PETA
POLITIK PERJUANGAN KEMERDEKAAN PAPUA BARAT TETAP AMAN, WALAUPUN TERJADI
TARIK MENARIK PENGARUH KEKUASAAN AMERIKA SERIKAT DAN CHINA DI KAWASAN
PASIFIK.
Kajian oleh : Kristian Griapon-Publikasi-Selasa, 20 November 2018.
|
Editing pribadi Gamba Ilusi |
Masyarakat kepulauan pasifik yang terdiri dari negara-negara pulau
kecil mengapresiasi kepada China, karena pemerintahan China mempunyai
komitmen yang jelas dalam ikut berpartisipasi mendorong perkembangan
ekonomi, sosial-budaya dan alih teknologi dikawasan ini, walaupun
demikian mereka tidak bisa meninggalkan Australia dan Selandia Baru
sebagai penjaga kawasan. Negara-negara pulau kecil ini membangun
hubungan kemitraan berdasarkan kebijakan politik “Jemput Bola” artinya
mereka berprinsip pada hubungan bila teral yang saling menguntungkan dan
tidak mengenal system kartel (blok) yang dibangun oleh kapitalisme
proteksionisme AS dan sekutunya.
Disinilah kecermatan China
membaca strategi proteksionisme Amerika Serikat dan sekutunya dalam
membangun kartel-kartel perdagangan dunia dibawah pengaruh mereka, yang
sebenarnya lebih menguntung mereka sendiri dari pada negara-negara
berkembang yang menjadi mitra mereka, yang hanya mendapatkan manfaat
semu. Pada lawatan pertama presiden China Xi Jinping ke kawasan pasifik
menghadiri KTT-APEC 2018 di Port Moresby PNG, Xi Jinping mengungkapkan
bahwa “Negara-negara yang dibawah kendali terselubung proteksionisme
Amerika Serikat telah mengalami kegagalan”.
Pernyataan presiden
China ada benarnya, kita mengambil contoh Indonesia, selama menjadi
kepanjangan tangan AS yang dimulai sejak masa Orde Baru hingga saat ini,
hanya menjadi pelayan, bagian dari kepentingan AS dan sekutunya baik
itu didalam negeri sendiri maupun diluar negeri. Dampaknya tidak
terlihat adanya perubahan yang berarti dalam membangun kesejahteraan
bangsa (tidak ada prinsip kemandirian namun yang terjadi ketergantungan
Negara kepada pihak asing melalui utang luar negeri).
Jika
disimak, terlihat AS dan China sedang memanfaatkan kondisi negara
negara pulau yang lagi terhimpit pada masalah keuangan negara mereka.
Negara-negara pulau di pasifik mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif terluas
di dunia yang menyimpan berbagai Sumber Daya Ekonomi Kemaritiman,
diantaranya terdapat tambang bawah laut. Ini yang menjadi incararan
negara-negara maju, diantaranya kedua negara adidaya ini sedang mencari
celah untuk mendapatkan keabsahan mengeksploitasi di kawasan ini.
Setiap pemimpin bangsa di kawasan ini harus pintar menganalisa untung
dan rugi dari setiap kerja sama, terutama dari luar kawasan regional
pasifik, dan jangan mudah terjebak.
Wilayah pasifik telah
ditinggalkan AS sejak perang dingin usai menjadi kawasan titipan
Australia dan Selandia Baru dibawah pengawasan trategi pertahanan ANZUS.
Tanpa disadari China tetangga pasifik terdekat telah menyusup masuk
menyusun kekuatan melalui strategi hubungan bilateral yang saling
menguntungkan menjadi landasan legalitas China memainkan peran dan
pengaruhnya di kawasan ini. Kehadiran China di Pasifik dalam membangun
hubungan bilateral yang saling menguntungkan di hampir semua negara
pulau di pasifik, membuat AS membuka mata melirik kawasan ini yang telah
lama ditinggalkan dengan mengutus Wakil Menteri Luar Negeri AS Thomas
Modly pada September 2018 mengadakan tour dipasifik. Dalam tournya Mr
Modly menjelaskan bahwa Amerika Serikat telah bergeser jauh pada era
Presiden George Bush- meninggalkan Australia sendirian, ditugaskan
bertindak sebagai 'sheriff' regional pasifik.
Anna Powles dari
Massey University mengatakan Australia tampaknya ingin meningkatkan
kehadiran militernya di wilayah tersebut. "Agenda yang sangat didorong
oleh keamanan ini yang keluar dari Canberra sebenarnya bertentangan
dengan dorongan untuk demiliterisasi di Pasifik. Itu adalah tema sentral
yang sangat kuat di kawasan ini. Ini juga menantang fakta bahwa untuk
negara-negara kepulauan Pasifik, ancaman terbesar adalah perubahan
iklim, bukan China." Kata Dr Powles.
"PNG memiliki hubungan yang
sangat kuat dengan China. Kemungkinan akan menandatangani perjanjian
perdagangan bebas dengan China. Masalahnya telah menandatangani
inisiatif Belt and Road. China telah menjadi mitra kunci dalam mendorong
pertemuan APEC di PNG dan telah berkomitmen untuk memberi sejumlah
besar pinjaman serta dengan sangat jelas menunjukkan kehadirannya dan
hubungannya dengan PNG. "
VANUATU TETAP BERKOMITMEN MENJADI NEGARA NON-BLOK
|
Ralph Jo Regenvanu MENLU Republik Vanuatu |
Menteri luar negeri Vanuatu Ralph John Regenvanu, kembali menyatakan
posisi kebijakan Vanuatu yang lama bahwa "kami tetap menentang
militerisasi apapun di dalam perbatasan wilayah kami, dan menegaskan
kembali komitmen Status Vanuatu sebagai Negara Non-Blok."
Meskipun pengumuman di media Australia pada akhir pekan bahwa "Australia
telah menempatkan dan mengerahkan pesawat maritim di Samoa dan Vanuatu
untuk melakukan pengawasan yang diprioritaskan oleh negara-negara
Pasifik Selatan", Menteri Luar Negeri Ralph John Regenvanu
menginformasikan kepada Daily Post ,25/9/2018 bahwa tidak ada personel
RAAF atau peralatan yang ditempatkan sini.
'Pangkalan angkatan
laut' yang banyak diperdebatkan di pulau Manus Papua New
Guinea,sebenarnya itu adalah fasilitas yang sudah ada, hanya
ditingkatkan fungsinya dari Fasilitas terdahulu untuk mengakomodasi
berbagai tipe kapal perang, dan untuk itu telah dipersiapkan
pengiriman pertama. Pangkalan Mala di Port Vila, yang dioperasikan oleh
Police Maritime Wing, juga telah mengalami peningkatan untuk
memungkinkan kapal patroli baru generasi ketika tiba di Port Vila pada
tahun 2020. Pangkalan Mala telah menjadi tuan rumah bagi personel
Angkatan Laut Australia untuk beberapa waktu. Mereka berada di posisi
kedua untuk membantu pemeliharaan dan pengoperasian ketangkasan pada
tahun 1980-an, dan untuk membantu mempersiapkan penggantian yang akan
datang. Mereka bekerja pada fasilitas Vanuatu sudah lama sebelum
spekulasi yang berkembang saat ini tentang militerisasi China di
Pasifik.
.
GERAKAN PARLEMEN UNTUK PAPUA BARAT
|
Logo Parlemen Vanuatu |
“Selama
Vanuatu masih menjadi sebuah negara, Isu Kemerdekaan Papua Barat Tetap
Hidup” mungkin itu kata kunci yang harus dipahami oleh segenap Orang
Asli Papua. Bukan masalah kecil negara pulau ini, namun pengaruhnya
sangat kuat dalam percaturan politik dunia. Vanuatu memiliki pandangan
dasar yang tidak bisa disepelehkan yaitu, “Papua Barat adalah Saudara
Kandung Melanesia yang diperanakkan dari seorang Ayah dan seorang Ibu
Melanesia”. Dasar pemahaman ini telah diletakkan oleh pendiri negara
kepulauan pasifik ini “Father Walter Lini” pada tahun 1982.
Melalui Parlemen Vanuatu pada tahun 2010, Ralph John Regenvanu (kini
MENLU) menjadi pemeran utama kedudukannya sebagai penasehat yang
memberikan pendapat dalam upaya mengajukan mosi di Parlemen yang
menyatakan bahwa “Vanuatu akan meminta dukungan dalam sidang-UNGA-
ke-65- Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengadilan
Internasional tentang legalitas kesepakatan antara Republik Indonesia
dan Kerajaan Belanda melalui perjanjian New York, 15 Agustus 1962 yang
berakibat fatal terhadap hak politik dan kehidupan rakyat Papua Barat”.
Mosi tersebut diadopsi dengan suara bulat oleh seluruh anggota Parlemen
pada bulan Juni 2010, serta didukung oleh pemimpin oposisi Maxime Carlot
Korman , beserta seluruh partai politik, mentransfer keputusan Mosi ke
Pemerintahan PM Eduard Natapei untuk dilaksanakan dan menjadi bagian
dari agenda diplomasi politik Pemerintah Vanuatu. Keputusan mosi ini
menjadi landasan hukum pemerintah dan rakyat Vanuatu memberikan dukungan
penuh Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat.
Keputusan tersebut
mendapat komentar “Unggulan” dalam majalah bisnis regional Fiji,
“Kepulauan Business” , yang memuji Regenvanu sebagai "Seorang pemikir ke
depan", dan menambahkan: " Saatnya ketika Papua Barat mendapatkan
kemerdekaan dan berpemerintahan sendiri yang layak, rakyatnya akan
sangat bersyukur kepada saudara-saudaranya Melanesia di seberang Lautan
Koral ".
Regenvanu kemudian mengkritik Papua Nugini karena telah
"secara konsisten" menentang diskusi tentang Papua Barat di dalam
Melanesia Spearhead Group, dan "melawan keinginan negara-negara
Melanesia lainnya yang bersemberangan arah dengan keinginan rakyat Papua
Barat" terutama Papua Nugini yang berbatasan langsung dengan Papua
Barat . Dia menambahkan: "Kami akan mengangkat perhatian internasional
pada isu Papua Barat",
PEMBENTUKAN ULMWP
|
Disaksikan PM Natuman, Benny Wenda menandatangani dokumen penyatuan Faksi Pejuang Kemerdekaan Papua Barat. |
Pertemuan
bersejarah para pemimpin Papua Barat di Vanuatu dari berbagai faksi
dalam gerakan kemerdekaan telah bersatu, pada Sabtu, 6 Desember 2014 dan
membentuk sebuah badan baru yang disebut Gerakan Pembebasan Bersatu
untuk Papua Barat (ULMWP).
Organisasi baru ini menyatukan tiga
organisasi utama yang telah lama berjuang untuk kemerdekaan dengan cara
mereka sendiri-sendiri.
Kelompok kunci yang telah bersatu
termasuk: Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Koalisi Nasional untuk
Pembebasan (WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat (NPWP). Sekretariat
eksternal yang terdiri dari lima anggota terpilih dari berbagai
kelompok sekarang akan mengkoordinasikan kegiatan ULMWP. Octovianus Mote
telah terpilih sebagai Sekretaris Umum ULMWP sementara Benny Wenda
adalah juru bicara dan tiga anggota terpilih lainnya adalah Rex
Rumakiek, Leone Tangahma dan Jacob Rumbiak. Sekretaris Jenderal Mote
mengatakan pada penutupan pertemuan unifikasi, "Saya merasa terhormat
terpilih dan sangat bahagia sekarang kita semua bersatu. ULMWP sekarang
satu-satunya badan koordinasi yang diakui untuk memimpin kampanye
keanggotaan MSG dan melanjutkan kampanye kemerdekaan dari Indonesia ".
Penandatanganan Deklarasi Kepala Nakamal untuk Persatuan Papua Barat,
pada Sabtu sore,6/12/2014 disaksikan oleh Perdana Menteri Joe Natuman,
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Perdagangan Ham Lini, Menteri Lands
Ralph Regenvanu, Kepala Port Vila MP Edward Natapei, Kepala Presiden
Malvatumauri Mr.Senio Mao, Pejabat pemerintah, pemimpin gereja, pemimpin
dan tokoh masyarakat lainnya, anggota delegasi dari tiga Kelompok Papua
Barat dan anggota masyarakat umum.
Deklarasi yang ditandatangani oleh para pemimpin dari ketiga Kelompok Papua Barat tersebut berbunyi:
"Kami yang bertanda tangan dibawah ini; Republik Federal untuk Papua
Barat (NRFPB), Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat (WPNCL), Parlemen
Nasional Papua Barat (WPNP / NewGuinea Raad), telah menyelenggarakan
KTT Papua Barat, kami menyatakan bahwa hari ini pada tanggal, 6 Desember
2014 di Kepala Nakamal, di Saralanga, Port Vila, Vanuatu, bahwa
kelompok-kelompok yang bertandatangan di bawah ini telah menyatukan dan
membentuk Gerakan Pembebasan Serikat untuk Papua Barat (ULMWP), sebuah
badan yang mewakili semua organisasi perlawanan baik di dalam maupun di
luar Papua Barat".
"Kami menyatakan dan mengklaim bahwa semua
orang Papua Barat, baik di dalam maupun di luar Papua Barat,
dipersatukan dalam tubuh baru ini dan akan melanjutkan perjuangan
kemerdekaan kita".
"Pertemuan ini telah dilakukan sesuai dengan
keputusan yang diambil oleh Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port
Moresby, Papua Nugini pada bulan Juni 2014, bahwa organisasi Kemerdekaan
Papua Barat harus terlebih dahulu bersatu sebelum permohonan
keanggotaan dapat diajukan kembali ke Melanesia Spearhead Group (MSG).
Kami sekarang bersatu dan akan mengajukan permohonan kembali di bawah
badan baru ini, yaitu ULMWP".
"Kami bertekad bahwa Gerakan
Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) menjadi Badan Koordinasi
untuk mendukung semua upaya internasional untuk mendapatkan kembali
kedaulatan kita. Untuk mendukung hal ini, kami telah membentuk sebuah
sekretariat lima orang; Benny Wenda, Jacob Rumbiak, Leone Tanggahma,
Octovianus Mote dan Rex Rumakiek, dan mewakili tiga organisasi
perlawanan terbesar dan juga semua organisasi perlawanan non-afiliasi
yang mendukung perjuangan kita. Kami akan mempertahankan organisasi kami
yang ada namun berkomitmen untuk dipersatukan oleh upaya koordinasi
Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat".
"Deklarasi
penting dan bersejarah ini dimungkinkan melalui usaha setia Pemerintah
Vanuatu, Dewan Pemimpin Nasional Malvatumauri, Dewan Kristen Vanuatu
(VCC), Konferensi Gereja-gereja Pasifik (CAC) dan komitmen organisasi
pembebasan."
Setelah upacara penandatanganan, Presiden Dewan
Kepala Nasional Malvatumauri dan anggota Dewan Pemimpin Port Vila
memfasilitasi upacara penyatuan reunifikasi, untuk tiga Kelompok Papua
Barat yang selama bertahun-tahun berjuang terpisah-pisah. Ketua Komite
Reunifikasi Papua Barat Pastor Allen Nafuki mengatakan, "Panitia
penyelenggara sangat senang dengan hasil Pertemuan yang mencapai
tujuannya dengan sangat berhasil melalui pertimbangan dan pemahaman yang
baik tentang ketiga Kelompok Papua dan juga Dewan Nasional
Malvatumauri, Dewan Pemimpin Port Vila, Konferensi Pasifik Gereja (PCC),
Dewan Kristen Vanuatu (VCC), dengan dukungan penuh dari pemerintah
Vanuatu yang dipimpin oleh Perdana Menteri Natuman, Wakil PM, menteri
hadir pada hari Sabtu, 6 Desember 2014, dan orang-orang dari Vanuatu.
"Ini tidak bisa dicapai dengan pemahaman semua orang yang terlibat,
terutama ketiga Kelompok Papua Barat dengan para pemimpin dan anggota
delegasi mereka, Pemerintah Vanuatu, Malvatumauri, VCC dan PCC dan
banyak pendukung lainnya. Pertemuan tersebut telah mencapai tujuan yang
kita semua banggakan dan bersyukur kepada Tuhan atas bimbingan-Nya. "
Penandatanganan ditandatangani oleh tiga pemimpin yang mewakili tiga
Kelompok Papua Barat dan disaksikan oleh Presiden Kepala
MalvatumauriTirsupe, Pastor Kalsakau Urtalo atas nama VCC, Mr. Murray
Isimeli, dari PCC dan Vanuatu dan mantan perdana menteri Vanuatu Barak
Sope.
"Kita tidak akan pernah lupa bagaimana Tuan Edward Nipake
Natapei mendoakan kita para pemimpin Papua Barat selama pertemuan
penyatuan Papua kita yang terakhir di Port Vila, 6 Desember tahun 2014,
karena restu yang dimuliakan kita akan membebaskan bangsa dan tanah air
kita Papua Barat dari perbudakan kolonial. Dan jangan lupa berterima
kasih juga kepada Tuan Ralph John Regenvanu atas segala dukungan dan
jerih payah untuk rakyat Papua Barat mendapat Pengakuan Parlemen Vanuatu
pada, Juni 2010, yang kini menjadi Landasan Hukum Rakyak dan Pemeritah
Vanuatu dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Papua membebaskan
tanah airnya Papua Parat”.
VANUATU MEMBUAT SEJARAH BARU BAGI BANGSA-BANGSA TERTINDAS.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, awal September 2018, Pemerintah
Vanuatu membuat pengajuan dalam sebuah kasus di hadapan Mahkamah
Internasional (ICJ), organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Tujuan dari kasus ICJ ini adalah untuk memberikan Pendapat
Penasehat sehubungan dengan Konsekuensi Hukum Pemisahan Kepulauan Chagos
dari Mauritius pada tahun 1965.
Vanuatu tampak memperdebatkan
posisi prinsipnya tentang hak untuk menentukan nasib sendiri, konsisten
dengan sejarah panjang dukungannya bagi rakyat yang berjuang untuk
kebebasan mereka dari penjajahan, termasuk Timor Timur dan Papua Barat.
Seperti yang dikatakan Walter Lini pada tahun 1982: “[Pasifik] adalah
salah satu wilayah terakhir di dunia di mana tangan berat kolonialisme
terus dimainkan. […] Sisa-sisa masa lalu ini harus diangkat dari lautan
kita, karena, dalam semua kebenaran, dan seperti yang telah saya katakan
sebelumnya, sampai kita semua bebas, tidak satupun dari kita tetap
tertindas”.
Masalah ini dirujuk ke ICJ untuk mendapatkan pendapat
penasihat oleh Majelis Umum PBB dengan pengadopsian resolusi A / RES /
71/292 yang meminta ICJ memberikan pendapat penasehat atas
pertanyaan-pertanyaan berikut:
(a) "Apakah proses dekolonisasi
Mauritius secara hukum selesai ketika Mauritius diberikan kemerdekaan
pada tahun 1968, setelah pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius dan
dengan memperhatikan hukum internasional, termasuk kewajiban yang
tercermin dalam resolusi Majelis Umum 1514 (XV) dari 14 Desember 1960,
2066 (XX) 16 Desember 1965, 2232 (XXI) dari 20 Desember 1966 dan 2357
(XXII) 19 Desember 1967? ”;
(b) “Apa konsekuensi menurut hukum
internasional, termasuk kewajiban yang tercermin dalam resolusi yang
disebutkan di atas, yang timbul dari administrasi lanjutan oleh Kerajaan
Inggris Raya dan Irlandia Utara dari Kepulauan Chagos, termasuk
sehubungan dengan ketidakmampuan Mauritius untuk mengimplementasikan
sebuah program untuk pemukiman kembali di Chagos Archipelago dari warga
negaranya, khususnya mereka yang berasal dari Chagossian? ”
Vanuatu memberikan suara mendukung resolusi di Majelis Umum PBB dan pada
25 Mei tahun ini (2018). Perdana Menteri Mauritius, Pravind Kumar
Jugnauth, menulis surat kepada Perdana Menteri Charlot Salwai meminta
Vanuatu untuk membuat pengiriman lisan dalam kasus ICJ untuk mendukung
Mauritius .
Surat itu dan permintaan itu disampaikan kepada
Menteri Luar Negeri, Ralph Regenvanu, oleh Menteri Industri Pertanian
dan Ketahanan Pangan Mauritius, Mahen Kumar Seeruttun dalam pertemuan
bilateral tentang batas-batas Dewan ACP dan ACP / Uni Eropa ke-107 dan
ke-43 Menteri di Lome, Togo, pada 28 Mei 2018.
Menteri Regenvanu
meyakinkan Menteri Seeruttun pada saat itu bahwa Vanuatu akan mendukung
Mauritius dan mengajukan permohonan dalam kasus seperti yang diminta.
Vanuatu bergabung dengan dua puluh satu Negara dan Uni Afrika
berpartisipasi dalam proses lisan. Negara-negara ini, dalam urutan
abjad: Argentina, Australia, Belize, Botswana, Brasil, Siprus, Jerman,
Guatemala, India, Israel, Kenya, Kepulauan Marshall, Mauritius,
Nikaragua, Nigeria, Serbia, Afrika Selatan, Thailand, Inggris dari
Inggris Raya dan Irlandia Utara, Amerika Serikat, Vanuatu dan Zambia.
Vanuatu diwakili pada sidang oleh Profesor Robert McCorquodale, seorang
ahli internasional tentang hukum penentuan nasib sendiri, Jennifer
Robinson, seorang pengacara yang mengkhususkan diri dalam hukum
internasional yang juga telah menyarankan Gerakan Pembebasan Papua Barat
(ULMWP), Nicola Peart, seorang pengacara yang mengkhususkan diri dalam
hukum internasional yang telah bekerja pada berbagai perselisihan
internasional profil tinggi, dan Mr. Noah Patrick Kouback dari Misi
Permanen Vanuatu di Jenewa.
Menteri Regenvanu mengatakan
Mauritius "senang" dengan pengiriman Vanuatu, dengan Perdana Menteri
Jugnauth menyebut mereka "salah satu yang terbaik dalam seminggu" dan
datang untuk secara pribadi memberi selamat kepada delegasi Vanuatu
setelah pengajuan mereka. Diharapkan bahwa ICJ akan mengeluarkan
keputusannya dalam kasus ini (Pendapat Penasehat) antara enam hingga dua
belas bulan.
Menteri Regenvanu mengatakan, "Kami mengantisipasi
bahwa Opini akan menetapkan prinsip-prinsip hukum yang menguntungkan
yang akan membantu Vanuatu dalam negosiasi kami dengan Prancis tentang
Matius dan Kepulauan Hunter dan juga dalam advokasi kami untuk
dekolonisasi Papua Barat".
Prosedur
Prosedur penasehat
terbuka untuk lima organ PBB dan 16 badan khusus dan organisasi terkait
dari sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini memungkinkan mereka untuk
meminta pendapat dari Pengadilan tentang pertanyaan hukum.
Saat
menerima permintaan untuk pendapat penasihat, Pengadilan itu sendiri
menyusun daftar Negara-negara dan organisasi yang mungkin dapat
memberikan informasi yang relevan. Kemudian mengatur proses tertulis dan
/ atau lisan berdasarkan Pasal 66 dari Statuta dan 105 Peraturannya.
Tidak seperti putusan yang dijatuhkan dalam proses perselisihan antar
Negara, pendapat Pengadilan tidak memiliki efek mengikat seperti itu.
Namun, kewenangan Pengadilan sebagai organ peradilan utama Perserikatan
Bangsa-Bangsa melekat pada mereka.
Sejak 1946 Pengadilan telah
memberikan 27 Opini Penasihat, mengenai, antara lain, syarat-syarat
penerimaan suatu Negara untuk keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa,
reparasi untuk cedera yang diderita dalam pelayanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, status internasional Afrika Barat Daya (Namibia). ),
pengeluaran tertentu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, penilaian tertentu
yang diberikan oleh pengadilan administratif Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Sahara Barat, penerapan kewajiban untuk berarbitrase
berdasarkan Pasal 21 Perjanjian Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa,
pertanyaan yang berkaitan dengan hak istimewa dan kekebalan pelapor hak
asasi manusia , legalitas ancaman atau penggunaan senjata nuklir,
konsekuensi hukum dari pembangunan tembok di wilayah Palestina yang
diduduki dan deklarasi kemerdekaan sepihak sehubungan dengan Kosovo.
INDONESIA BERUSAHA MENGUASAI PASIFIK “PAPUA BARAT MENJADI ALAT TUKAR”
Batas wilayah (borderline) West Papua dijadikan strategi geopolitik
Indonesia pintu masuk ke pasifik. Papua New Gunea (PNG) berbatasan
langsung dengan West Papua, dimerdekakan oleh Australia pada, 16
September 1975 menjadi incaran Indonesia untuk melangkah masuk ke
wilayah Pasifik Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia. Langkah tersebut
dimulai sejak 1973 dua tahun sebelum PNG merdeka dari koloni Australia.
Langkah-langkah strategis yang dirancang oleh Jakarta terlihat jelas
dari kunjungan resmi para presiden Indonesia ke negara bekas koloni
Australia itu. Lawatan para presiden Indonesia dimulai tahun 1979 yaitu
kunjungan resmi presiden RI ke- 2 Suharto dijamu oleh PM Michael Somare,
serta undangan resmi Indonesian kepada PM Paias Wingti pengganti PM
Somare pada tahun 1988,selain bertemu presiden Suharto juga mengadakan
pertemuan dengan MENHANKAM. Berselang 12 tahun kemudian pada tahun 2010
menguatnya isu OPM di PNG, tergesa-gesa presiden RI ke- 6 Susilo Bambang
Yudhoyono mengadakan kunjungan resmi ke PNG bertemu gubernur jenderal
PNG dan mengadakan pertemuan tertutup dengan PM Michael Somare, serta
disusul presiden RI ke-7 JOKOWI dalam lawatan meningkatkan hubungan
bilateral kedua negara, diterima oleh PM Peter O'Neill, dilanjutkan
pertemuan tingkat menteri antara menteri perdagangan dan luar negeri PNG
Kimbink Pato dan MENKOPOLHUKAM RI Luhut Binsar Panjaitan pada 1-4-2016,
membicarakan kerjasama kebudayaan, perdagangan, hingga pertahanan
keamanan kedua negara.
ISU PAPUA MERDEKA MEMASUKI BABAK BARU DI PAPUA NEW GUNEA.
|
Powes Parkop Pengacara dan Politisi PNG |
Isu Papua Merdeka memulai babak baru dalam peta perpolitikan nasional
PNG pada, 15 Juli 2010, dan berpengaruh ke seluruh kepulauan Pasifik.
Dalam pertemuan akbar pada, 15 Juli 2010 di lapangan terbuka five mile
park, Port Moresby seorang tokoh politik berpengaruh 'Powes Parkop'
gubernur DKI Port Moresby dalam pidato kampanye politik pencalonan PM
PNG, menegaskan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan Papua Barat,
dan menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat PNG mendukung
perjuangan kemerdekaan Papua Batat termasuk yang berada diseluruh
wilayah kepulauan pasifik.
Pandangan Umum Di Kawasan Pasifik: 'Wantok and Blood Money'.
Wantok mewarnai dukungan lapisan masyarakat Pasifik terhadap Papua
Barat sebagai keluarga melanesia, yang mempunyai hak penentuan nasib
sendiri, dan Blood Money adalah julukan yang ditujukan kepada pemerintah
Indonesia yang menggunakan uang hasil kekayaan bumi Papua Barat untuk
menyumbat mulut para pemimpin negara-negara di pasifik tentang isu Papua
Barat.Kenyataan yang kini teramati bahwa, Isu Hak Penentuan Nasib
Sendiri bagi Rakyat Papua Barat sudah menjadi pandangan umum masyarakat
internasional, telah melewati batas-batas wilayah pasifik dan telah
menjadi agenda G to G Non NGO artinya sudah masuk keranah Pemerintahan
bukan LSM lagi yang selama ini menyuarakan Isu Papua Barat. (Sumber:
Catatan pribadi penulis, Rangkuman editorial RNZ, Vanuatu Daily Post,
dan Wikipedia Ralph John Regenvanu))