KEKUATAN RESOLUSI MAJELIS UMUM PBB (UNGA) DAN DEWAN KEAMANAN PBB (UNSC) SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
A. Leovaldi Tirta
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surabaya Jalan Raya Kalirungkut Surabaya
Abstract
United Nations General Assembly (UNGA) Resolution as a declaration will be transformed into an international custommary that has binding legal force as like other sources of international law. This process is called the 'instant customary of law'. Decisions of the United Nations Security Council (UNSC) have legally binding force based on Article 25 of the Charter. Its decisions have an impact for a country in coriflict or dispute to comply and implement so for those states that violate will be given a sanction as regulated in the UN Charter.
Abstrak Resolusi bersifat deklarasi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB (MU-PBB) akan bertransformasi menjadi kebiasaan internasional sehingga memiliki kekuatan hukum dan mengikat layaknya sumber hukum internasionallainnya. Proses ini disebut dengan 'instant customary of law'.
Keputusan Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) inempunyai kekuatan mengikat secara hukum (legally binding) berdasarkan Pasal 25 Piagam. Keputusan-keputusannya mempunyai dampak bagi suatu negara yang terlibat konflik atau sengketa untuk mematuhi dan melaksanakannya sehingga bagi negarayang melanggar akan diberikan sanksi sebagaimanayang telah diatur dalam Piagam PBB. Kata kunci:
Resolusi, MU-PBB, DK-PBB Organisasi-organisasi intemasional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya telah mampu menciptakan dan membentuk kaidah-kaidah hukum internasional baik yang berlaku khusus di kalangan anggota organisasi internasional itu sendiri maupun yang dapat berkembang menjadi prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku umum atau universal.
1.Prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional yang lahir dari organisasi-organisasi internasional yang dituangkan dalam bentuk keputusan-keputusan dipandang memiliki derajat 93 dan daya mengikat yang sama dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional lainnya.
Hasil-hasil yang ditetapkan atau diputuskan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) wajib dan harus dilaksanakan baik oleh para anggotanya maupun badan-badan yang ada dibawah naungannya. Hasil-hasil itu bisa berbentuk resolusi (resolution), keputusan (decision), deklarasi (declaration), atau rekomendasi (recommendation).
2.Pengambilan keputusan di dalam sistem PBB seringkali tidak dapat dipisahkan antara resolusi (resolution), keputusan (decision), ataupun deklarasi (declaration). Akan tetapi adakalanya suatu keputusan dapat berdiri sendiri di dalam hal yang menyangkut prosedur kerja yang dilihat secara kasus perkasus dan tidak diatur secara khusus di dalam aturan tata cara PBB.
3. Resolusi (Resolution) adalah suatu hasil keputusan dari suatu masalah yang telah disetujui baik melalui consensus maupun pemungut suara menurut aturan dantata cara yang telah ditetapkan oleh Organisasi Internasional atau badan yang bersangkutan.
Resolusi pada umumnya terdiri dari dua bagian yaitu paragraph yang bersifat mukadimah (preambuler paragraph) dan paragraf yang bersifat operasional (operative paragraph).
Mengenai keberlakuannya secara hukum (legal validity) tergantung dari penafsirannya khususnya resolusi-resolusi PBB.
4 Menurut Black's Law Dictionari, keputusan (decision) dalam "a determination arrived at after consideration of 2 Sumaryo Suryokusumo. 1990, Hokum Organisasi Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia Press, h .. 30 3 Ibid., h .. 32 4 Sumaryo Suryokusumo. 1995, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, Bandung: Alumni, 1995, h .. 173 5 Black, Henry CampbelL 1990, Black's Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn: West Publishing Co, h .. 407 . 94 facts and, in legal context, law"
5. yaitu suatu ketentuan yang telah dicapai setelah mempertimbangkan fakta, dan dalam konteks hukum. Sedangkan "Resolution: a formal expression of the opinion or will of an official body or a public assembly, adopted by vote; as a legislative resolution "
6 , yaitu bahwa resolusi adalah suatu pernyataan resmi tentang pendapat atau kehendak dari suatu badan resmi atau suatu majelis yang bersifat umum yang disahkan melalui pemungutan suara, sebagai suatu penyelesaian secara legislatif.
Sifat dari keputusan atau resolusi yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) adalah sangat berbeda dengan resolusi yang dikeluarkan oleh badan-badan utama lainnya seperti Majelis Umum PBB (MU-PBB), The Economic and Social Council (ECOSOC) dan Dewan Perwalian.
Keputusan-keputusan dari ketiga badan utama tersebut bersifat resolusi yang mempunyai dua ciri yaitu bersifat mengikat dan tidak rekomendatif (interna corporis) dan bersifat rekomendatif dan tidak rekomendatif (externa corporis).
Sedangkan keputusan-keputusan DK-PBB didasarkan pada Pasal 25 Piagam yaitu benar-benar mengikat secara hukum bahkan lebih dari itu yaitu dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian internasional (Konvensi Wina 1969) yaitu prinsip pacta tertiis 6 Ibid., h .. 1310 7 Barros, James, 1990, United Nations, Past, Present and Future, diteljemahkan oleh D.H. Gulo, PBB, Dulu, Kini dan Esok, Edisi Kedua, Jakarta: Bumi Aksara, h .. I 03
Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB Dan Dewan Keamanan PBB nee nocent nee prosunt karena semua keputusan-keputusan itu bisa mengikat kepada negara-negara yang bukan merupakan anggota PBB (negara yang tidak meratifikasi Piagam dan Statutanya) seperti tersebut dalam Pasal 2 ayat (6) Piagam dan Pasal49 Piagam.
Pembahasan Berdasarkan penjelasan tersebut maka permasalahan dalam tulisan ini adalah: "Apakah dampak dari resolusi (resolution) yang dikeluarkan baik oleh Majelis Umum PBB (UNGA) dan Dewan Keamanan PBB (UNSC) bagi suatu negara?".
I. Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB sebagai Sumber Hukum Internasional Kekuatan hukum dari suatu resolusi organisasi internasional, dalam hal ini resolusi dari Majelis Umum PBB, telah lama menjadi suatu kontroversi. Meskipun demikian, memang benar adanya bahwa resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB memiliki peran yang penting untuk bermain dalam pembentukan hukum internasional. 8 Bil1:1 kita mendiskusikan mengenai pengaruh resolusi dalam hukum internasional, kita perlu melihat kategorisasi yang dikemukakan oleh Sloan, yang mengidentifikasi tiga kategori utama resolusi, antara lain:
a. Keputusan (Decisions) Berdasarkan Pasal 17 Piagam PBB, Majelis Umum dapat mengambil keputusan tentang masalah anggaran dan keuangan yang mengikat para anggotanya. Ketidak-patuhan terhadap keputusan anggaran dapat menyebabkan suspensi dan pengusiran dari keanggotaan. Selain itu, Pasal 2 ayat ( 5) Piagam PBB menetapkan bahwa semua anggota harus memberikan PBB bantuan penuh dalam segala tindakan yang diperlukan sesuai dengan Piagam ini, dan tidak akan memberi bantuan kepada negara manapun yang oleh PBB dilakukan tindakan pencegahan atau penegakan. Jadi dapat dikatakan, resolusi PBB yang berkomitmen untuk mengambil 'tindakan' dapat mengikat negara-negara anggota.
b. Rekomendasi (Recommendations) Pasal 10 Piagam PBB mengatur bahwa Majelis Umum dapat mendiskusikan persoalan-persoalan mengenai hal-hal dalam ruang lingkup Piagam PBB. Disamping itu MU PBB juga dapat membuat rekomendasi kepada anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau kepada Dewan Keamanan, atau keduanya, pada setiap persoalan atau masalah.
Esensi dari 'rekomendasi' adalah bahwa mereka tidak mengikat. Namun, rekomendasi yang terbukti digunakan secara terus menerus dan berkesinambungan oleh negara-negara akan dengan sendirinya membentuk suatu kebiasaan yang akhirnya akan menjadi hukum internasional.
c. Deklarasi (Declarations) Deklarasi adalah salah satu spesies resolusi Majelis Umum PBB yang didasarkan pada Bab IV dari Piagam PBB. Deklarasi bukanlah rekomendasi dan tidak berlaku atau dievaluasi layaknya suatu rekomendasi.
Sejak tahun 1945, Majelis Umum telah melahirkan sejumlah deklarasi yang telah menciptakan banyak prinsip-prinsip hukum internasional.
Deklarasi pada umumnya lahir oleh suara bulat dari anggota atau oleh konsensus (yaitu tanpa pemungutan suara). Contoh deklarasi yang paling komprehensif dan menjadi prinsip-prinsip umum hukum internasional, antara lain: Declarations on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among states, GA Resolusi 2625 (XXV) Tahun 1970.
Deklarasi penting lainnya adalah Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Wilayah Kolonial dan Masyarakat/Declaration on the Granting Independence to Colonial Territories and People (GA Resolusi 1514 (XV) Tahun 1960.'
Resolusi-resolusi yang merupakan deklarasi tersebut telah diterima secara universal sebagai prinsip-prinsip umum hukum internasional saat ini, oleh karena itu, dalam situasi tertentu resolusi PBB dapat digunakan untuk menetapkan aturan - aturan yang mengikat hukum internasional.
Apakah resolusi tertentu akan dianggap sebagai hukum internasional yang berlaku akan tergantung pada sejumlah kriteria termasuk konteks di mana resolusi disahkan, perilaku suara dan analisis ketentuan yang bersangkutan.
Dalam kasus Texaco Overseas Petroleum Co dengan Libya (1978)14, arbiter Profesor Dupuy, membahas hukum internasional yang berkaitan dengan nasionalisasi aset milik asing. Secara khusus merujuk pada Resolusi Majelis Umum, yaitu Permanent Sovereignty over Natural Resources, 1962 (GA Res 1803 (XVII)) dan Charter of Economic Rights and Duties of States, 1974 (GA Res 3281 (XXIX)).
Resolusi tersebut mengakui hak-hak negara untuk mengambilalih kepemilikan asing terhadap properti suatu negara tersebut karena alasan utilitas publik, keamanan atau kepentingan nasional dan dimana kompensasi dibayarkan.
Arbiter Dupuy, yang telah 12Hillier Tim. 1998, 'Sourcebook on Public International Law', p. 96. 13Ibid. 14 (1978) 17 ILM at pp 1-37
Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB Dan Dewan Keamanan PBB ditunjuk oleh Presiden ICJ berkomentar: "On the basis of the circumstances of adoption ... and by expressing an opinio juris communis, Resolution 1803(XVII) seems to this Tribunal to reflect the state of customary law existing in this field... The consensus by a majority of states belonging to the various repre[1]sentatives groups indicates without the slightest doubt universal recognition of h l h . . t d "15 t e rues t erezn zncorpora e .
Karena saat ini resolusi telah diterima secara universal, maka resolusi cukup memiliki kekuatan dalam hukum internasional. Banyak negara mengungkapkan pandangan bahwa sifat mengikat deklarasi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa deklarasi itu merupakan praktek negara dan juga juris opinio yang diperlukan untuk membentuk suatu kebiasaan.
Bin Cheng menyebutnya sebagai 'instant customary of law'. 16 Dalam kasus Nikaragua (1986), ICJ menyatakan pandangan bahwa Resolusi PBB merupakan opinio juris dan bukti praktek negara yang membentuk suatu "customary law" (kebiasaan).
Sampai pada saatnya nanti Pasal 38 huruf (f) dari Statuta ICJ diamandemen, nampaknya pengadilan intemasional akan terus merujuk pada resolusi untuk membuktikan suatu kebiasaan intemasional.
15 Ibid 16 Bin Cheng, 'UN Resolutions on Outer Space: Instant International Cus[1]tomary Law?' (1965) 5 Indian Journal of International Law 23 97 II.
Kekoatan Resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai Somber Hukum Internasional Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Piagam, untuk menjamin agar PBB dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan tepat maka anggota-anggota memberikan tanggung jawab utama (primary responsibility) kepada DK-PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui agar DK-PBB dalam menjalankan kewajiban-kewajiban bertindak atas nama anggota.
DK-PBB juga terikat oleh tujuan dan prinsip-prinsip PBB dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya (Pasal 24 ayat (2) Piagam), sehingga pada prinsipnya DK-PBB tidak dapat bertindak sewenang -wenang.
Pada saat yang sama, anggota-anggota PBB terikat oleh tindakan DK-PBB dan menurut Pasal 25 Piagam, mereka "setuju menerima dan melaksanakan keputusan-keputusan DK-PBB sesuai dengan Piagam", sehingga resolusi-resolusi yang dikeluarkan oelh DK-PBB mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (legally binding).
Kekuasaan DK-PBB yang begitu besar ini dapat menimbulkan suatu kekuasaan yang eksepsional/luar biasa dan luas yang kadang-kadang di luar kekuasaan yang ditetapkan oleh Piagam (ultra vires) bagi DK-PBB. Hal ini bisa terjadi dengan dalih untuk memelihara perdamaian dan keamanan intemasional.
Walaupun begitu, tidak berarti kekuasaannya itu tidak terbatas melainkan tetap mempunyai pembatasan-pembatasan secara hukum. Oleh karena itu DK-PBB hanya dapat bertindak atas dasar ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 24 ayat (2) Piagam PBB, Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB dan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB!?.
Prosedur pemungutan suara di DK-PBB dalam Pasal 27 Piagam. Setiap anggota DK-PBB berhak memberikan satu suara berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Piagam.
Keputusan-keputusan DK-PBB mengenai masalah-masalah procedural harus ditetapkan dengan suara setuju (affirmative) dari sembilan anggota (Pasal 27 ayat (2) Piagam), sedangkan untuk masalah-masalah lainnya (non-prosedural) ditetapkan dengan suara setuju dari sembilan anggota DK-PBB dengan syarat adanya kesepakatan suara dari lima anggota tetap, dengan ketentuan bahwa keputusan-keputusan yang diambil dalam rangka Bab VI dan Pasal 52 ayat (3) Piagam, pihak yang berselisih tidak ikut memberikan suara (Pasal 27 ayat (3) Piagam).
Dalam prosedur pemungutan suara terdapat perbedaan antara prosedur-prosedur yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) Piagam, yang terletak pada pembedaan antara salah-masalah procedural dan semua permasalahan lain, tetapi tidak terdapat penjelasan rinci mengenai masalah-masalah apakah yang termasuk dalam kedua kategori ini jika dibandingkan dengan penjelasan mengenai "masalah-masalah penting, dalam Pasal 18 Piagam PBB yang menyangkut pemungutan suara dalam MU-PBB.
Dengan demikian DK-PBB dihadapkan pada persoalan untuk memutuskan mengenai ke dalam kategori mana suatu keputusan tertentu harus dimasukkan. Dalam praktek beberapa masalah tertentu yang ditetapkan sebagai masalah prosedural adalah keputusan-keputusan sehubungan dengan agenda, penangguhan sidang-sidang, pelaksanaan kerja, undangan kepada negara-negara untuk ikut serta dalam sidnag-sidang dan penundaan pertimbangan atas suatu permasalahan.
18 Keputusan-keputusan DK-PBB mempunyai dampak bagi suatu negara yang terlibat konflik atau sengketa untuk mematuhi dan melaksanakan keputusan tersebut. Dalam hal ini jika tindakan-tindakan pencegahan atau pemaksaan terhadap suatu negara diambil oleh DK-PBB maka negara lain baik anggota maupun tidak anggota PBB yang menghadapi persoalan-persoalan ekonomi yang timbul karena tindakan-tindakan tersebut, berhak meminta pertimbangkan DK-PBB untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut (Pasal 50 Piagam PBB).
Dengan demikian suatu keputusan DK-PBB mempunyai kekuatan mengikat baik bagi anggota PBB maupun bukan anggota PBB. Hal ini bertentangan dengan prinsip Perjanjian Internasional (Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak memeberi hak dan kewajiban kepada pihak ketiga (pacta tetiis nee nocent nee prosunt), tetapi ketentuan tentang keputusan DK-PBB adalah mengikat sudah diterima sebagai prinsip Hukum Internasional.
Ketentuan terse[1]but telah dijamin oleh Pasal 2 ayat (6) Piagam yang menyebutkan bahwa "negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip PBB apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional". Jadi negara yang bukan anggota PBB terikat oleh keputusan DK-PBB apabila keputusan tersebut bertujuan untuk perdamaian dan keamanan internasional.
Sanksi DK-PBB diperlukan untuk memberikan respon yang lebih cepat dan efektif respon yang lebih cepat dan efektif (allow a more prompt and ef fective response) terhadap ancaman perdamaian dan keamanan internasional.
Sanksi-sanksi bagi negara yang meanggar keputusan-keputusan DK-PBB adalah:
Penangguhan Hak-Hak Istimewa Sebagai Anggota PBB (Pasal 5 Piagam). PBB dapat mengenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Piagam PBB.
Pasal 5 Piagam PBB menguasakan kepada MU-PBB berdasarkan rekomendasi DK-PBB untuk menangguhkan (suspension) hak-hak istimewa keanggotaan dari anggota yang menentang tindakan penegakan yang diambil berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Pasal 5 Piagam PBB menentukan persyaratan penangguhan hak-hak dan hak-hak istimewa negara anggota dari keanggotaannya, yaitu:
a. Bila suatu negara melakukan tindakan pencegahan atau penegakan yang telah diambil oleh DK-PBB terhadap negara tertentu.
b. DK-PBB harus merekomendasikan kepada MU-PBB bahwa negara tertentu tersebut ditangguhkan dari hak-hak atau hak-hak istimewa keanggotaan.
c. MU-PBB harus melakukan pengambilan suara 2/3 anggota setelah adanya rekomendasi dari DK-PBB sesuai dengan Pasal-pasal 18 ayat (2) Piagam PBB, yang mengatakan, "penundaan hak-hak dan hak-hak istimewa keanggotaan" sebagai suatu "masalah yang penting".
Jika pembebasan keanggotaan PBB adalah masalah substansial maka ancaman penangguhan atau pengusiran dapat berarti sebagai alat pencegahan untuk melakukan tindakan yang melawan norma organisasi (PBB). Tetapi ancaman akan nyata, bila PBB telah menyiapkan secara benar (actually) untuk menangguhkan atau mengusir jika keadaan membenarkan/ menuntutnya.
Pengusiran Suatu Negara dari Keanggotaan di PBB (Pasal 6 Piagarn): PBB juga dapat mengenakan sanksi berdasarkan Pasal 6 Piagam PBB.
Pasal 6 Piagam PBB mengijinkan MU-PBB berdasarkan rekomendasi DK-PBB untuk mengeluarkan/melakukan pengusiran (expulsion) suatu anggota yang secara terus menerus melanggar prinsip-prinsip sebagaimana yang tercantum dalam Piagam PBB.
Pengusiran (expulsion) merupakan masalah-masalah khusus (particular problems) sejak PBB mempunyai pengaruh bagi negara yang suka melawan. Akibatnya ancarnan pengusiran muncul dalarn dua situasi yaitu:
a. Bila suatu negara anggota menghentikan membayar kontribusi apa saja pada organisasi tetapi terus mendapatkan keuntungan substansial.
b. Bila negara-negara anggota mengharapkan suatu penghukuman moral yang fundamental (a fundamental moral condemnation) dari kebijakan yang diikuti oleh negara anggota lainnya.
Pengusiran (expulsion) merupakan langkah yang diambil oleh MU-PBB atas rekomendasi DK-PBB terhadap negara yang selalu membangkang.
Bagi PBB, hal tersebut sebenamya akan memperoleh kesulitan Karena dengan pengusiran ini akan dapat menutup pintu untuk diajukan di kemudian hari. Pengusiran tidak perlu menghalangi adanya usaha negara tersebut untuk mengajukan lagi sebagai anggota PBB.
Pengusiran merupakan cara terakhir yang diambil jika suatu negara anggota PBB secara terus menerus mengabaikan kewajiban-kewajibannya.
Pengusiran bukan suatu tindakan yang otomatis tetapi suatu tindakan yang diputuskan oleh dua badan utama PBB yaitu MU-PBB dengan 2/3 suara atas rekomendasi DK-PBB (Pasal 6 Piagam PBB).
Sesuai dengan pembicaraan di San Fransisco, tindakan pengusiran harus diprakarsai oleh DK-PBB bukan dari MU-PBB. Contohnya adalah kasus Yugoslavia bahwa pada tahun 1992 MU-PBB telah mengeluarkan resolusi 4711 yang isinya, "Yugoslavia (dalarn hal ini Serbia dan Montenegro) tidak dapat meneruskan keanggotaan Yugoslavia di PBB dan harus mengajukan lagi keanggotaannya sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Piagam PBB dan tidak lagi dapat ikut serta dalam persidangan.
Pengenaan Embargo Ekonomi dalam rangka Bab VII Piagam PBB (Pasal 41 Piagam) Wewenang DK-PBB dalam berurusan dengan konflik dan situasi yang mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan intemasional adalah konsekuensi logis dari "tanggung jawab utama" yang diberikan kepada badan tersebut berdasarkan Pasal 24 Piagam PBB.
Wewenang khusus yang diberikan kepada DK-PBB oleh Bab VI dan VII Piagam PBB dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis wewenang yang memberi peluang bagi badan tersebut untuk dapat bekerja dengan tujuan menghasilkan penyelesaian damai dari perselisihan dan wewenang yang memudahkan DK-PBB bekerja untuk tujuan memelihara atau mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional dengan segera setelah timbulnya ancaman atau pelanggaran terhadap perdamaian intemasional.
Apabila suatu perselisihan dianggap mempunyai sifat yang serius yaitu pihak-pihak yang terlibat mengancan menggunakan kekerasan, atau secara sungguh-sungguh rnenggunakannya atau apabila dianggap merupakan suatu bahaya yang dapat melanggar perdarnaian, rnaka DK-PBB dapat rnemutuskan adanya suatu "ancaman terhadap perdarnaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi" maka akan menganjurkan atau rnernutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasal 41 Piagam dan Pasal 42 Piagam PBB untuk rnemelihara atau memulihkan perdamaian dan kearnanan internasional (Pasal39 Piagam).
Jadi dengan ketentuan-ketentuan Pasal 39 Piagam PBB, DK-PBB dapat rnernbuat rekornendasi-rekornendasi kepada pihak-pihak yang terlibat pertikaian.
Apabila terjadi pertikaian, DK-PBB dapat melakukan cara-cara penyelesaian secara damai berdasarkan Bah VI Piagarn PBB. Jika terdapat gerakan kekuatan bersenjata atau serangan militer yang dapat mengancam dan mernperburuk situasi maka DK-PBB dapat rnendatangi pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan langkah-langkah pencegahan tindakan yang rnernperburuk situasi yaitu menyampaikan anjuran-anjuran untuk mencapai penyelesaian suatu pertikaian dengan jalan damai.
Jika dalarn situasi yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdarnaian dan tindak agresi (Bab VII Piagarn PBB), rnaka DK-PBB dapat memutuskan penggunaan langkah-langkah paksaan (kekerasan) yang bersifat kolektif berdasarkan Pasal 41 Piagam dan Pasal 42 Piagam PBB dengan tujuan pengekangan (embatasi) agresi dan pengembalian perdamian dan keamanan internasional.
Tindakan DK-PBB atas dasar Bab VII Piagam tersebut dikenakan kepada negara yang melanggar prinsip-prinsip PBB yang langsung dapat mengancam perdarnaian dan keamanan intemasional dan jika tidak dipatuhi dapat dikenakan sanksi berdasar Pasal 41 Piagam PBB yaitu tindakan pernutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonorni, termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegrap, radio dan alat-alat komunikasi lainnya serta pemutusan hubungan diploomatik.
Sanksi ekonomi yang bersifat mandatory atau dapat dipaksakan sesuai dengan Pasal 41 Piagam PBB untuk pertama kalinya telah dikenakan kepada Iraq pada tanggal 6 Agustus 1990 (Resolusi DK-PBB No. 661 tangga1 6 Agustus 1990). Sanksi tersebut dijatuhkan empat hari setelah invasi Iraq ke Kuwait, Iraq masih tetap tidak menaati resolusi DK-PBB.
Pengenaan Sanksi Militer (Pasal 42 Piagam PBB) apabila dengan sanksi ekonomi yang dikenakan terhadap suatu negara pelanggar, ternyata masih tetap membangkan untuk tidak melaksanakan kepu~ tusan-keputusan DK-PBB, maka hal itu dapat diikuti dengan sanksi militer berdasarkan Pasal 42 Piagam PBB bahwa DK-PBB dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan kemaanan internasional.
Dalam tindakan itu termasuk pula demonstrasi-demonstrasi, blockade dan tindakan-tindakan lain dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau darat dari negara anggota PBB.
Keputusan-keputusan yang diambil oleh DK-PBB berdasarkan pasal-pasal tersebut adalah mengikat negara-negara anggota walaupun berdasarkan Pasal 43 Piagam disebutkan bahwa semua anggota PBB dalam memberikan bantuan dan fasilitas-fasilitas yang dianggap perlu untuk memelihara perdamaian dan kemanan internasional sesuai dengan persetujuan atau persetujuan-persetujuan khusus. Namun Pasal 106 Piagam PBB telah memperjelas bahwa kekuatan mengikat dari keputusan DK-PBB adalah untuk menggunakan langkah-langkah militer dengan maksud untuk atas nama PBB dalam mengambil tindakan bersama yang dianggap perlu untuk tujuan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional.
Pelaksanaan sanksi militer dilakukan melalui tindakan kekerasan atas dasar Pasal 42 Piagam PBB dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a. DK-PBB harus membuat perse[1]tujuan khusus (special agreement) terlebih dahulu dengan negara-negara anggota mengenai penyediaan pasukan semacam multinational force dalam rangka untuk mengadakan operasi-operasi militer.
Persetujuan khusus tersebut sebelumnya harus diratifikasi terlebih dahulu oleh negara-negara tersebut melakui proses konstitusi nasional negara masing-masing (Pasal 43 Piagam).
Tanpa adanya persetujuan khusus tersebut tidak mungkin operasi militer dapat dilakukan (Until those agreements had been concluded and enter into force, the Council would be unable 27Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit., h.79 Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB Dan Dewan Keamanan PBB to fulfill its responsibilities as the enforcement agency of the United Nations and that the provisions of Chapter VII relating to military enforcement measure would remain inoperative).
b. Segera setelah sanksi militer diputuskan, maka DK-PBB harus membentuk Komite Staf Militer yang anggotanya terdiri dari Kepala-Kepala Staf Angkatan Perang dari kelima anggota tetap DK-PBB (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan RRC) atas dasar Pasal 45- 47 Piagam PBB yang tugasnya adalah untuk memberi saran kepada DK-PBB sendiri khususnya anggota tetap DK-PBB tanpa ada rekomendasi dari Komite Staf Militer tersebut.
c. Guna menetapkan anggran tam·· bahan (extra budget) di luar anggaran PBB yang sudah ada untuk membiayai operas-operasi militer itu, DK-PBB dapat meminta kepada MU-PBB untuk mengadakan Sidang Khusus Darurat apabila Majelis tidak dalam waktu persidangannya.
Bagaimanapun juga atas dasar Pasal 17 Piagam biaya semacam itu sebagaimana biaya untuk pasukan-pasukan perdamaian PBB juga akan ditanggung bersama oleh semua anggota. Namun demikian pengenaan sanksi tersebut dapat dilakukan semena-mena karena telah dibatasi secara hukum (legal limits):
a. PBB khususnya DK-PBB walaupun mempunyai kekuasaan penentu, badan tersebut bukanlah merupakan supra negara atau supra nasional. Tidak sebagaimana negara, badan dunia tersebut tidaklah berdaulat. Sedangkan negara menurut sistem hukum internasional dapat bertindak apa saja asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum secara umum atau kewajiban-kewajibannya yang ditentukan oleh suatu perjanjian. Sebagaimana tercermin di dalam Pasal 2 ayat ( 1) Piagam PBB bahwa organisasi tersebut .. didasarkan atas prinsip persamaan kedaulatan bagi semua negara.
b. Kekuasaan DK-PBB bukan tidak terbatas karena tindakan-tindakannya akan dibatasi oleh ketentuan di dalam Pasal 24 ayat (2) Piagam dimana DK-PBB dalam melakukan tindakan-tindakannya haruslah didasarkan atas prinsip-prinsip dan tujuan PBB sendiri.
Apa yang disebut dalam ketentuan Pasal 1 ayat ( 1) Piagam PBB prinsip-prinsip dan tujuan PBB di dalam memulihkan perdamaian dan keamanan internasional haruslah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan hukum internasional.
c. Atas dasar prinsip-prinsip dan tujuan tersebut, DK-PBB juga mempunyai kewajiban untuk tetap menghormati keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara. Dengan demikian pelaksanaan sanksi militer melalui pemaksaan (enforcement measures) bagaimanapun juga tidak boleh mengakibatkan pemisahan-pemisahan negara yang hakekatnya dapat berpengaruh terhadap keutuhan sesuatu negara.
d. PBB tidak dibenarkan untuk mengadakan campur tangan urusan dalam negeri sesuatu negara kecuali jika hal itu dilakukan dalam kerangka Bab VII Piagam PBB. Namun campur tangan tersebut tidak dapat berlangsung terus menerus. Apabila tindakan pemaksaan dalam kerangka Bab VII telah selesai campur tangan PBB harus segera dihentikan.
Sejak tahun 1945, DK-PBB baru pertama kali menerapkan sanksi militernya yaitu kepada Iraq pada tanggal 29 Nopember 1990 (Resolusi DK-PBB No. 678i9 Iraq terancam sanksi yang mendasarkan pada Bab VII Piagam hila Iraq tidak melaksanakan Resolusi DK-PBB No. 1441 tanggal 8 November 2002).
Pembentukan Pengadilan Kejahatan Internasional oleh DK-PBB untuk Mengadili Pelanggar HAM Berat (Pasal 29 Piagam PBB). 29Ibid, h. 201 104 DK-PBB pernah memutuskan untuk membentuk Pengadilan Kejahatan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran secara serius terhadap hukum kemanusiaan internasional yang mereka lakukan di wilayah bekas Yugoslavia yang dikenal dengan nama International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICYT) pada tanggal 22 Februari 1993, dan kemudian telah pula dibentuk Pengadilan Kejahatan untuk Rwanda (International Tribunal for Rwanda).30 Pembentukan Pengadilan ini oleh DK PBB didasarkan pada Pasal 29 Piagam yang menyatakan bahwa "DK-PBB dapat membentuk badan-badan subsider apabila dipandang perlu demi pelaksanaan tugas-tugasnya".
Atas dasar Pasal 29 Piagam, DK-PBB dapat saja membentuk Pengadilan HAM Internasional ad hoc bila Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh suatu negara (Indonesia) dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (Timtim) tidak sesuai dengan standar internasional. Oleh karena itu Indonesia harus mempertimbangkan adanya empat hal dalam rangka menjaga kredibilitas dan menyesuaikan dengan standar hukum internasional yaitu:
31 30Sumaryo Suryokusumo. 200 I, "Mungkinkah Pengadilan Kejahatan Intemasional Untuk Bekas Timtim Dibentuk?", Makalah, 2001 ,, 31Sumaryo Suryokusumo, Hindarkan Pembentukan Pengadilan lnternasional, dalam Suara Pembaharuan, 6 September 2000 Kekuatan Resolusi Majelis Umum PBB Dan Dewan Keamanan PBB
a. Harus benar-benar bersifat bebas dan tidak memihak. Jika peradilan nasional HAM temyata bersifat memihak antara lain dengan menutup-nutupi para terdakwa dari tanggung jawabnya terhadap kejahatan yang telah dilakukan, maka pengadilan intemasional dapat dibentuk.
Secara resmi pengadilan intemasional akan meminta kepada yurisdiksi pengadilan intemasional sesuai dengan tata cara yang akan ditetapkan dan adanya bukti-bukti lain yang diperoleh pengadilan internasional.
b. Yurisdiksi pengadilan nasional ad hoc orang-orang yang telah melakukan pelanggaran yang berat terhadap HAM dan hukum humaniter internasional (grave breaches and other violations of international humanitarian law) di wilayah Timor-Timur.
c. Tidak diperbolehkan untuk mengu[1]bah tindak kejahatan internasional khususnya kejahatan terhadap ke[1]manusiaan (crime against humanity) menjadi kejahatan biasa (ordinary crime).
d. Pengusutan harus dilakukan dengart bersungguh-sungguh dan tidak menutup-nutupi tuduhan mengenai tanggung jawab terhadap kejahatan internasional yang telah dilakukan.
Jika kondisi tersebut tidak dapat terpenuhi maka seseorang yang telah diadili oleh Pengadilan Nasional seperti Pengadilan HAM Ad Hoc karena tindakan-tindakan yang mengakibatkan pelanggaran yang serius terhadap HAM dapat diadili lagi oleh Pengadilan Internasional yang sewaktu-waktu (jika dianggap perlu) dapat dibentuk oleh DK-PBB sebagaimana Pengadilan-pengadilan Kejahatan lainnya.
Walaupun Pengadilan Internasional dan Pengadilan Nasional mempunyai yurisdiksi yang sama untuk menuntut orang-orang yang melakukan pelanggaran serius terhadap HAM (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) di bekas wilayah Tim-Tim, Pengadilan Internasional memiliki keunggulan (primacy) terhadap Pengadilan Nasional. Oleh karena itu dalam suatu tahap prosedur, Pengadilan Internasional dapat meminta secara resmi kepada Pengadilan Nasional untuk menangguhkan kepada yurisdiksi atau kewenangan Pengadilan Intemasional sesuai aturan-aturan tata cara yang ada serta bukti-bukti dari Pengadilan Internasiona.
Pengadilan Kejahatan Internasional Untuk Bekas Tim-Tim (International Criminal Tribunal for Former East Timor) atau semacamnya bisa dibentuk oleh DK-PBB setelah DK-PBB menerima rekomendasi dari Sekjen PBB atas laporan dari International Force in East Timor (INTERFET), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), United Nations Transitional Administration in East Timor (UNT AET) atau Commision of Enquiry for East Timor (CIET) mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Timtim,
berdasarkan Reso 32 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., h. 4 33Sumaryo Suryokusumo, Ibid., h. 2. Jurnal YUSTIKA Volume 14 Nomor 1 Juli 2011 lusi DK-PBB 1264 (1999) dan 1272 (1999). Penutup Dari uraian tersebut diatas mal