bapak Presiden, Anggota Pengadilan, Vanuatu akan fokus pada dua masalah spesifik: menjadi integritas teritorial dan kehendak bebas rakyat, yang menurut Vanuatu Vanuatu mampu memberikan perspektif unik dan penting bagi Pengadilan ini. 2. Kompetensi Pengadilan
7. Tetapi sebelum menangani masalah-masalah inti ini, ada dua poin pendahuluan yang ingin disampaikan Vanuatu secara singkat.
8. Pertama, Vanuatu setuju dengan pandangan yang diungkapkan ke Pengadilan oleh sebagian besar Negara dan Uni Afrika bahwa ini adalah masalah yang pantas untuk pendapat penasihat, dan bahwa pidato kunci Pengadilan 18 Walter Lini untuk Australia dan Pasifik Selatan Konferensi, 18 Februari 1982, di Kepulauan Pasifik Bulanan, April 1982, hlm. 25-28. 19 Memang, pada akhir 2009, tampaknya orang Chagos disebut "Man Friday" oleh pejabat senior Inggris: lihat R (pada aplikasi Bancoult No 3) v. Sekretaris Negara untuk Urusan Luar Negeri dan Persemakmuran [2018] UKSC 3, para. 30. - 30 - harus menjalankan kebijaksanaannya untuk menerima Permintaan ini, bahkan jika mungkin ada masalah bilateral dalam keprihatinan internasional yang lebih luas20. Memang, kehadiran Vanuatu di Pengadilan ini hari ini merupakan perwakilan dari keprihatinan internasional yang lebih luas ini.
9. Saya mencatat argumen yang telah dibuat oleh Britania Raya: bahwa sudah puluhan tahun sejak Majelis Umum terakhir mempertimbangkan masalah Kepulauan Chagos, yang mereka klaim mengindikasikan kurangnya relevansi dengan Majelis Umum pendapat ini atau dari persetujuan, mungkin, oleh komunitas internasional untuk situasi tersebut. Namun, Inggris mungkin telah mengabaikan bahwa sangat sulit bagi negara pulau kecil - apakah itu Mauritius atau Vanuatu - untuk membawa resolusi ke Majelis Umum dan untuk melewatinya. Untuk mendapatkan dukungan untuk permintaan pendapat penasihat ke Pengadilan ini tidak mudah. Bahkan, itu adalah tanda jasa dan tekad yang cukup besar dari Pemerintah Mauritius yang berhasil dilakukan. Itu juga jelas pengakuan oleh sejumlah besar Negara yang mendukung Permintaan pendapat penasehat bahwa masalah ini relevan dan bernilai bagi Majelis Umum dalam tindakannya di masa depan, dan saya akan menambahkan, juga penting, bahwa pandangan Negara-negara pulau kecil benar-benar penting dalam sistem hukum inklusif. 3. Hukum kebiasaan internasional.
 10. Kedua, Vanuatu setuju dengan pandangan yang diungkapkan ke pengadilan oleh mayoritas Negara dan Uni Afrika, yaitu bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri adalah aturan hukum kebiasaan internasional pada tahun 1965. Sebagaimana dijelaskan secara persuasif oleh Negara-negara tersebut dan Uni Afrika, bukti dari praktik Negara yang cukup dan opinio juris, dikonfirmasi dalam sejumlah resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum, dan dalam yurisprudensi Pengadilan itu sendiri, dan mereka mendukung kesimpulan ini21.
11. Vanuatu juga mendukung kesimpulan bahwa hukum internasional adat ini dikristalisasi dalam resolusi 1514. Vanuatu meminta Pengadilan untuk menegaskan pandangan yang diungkapkannya dalam pendapat penasihatnya tentang Sahara Barat, di mana ia merujuk pada resolusi 1514 sebagai memberikan “dasar 20 Konsekuensi Hukum untuk Negara-negara dengan Kehadiran Berkelanjutan Afrika Selatan di Namibia (Afrika Barat Selatan) meskipun Resolusi 276 Dewan Keamanan (1970), Opini Penasihat, ICJ Laporan 1971, hlm. 16; Konsekuensi Hukum Pembangunan Tembok di Wilayah Pendudukan Palestina, Opini Penasihat, I.C.J. Laporan 2004 (I), hlm. 136. 21 Lihat mis. StAU paras. 74-128; StMu, paras. 6.20-6.38. - 31 - untuk proses dekolonisasi yang telah menghasilkan sejak tahun 1960 dalam penciptaan banyak Negara yang sekarang menjadi Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa ”22. Dasar ini disebabkan oleh praktik Negara dan opinio juris, bertentangan dengan pengajuan Amerika Serikat23 .
12. Pengadilan dalam Pendapat itu juga mencatat bahwa Spanyol, sebagai Kuasa yang mengelola Sahara Barat, “tidak keberatan, dan tidak dapat menolak secara sah, untuk melaksanakan kekuatannya oleh Majelis Umum untuk berurusan dengan dekolonisasi non-mandiri. memerintah wilayah ”24. Dan pernyataan ini oleh Pengadilan harus berlaku sama untuk semua Powers administrasi lainnya, termasuk Inggris karena, seperti Spanyol, Inggris abstain dari pemungutan suara pada resolusi 1514, dan, tentu saja, seperti yang Anda tahu, tidak ada Negara memilih menentangnya. Vanuatu setuju dengan Belize bahwa Pengadilan tidak dapat menerima argumen dari Inggris bahwa abstain harus menunjukkan non- penerimaan substansi resolusi dalam istilah-istilah ini25. 4. Integritas teritorial
13. Tuan Presiden, Anggota Pengadilan, Vanuatu sekarang beralih ke pengajuan utama pertamanya, karena integritas teritorial wilayah kolonial. Akan disampaikan bahwa paragraf 6 resolusi 1514 memang mencerminkan hukum kebiasaan internasional; bahwa praktik Negara dan opinio juris sebelum akhir 1950-an menegaskan bahwa itu bukan hukum kebiasaan internasional sebelum waktu itu; dan bahwa satu-satunya pengecualian untuk hal ini adalah di mana orang-orang di wilayah kolonial dengan bebas dan tulus menyetujui.
14. Paragraf 6 dari resolusi 1514 tentu saja sangat akrab bagi Anda sekarang. Terminologi kunci berbicara tentang gangguan parsial integritas wilayah suatu negara.26 22 Sahara Barat, Opini Penasihat, I.C.J. Laporan 1975, hlm. 32, para. 57. 23 CR 2018/24, hlm. 17-19, paragraf. 45-55 (Newstead). 24 Sahara Barat, Opini Penasihat, I.C.J. Laporan 1975, hlm. 24, para. 30: “Dalam kasus ini, Spanyol adalah Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan telah menerima ketentuan-ketentuan Piagam dan Statuta; dengan demikian secara umum telah memberikan persetujuan untuk latihan oleh Pengadilan dari yurisdiksi penasehatnya. Mereka tidak keberatan, dan tidak dapat secara sah menolak, pelaksanaan kekuatan Majelis Umum PBB untuk menangani dekolonisasi wilayah yang tidak memerintah sendiri dan untuk mencari pendapat tentang pertanyaan yang relevan dengan pelaksanaan kekuasaan tersebut. Dalam persidangan di Majelis Umum, Spanyol tidak menentang rujukan pertanyaan Sahara Barat seperti pada yurisdiksi penasehat Pengadilan: lebih memilih pembatasan referensi terhadap aspek historis dari pertanyaan itu. ”25 CR 2018/23 , hal. 10, paragraf 12-13 (Juratowitch). Perlu dicatat bahwa Inggris berupaya untuk mendukung pernyataan ini dengan merujuk pada Rancangan Kesimpulan Komisi Hukum Internasional tentang Identifikasi Hukum Internasional Adat, pada paragraf 5 dari komentar untuk Kesimpulan 12. Namun, rancangan ini belum disetujui oleh ILC dan rancangan ini ditulis oleh Sir Michael Wood, yang merupakan anggota tim hukum Inggris sebelum Pengadilan ini. 26 UNGA res. 1514 (XV) "Deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada negara dan rakyat kolonial", A / RES / 1514 (XV) tanggal 14 Desember 1960, para. 6. - 32 –
15. Terminologi "integritas teritorial" yang digunakan dalam resolusi ini benar-benar berbeda dari yang digunakan tentang integritas teritorial dalam, misalnya, Deklarasi 1970 tentang Hubungan persahabatan (resolusi 2625) 27. Resolusi 1514 semata-mata tentang integritas teritorial dari wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri. Deklarasi tentang Hubungan persahabatan, yang disahkan sepuluh tahun kemudian berkaitan dengan integritas teritorial dari negara-negara independen yang ada. Oleh karena itu, referensi Britania Raya dan Amerika Serikat untuk resolusi 262528 sama sekali tidak relevan dengan pendapat penasihat ini.
16. Bukti bahwa resolusi 1514 menyangkut integritas wilayah suatu wilayah kolonial daripada negara-negara merdeka adalah tiga kali lipat: (1) Pertama, penggunaan terminologi "negara" non-Negara bertujuan untuk membedakan antara integritas wilayah suatu negara. Negara dan integritas teritorial dari wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri. Ini mengikuti dari konteks resolusi 1514, yang berkaitan dengan dekolonisasi. (2) Kedua, gelar yang diberikan untuk resolusi 1514 adalah Deklarasi Pemberian Kemandirian kepada Negara-negara dan Bangsa-Bangsa Kolonial. Oleh karena itu, negara-negara koloniallah yang menjadi subjek dari kata-kata yang disebutkan dalam paragraf 6. (3) Dan, ketiga, teks Deklarasi Prancis menggunakan kata "bayar" daripada "état", ketika merujuk pada integritas wilayah negara, membuat jelas itu bukan integritas teritorial Negara dalam masalah.
17. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki hak menentukan nasib sendiri berdasarkan resolusi 1514 secara teritorial didefinisikan sebagai berada dalam unit teritorial di mana mereka tinggal. Wilayah kolonial inilah yang memiliki integritas teritorial.
18. Vanuatu setuju dengan pengajuan Mauritius bahwa paragraf 6 merupakan hukum kebiasaan internasional dan mengikat semua Negara29. Memang, seperti yang telah mereka tunjukkan, itu telah diterima dalam praktik Negara dan opinio juris, serta oleh para ahli hukum terkemuka30. Sebagai Hakim James Crawford menyimpulkan dalam karya mani pada The Creation of States in International Law: “Mengelola 27 UNGA res. 2625 (XXV) "Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan persahabatan dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa" A / RES / 25/2625 (XXV) dari 24 Oktober 1970. 28 CR 2018 / 24, hal. 21, paragraf 60-61 (Newstead); CR 2018/21, hlm. 38, para. 25 (Wordsworth). 29 CR 2018/20, hlm. 28, para. 9 (Jugnauth). 30 StMU, paragraf. 6.29-6.33. - 33 - Negara-negara tidak memiliki kebebasan untuk memecah-belah atau memisahkan wilayah-wilayah [kolonial] yang melanggar penentuan nasib sendiri. ”31
 19. Satu-satunya komentar yang tampaknya telah dibuat oleh Negara-negara pada saat menjelang penyusunan rancangan paragraf 6, yang mungkin menawarkan pandangan alternatif, adalah pandangan Indonesia dan Guatemala. Namun kedua sikap itu jelas-jelas dibuat untuk memperkuat klaim mereka atas wilayah-wilayah tetangga yang bukan pemerintahan sendiri. Amandemen mereka bertujuan untuk memungkinkan mereka merebut kembali wilayah kolonial yang terpisah berdasarkan dugaan hubungan pra-kolonial dan untuk merujuk pada integritas teritorial suatu Negara. Itu ditarik dengan benar.
20. Oleh karena itu, dalam pengajuan Vanuatu, tidak ada bukti yang mendukung pengajuan Amerika Serikat bahwa upaya Indonesia dan Guatemala ini berarti tidak ada definisi yang disepakati dari paragraf 632. Memang, dalam teks akhir yang disepakati, paragraf tersebut dengan jelas berbicara tentang, seperti yang baru saja saya tunjukkan, integritas teritorial wilayah kolonial, dan tentu saja disahkan tanpa suara menentang.
21. Oleh karena itu, adalah pengajuan Vanuatu bahwa persyaratan hukum kebiasaan internasional tidak mengganggu secara keseluruhan atau sebagian integritas wilayah suatu wilayah kolonial dikonfirmasi dan dikristalisasi sebagai hukum kebiasaan internasional dalam resolusi 1514. Sejak saat ini, ada standar internasional. kewajiban hukum untuk setiap Kekuatan yang mengelola untuk tidak memecah-belah atau membagi wilayah kolonial. Ini termasuk yang mengikat kewajiban hukum internasional atas Britania Raya sehubungan dengan wilayah tanpa pemerintahan sendiri yang termasuk di dalamnya Mauritius dan Kepulauan Chagos.
22. Bapak Presiden, Anggota Pengadilan, Vanuatu setuju dengan pengajuan Kerajaan Inggris bahwa integritas teritorial dari wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri bukanlah bagian dari hukum kebiasaan internasional pada saat Piagam PBB atau dalam dekade segera menyusul. Sebagai contoh, pembagian India menjadi dua entitas sebelum mereka menjadi Negara merdeka pada tahun 1947 dan pembentukan Papua Barat sebagai wilayah tanpa pemerintahan sendiri ketika Indonesia menjadi Negara pada tahun 1949, keduanya merupakan situasi di mana integritas teritorial suatu koloni adalah dibagi 31 James Crawford, The Creation of States in International Law (2nd ed., OUP, 2006), hlm. 645. 32 StUS, parag. 4.48-4.49. - 34 - selama proses kemerdekaan. Dan keduanya diterima oleh Majelis Umum sebagai telah dilakukan secara sah33.
23. Namun, pada akhir 1950-an, praktik Negara opinio juris menunjukkan gambar yang sangat berbeda34. Ketika Belize menetapkan, antara tahun 1957 dan 1960, 18 koloni menjadi merdeka dan jumlah Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa meningkat 25 persen hanya dalam tiga tahun35, sehingga praktik Negara menjadi intensif dan konsisten berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya. Menjelang tahun 1960, sudah jelas bahwa hukum kebiasaan internasional melarang pembagian integritas teritorial dari wilayah tanpa pemerintahan sendiri tanpa persetujuan penuh dan bebas dari penduduk wilayah kolonial.
24. Sekarang, Inggris, meskipun memiliki sumber daya yang besar, hanya mampu secara lisan menyerahkan hanya tiga situasi yang mungkin melibatkan pemisahan atau integrasi dengan mengelola Powers wilayah kolonial sebelum kemerdekaan mereka, dan dilakukan tanpa persetujuan oleh hak pilih universal. dari orang-orang koloni itu. Amerika Serikat hanya dapat menemukan dua. Dalam pengajuan Vanuatu, tidak ada yang relevan. Semua itu terjadi sebelum resolusi 1514, yang, seperti yang disampaikan Vanuatu, tidak relevan, atau tidak melibatkan pembagian wilayah tempat seseorang sebagian menjadi independen dan yang lain menjadi koloni baru  dan tidak ada, tentu saja, memiliki ketidaksetujuan yang jelas dari Majelis Umum36.
25. Britania Raya juga berusaha menimbulkan rasa takut bahwa keputusan ini dalam pendapat ini akan berdampak pada prinsip uti possidetis37. Ini adalah penyerahan Vanuatu bahwa integritas teritori dari wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri tidak boleh digabung dengan prinsip 33 Lihat UNGA res. 108 (II) “Penerimaan Yaman dan Pakistan ke Keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa” (A / RES / 108 (II) tanggal 30 Desember 1947) (mengakui Pakistan sebagai Anggota baru Perserikatan Bangsa-Bangsa); UNGA res. 448 (V) “Pengembangan Pemerintahan Sendiri di Wilayah yang Tidak Memerintah Sendiri” (A / RES / 448 (V) tanggal 12 Desember 1950) (tentang kemerdekaan Indonesia). Memang, UNGA res. 448 dari 29 Juni 1950 secara khusus menyebutkan bahwa Papua Barat (saat itu disebut Netherlands New Guinea) akan tetap menjadi koloni Belanda setelah kemerdekaan Indonesia. Majelis Umum mencatat "komunikasi tertanggal 29 Juni 1950 dari Pemerintah Belanda di mana dinyatakan bahwa Belanda tidak akan lagi menyajikan laporan sesuai dengan Pasal 73 (e) tentang Indonesia dengan pengecualian Papua Barat" (penekanan ditambahkan). Resolusi tersebut juga meminta agar “Komite Khusus Informasi yang ditransmisikan berdasarkan Pasal 73 (e) Piagam untuk memeriksa informasi tersebut yang mungkin dikirimkan di masa depan kepada Sekretaris Jenderal [dalam kaitannya dengan wilayah non-pemerintahan di Papua Nugini ] dan melaporkannya ke Majelis Umum ”. Ini secara eksplisit mengakui bahwa Belanda harus terus melaporkan sesuai dengan Pasal 73 (e) Piagam PBB tentang Papua Barat, mengakui Papua Barat sebagai wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri. 34 Lihat mis. StAU, parag. 74-128; StMU, paras. 6.20-6.38. 35 Pengajuan lisan dari Belize: CR 2018/23, hlm. 11, para. 17 (Juratowitch). 36 UNGA res. 2066 (XX) “Pertanyaan Mauritius”, A / RES / 2066 (XX) tanggal 16 Desember 1965) (menyesalkan kegagalan administrasi yang mengelola untuk sepenuhnya mengimplementasikan resolusi 1514 sehubungan dengan Kepulauan Chagos). 37 Lihat mis. StGB, paragraf. 8,29 dan seq., 9.18; StMU, para. 6.58. - 35 - uti possidetis. Uti possidetis adalah prinsip yang menyangkut pemeliharaan batas-batas kolonial pada saat kemerdekaan wilayah kolonial. Ini tidak menyangkut batas-batas sah suatu wilayah kolonial sebelum menjadi Negara atau menggunakan hak untuk menentukan nasib sendiri. Karenanya, penerapan uti possidetis terhadap perbatasan Mauritius pada kemerdekaan pada tahun 1968 tidak dapat diterapkan, karena batas tersebut didasarkan pada divisi yang melanggar hukum pada tahun 1965 dari batas kolonialnya oleh Inggris, yang bertentangan dengan integritas teritorial wilayah kolonial .
26. Kembali ke praktik Negara, Inggris sendiri menolak pembagian wilayah kolonial sebelum kemerdekaan karena kurangnya kehendak bebas orang-orang dari wilayah kolonial. Ini terjadi selama proses menuju kemerdekaan Kenya (yang kemerdekaannya terjadi pada 12 Desember 1963), jadi kita berbicara di masa kontemporer, ketika orang-orang dari Distrik Perbatasan Utara koloni Kenya berusaha bergabung dengan Negara Somalia yang baru. Sebagai ahli hukum internasional terkemuka, yang telah muncul berkali-kali di hadapan Pengadilan ini, Malcolm Shaw melaporkan dalam bukunya Judul ke Wilayah di Afrika: “Namun Perdana Menteri Inggris menyatakan pada bulan April 1960, bahwa 'Pemerintahan Yang Mulia tidak dan tidak akan mendorong atau mendukung klaim yang memengaruhi integritas wilayah Somaliland, Kenya, atau Etiopia Prancis. Ini adalah masalah yang hanya dapat dipertimbangkan jika itu adalah kehendak Pemerintah dan orang-orang yang bersangkutan. '' 38 Pada saat membuat pernyataan ini pada bulan April 1960, baik Somaliland Perancis dan Kenya adalah koloni. Jadi ketika Perdana Menteri Inggris menuntut agar kehendak rakyat dipertimbangkan, itu adalah kehendak rakyat kolonial yang dia maksud. Jadi Inggris sendiri  hanya beberapa bulan sebelum resolusi 1514  menerapkan aturan internasional tradisional tentang integritas teritorial suatu wilayah kolonial dan mengakui bahwa aturan ini hanya tunduk pada kehendak yang diungkapkan secara bebas oleh orang-orang di wilayah kolonial.
27. Vanuatu memiliki beberapa komentar terakhir terkait dengan masalah ini. Vanuatu mencatat bahwa, seperti Konstitusi Kemandirian Mauritius, Konstitusi Kemandirian Vanuatu dirancang dengan bantuan kolonialnya Powers, jadi mungkin tidak terlalu mengejutkan bahwa 38 Malcolm Shaw, Judul untuk Wilayah di Afrika (OUP, 1986), hal. 110; penekanan ditambahkan. - 36 - Konstitusi Mauritius tahun 1968, yang disetujui oleh Inggris oleh Order in Council, tidak memperluas wilayahnya ke Kepulauan Chagos39.
28. Vanuatu mengambil kesempatan ini untuk menolak, dengan kuat, argumen yang dibuat oleh Britania Raya bahwa pulau-pulau yang agak jauh dari satu sama lain tidak dapat membentuk suatu Negara. Vanuatu adalah Negara kepulauan. Banyak pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh satu sama lain, namun Vanuatu tetap merupakan Negara yang berdaulat.
29. Oleh karena itu, adalah pengajuan Vanuatu bahwa itu adalah aturan internasional pada tahun 1960 bahwa ada integritas teritorial dari suatu wilayah kolonial. Kekuasaan yang mengelola tidak dapat memisahkan atau mengintegrasikan wilayah kolonial tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan bebas dan tulus dari orang-orang di wilayah kolonial itu.
30. Ada satu poin terakhir. Alasan untuk memasukkan integritas teritorial suatu wilayah kolonial sebagai bagian dari hak penentuan nasib sendiri adalah untuk melindungi orang-orang di wilayah itu dari tindakan Kekuasaan yang mengelola, yang akan, misalnya, membagi atau berurusan dengan wilayah kolonial terhadap orang-orang tersebut 'kepentingan. Itu untuk memperjelas bahwa kepentingan orang-orang di wilayah kolonial lebih penting daripada to dan memiliki perlindungan hukum atas financial kepentingan finansial, militer atau kepentingan lain dari Kekuatan kolonial. Integritas teritorial suatu wilayah kolonial tidak dapat dikorbankan untuk kepentingan diri sendiri dari Kekuatan kolonial atau Negara lain.
31. Tuan Presiden, Anggota Pengadilan, terima kasih atas perhatian Anda. Robinson sekarang akan mengajukan submisi oleh Vanuatu tentang bagaimana persetujuan yang bebas dan tulus dari orang-orang di wilayah kolonial diungkapkan secara sah - yang merupakan masalah yang belum dibahas, dalam pandangan Vanuatu, secara substantif oleh pengiriman lisan lainnya - dan dia juga akan membuat pengiriman sebagai jawaban atas Pertanyaan (b). Terima kasih.
Ms ROBINSON:
5. Kehendak bebas dan tulus dari orang-orang
1.Bapak Presiden, Wakil Presiden Madam dan Anggota Pengadilan yang terhormat, adalah kehormatan bagi saya untuk memanggil Anda atas nama Vanuatu. 39 Inggris, Orde Kemerdekaan Mauritius 1968 dan Jadwal Ordo: Konstitusi Mauritius (4 Maret 1968), di Sect. 4 (1) Ordo dan Sekte. 2. Konstitusi; StMU, para. 3.100. - 37 –
2. Vanuatu telah menunjukkan bahwa mengelola Powers, sejak tahun 1960, dilarang memecah atau mengintegrasikan wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri tanpa berkonsultasi dengan kehendak bebas rakyat.
3. Dua pertanyaan terkait mengalir dari aturan hukum kebiasaan internasional ini. Yang pertama adalah: apa yang diminta oleh kewajiban untuk berkonsultasi ini? Yang kedua: kepada siapa itu berutang? Vanuatu berterima kasih kepada Hakim Gaja untuk pertanyaan tentang relevansi kehendak bebas orang-orang Chagossian dalam proses dekolonisasi, yang secara langsung mengangkat isu-isu ini. Kehendak bebas rakyat Mauritius, termasuk Chagossians, tidak hanya relevan pada tahun 1965, tetapi diwajibkan oleh hukum internasional agar detasemen tersebut sah menurut hukum.
4. Kiriman saya akan terdiri dari empat bagian: pertama, saya akan menetapkan isi dari kewajiban untuk berkonsultasi dengan kehendak bebas rakyat dan apa yang diminta Inggris pada tahun 1965. Kedua, saya akan membahas siapa orang-orang yang relevan untuk keperluan konsultasi itu. Ketiga, menerapkan prinsip-prinsip ini pada fakta-fakta, dan untuk memberikan jawaban Vanuatu atas Pertanyaan (a) sebelum Pengadilan ini, saya akan menjelaskan mengapa kegagalan Britania Raya untuk berkonsultasi dengan kehendak bebas dan tulus dari orang-orang berarti bahwa detasemen itu melanggar hukum. Akhirnya, saya akan membahas konsekuensi dari ini dalam menjawab Pertanyaan (b).
 5. Pertama, pada isi kewajiban untuk berkonsultasi dengan kehendak bebas. Undang-undang yang relevan ditemukan dalam resolusi 1514 dan 1541 tahun 1960. Paragraf 5 dari resolusi 1514 mensyaratkan bahwa mengelola Kekuasaan bertindak "sesuai dengan kehendak mereka yang diungkapkan secara bebas" dari orang-orang di wilayah kolonial40.
6. Seperti yang dikonfirmasi Pengadilan ini dalam Opini Sahara Barat, “penerapan hak penentuan nasib sendiri membutuhkan ekspresi yang bebas dan tulus dari kehendak orang-orang yang bersangkutan” 41. Dalam hal ini, Pengadilan ini juga menegaskan bahwa Prinsip IX dari resolusi 1541 “memberikan efek pada hakikat hak penentuan nasib sendiri sebagaimana ditetapkan dalam resolusi 1514 (XV)” 42.
7. Resolusi 1541  berlalu sehari setelah resolusi 1514  tidak menetapkan persyaratan untuk koloni yang menyatakan kemerdekaan, tetapi ia menetapkan persyaratan prosedural tentang bagaimana kehendak rakyat ditentukan di mana orang-orang itu diberikan status yang tidak sama dengan kemerdekaan penuh. Prinsip IX mensyaratkan bahwa: 40 UNGA res. 1514 (XV), “Deklarasi Pemberian Kemandirian kepada Negara dan Rakyat Kolonial”, A / RES / 1514 (XV) tanggal 14 Desember 1960, para. 5. 41 Sahara Barat, Opini Penasihat, I.C.J. Laporan 1975, hlm. 32, para. 55. 42 Sahara Barat, Opini Penasihat, I.C.J. Laporan 1975, hlm. 32, para. 57. - 38 - “Integrasi harus menjadi hasil dari keinginan yang diekspresikan secara bebas dari masyarakat wilayah yang bertindak dengan pengetahuan penuh tentang perubahan status mereka, keinginan mereka telah diungkapkan melalui proses yang informatif dan demokratis, dilakukan secara tidak memihak dan didasarkan pada orang dewasa universal hak pilih. ”43
8. Ketika sebuah koloni dibagi  seperti dalam kasus ini  dengan satu bagian menjadi independen dan bagian lainnya dibagi dan diintegrasikan dengan Kekuatan kolonial, risiko penaklukan kolonial yang berkelanjutan jelas. Ini harus dibedakan dari situasi di mana koloni menyatakan kemerdekaan dengan integritas teritorialnya yang utuh. Persyaratan prosedural yang berbeda yang ditetapkan dalam resolusi 1541 untuk divisi atau integrasi mencerminkan kebutuhan untuk memastikan bahwa, dalam keadaan seperti dalam kasus ini, orang-orang harus diberikan pilihan yang bebas dan asli sebelum menerima status kurang dari kemerdekaan.
9. Vanuatu setuju dengan Belize bahwa persyaratan untuk berkonsultasi dengan orang-orang dalam resolusi 1514, dan persyaratan prosedural yang bersamaan dalam resolusi 1541, mencerminkan hukum kebiasaan internasional sejak 196044.
10. Praktek negara dari akhir 1950-an menunjukkan hal itu plebisit atau pemilihan umum  berdasarkan hak pilih universal  diselenggarakan atau diawasi di wilayah kolonial sebelum pembagian atau integrasi dengan Negara lain45. Memang, seperti yang ditunjukkan Belanda: Praktik negara ini "praktis seragam" 46. Pada 1968, seperti yang ditunjukkan Mauritius, plebisit yang diawasi PBB "secara rutin digunakan" untuk memastikan kehendak rakyat47.
11. Meskipun demikian, Britania Raya mengklaim bahwa tidak ada persyaratan seperti itu. Sebagai alternatif, Inggris berspekulasi bahwa plebisit tidak diperlukan dan pemilihan umum sudah cukup. Tentu saja ada banyak bukti praktik Negara di mana koloni telah mendeklarasikan kemerdekaan, dengan integritas teritorial mereka yang utuh, setelah pemerintah memenangkan pemilihan dengan mandat kemerdekaan. Namun, Inggris tidak dapat memberikan satu contoh dari 43 UNGA res. 1541 (XV), "Prinsip-prinsip yang harus memandu Anggota dalam menentukan ada atau tidaknya kewajiban untuk mengirimkan informasi yang diminta berdasarkan Pasal 73 (e) Piagam", A / RES / 1541 (XV) tanggal 15 Desember 1960. Lihat juga Prinsip VII yang mengharuskan pergaulan bebas “harus menjadi hasil dari pilihan bebas dan sukarela. . . diekspresikan melalui proses yang informatif dan demokratis ”. 44 CR 2018/23, paragraf. 9-27 (Juratowitch). 45 StMU, para. 6.44. Lihat juga StMU, para. 6.59: “Pada tahun 1968, misalnya, plebisit yang diawasi PBB telah secara rutin digunakan untuk memastikan keinginan orang-orang dalam kasus penggabungan dan pembagian wilayah bekas jajahan.” 46 Pernyataan Tertulis Belanda (StNL), para. 3.29. 47 StMU, para. 6.59: “Pada tahun 1968, misalnya, plebisit yang diawasi oleh PBB telah secara rutin digunakan untuk memastikan keinginan rakyat jika terjadi merger dan pembagian wilayah bekas jajahan.” - 39 - Praktek negara setelah 1960 di mana rakyat dari suatu wilayah kolonial telah sepakat untuk membagi  dengan satu bagian menjadi independen dan bagian lainnya dibagi dan diintegrasikan dengan Kekuatan kolonial  berdasarkan mandat dari pemilihan umum.
12. Tetapi yang jelas dari praktik Negara pada 1950-an dan 1960-an adalah itu harus ada pemungutan suara, berdasarkan hak pilih universal, dan pemungutan suara itu harus memungkinkan pilihan bebas dan tulus tentang apakah wilayah kolonial akan dibagi atau diintegrasikan ke dalam Negara lain.
13. Dalam hal ini, Vanuatu ingin menyampaikan keprihatinannya bahwa Amerika Serikat, dalam upaya untuk berargumen bahwa tidak ada aturan hukum kebiasaan internasional, mengutip kasus Papua Barat. Pada tahun 1962, Papua Barat adalah wilayah tanpa pemerintahan sendiri yang dikenal sebagai Netherlands New Guinea.
14. Vanuatu ingin mengklarifikasi bahwa Perjanjian 1962 di mana Belanda Nugini dipindahkan dari Belanda  pertama, ke administrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kemudian ke administrasi Indonesia  mensyaratkan bahwa penduduk Papua Barat akan memiliki kesempatan untuk mengekspresikan mereka kebebasan memilih apakah akan berintegrasi dengan Indonesia atau menjadi mandiri48. Perjanjian itu, yang dicatat oleh Majelis Umum dalam resolusi 175249, mensyaratkan  konsisten dengan hukum kebiasaan internasional  bahwa kebebasan akan dipastikan dengan hak pilih universal dari penduduk wilayah tersebut, sesuai dengan praktik internasional50.

15. Beralih ke poin kedua dan pertanyaan Hakim Gaja: siapa orang yang relevan untuk dikonsultasikan sehubungan dengan detasemen Kepulauan Chagos?

16. Telah diterima oleh Pengadilan ini dalam kasus Timor Timur bahwa merupakan prinsip erga omnes bahwa orang-orang di wilayah yang tidak memerintah sendiri adalah “bangsa” untuk keperluan hak untuk melihat perjanjian antara Republik Indonesia. dan Kerajaan Belanda Mengenai Papua Nugini Barat (Irian Barat), 15 Agustus 1962, 437 UNTS 273. Perjanjian tersebut menyatakan dalam Pasal XVIII bahwa salah satu tujuannya adalah “untuk memberi orang-orang di wilayah tersebut kesempatan untuk menggunakan kebebasan pilihan ", yang akan didasarkan pada" (d) kelayakan semua orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga negara asing untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri yang akan dilakukan sesuai dengan praktik internasional ". 49 UNGA res. 1752 (XVII), “Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang West New Guinea (Irian Barat)”, A / RES / 1752 (XVII) pada 21 Sep 1962. Majelis Umum “mencatat” perjanjian antara Belanda dan Indonesia. 50 AS mengakui bahwa pemungutan suara tidak dilakukan sesuai dengan proses demokrasi: lihat StUS, para. 4,71, dan khususnya fn. 180. - 40 - penentuan nasib sendiri51. Pada tahun 1965, pada saat detasemen, unit teritorial yang relevan untuk tujuan penentuan nasib sendiri adalah wilayah non-pemerintahan sendiri Mauritius, yang termasuk Kepulauan Chagos. Oleh karena itu Kerajaan Inggris berkewajiban untuk berkonsultasi dengan kehendak bebas penduduk Mauritius dan Kepulauan Chagos - yaitu, semua warga Mauritius di unit teritorial, termasuk Chagossians.
17. Beralih ke poin ketiga saya. Mengingat aturan hukum internasional adat ini, apakah Inggris mematuhi kewajiban untuk berkonsultasi dengan kehendak bebas orang-orang Mauritius sehubungan dengan pembagian wilayah?

18. Argumen utama Britania Raya adalah bahwa, pada tahun 1965, ia memiliki kekuasaan dan keleluasaan mutlak untuk mengeluarkan bagian dari wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri tanpa memperhatikan kehendak rakyat. Seperti yang ditunjukkan Vanuatu, ini tidak benar sebagai masalah hukum kebiasaan internasional. Memang, Majelis Umum pada waktu itu setuju, seperti yang dijelaskan dalam resolusi 2066 pada tahun 196552.

19. Sebagai alternatif, Inggris berspekulasi bahwa cukup untuk mengadakan pemilihan umum, tiga tahun setelah detasemen dan di mana kemerdekaan tanpa detasemen sama sekali bukan pilihan.

20. Bpk. Presiden, Anggota Pengadilan, argumen Inggris dengan fasih disampaikan, tetapi itu merupakan upaya untuk membenarkan yang tidak dapat dibenarkan. Seperti yang telah ditetapkan oleh Vanuatu, hukum kebiasaan internasional mengharuskan Inggris untuk berkonsultasi dengan kehendak bebas orang-orang Mauritius diperlukan lebih dari itu.

21. Vanuatu menekankan bahwa hukum kebiasaan internasional membutuhkan lebih dari konsultasi berdasarkan hak pilih universal. Ini juga mensyaratkan bahwa ada "pilihan bebas dan asli". Ini tentu saja membutuhkan pemungutan suara yang demokratis, dilakukan tanpa memihak, dan bebas dari segala bentuk paksaan. 51 Timor Timur (Portugal v. Australia), Judgment, I.C.J. Laporan 1995, hlm. 102, para. 29: “Dalam pandangan Pengadilan, pernyataan Portugal bahwa hak rakyat atas penentuan nasib sendiri, ketika berevolusi dari Piagam dan dari praktik PBB, memiliki karakter erga omnes tidak dapat diganggu gugat. Prinsip penentuan nasib sendiri rakyat telah diakui oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam yurisprudensi Mahkamah. 276 (1970), Opini Penasihat, ICJ Laporan 1971, hlm. 31, para. 52 (yang menyatakan bahwa, setelah persetujuan Piagam PBB, “pengembangan hukum internasional berikutnya sehubungan dengan wilayah tanpa pemerintahan sendiri, sebagaimana diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, menjadikan prinsip penentuan nasib sendiri berlaku untuk semua negara). mereka ”) dan Sahara Barat, Opini Penasihat, ICJ Laporan 1975, hlm. 31-33, paragraf. 54-59 (menyatakan bahwa “prinsip penentuan nasib sendiri sebagai hak rakyat, dan penerapannya untuk tujuan membawa semua situasi kolonial dengan cepat, diucapkan dalam Deklarasi Pemberian Kemandirian kepada Kolonial Negara dan Masyarakat, resolusi Majelis Umum 1514 (XV) ”). 52 UNGA res. 2066 (XX), “Pertanyaan Mauritius”, A / RES / 2066 (XX) tanggal 16 Desember 1965 (“Menyesalkan bahwa Daya yang dikelola belum sepenuhnya mengimplementasikan resolusi 1514 (XV) terkait [Mauritius]”). - 41 - Tetapi itu juga mensyaratkan bahwa opsi yang tersedia untuk rakyat  apakah kemerdekaan atau perpecahan clearly jelas diberikan kepada rakyat dan bahwa konsultasi menawarkan kepada mereka pilihan yang bebas dan tulus di antara opsi-opsi itu.

22. Bapak Presiden, Anggota Pengadilan, opsi apa yang benar-benar dimiliki oleh pemilih Mauritius pada pemilihan umum 1968? Pilihan mereka adalah memilih partai yang menjanjikan kemerdekaan dengan detasemen, atau memilih partai-partai yang berharap Mauritius tetap menjadi koloni Inggris. Menjadi independen, dengan Mauritius memiliki integritas teritorialnya yang utuh, bukanlah suatu pilihan. Ini tidak dapat dianggap sebagai pilihan bebas dan tulus pada pembagian wilayah Mauritius.

23. Oleh karena itu Vanuatu mengajukan bahwa  dalam menjawab Pertanyaan (a)  proses dekolonisasi tidak diselesaikan secara sah.

24. Sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip-prinsip hukum ini, Pengadilan tidak perlu, dalam hal ini, menentukan pertanyaan faktual yang diperdebatkan apakah ada paksaan atau paksaan yang terlibat dalam mendapatkan persetujuan dari perwakilan Mauritian selama negosiasi kemerdekaan. Latar belakang faktual ini penting karena menunjukkan ketidakseimbangan kekuatan antara kekuasaan yang memerintah dan rakyat kolonial yang berjuang untuk kemerdekaan mereka. Tetapi ini berfungsi untuk menggarisbawahi dan menekankan persyaratan prosedural dalam resolusi 1541. Pertanyaan untuk Pengadilan ini bukanlah apakah Pemerintah Mauritius atau perwakilannya menyetujui pada suatu titik waktu atau pada berbagai titik waktu atau tidak.

25. Pertanyaan yang relevan mengenai apakah detasemen itu sah menurut hak penentuan nasib sendiri adalah apakah Inggris mematuhi kewajibannya untuk memberikan kepada rakyat Mauritius pilihan yang asli dan bebas mengenai masa depan wilayah itu. Jelas tidak.

26. Ini membawa saya ke poin terakhir saya sehubungan dengan Pertanyaan (b) tentang konsekuensi dari semua ini. Kerajaan Inggris, sebagai negara yang mengelola, bertanggung jawab atas tindakan salah secara internasional untuk melepaskan kepulauan. Pembayaran kompensasi kepada beberapa Chagossians tidak mengatasi kesalahan ini dan tidak membebaskan Inggris dari kewajibannya ke Mauritius. Orang-orang Mauritius terus memegang hak untuk menentukan nasib sendiri sehubungan dengan seluruh wilayah, termasuk Kepulauan Chagos. Hukum internasional mensyaratkan bahwa Britania Raya - 42 - harus segera berhenti dengan pemerintahannya yang tidak sah di Kepulauan Chagos dan mengembalikannya ke Mauritius53.

27. Vanuatu akhirnya ingin menekankan bahwa semua Negara memiliki kewajiban untuk menahan diri dari tindakan apa pun yang merampas hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Pangkalan militer untuk tujuan pertahanan bagi dua Negara, betapa pun kuatnya, tidak dapat mengesampingkan hak asasi manusia untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Mauritius. Dalam hal apa pun, tidak ada bukti di hadapan Pengadilan ini bahwa tujuan pertahanan itu tidak dapat dilayani, sesuai dengan hukum internasional, setelah restitusi wilayah tersebut ke Mauritius.

 28. Sebagai kesimpulan, Pengadilan ini memiliki kekuatan untuk menegaskan prinsip hukum yang berlaku tentang dekolonisasi dan mendukung upaya Majelis Umum untuk mengakhiri kolonisasi. Vanuatu menarik perhatian Pengadilan akan pentingnya kasus ini bagi orang-orang di seluruh dunia yang tetap berada di bawah kekuasaan kolonial. Vanuatu mendesak Pengadilan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelum itu karena, sebagaimana Perdana Menteri pertama Vanuatu, Walter Lini, mengatakan ketika Vanuatu akhirnya mendapatkan kemerdekaannya sendiri, "sampai kita semua bebas, tidak ada dari kita yang ada".

29. Bapak Presiden, Anggota Pengadilan yang terhormat, yang menyimpulkan pengajuan lisan Republik Vanuatu. Kami berterima kasih atas perhatian dan kebaikan Anda. Le PRESIDENT: Je remercie la délégation de la République de Vanuatu jangan laksanakan intervensi cl't ltience de ce matin. La Cour se réunira de nouveau cet après-midi, à 15 heures, tuangkan peserta la Zambie et lUnion africaine. L'audience est levée. L’audience est levée à 12 h 25.- 53 Lihat Konsekuensi Hukum dari Pembangunan Dinding di Wilayah Pendudukan Palestina, Opini Penasihat, I.C.J. Laporan 2004 (I), hlm. 136, paragraf. 150-151; Arbitrase Prajurit Pelangi, 30 April 1990, RIAA, Vol. XX, hlm. 215, para. 114. Lihat juga Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sesi ke-22, Laporan Komite Khusus tentang Situasi Berkenaan dengan Implementasi Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-negara dan Bangsa-Bangsa Kolonial: Agenda Item 23, UN doc. A / 6700 / Tambah.8 * (11 Oktober 1967), para. 194

UTI POSSIDETIS JURIS, PRINSIP YANG DIGUNAKAN INDONESIA UNTUK “MENJAGA” PAPUA BARAT TETAP MENJADI BAGIAN NKRI.


Prinsip Uti Possidetis Juris menjadi dasar digunakan untuk menentukan batas wilayah sebuah negara yang sebelumnya dijajah. Yakni, batas wilayahnya mengikuti batas wilayah ketika negara tersebut masih dijajah. Artinya, untuk konteks Indonesia, batas wilayahnya mengikuti batas wilayah ketika masih berstatus Hindia Belanda.

Logika konteks diatas untuk Papua Barat menjadi klaim Indonesia termasuk dalam wilayah Hindia-Belanda,yaitu: Papua Barat telah merdeka ketika Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, itu berarti dengan sendirinya, atau kata lain secara otomatis Papua Barat ikut merdeka konsekuensi dari wilayah jajahan Hindia Belanda.

Selain itu, right to self determination (hak menentukan nasib sendiri) hanya boleh dilakukan sekali dan untuk selamanya.

LIMA INDIKATOR , MENULUSURI KLAIM POLITIK INDONESIA.
(1) Apakah Papua Barat termaktub dalam pengelompokan wilayah Hindia Timur berdasarkan letak geografis dan demografisnya ?

(2) Apakah Bangsa Papua terlibat dalam pemberontakan melawan pendudukan bangsa Belanda, di wilayah Hindia Timur dalam kaitan hubungan sejarah masa lalu dengan bangsa Melayu Indonesia yang mendiami kawasan Hindia Timur?

(3) Apakah sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, hubungan komunikasi sosial bangsa Papua dengan bangsa melayu telah terjalin erat?

(4) Apakah wilayah Papua Barat termaktub dalam pengesahan wilayah kedaulatan Indonesia serikat berdasarkan Undang-Undang RIS, 27 Desember 1949 menjadi dasar legalitas klaim?

(5) Dan diatas dasar apa terjadi ratifikasi New York Agreement, 15 Agustus 1962, antara bangsa Indonesia dan Belanda, dan apa kaitannya dengan klaim prinsip Uti Possidetis Juris?

Uti possidetis (dalam bahasa Latin berarti seperti yang Anda miliki) adalah prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa teritori dan properti lainnya tetap di tangan pemiliknya pada akhir konflik, "kecuali jika hal yang berbeda diatur oleh suatu perjanjian".

Papua Barat Menjadi daerah pengecualian dalam kedudukan klaim Uti possidetis yuris Indonesia terhadap Belanda, atas pertimbangan bahwa “Rakyat Papua mempunyai hak sosial politik,sosial ekonomi dan sosial budaya yang tidak dapat dipindah tangankan dan dijamin oleh hukum internasional berdasarkan piagam PBB”. Dasar inilah yang menjadi acuan hukum internasional melahirkan New York Agreement, 15 Agustus 1962, antara Indonesia-Belanda ditengahi PBB dalam kategori daerah sengketa. Dan inti dari perjanjian New York adalah “Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua di atas tanah leluhur mereka Papua Barat” sebagaimana terurai dalam pasal XVIII perjanjian itu, dan disisi lain keharusan jaminan terhadap hak-hak pribumi Papua sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal XXII, perjanjian itu.

Apakah PEPERA yang dilaksanakan oleh Indonesia di Papua Barat dapat dikategorikan referendum hak penentuan nasib sendiri berdasarkan standar hukum Internasional? 
Suatu pertanyaan yang hingga saat ini belum terjawabkan kepada rakyat Papua, yang sedang tertindas diatas negeri mereka Papua Barat.

STATUS WILAYAH PAPUA BARAT SEBAGAI NEOLANDSCHAP DIHAPUS PERMANEN TERHITUNG TANGGAL, 1 JUNI 1950.
Pada, 27 Desember 1947 berlakulah "besluit Bewindstregeling Nieuw Guinea, peraturan ketata negaan baru untuk wilayah dan hak-hak penduduk nieuw Guinea yang ditetapkan oleh Ratu Belanda. Untuk penyesuaian peraturan ketatanegaraan ini pada tanggal, 14 Juni 1950 melalui Keputusan Gubernur Nieuw Guinea No.43, mencabut Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Tertanggal, 14 Januari 1949, dan 13 Juli 1945 tentang status wilayah Nieuw Guinea sebagai Wilayah Neolandschap. 
Status Hindia Timur/Hindia-Belanda (Neolandschap) Wilayah Nieuw Guinea Barat dihapus permanen terhitung tanggal, 1 Juni 1950, dan Nieuw Guinea Barat menjadi "Zelfbesturend Landschap" dengan nomenklatur daerah "Nederlans Nieuw Guinea", yang kini disebut West Papua.

MANIFEST POLITIK BANGSA PAPUA, 19 Oktober 1961 MENYATAKAN BAHWA:
(1) Berdasarkan pasal 37 piagam PBB, ayat (1) Jika negara-negara yang terlibat dalam perselisihan sebagaimana diatur dalam pasal 33 (ttg keterlibatan Dewan Keaman PBB),dan jika tidak dapat diselesaikan berdasarkan pasal 33, maka kedua belah pihak harus menjelaskan masing-masing alasan kepada Dewan Keamanan. Ayat (2) Jika Dewan Keamanan berpendapat bahwa, perselisihan itu dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, maka Dewan Keamanan harus memutuskan, apakah harus mengambil keputusan, apakah harus bertindak sebagaimana ditetapkan dalam pasal 36, atau mengajukan syarat penyelesaian yang dianggap layak.

(2) Berdasarkan maklumat PBB untuk kemerdekaan daerah-daerah yang belum berpemerintahan sendiri, sebagaimana termuat dalam Resolusi PBB No.1514 (XV) yang diterima oleh Sidang Pleno PBB dalam sidangnya ke-15 tanggal, 20 September 1960.

(3) Berdasarkan hak mutlak dari kita penduduk tanah Papua bahagian Barat atas tanah air kita.

(4) Berdasarkan hasrat dan keinginan bangsa kita untuk kemerdekaan kita sendiri, maka kami dengan perantaraan Komite Nasional dan Dewan Perwakilan Rakyat kita Nieuw Guinea Raad mendorong Gobernemen Nederlands Nieuw Guinea menetapkan terhitung tanggal, 1 November 1961, (a).Bendera kami dikibarkan disamping bendera Belanda Nederland, (b).Nyanyian kebangsaan kami “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan disampin nyanyian kebangsaan Belanda “Wilhemus”.

(5) Nama tanah kami menjadi “Papua Barat”, dan

(6) Nama bangsa kami menjadi “Papua"

Atas dasar-dasar ini kami bangsa Papua menuntut untuk mendapatkan tempat kami sendiri, sama seperti bangsa-bangsa merdeka, dan diantara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan memelihara perdamaian dunia.
Dengan manifest ini kami mengundang semua penduduk yang mencintai tanah air dan bangsa kita Papua menyetujui manifest ini dan mempertahankannya. Oleh karena inilah satu-satunya dasar kemerdekaan bagi kita bangsa Papua.

Holandia, 19 Oktober 1961. Tertanda: (1).W.Inury, (2).J.S. Dekeniap, (3).D. Sarwom, (4).S.L.Rumadas, (5).F.Poana, (6).T.S.Akwan, (7).A.Onim, (8).H.Jomungga, (9).F.J.S.Rumainum, (10).M.Burotabui, (11).E.Itaar, (12).F.Torey, (13).M.Suwae, (14).M.W.Kaisepo, (15).J.J.Rumbiak, (16).B.Gebse, (17).J.Jaab, (18).Th.Meset, (19).M.Ongge, (20).J.E.Bonay, (21).P.H. Jochu, (22).M.Tanggahma, (23).Iz.Menufandu, (25).H.I.Bauw, (26).M.Wai, (27).Sp.Malibela, (28).N.Jouwe, (29).T.Dansidan, (30).H.Mori Muzendi, (31).W.Giay, (31).P.Koejab, (32).Nemnay, (33).W.Zonggonao, (34).A.sefa, (35).F.Jufuway, (36).J.Matori, (37).A.J.A.Rumtuboy, (38).L.Ajamiseba, (39).E.Numbery, (40).M.Rumainum, dan 12 nama lainnya tidak dibaca dari arsip dokumen(rusak).

Dari Manifest Politik Bangsa Papua yang dinyatakan melalui 52 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (Nieuw Guinea Raad) yang tergabung dalam Komite Nasional Papua (KNP) terurai jelas bahwa:
(1). Bangsa Papua menyadari Daerah mereka, Wilayah Papua Barat telah menjadi daerah sengketa Indonesia-Belanda, sebagaimana terurai dalam pasal 37, 33, dan 36 Piagam PBB yang diungkapkan dalam manifest politik mereka.

(2).Bangsa Papua secara legalitas (resmi) telah mengikrarkan Hak Politik mereka yang Melekat tidak dapat dipindah tangankan, sebagai mana termuat dalam Piagam PBB, dan atas dasar Resolusi PBB No.1514 (XV), hasil pleno UNGA-15, 20 September 1960.

(3).Bangsa Papua sangat mengerti Hukum Internasional, sehingga hak-hak melekat mereka yang tidak dapat di pindah tangankan, dipercayakan kepada Pemerintahan Kerajaan Belanda sebagai Hak Otoritas di atas wilayah Papua Barat, untuk menjamin masa depan mereka sesuai dengan standadar hukum internasional (dijamin Piagam PBB).

(4).Apakah New York Agrement, 15 Agustus 1962 yang menghasilkan Ressolusi PBB 2504 sudah mendapatkan Rekomendasi Dewan Keamanan PBB, yang mendasari pada daerah konflik sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33, 36,dan 37 Piagam PBB? Kalau ada harus diperlihatkan kepada bangsa Papua sebagai Kekuatan Hukum Ratifikasi Perjanjian New York itu.

(5).PBB, Indonesia, dan Belanda harus menjelaskan kepada bangsa Papua tentang alih status wilayah Papua Barat dari Belanda ke PBB, 1 Oktober 1962, dan diserahkan kepada Indonesia, 1 Mei 1963. Apakah menjadi wilayah Integrasi NKRI? 
Dan atau, Wilayah Perwalian dibawah pengawasan PBB yang dipercayakan kepada Indonesia sebagai anggota PBB untuk menjalankan fungsi administrator diatas wilayah itu, sebagai mana yang diamanatkan dalam Perjanjian New York?

###Jalan menuju kemerdekaan Papua Barat tetap terbuka, tidak ada kata tertutup###.
(Referensi: Catatan Penulis. The Asia-Pascific Journal,editing 2017. West Nieuw Guinea-UNSF Background, UN document 1962. Alexander Griapon, Manifesto Politik Komite Nasional Papua, Risalah Perdebatan di Nieuw Guinea Raad 30 Oktober 1961,Tabura,2017. John RG Djopari, Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka,Grasindo, 1993. Surat Kabar Tjenderawasih,Sudjarwo tjondronegoro,SH,Acc PEPERA asal keutuhan wilayah RI tidak diganggu dan tumpas separatis suversip , sabtu, 12 April 1969. Wikipedia bebas, Pemahaman Uti possidetis. /Kgr)



Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...