By:Kristian Griapon.
Pembantaiaan tiga orang di Timika Papua oleh OTK, jenazah ditemukan oleh warga pada, 19/8/2020, telah membusuk. Jenazah yang ditemukan adalah Warga Sipil Suku Damal pendulang emas di kali kabur Tembagapura, An.Demerina Wamang (P) 25 tahun, Demu Newe Kiwak (L) 28 tahun, dan Uterinus Newegalen (L) 18 tahun.. (Foto disediakan)
Pembakaran tiga jenazah suku damal yang bekerja sebagai pendulang emas di kali kabur Timika Tembagapura Papua, An.Demerina Wamang (P) 25 tahun, Demu Newe Kiwak (L) 28 tahun, dan Uterinus Newegalen (L) 18 tahun, oleh keluarganya pada 19/8/2020.(Foto disediakan)
Hak Hidup Dan Hak Kebebasan Pribumi Papua Telah Dikalahkan Dan Dirampas Oleh Kekuasaan Negara Menggunakan Dalil Separatis.
Terlepas dari perdebatan politik, atau separatis, bahwa telah menjadi kemprihatinan yang mendalam atas tragedi kemanusiaan di West Papua, yaitu: “Pembunuhan Manusia Papua” yang berlangsung dramatis, terstruktur, sistimatis, dan masif dengan menggunakan berbagai modus pembunuhan, dimulai dari operasi militer hingga pembunuhan melalui orang tak dikenal (OTK), yang meningkat dari waktu ke waktu, serta meluas di seluruh wilayah West Papua.”
Dramatis, terstruktur, sistimatis, dan masif, artinya berbagai kasus pembunuhan yang terjadi didepan mata, namun sulit untuk mengungkap pelakunya, teramati tindakannya telah disetting terorgasir dengan modus pembunuhan di daerah yang satu berdeda dengan daerah yang lainnya dalam wilayah West Papua, dan disesuaikan dengan kondisi daerah dan penduduknya. atau karakter sosialnya. Dan tindakan tersebut secara nyata dan jelas telah dijadikan pembiaran oleh negara.
Hak hidup dan hak kebebasan Pribumi Papua yang bersifat absolut dan universal, dapat dikalahkan oleh Hukum Politik Negara di Indonesia demi kepentingan kekuasaan diatas tanah Papua. Hal itu terjadi oleh karena, "hak itu tidak selalu bersifat absolut, disebabkan sesuatu hak akan kalah oleh alasan atau keadaan tertentu yang dapat menggugurkan posisi hak tersebut." Pernyataan itu merujuk pada hak hidup dan kebebasan pribumi Papua di gugurkan oleh kekuasaan negara Republik Indonesia, menggunakan dalil "separatis", sehingga suara keadilan orang asli Papua terhadap ketidak adilan perlakuan Negara Republik Indonesia di West Papua digiring ke dalam isu sparatis, banyak orang asli Papua terbunuh tanpa pertanggung jawaban hukum oleh alat kekuasaan negara.
Isu separatis telah mengalahkan kekuatan hukum di Indonesia sehingga alat kekuasaan negara teramati , kebal hukum (impunitas) terhadap berbagai tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya di Indonesia, dan khususnya di west Papua.
Profil: salah satu
anggota TPNPB-OPM yang gugur dalam sergapan operasi militer Indonesia di West
Papua, dengan perlengkapan senjata yang tidak mendukung dalam Perjuangan
Pembebasan Papua Barat. (Foto disediakan)
Anggota TPNPB-OPM KODAP III
Kali Copi Timika "Hengky Uwamang" Tertembak mati dalam Operasi
TNI-POLRI Tim Nemangkawi,16 Agustus 2020. (Foto disediakan)
TPNPB-OPM BUKAN PEMBERONTAK, ATAU KRIMINAL BERSENJATA
Hengki Uwamang merupakan salah seorang masyarakat adat pemilik lokasi tambang emas dan tembaga Freeport-McMoRan di Timika Papua, yang termarginalisasi bersama masyarakat lainnya pemilik hak komunal di lokasi pertambangan, dampak dari penguasaan Negara Republik Indonesia yang tidak menghormati, menghargai, dan melindungi hak-hak adat pribumi Papua.
Hengki Uwamang bukan pemberontak yang dikriminalkan selama ini atas tuduhan Pemerintah Republik Indonesia, sama halnya yang pernah di tuduhkan kepada Benny Wenda dan diinterpolkan, namun akhirnya tidak terbukti sebagai buronan kriminal dalam negeri Indonesia. Demikian Hengki Uwamang adalah seorang pejuang yang memperjuangkan hak-hak sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya yang telah dirampas oleh rezim militer Indonesia yang berkuasa pada era orde baru dan berlanjut hingga saat ini.
Mengangkat senjata bukan berarti pemberontak, atau kriminal (pernyataan sepihak), namun adalah bentuk ekspresi perlawanan yang memperjuangkan pembebasan atas penindasan kekuasaan Negara, yang semena-mena telah merampas hak-hak sosial-polik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya yang menjadi landasan lembaga tradisional pribumi Papua, yang memberi tumpuhan harapan demi kelangsungan hidup dari generasi ke generasi. Hal tersebut telah menjadi ancaman yang serius demi kelangsungan hidup. Sehingga mengangkat senjata adalah pilihan terakhir antara mati atau hidup demi mempertahankan dan menunjukan eksistensi mereka sebagai orang asli Papua diatas tanah leluhur mereka West Papua. Itu adalah pernyataan dasar dari pemahaman perjuangan bersenjata rakyat Papua Barat.
Perlawanan
rakyat Papua bersenjata yang mempunyai motif yang sama memperjuangkan
kebebasan, dampak dari penindasan kekuasaan Negara Republik Indonesia terhadap
hak-hak komunal mereka sebagai masyarakat adat, yang berkembang, terorganisr
menjaji Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka
(TPNPB-OPM).
KELEMAHAN TPNPB-OPM - LOGISTIK PERSENJATAAN
Logistik pesenjataan menjadi
kelemahan dalam perjuangan perlawanan gerilya bersenjata TPNPB-OPM di West
Papua dari dulu hingga saat ini, namun tidak mengurangi semangat juang para
gerilya untuk mendapatkan kebebasan dari penindasan Indonesia. Dan banyak orang
asli Papua yang penuh semangat juang tinggi gugur dalam perlawanan menggunakan
senjata tradisional, menghadapi militer Indonesia yang memiliki persenjataan
modern.
Perpecahan
faksi faksi perjuangan kemerdekaan West Papua dalam kubu sayap militer,
telah berimbas pada sayap politik, menciptakan suatu kondisi yang tidak
sinergi, dan menghambat perjuangan itu sendiri. Perpecahan dalam kubu
faksi-faksi sayap militer membuka ruang bagi musuh untuk memanfaatkan kondisi
itu, menyusup dan mengadu domba dalam kubu perjuangan secara keseluruhan
(totalitas), apalagi perbedaan pendapat itu tidak dikelolah dengan baik didalam
intern organisasi, dan telah menjadi konflik perdebatan opini terbuka saling
mempertahankan prinsip, menjadi tontonan publik.
Konsekwensi
logis dari perbedaan pendapat yang telah melebar menjadi tontonan public,
mengharuskan “Semua OAP mempunyai kewajiban moral untuk mengawal, mengoreksi,
bahkan mengkritisi secara organisatoris atas berbagai hal yang dipandang perlu
untuk perbaikan, atau rujukan kedepan.“