Jumat, 30 November 2018

PETA POLITIK PERJUANGAN KEMERDEKAAN PAPUA BARAT TETAP AMAN, WALAUPUN TERJADI TARIK MENARIK PENGARUH KEKUASAAN AMERIKA SERIKAT DAN CHINA DI KAWASAN PASIFIK.
Kajian oleh : Kristian Griapon-Publikasi-Selasa, 20 November 2018.


Editing pribadi Gamba Ilusi

Masyarakat kepulauan pasifik yang terdiri dari negara-negara pulau kecil mengapresiasi kepada China, karena pemerintahan China mempunyai komitmen yang jelas dalam ikut berpartisipasi mendorong perkembangan ekonomi, sosial-budaya dan alih teknologi dikawasan ini, walaupun demikian mereka tidak bisa meninggalkan Australia dan Selandia Baru sebagai penjaga kawasan. Negara-negara pulau kecil ini membangun hubungan kemitraan berdasarkan kebijakan politik “Jemput Bola” artinya mereka berprinsip pada hubungan bila teral yang saling menguntungkan dan tidak mengenal system kartel (blok) yang dibangun oleh kapitalisme proteksionisme AS dan sekutunya.

Disinilah kecermatan China membaca strategi proteksionisme Amerika Serikat dan sekutunya dalam membangun kartel-kartel perdagangan dunia dibawah pengaruh mereka, yang sebenarnya lebih menguntung mereka sendiri dari pada negara-negara berkembang yang menjadi mitra mereka, yang hanya mendapatkan manfaat semu. Pada lawatan pertama presiden China Xi Jinping ke kawasan pasifik menghadiri KTT-APEC 2018 di Port Moresby PNG, Xi Jinping mengungkapkan bahwa “Negara-negara yang dibawah kendali terselubung proteksionisme Amerika Serikat telah mengalami kegagalan”.

Pernyataan presiden China ada benarnya, kita mengambil contoh Indonesia, selama menjadi kepanjangan tangan AS yang dimulai sejak masa Orde Baru hingga saat ini, hanya menjadi pelayan, bagian dari kepentingan AS dan sekutunya baik itu didalam negeri sendiri maupun diluar negeri. Dampaknya tidak terlihat adanya perubahan yang berarti dalam membangun kesejahteraan bangsa (tidak ada prinsip kemandirian namun yang terjadi ketergantungan Negara kepada pihak asing melalui utang luar negeri).

Jika disimak, terlihat AS dan China sedang memanfaatkan kondisi negara negara pulau yang lagi terhimpit pada masalah keuangan negara mereka. Negara-negara pulau di pasifik mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif terluas di dunia yang menyimpan berbagai Sumber Daya Ekonomi Kemaritiman, diantaranya terdapat tambang bawah laut. Ini yang menjadi incararan negara-negara maju, diantaranya kedua negara adidaya ini sedang mencari celah untuk mendapatkan keabsahan mengeksploitasi di kawasan ini. Setiap pemimpin bangsa di kawasan ini harus pintar menganalisa untung dan rugi dari setiap kerja sama, terutama dari luar kawasan regional pasifik, dan jangan mudah terjebak.

Wilayah pasifik telah ditinggalkan AS sejak perang dingin usai menjadi kawasan titipan Australia dan Selandia Baru dibawah pengawasan trategi pertahanan ANZUS. Tanpa disadari China tetangga pasifik terdekat telah menyusup masuk menyusun kekuatan melalui strategi hubungan bilateral yang saling menguntungkan menjadi landasan legalitas China memainkan peran dan pengaruhnya di kawasan ini. Kehadiran China di Pasifik dalam membangun hubungan bilateral yang saling menguntungkan di hampir semua negara pulau di pasifik, membuat AS membuka mata melirik kawasan ini yang telah lama ditinggalkan dengan mengutus Wakil Menteri Luar Negeri AS Thomas Modly pada September 2018 mengadakan tour dipasifik. Dalam tournya Mr Modly menjelaskan bahwa Amerika Serikat telah bergeser jauh pada era Presiden George Bush- meninggalkan Australia sendirian, ditugaskan bertindak sebagai 'sheriff' regional pasifik.

Anna Powles dari Massey University mengatakan Australia tampaknya ingin meningkatkan kehadiran militernya di wilayah tersebut. "Agenda yang sangat didorong oleh keamanan ini yang keluar dari Canberra sebenarnya bertentangan dengan dorongan untuk demiliterisasi di Pasifik. Itu adalah tema sentral yang sangat kuat di kawasan ini. Ini juga menantang fakta bahwa untuk negara-negara kepulauan Pasifik, ancaman terbesar adalah perubahan iklim, bukan China." Kata Dr Powles.
"PNG memiliki hubungan yang sangat kuat dengan China. Kemungkinan akan menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan China. Masalahnya telah menandatangani inisiatif Belt and Road. China telah menjadi mitra kunci dalam mendorong pertemuan APEC di PNG dan telah berkomitmen untuk memberi sejumlah besar pinjaman serta dengan sangat jelas menunjukkan kehadirannya dan hubungannya dengan PNG. "

VANUATU TETAP BERKOMITMEN MENJADI NEGARA NON-BLOK                         
Ralph Jo Regenvanu MENLU Republik Vanuatu 

Menteri luar negeri Vanuatu Ralph John Regenvanu, kembali menyatakan posisi kebijakan Vanuatu yang lama bahwa "kami tetap menentang militerisasi apapun di dalam perbatasan wilayah kami, dan menegaskan kembali komitmen Status Vanuatu sebagai Negara Non-Blok."

Meskipun pengumuman di media Australia pada akhir pekan bahwa "Australia telah menempatkan dan mengerahkan pesawat maritim di Samoa dan Vanuatu untuk melakukan pengawasan yang diprioritaskan oleh negara-negara Pasifik Selatan", Menteri Luar Negeri Ralph John Regenvanu menginformasikan kepada Daily Post ,25/9/2018 bahwa tidak ada personel RAAF atau peralatan yang ditempatkan sini.

'Pangkalan angkatan laut' yang banyak diperdebatkan di pulau Manus Papua New Guinea,sebenarnya itu adalah fasilitas yang sudah ada, hanya ditingkatkan fungsinya dari Fasilitas terdahulu untuk mengakomodasi berbagai tipe kapal perang, dan untuk itu telah dipersiapkan pengiriman pertama. Pangkalan Mala di Port Vila, yang dioperasikan oleh Police Maritime Wing, juga telah mengalami peningkatan untuk memungkinkan kapal patroli baru generasi ketika tiba di Port Vila pada tahun 2020. Pangkalan Mala telah menjadi tuan rumah bagi personel Angkatan Laut Australia untuk beberapa waktu. Mereka berada di posisi kedua untuk membantu pemeliharaan dan pengoperasian ketangkasan pada tahun 1980-an, dan untuk membantu mempersiapkan penggantian yang akan datang. Mereka bekerja pada fasilitas Vanuatu sudah lama sebelum spekulasi yang berkembang saat ini tentang militerisasi China di Pasifik. 
.
GERAKAN PARLEMEN UNTUK PAPUA BARAT 
Logo Parlemen Vanuatu

“Selama Vanuatu masih menjadi sebuah negara, Isu Kemerdekaan Papua Barat Tetap Hidup” mungkin itu kata kunci yang harus dipahami oleh segenap Orang Asli Papua. Bukan masalah kecil negara pulau ini, namun pengaruhnya sangat kuat dalam percaturan politik dunia. Vanuatu memiliki pandangan dasar yang tidak bisa disepelehkan yaitu, “Papua Barat adalah Saudara Kandung Melanesia yang diperanakkan dari seorang Ayah dan seorang Ibu Melanesia”. Dasar pemahaman ini telah diletakkan oleh pendiri negara kepulauan pasifik ini “Father Walter Lini” pada tahun 1982.

Melalui Parlemen Vanuatu pada tahun 2010, Ralph John Regenvanu (kini MENLU) menjadi pemeran utama kedudukannya sebagai penasehat yang memberikan pendapat dalam upaya mengajukan mosi di Parlemen yang menyatakan bahwa “Vanuatu akan meminta dukungan dalam sidang-UNGA- ke-65- Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengadilan Internasional tentang legalitas kesepakatan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda melalui perjanjian New York, 15 Agustus 1962 yang berakibat fatal terhadap hak politik dan kehidupan rakyat Papua Barat”. Mosi tersebut diadopsi dengan suara bulat oleh seluruh anggota Parlemen pada bulan Juni 2010, serta didukung oleh pemimpin oposisi Maxime Carlot Korman , beserta seluruh partai politik, mentransfer keputusan Mosi ke Pemerintahan PM Eduard Natapei untuk dilaksanakan dan menjadi bagian dari agenda diplomasi politik Pemerintah Vanuatu. Keputusan mosi ini menjadi landasan hukum pemerintah dan rakyat Vanuatu memberikan dukungan penuh Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat.

Keputusan tersebut mendapat komentar “Unggulan” dalam majalah bisnis regional Fiji, “Kepulauan Business” , yang memuji Regenvanu sebagai "Seorang pemikir ke depan", dan menambahkan: " Saatnya ketika Papua Barat mendapatkan kemerdekaan dan berpemerintahan sendiri yang layak, rakyatnya akan sangat bersyukur kepada saudara-saudaranya Melanesia di seberang Lautan Koral ".

Regenvanu kemudian mengkritik Papua Nugini karena telah "secara konsisten" menentang diskusi tentang Papua Barat di dalam Melanesia Spearhead Group, dan "melawan keinginan negara-negara Melanesia lainnya yang bersemberangan arah dengan keinginan rakyat Papua Barat" terutama Papua Nugini yang berbatasan langsung dengan Papua Barat . Dia menambahkan: "Kami akan mengangkat perhatian internasional pada isu Papua Barat",


PEMBENTUKAN ULMWP
Disaksikan PM Natuman, Benny Wenda menandatangani dokumen penyatuan Faksi Pejuang Kemerdekaan Papua Barat.

Pertemuan bersejarah para pemimpin Papua Barat di Vanuatu dari berbagai faksi dalam gerakan kemerdekaan telah bersatu, pada Sabtu, 6 Desember 2014 dan membentuk sebuah badan baru yang disebut Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP). 
Organisasi baru ini menyatukan tiga organisasi utama yang telah lama berjuang untuk kemerdekaan dengan cara mereka sendiri-sendiri.

Kelompok kunci yang telah bersatu termasuk: Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Koalisi Nasional untuk Pembebasan (WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat (NPWP). Sekretariat eksternal yang terdiri dari lima anggota terpilih dari berbagai kelompok sekarang akan mengkoordinasikan kegiatan ULMWP. Octovianus Mote telah terpilih sebagai Sekretaris Umum ULMWP sementara Benny Wenda adalah juru bicara dan tiga anggota terpilih lainnya adalah Rex Rumakiek, Leone Tangahma dan Jacob Rumbiak. Sekretaris Jenderal Mote mengatakan pada penutupan pertemuan unifikasi, "Saya merasa terhormat terpilih dan sangat bahagia sekarang kita semua bersatu. ULMWP sekarang satu-satunya badan koordinasi yang diakui untuk memimpin kampanye keanggotaan MSG dan melanjutkan kampanye kemerdekaan dari Indonesia ".

Penandatanganan Deklarasi Kepala Nakamal untuk Persatuan Papua Barat, pada Sabtu sore,6/12/2014 disaksikan oleh Perdana Menteri Joe Natuman, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Perdagangan Ham Lini, Menteri Lands Ralph Regenvanu, Kepala Port Vila MP Edward Natapei, Kepala Presiden Malvatumauri Mr.Senio Mao, Pejabat pemerintah, pemimpin gereja, pemimpin dan tokoh masyarakat lainnya, anggota delegasi dari tiga Kelompok Papua Barat dan anggota masyarakat umum.

Deklarasi yang ditandatangani oleh para pemimpin dari ketiga Kelompok Papua Barat tersebut berbunyi:
"Kami yang bertanda tangan dibawah ini; Republik Federal untuk Papua Barat (NRFPB), Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat (WPNCL), Parlemen Nasional Papua Barat (WPNP / NewGuinea Raad), telah menyelenggarakan KTT Papua Barat, kami menyatakan bahwa hari ini pada tanggal, 6 Desember 2014 di Kepala Nakamal, di Saralanga, Port Vila, Vanuatu, bahwa kelompok-kelompok yang bertandatangan di bawah ini telah menyatukan dan membentuk Gerakan Pembebasan Serikat untuk Papua Barat (ULMWP), sebuah badan yang mewakili semua organisasi perlawanan baik di dalam maupun di luar Papua Barat".

"Kami menyatakan dan mengklaim bahwa semua orang Papua Barat, baik di dalam maupun di luar Papua Barat, dipersatukan dalam tubuh baru ini dan akan melanjutkan perjuangan kemerdekaan kita".
"Pertemuan ini telah dilakukan sesuai dengan keputusan yang diambil oleh Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Moresby, Papua Nugini pada bulan Juni 2014, bahwa organisasi Kemerdekaan Papua Barat harus terlebih dahulu bersatu sebelum permohonan keanggotaan dapat diajukan kembali ke Melanesia Spearhead Group (MSG). Kami sekarang bersatu dan akan mengajukan permohonan kembali di bawah badan baru ini, yaitu ULMWP".

"Kami bertekad bahwa Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) menjadi Badan Koordinasi untuk mendukung semua upaya internasional untuk mendapatkan kembali kedaulatan kita. Untuk mendukung hal ini, kami telah membentuk sebuah sekretariat lima orang; Benny Wenda, Jacob Rumbiak, Leone Tanggahma, Octovianus Mote dan Rex Rumakiek, dan mewakili tiga organisasi perlawanan terbesar dan juga semua organisasi perlawanan non-afiliasi yang mendukung perjuangan kita. Kami akan mempertahankan organisasi kami yang ada namun berkomitmen untuk dipersatukan oleh upaya koordinasi Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat".

"Deklarasi penting dan bersejarah ini dimungkinkan melalui usaha setia Pemerintah Vanuatu, Dewan Pemimpin Nasional Malvatumauri, Dewan Kristen Vanuatu (VCC), Konferensi Gereja-gereja Pasifik (CAC) dan komitmen organisasi pembebasan."

Setelah upacara penandatanganan, Presiden Dewan Kepala Nasional Malvatumauri dan anggota Dewan Pemimpin Port Vila memfasilitasi upacara penyatuan reunifikasi, untuk tiga Kelompok Papua Barat yang selama bertahun-tahun berjuang terpisah-pisah. Ketua Komite Reunifikasi Papua Barat Pastor Allen Nafuki mengatakan, "Panitia penyelenggara sangat senang dengan hasil Pertemuan yang mencapai tujuannya dengan sangat berhasil melalui pertimbangan dan pemahaman yang baik tentang ketiga Kelompok Papua dan juga Dewan Nasional Malvatumauri, Dewan Pemimpin Port Vila, Konferensi Pasifik Gereja (PCC), Dewan Kristen Vanuatu (VCC), dengan dukungan penuh dari pemerintah Vanuatu yang dipimpin oleh Perdana Menteri Natuman, Wakil PM, menteri hadir pada hari Sabtu, 6 Desember 2014, dan orang-orang dari Vanuatu.

"Ini tidak bisa dicapai dengan pemahaman semua orang yang terlibat, terutama ketiga Kelompok Papua Barat dengan para pemimpin dan anggota delegasi mereka, Pemerintah Vanuatu, Malvatumauri, VCC dan PCC dan banyak pendukung lainnya. Pertemuan tersebut telah mencapai tujuan yang kita semua banggakan dan bersyukur kepada Tuhan atas bimbingan-Nya. "

Penandatanganan ditandatangani oleh tiga pemimpin yang mewakili tiga Kelompok Papua Barat dan disaksikan oleh Presiden Kepala MalvatumauriTirsupe, Pastor Kalsakau Urtalo atas nama VCC, Mr. Murray Isimeli, dari PCC dan Vanuatu dan mantan perdana menteri Vanuatu Barak Sope.

"Kita tidak akan pernah lupa bagaimana Tuan Edward Nipake Natapei mendoakan kita para pemimpin Papua Barat selama pertemuan penyatuan Papua kita yang terakhir di Port Vila, 6 Desember tahun 2014, karena restu yang dimuliakan kita akan membebaskan bangsa dan tanah air kita Papua Barat dari perbudakan kolonial. Dan jangan lupa berterima kasih juga kepada Tuan Ralph John Regenvanu atas segala dukungan dan jerih payah untuk rakyat Papua Barat mendapat Pengakuan Parlemen Vanuatu pada, Juni 2010, yang kini menjadi Landasan Hukum Rakyak dan Pemeritah Vanuatu dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Papua membebaskan tanah airnya Papua Parat”.

VANUATU MEMBUAT SEJARAH BARU BAGI BANGSA-BANGSA TERTINDAS.


Untuk pertama kalinya dalam sejarah, awal September 2018, Pemerintah Vanuatu membuat pengajuan dalam sebuah kasus di hadapan Mahkamah Internasional (ICJ), organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuan dari kasus ICJ ini adalah untuk memberikan Pendapat Penasehat sehubungan dengan Konsekuensi Hukum Pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius pada tahun 1965.
Vanuatu tampak memperdebatkan posisi prinsipnya tentang hak untuk menentukan nasib sendiri, konsisten dengan sejarah panjang dukungannya bagi rakyat yang berjuang untuk kebebasan mereka dari penjajahan, termasuk Timor Timur dan Papua Barat. Seperti yang dikatakan Walter Lini pada tahun 1982: “[Pasifik] adalah salah satu wilayah terakhir di dunia di mana tangan berat kolonialisme terus dimainkan. […] Sisa-sisa masa lalu ini harus diangkat dari lautan kita, karena, dalam semua kebenaran, dan seperti yang telah saya katakan sebelumnya, sampai kita semua bebas, tidak satupun dari kita tetap tertindas”.
Masalah ini dirujuk ke ICJ untuk mendapatkan pendapat penasihat oleh Majelis Umum PBB dengan pengadopsian resolusi A / RES / 71/292 yang meminta ICJ memberikan pendapat penasehat atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
(a) "Apakah proses dekolonisasi Mauritius secara hukum selesai ketika Mauritius diberikan kemerdekaan pada tahun 1968, setelah pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius dan dengan memperhatikan hukum internasional, termasuk kewajiban yang tercermin dalam resolusi Majelis Umum 1514 (XV) dari 14 Desember 1960, 2066 (XX) 16 Desember 1965, 2232 (XXI) dari 20 Desember 1966 dan 2357 (XXII) 19 Desember 1967? ”;
(b) “Apa konsekuensi menurut hukum internasional, termasuk kewajiban yang tercermin dalam resolusi yang disebutkan di atas, yang timbul dari administrasi lanjutan oleh Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara dari Kepulauan Chagos, termasuk sehubungan dengan ketidakmampuan Mauritius untuk mengimplementasikan sebuah program untuk pemukiman kembali di Chagos Archipelago dari warga negaranya, khususnya mereka yang berasal dari Chagossian? ”
Vanuatu memberikan suara mendukung resolusi di Majelis Umum PBB dan pada 25 Mei tahun ini (2018). Perdana Menteri Mauritius, Pravind Kumar Jugnauth, menulis surat kepada Perdana Menteri Charlot Salwai meminta Vanuatu untuk membuat pengiriman lisan dalam kasus ICJ untuk mendukung Mauritius .
Surat itu dan permintaan itu disampaikan kepada Menteri Luar Negeri, Ralph Regenvanu, oleh Menteri Industri Pertanian dan Ketahanan Pangan Mauritius, Mahen Kumar Seeruttun dalam pertemuan bilateral tentang batas-batas Dewan ACP dan ACP / Uni Eropa ke-107 dan ke-43 Menteri di Lome, Togo, pada 28 Mei 2018.
Menteri Regenvanu meyakinkan Menteri Seeruttun pada saat itu bahwa Vanuatu akan mendukung Mauritius dan mengajukan permohonan dalam kasus seperti yang diminta.
Vanuatu bergabung dengan dua puluh satu Negara dan Uni Afrika berpartisipasi dalam proses lisan. Negara-negara ini, dalam urutan abjad: Argentina, Australia, Belize, Botswana, Brasil, Siprus, Jerman, Guatemala, India, Israel, Kenya, Kepulauan Marshall, Mauritius, Nikaragua, Nigeria, Serbia, Afrika Selatan, Thailand, Inggris dari Inggris Raya dan Irlandia Utara, Amerika Serikat, Vanuatu dan Zambia.
Vanuatu berbicara di Pengadilan pada pagi hari Kamis, 6 September 2018 (akhir Kamis malam waktu Vanuatu) dan presentasi argumen Vanuatu oleh pengacaranya dapat dilihat online di: https://www.icj-cij.org/…/multimed…/5b8ce181a12d880415cfb4f7.
Vanuatu diwakili pada sidang oleh Profesor Robert McCorquodale, seorang ahli internasional tentang hukum penentuan nasib sendiri, Jennifer Robinson, seorang pengacara yang mengkhususkan diri dalam hukum internasional yang juga telah menyarankan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Nicola Peart, seorang pengacara yang mengkhususkan diri dalam hukum internasional yang telah bekerja pada berbagai perselisihan internasional profil tinggi, dan Mr. Noah Patrick Kouback dari Misi Permanen Vanuatu di Jenewa.
Menteri Regenvanu mengatakan Mauritius "senang" dengan pengiriman Vanuatu, dengan Perdana Menteri Jugnauth menyebut mereka "salah satu yang terbaik dalam seminggu" dan datang untuk secara pribadi memberi selamat kepada delegasi Vanuatu setelah pengajuan mereka. Diharapkan bahwa ICJ akan mengeluarkan keputusannya dalam kasus ini (Pendapat Penasehat) antara enam hingga dua belas bulan.
Menteri Regenvanu mengatakan, "Kami mengantisipasi bahwa Opini akan menetapkan prinsip-prinsip hukum yang menguntungkan yang akan membantu Vanuatu dalam negosiasi kami dengan Prancis tentang Matius dan Kepulauan Hunter dan juga dalam advokasi kami untuk dekolonisasi Papua Barat".
Prosedur 
Prosedur penasehat terbuka untuk lima organ PBB dan 16 badan khusus dan organisasi terkait dari sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini memungkinkan mereka untuk meminta pendapat dari Pengadilan tentang pertanyaan hukum.
Saat menerima permintaan untuk pendapat penasihat, Pengadilan itu sendiri menyusun daftar Negara-negara dan organisasi yang mungkin dapat memberikan informasi yang relevan. Kemudian mengatur proses tertulis dan / atau lisan berdasarkan Pasal 66 dari Statuta dan 105 Peraturannya. 
Tidak seperti putusan yang dijatuhkan dalam proses perselisihan antar Negara, pendapat Pengadilan tidak memiliki efek mengikat seperti itu. Namun, kewenangan Pengadilan sebagai organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa melekat pada mereka.
Sejak 1946 Pengadilan telah memberikan 27 Opini Penasihat, mengenai, antara lain, syarat-syarat penerimaan suatu Negara untuk keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, reparasi untuk cedera yang diderita dalam pelayanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, status internasional Afrika Barat Daya (Namibia). ), pengeluaran tertentu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, penilaian tertentu yang diberikan oleh pengadilan administratif Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sahara Barat, penerapan kewajiban untuk berarbitrase berdasarkan Pasal 21 Perjanjian Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, pertanyaan yang berkaitan dengan hak istimewa dan kekebalan pelapor hak asasi manusia , legalitas ancaman atau penggunaan senjata nuklir, konsekuensi hukum dari pembangunan tembok di wilayah Palestina yang diduduki dan deklarasi kemerdekaan sepihak sehubungan dengan Kosovo.

INDONESIA BERUSAHA MENGUASAI PASIFIK “PAPUA BARAT MENJADI ALAT TUKAR”


Batas wilayah (borderline) West Papua dijadikan strategi geopolitik Indonesia pintu masuk ke pasifik. Papua New Gunea (PNG) berbatasan langsung dengan West Papua, dimerdekakan oleh Australia pada, 16 September 1975 menjadi incaran Indonesia untuk melangkah masuk ke wilayah Pasifik Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia. Langkah tersebut dimulai sejak 1973 dua tahun sebelum PNG merdeka dari koloni Australia.
Langkah-langkah strategis yang dirancang oleh Jakarta terlihat jelas dari kunjungan resmi para presiden Indonesia ke negara bekas koloni Australia itu. Lawatan para presiden Indonesia dimulai tahun 1979 yaitu kunjungan resmi presiden RI ke- 2 Suharto dijamu oleh PM Michael Somare, serta undangan resmi Indonesian kepada PM Paias Wingti pengganti PM Somare pada tahun 1988,selain bertemu presiden Suharto juga mengadakan pertemuan dengan MENHANKAM. Berselang 12 tahun kemudian pada tahun 2010 menguatnya isu OPM di PNG, tergesa-gesa presiden RI ke- 6 Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan kunjungan resmi ke PNG bertemu gubernur jenderal PNG dan mengadakan pertemuan tertutup dengan PM Michael Somare, serta disusul presiden RI ke-7 JOKOWI dalam lawatan meningkatkan hubungan bilateral kedua negara, diterima oleh PM Peter O'Neill, dilanjutkan pertemuan tingkat menteri antara menteri perdagangan dan luar negeri PNG Kimbink Pato dan MENKOPOLHUKAM RI Luhut Binsar Panjaitan pada 1-4-2016, membicarakan kerjasama kebudayaan, perdagangan, hingga pertahanan keamanan kedua negara.

ISU PAPUA MERDEKA MEMASUKI BABAK BARU DI PAPUA NEW GUNEA.
Powes Parkop Pengacara dan Politisi PNG

Isu Papua Merdeka memulai babak baru dalam peta perpolitikan nasional PNG pada, 15 Juli 2010, dan berpengaruh ke seluruh kepulauan Pasifik. Dalam pertemuan akbar pada, 15 Juli 2010 di lapangan terbuka five mile park, Port Moresby seorang tokoh politik berpengaruh 'Powes Parkop' gubernur DKI Port Moresby dalam pidato kampanye politik pencalonan PM PNG, menegaskan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan Papua Barat, dan menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat PNG mendukung perjuangan kemerdekaan Papua Batat termasuk yang berada diseluruh wilayah kepulauan pasifik.

Pandangan Umum Di Kawasan Pasifik: 'Wantok and Blood Money'.
Wantok mewarnai dukungan lapisan masyarakat Pasifik terhadap Papua Barat sebagai keluarga melanesia, yang mempunyai hak penentuan nasib sendiri, dan Blood Money adalah julukan yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia yang menggunakan uang hasil kekayaan bumi Papua Barat untuk menyumbat mulut para pemimpin negara-negara di pasifik tentang isu Papua Barat.Kenyataan yang kini teramati bahwa, Isu Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua Barat sudah menjadi pandangan umum masyarakat internasional, telah melewati batas-batas wilayah pasifik dan telah menjadi agenda G to G Non NGO artinya sudah masuk keranah Pemerintahan bukan LSM lagi yang selama ini menyuarakan Isu Papua Barat. (Sumber: Catatan pribadi penulis, Rangkuman editorial RNZ, Vanuatu Daily Post, dan Wikipedia Ralph John Regenvanu))

Tidak ada komentar:

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...