Kamis, 18 Maret 2021

 

hukumonline.com

Ulasan lengkap : Dampak Instrumen Hukum Internasional terhadap Pengaturan Hak Imunitas Advokat

3-4 minutes


Pertanyaan

Berkaitan dengan pengaturan hak imunitas advokat, bagaimana kedudukan International Bar Association (IBA) Standards for Independence of Legal Proffesion, Basic Principles On The Rule Of Lawyers dan Universal Declaration on the Independence of Justice dalam sistem hukum nasional? Apakah Indonesia telah meratifikasi instrumen hukum internasional tersebut?

Ulasan Lengkap

Pertama, kami akan menjelaskan bahwa pertanyaan yang Anda ajukan mengacu pada tiga instrumen hukum internasional yang berbeda, yaitu:

1.   International Bar Association (“IBA”) Standards for the Independence of Legal Profession, 1990 (“1990 IBA Standards”);

2.   Basic Principles on the Role of Lawyers, Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, 27 August to 7 September 1990, 1990 (“UN Basic Principles”); dan

3.   Montreal Declaration, the Universal Declaration on the Independence of Justice (“Montreal Declaration”).

Hak Imunitas

Instrumen-instrumen hukum internasional disebut di atas menyatakan bahwa seorang advokat atau pengacara menikmati hak imunitas atas semua pernyataannya – baik tertulis maupun lisan – yang diberikan dengan iktikad baik dalam persidangan perdata maupun pidana.

Hak imunitas ini termasuk kehadiran secara profesional di suatu pengadilan maupun otoritas hukum atau administratif lainnya, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Informasi, dan lainnya (Par. 11, 1990 IBA Standards, Par. 20, UN Basic Principles, Par. 3.17, Montreal Declaration).

Tidak Mengikat

Instrumen-instrumen hukum internasional yang disebutkan di atas tidak mengatur mekanisme pengesahan (pengikatan diri), seperti penandatanganan, ratifikasi, aksesi, penerimaan, penyetujuan maupun pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik. Sehingga, instrumen-instrumen hukum internasional tersebut tidak dapat melalui prosedur pengesahan berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU Perjanjian Internasional”).

Sebagaimana diatur oleh Pasal 9 dari UU Perjanjian Internasional, pengesahan suatu perjanjian internasional hanya dapat dilakukan jika dipersyaratkan oleh perjanjian internasional yang dimaksud.

Karena instrumen-instrumen hukum internasional disebut di atas tidak dapat melalui prosedur pengesahan berdasarkan UU Perjanjian Internasional, sehingga pengikatan diri tidak dimungkinkan, kedudukan mereka dalam sistem hukum nasional adalah sebagai acuan yang tidak mengikat.

Persamaan

Meskipun tidak mengikat, apa yang dinyatakan oleh intrumen-instrumen hukum internasional di atas hampir secara keseluruhan sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 16 dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).

Hal ini mengindikasikan bahwa hukum Indonesia sudah mengakui bahwa advokat menikmati hak imunitas, yaitu tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, ketika menjalankan tugas profesi dengan itikad baik dalam sidang pengadilan tanpa intervensi dari sistem hukum internasional.

Dasar hukum:

Referensi:

2.   UN Basic Principles

3.   Montreal Declaration 

 

hukumonline.com

Ulasan lengkap : Apa Itu Prinsip Jure Imperii?

5-6 minutes


Pertanyaan

Saya sering mendengar tentang prinsip Iure Imperii di ranah hukum Internasional, dimana menurut sepengetahuan saya prinsip itu adalah tentang perbuatan hukum yang dilakukan oleh negara dalam bidang hukum publik, sehingga mendapat imunitas dari gugatan negara lain. Namun saya belum pernah mendapatkan definisi dari prinsip Iure Imperii secara pasti dari sebuah literatur, mohon kiranya jika ada yang mengetahuinya bisa membagi informasi.

Ulasan Lengkap

Intisari

Acta de jure imperii (jus imperii) adalah tindakan resmi suatu negara (beserta perwakilannya) dibidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Imunitas dapat diberikan kepada negara dalam tindakan jus imperii.

Apakah imunitas juga diberikan kepada negara dalam tindakannya di wilayah komersial (private acts)? Penjelasan selengkapnya silakan baca ulasan di bawah ini.

Ulasan

Terima kasih atas pertanyaannya.

Istilah acta de jure imperii atau juga dikenal dengan jus imperii dalam hukum internasional, sangat erat kaitannya dengan pemberian imunitas terhadap suatu negara.

Secara historis, imunitas itu sendiri memiliki dua konsep, yaitu imunitas absolut dan imunitas terbatas (restrictive immunity). Dalam konsep imunitas absolut, suatu negara memiliki imunitas yang tidak dapat diganggu gugat oleh negara lainnya.[1] Konsep imunitas absolut ini dipakai pertama kali dalam kasus Schooner Exchange vs. McFaddon di Amerika,[2] yang mana selanjutnya juga diterapkan dalam kasus The Parlemen Belge di Inggris Raya (United Kingdom).[3]

Selanjutnya pada awal abad ke-20, saat negara juga telah terlibat dalam transaksi komersial dengan pihak swasta, maka berkembanglah konsep imunitas terbatas karena konsep imunitas absolut dianggap kurang menjamin keadilan kepada perusahaan swasta.[4] Negara dapat berlindung di balik konsep imunitas absolut untuk tindakan yang sifatnya komersial (private acts).[5]

Dalam konsep imunitas terbatas ini tindakan negara dibedakan menjadi dua macam, yaitu acta de jure imperii dan acta de jure gestionis.[6] Acta de jure imperii (jus imperii) adalah tindakan resmi suatu negara (beserta perwakilannya) di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Imunitas dapat diberikan kepada negara dalam tindakan jus imperii.[7] Konsep jus imperii ini juga digunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam memeriksa kasus Germany vs. Italy.[8]

Di sisi lain, acta de jure gestionis (jus gestionis) adalah tindakan negara untuk tindakan yang sifatnya komersial (private acts).[9] Tindakan jus gestionis dapat dianggap sebagai layaknya perdagangan pada umumnya. Sehingga apabila ada sengketa yang ditimbulkan dari tindakan tersebut, negara dapat dituntut di badan peradilan umum maupun badan arbitrase. Dalam hal ini, imunitas tidak dapat diberikan kepada negara untuk tindakan (jus gestionis).[10]

Konsep imunitas terbatas telah diakui di berbagai negara, antara lain Inggris Raya, Amerika Serikat, Australia Pakistan, Kanada, Afrika Selatan, Jepang, Singapura, Israel, Argentina, dan Malaysia.[11] Konsep imunitas terbatas ini akan diatur dalam the United Nations Convention on Jurisdictional Immunities of State and Their Property, yang mengakui bahwa imunitas suatu negara dibedakan berdasarkan tindakan yang dilakukannya.[12]

Demikian semoga membantu.



[1] Malcolm N. Shaw, International Law (6th ed, Cambridge University Press, Cambridge, 2008), hal. 701.

[2] Matthew McMenamin, State Immunity before The International Court of Justice: Jurisdictional Immunities of the State, 44 VUWLR 2013, hal. 191.

[3] Ernest K. Brankas, the State Community Controversy in International Law: Private Suits Against Sovereign States in Domestic Courts (Springer, Berlin, 2005), hal. 251.

[4] Rosanne van Alebeek, the Immunity of States and Their Officials in International Criminal Law and International Human Rights Law, (Oxford Univ. Press, New York, 2008), hal. 47.

[5] Leandro de Oliveira Moll, Al-Adsani vs. United Kingdom: State Immunity and Denial of Justice with Respect to Violations of Fundamental Human Rights, 4 MJIL 561 (2003), hal. 566.

[6] Hazel Fox, the Law of State Immunity, (2nd ed, Oxford Univ. Press, Oxford, 2008), hal. 35.

[7] L. Fischer Damrosch et al, International Law, (4th ed, 2004), hal 1198.

[8]Jurisdictional Immunities of the State (Germany vs. Italy: Greece Intervening), judgement, ICJ Reports 2012, paragraf 64 – 76.

[10] Sevrine Knuchel, State Immunity and the Promise of Jus Cogens, Northwest Journal of International Human Rights Vol. 9 (2011), hal. 162.

[11] Lihat Matthew McMenamin, supra note 2, hal. 192.

[12] Art. 10, United Nations Convention on Jurisdictional Immunities of States and Their Property (opened for signature 17 January 2005, not yet in force) 

 

 

 

 

 

hukumonline.com Senin, 10 April 2017

Ulasan lengkap : Tindakan-tindakan yang Termasuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan

10-13 minutes


Description: https://images.hukumonline.com/frontend/lt56d6e948e466f/lt56d6ebd012593.jpg

Pertanyaan

Beberapa hari yang lalu ramai diberitakan bahwa penduduk sipil di Suriah diserang dengan menggunakan senjata kimia hingga menewaskan puluhan orang. Apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan?

Ulasan Lengkap

Intisari:

Untuk menentukan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan perlu untuk memperhatikan dua hal, yaitu Actus Reus (tindakan jahat) dan Mens Rea (niat jahat). Dalam hal ini, serangan dengan menggunakan senjata kimia terhadap penduduk sipil di Suriah secara kasat mata memenuhi unsur Actus Reus sebagaimana yang tercantum dalam Statuta Roma. Namun dalam menentukan Mens Rea dalam kasus tersebut bukanlah hal yang mudah dan memerlukan kajian yang lebih dalam dan tidak bisa hanya melalui berita yang beredar di media saja.

Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity/”CAH”).

Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against Humanity)

Konsep CAH pertama kali diperkenalkan di era setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam Pasal 6 huruf c Charter of the International Military Tribunal (“Nuremberg Charter”), tindakan CAH dijelaskan sebagai berikut:

Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan.

Seiring dengan terjadinya perkembangan di bidang hukum pidana internasional, penjelasan terkait CAH tersebut kemudiaan diadaptasi dan digunakan di dalam beberapa statuta pengadilan internasional, antara lain:

a.    International Military Tribunal for the Far East;

b.    International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY);

c.    International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR); dan

d.    International Criminal Court (ICC).

Saat ini dapat dikatakan bahwa pengaturan terkait CAH yang paling komprehensif terdapat pada The Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”) Tahun 1998, atau statuta pendirian dari ICC. Dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma diatur mengenai jenis-jenis perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi CAH, yaitu:

“Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya tindakan berikut ini:

a.    Pembunuhan;

b.    Pemusnahan;

c.    Perbudakan;

d.    Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;

e.    Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

f.     Penyiksaan;

g.  Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;

h.  Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;

i.     Penghilangan paksa;

j.    Kejahatan apartheid;

k.  Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Ketentuan tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma, yaitu:

a.   Serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut;

b.   Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja, antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk;

c.   Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak;

d.    Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lainnya dari tempat dimana penduduk tersebut secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional;

e.  Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali itu, bahwa penyiksaan tersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau insidental dari pengenaan sanksi yang sah;

f.   Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud memengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan;

g.   Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak-hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif;

h.  Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tesebut;

i.     Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.

Serangan Meluas atau Sistematik

Sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma, salah satu elemen penting pada CAH yaitu adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik. Terkait dengan elemen serangan yang meluas, ICTY pada kasus Blaskic telah menyimpulkan bahwa ‘serangan yang meluas’ dapat dilihat dari jumlah korban dan skala serangan yang massive sehingga menimbulkan efek yang serius. Masih dalam kasus yang sama, ICTY menyatakan bahwa elemen ‘sistematik’ dicerminkan oleh suatu pola atau metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yg tetap.

Dalam kasus Kunarac, ICTY menyatakan bahwa serangan terhadap populasi masyarakat sipil yang tidak turut serta dalam perang sudah cukup untuk memenuhi ketentuan terkait ‘serangan’ sebagaimana dijelaskan dalam Statuta Roma. Serangan pun tidak harus dilakukan oleh anggota militer.

Terkait dengan populasi, dalam kasus Kunarac disebutkan bahwa konsep ‘populasi’ adalah memiliki fitur khas sama yang menjadikan mereka sebagai target. Menurut Mettraux, sekelompok orang yang sedang berkumpul tanpa mimiliki fitur khas yang sama, seperti penonton pada pertandingan bola, tidak memenuhi unsur ‘populasi’ pada Statuta Roma.

Serangan Kimia di Suriah

Beberapa waktu lalu telah muncul banyak banyak pemberitaan terkait serangan terhadap penduduk sipil di Suriah dengan menggunakan senjata biologis di berbagai media. Untuk menganalisis apakah serangan yang diluncurkan terhadap penduduk sipil di Suriah termasuk CAH atau bukan, kita perlu mengamati elemen-elemen yang telah dijabarkan di atas.

Pertama yaitu actus reus atau tindakannya. Telah terjadi serangan secara nyata dengan menggunakan senjata biologis di Provinsi Idlib yang menewaskan penduduk sipil kurang lebih 20 anak-anak dan 52 orang dewasa. Skala serangannya pun dapat dibilang cukup massive dan telah menimbulkan efek yang serius terhadap penduduk sipil.

Kedua, yang harus diperhatikan adalah mens rea atau niat jahat. Penting untuk dibuktikan bahwa tindakan yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Suriah adalah tindakan terpola yang memang diniatkan oleh pelaku untuk menghabisi nyawa penduduk sipil dalam skala besar. Membuktikan Mens Rea bukanlah merupakan hal yang mudah. Salah satu cara untuk membuktikan mens rea adalah melalui adanya rencana/kebijakan serangan, namun rencana tersebut tidak harus dinyatakan secara tegas atau terang-terangan sebagaimana dinyatakan oleh ICTY dalam kasus Tadic dan Kunarac.

Berdasarkan pertimbangan di atas, kita perlu berhati-hati dalam mengklasifikasikan suatu perbuatan apakah termasuk CAH atau bukan. Meskipun secara kasat mata tindakan yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Suriah telah memenuhi syarat Actus Reus, namun kita memerlukan kajian yang lebih dalam menentukan Mens Rea yang dimiliki oleh pelaku.

Semoga penjelasan diatas semoga dapat membantu dalam menganalisis dan mengklasifikasikan tindak kejahatan CAH, baik di Suriah maupun di negara lainnya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1.    The Rome Statute of the International Criminal Court;

2.   Charter of the International Military Tribunal - Annex to the Agreement for the prosecution and punishment of the major war criminals of the European Axis

Referensi:

1.   E.P.T. Burns, “Aspect of Crimes against Humanity and The International Criminal Court”, International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, http://icclr.law.ubc.ca/sites/icclr.law.ubc.ca/files/publications/pdfs/AspectofCrimesAgainstHumanity.pdf , diakses pada 7 Maret 2017 pukul 17.32 WIB.

2.   Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Jilid 1: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, http://lama.elsam.or.id/downloads/1296532497_ICTR.pdf, diakses pada 7 April 2017 pukul 17.45 WIB.

3.   Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Jilid 2: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengalidan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia, http://lama.elsam.or.id/downloads/1296531552_ICTY.pdf, diakses pada 7 April 2017 pukul 17.50 WIB.

 

 

hukumonline.com

Ulasan lengkap : Prosedur Penuntutan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

6-7 minutes


Description: https://images.hukumonline.com/frontend/lt4fbded50bf741/lt4fcc5e79a314b.jpg

Pertanyaan

Apakah pelanggaran HAM seperti tragedi Malari bisa dijatuhi hukuman bagi pelakunya, atau masih bisakah diusut untuk sekarang ini? Apakah tragedi yang mengenai pelanggaran HAM tersebut sudah daluwarsa menurut hukum nasional?

Ulasan Lengkap

Suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”) dapat diproses secara hukum melalui Pengadilan HAM. Akan tetapi, Pengadilan HAM hanya dapat mengadili pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur Pasal 1 angka 3 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU 26/2000”).

Kemudian, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU 26/2000).

Pengertian dari kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara (Pasal 8 UU 26/2000):

a.    membunuh anggota kelompok;

b.    mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c.    menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

d.    memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

e.    memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain

Sedangkan, pengertian dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa (Pasal 9 UU 26/2000):

a.    pembunuhan;

b.    pemusnahan;

c.    perbudakan;

d.    pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e.    perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f.     penyiksaan;

g.    perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h.    penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i.      penghilangan orang secara paksa; atau

j.     kejahatan apartheid.

Menurut Pasal 18 ayat (1) UU 26/2000, penyelidikan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”). Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya, berwenang menerima laporan atau pengaduan seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat (Pasal 19 ayat [1] huruf b UU 26/2000). Sedangkan, untuk penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung (Pasal 21 ayat [1] jo. Pasal 23 ayat [1] UU 26/2000).

Terkait dengan peristiwa Malari yang Saudara tanyakan, peristiwa tersebut terjadi pada 1974, artinya terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000. Lantas, apakah peristiwa yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 dapat diadili? Menurut Pasal 43 ayat (1) UU 26/2000, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc ini dibentuk melalui Keputusan Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) terhadap suatu peristiwa tertentu (Pasal 43 ayat [2] UU 26/2000).

Di dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 disebutkan bahwa:

“Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.”

Jadi, dalam hal penuntutan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000, penentuan peristiwa tersebut harus dilanjutkan pemeriksaan hukumnya melalui pengadilan HAM Ad Hoc, bergantung kepada DPR.

Namun, ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul DPR pernah dimohonkan pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh Eurico Guterres. Hasilnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 sepanjang mengenai kata “dugaan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Mengutip artikel DPR Tidak Bisa Lagi Tentukan Sendiri Dugaan Pelanggaran HAM, menurut salah satu Hakim Konstitusi, A.S. Natabaya, kata ‘dugaan’ dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dengan adanya putusan MK No. 18/PUU-V/2007, DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Selain itu, mengenai kewenangan pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili peristiwa yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 sebagian berpendapat bertentangan dengan asas retroaktif dalam hukum pidana. Lebih lanjut, Saudara dapat membaca artikel Pengadilan HAM Ad Hoc Bersifat Retroaktif?

Kesimpulannya, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 tetap dapat diusut, diperiksa, dan diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini diajukan oleh DPR setelah mendapat hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2007 tanggal 21 Februari 2008

 

Ulasan lengkap : Pengadilan HAM Ad Hoc Bersifat Retroaktif?

5-6 minutes


Pertanyaan

Dalam salah satu pasal dalam UU Pengadilan HAM Tahun 2000 disebutkan bahwa pengadilan HAM dapat mengadili kasus-kasus yang terjadi sebelum peradilan ini ada, misal kasus Tanjung Priok. Apakah ini berarti pengadilan HAM ad hoc bersifat retroaktif?  

Ulasan Lengkap

Memang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

Jika melihat pada ketentuan tersebut, memang asas berlaku surut dikenal dalam pengadilan HAM. Terhadap asas berlaku surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM itu pernah diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) oleh Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur pada waktu itu (tahun 2004). Asas retroaktif ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (“KUHP”) dan juga bertentangan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 1 ayat (1) KUHP

Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Meski demikian, MK kemudian menolak permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM melalui putusan MK No. 065/PUU-II/2004 yang dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Dalam pointers berjudul Eksistensi Pengadilan HAM Ad Hoc Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat (diunduh dari www.akilmochtar.com), hakim konstitusi HM. Akil Mochtar, S.H., M.H. menulis antara lain bahwa:

Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena merupakan salah satu bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui Putusan MK No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas non-retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK tersebut sebagai berikut.

(a)    pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan

(b)    Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD 1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

Perdebatan penerapan asas retroaktif memang bukan hal yang baru. Sebelumnya, penerapan asas retroaktif telah dipertimbangkan oleh majelis hakim ad hoc pengadilan HAM untuk beberapa terdakwa kasus Timor Timur dalam putusan sela. Di mana dalam putusan sela tersebut disebutkan asas retroaktif digunakan berdasarkan kajian terhadap praktik pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas non-retroaktif demi tegaknya keadilan. Kajian tersebut antara lain mengacu pada praktik negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nuremberg dan Tokyo, pengadilan internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda (ICTY dan ICTR), dan kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerusalem. Selain itu, pertimbangan majelis hakim ad hoc saat itu antara lain adalah kejahatan pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak secara luas oleh karena itu asas retroaktif dapat diberlakukan dengan adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28 J ayat (2). Lebih jauh simak artikel Asas Retroaktif Kembali Digugat.

Jadi, memang dalam Pengadilan HAM Ad Hoc berlaku asas retroaktif dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1.      Undang-Undang Dasar 1945;

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

3.      Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline 

 

hukumonline.com

Ulasan lengkap : Pengadilan HAM Ad Hoc Bersifat Retroaktif?

5-6 minutes


Pertanyaan

Dalam salah satu pasal dalam UU Pengadilan HAM Tahun 2000 disebutkan bahwa pengadilan HAM dapat mengadili kasus-kasus yang terjadi sebelum peradilan ini ada, misal kasus Tanjung Priok. Apakah ini berarti pengadilan HAM ad hoc bersifat retroaktif?  

Ulasan Lengkap

Memang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

Jika melihat pada ketentuan tersebut, memang asas berlaku surut dikenal dalam pengadilan HAM. Terhadap asas berlaku surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM itu pernah diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) oleh Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur pada waktu itu (tahun 2004). Asas retroaktif ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (“KUHP”) dan juga bertentangan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 1 ayat (1) KUHP

Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Meski demikian, MK kemudian menolak permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM melalui putusan MK No. 065/PUU-II/2004 yang dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Dalam pointers berjudul Eksistensi Pengadilan HAM Ad Hoc Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat (diunduh dari www.akilmochtar.com), hakim konstitusi HM. Akil Mochtar, S.H., M.H. menulis antara lain bahwa:

Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena merupakan salah satu bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui Putusan MK No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas non-retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK tersebut sebagai berikut.

(a)    pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan

(b)    Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD 1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

Perdebatan penerapan asas retroaktif memang bukan hal yang baru. Sebelumnya, penerapan asas retroaktif telah dipertimbangkan oleh majelis hakim ad hoc pengadilan HAM untuk beberapa terdakwa kasus Timor Timur dalam putusan sela. Di mana dalam putusan sela tersebut disebutkan asas retroaktif digunakan berdasarkan kajian terhadap praktik pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas non-retroaktif demi tegaknya keadilan. Kajian tersebut antara lain mengacu pada praktik negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nuremberg dan Tokyo, pengadilan internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda (ICTY dan ICTR), dan kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerusalem. Selain itu, pertimbangan majelis hakim ad hoc saat itu antara lain adalah kejahatan pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak secara luas oleh karena itu asas retroaktif dapat diberlakukan dengan adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28 J ayat (2). Lebih jauh simak artikel Asas Retroaktif Kembali Digugat.

Jadi, memang dalam Pengadilan HAM Ad Hoc berlaku asas retroaktif dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1.      Undang-Undang Dasar 1945;

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

3.      Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebo

 

Ulasan lengkap : Konsep Proprio Motu dalam Statuta Roma dan Penerapannya

6-7 minutes


Pertanyaan

Pasal 15 (1) Statuta Roma menyatakan: The Prosecutor may initiate investigations proprio motu on the basis of information on crimes within the jurisdiction of the Court. Apa arti dari "proprio motu"? Dan bagaimana penerapannya dalam ketentuan-ketentuan lain?

Ulasan Lengkap

Merujuk pada Merriam-Webster Dictionary, istilah proprio motu didefinisikan sebagai “by one's own motion; on one's own initiative”. Definisi ini dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “inisiatif diri sendiri”. Istilah proprio motu sebenarnya jarang dipakai dalam praktik hukum pada umumnya, melainkan lebih sering digunakan oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik.

Di praktik hukum Amerika Serikat, ada padanan yang mirip dengan proprio motu, yaitu sua sponte. Menurut Black’s Law Dictionary Sixth Edition, sua sponte diartikan sebagai “of his or its own will or motion; voluntarily; without prompting or suggestion”. Dari pengertian ini, sua sponte memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan proprio motu.

Dalam konteks Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”), proprio motu adalah kewenangan yang diberikan oleh Statuta Roma kepada Office of the Prosecutor (“OTP”) di International Criminal Court (“ICC”), untuk memulai investigasi atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (lihat Pasal 5 Statuta Roma).

Dengan adanya kewenangan ini, OTP (bisa dipadankan sebagai jaksa atau penuntut) dari ICC tidak harus bersifat pasif dan menunggu adanya laporan. Untuk diketahui, berdasarkan Pasal 13 Statuta Roma, ICC lebih cenderung untuk memulai adanya investigasi atas kejahatan internasional setelah adanya laporan Dewan Keamanan PBB atau negara para pihak Statuta Roma.

Menurut Siebert Fohr dalam makalahnya berjudul The Relevance of the Rome Statute of the International Criminal Court for Amnesties and Truth Commissions, kewenangan ini diberikan kepada OTP untuk mengatasi keengganan negara pihak Statuta Roma atau Dewan Keamanan PBB untuk melaporkan kejahatan internasional, karena alasan-alasan politis.

Tentunya, kewenangan ini tidak bisa langsung dilaksanakan tanpa adanya tahapan dan pertimbangan. Berdasarkan Pasal 15 ayat 2 Statuta Roma, sebelum melaksanakan investigasi proprio motu, OTP harus mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya dari negara yang berkepentingan, badan-badan PBB, organisasi internasional (pemerintah dan non-pemerintah), dan sumber lain yang dapat dipercaya.

Setelah informasi selesai dikumpulkan, OTP lalu mengajukan permohonan investigasi pada pre-trial chamber ICC (majelis hakim yang bertugas untuk menentukan investigasi, surat penangkapan, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk jalannya persidangan ICC). Dalam laporannya, OTP harus menunjukkan informasi dan aspek-aspek terkait secara jelas kepada pre-trial chamber (lihat Pasal 15 ayat 3 Statuta Roma).

Susana SáCouto dan Katherine A. Cleary dalam makalahnya berjudul “The Gravity Threshold of the International Criminal Court”, menyebutkan ada lima aspek yang harus dipertegas oleh OTP yakni:

1.    Derajat kejahatan (scal

.    Derajat kejahatan (scale of the crimes);

2.    Tingkat kekejaman kejahatan (the severity of the crimes);

3.    Sifat sistematis dari kejahatan (the systematic nature of the crimes);

4.    Bagaimana kejahatan itu dilakukan (the manner in which they were committed); dan

5.    Dampak kejahatan kepada korban (the impact on victims).

Kelima aspek ini lazim disebut dengan gravity threshold atau gravity requirements. Setelah disetujui, jaksa dapat melaksanakan investigasi atas kejahatan internasional yang telah terjadi.

Untuk diketahui, proprio motu dalam rezim Statuta Roma, hanya diterapkan untuk kewenangan jaksa dalam memulai investigasi atas kejahatan internasional tanpa adanya laporan terlebih dahulu. Tidak ada ketentuan lain dalam Statuta Roma yang termasuk proprio motu.

Menurut Luis Moreno-Ocampo, jaksa pertama di ICC, dalam makalah berjudul The International Criminal Court: Seeking Global Justice, ketentuan proprio motu dalam Statuta Roma adalah hal yang menjadi pembeda ICC dengan pengadilan internasional lainnya seperti International Criminal Tribunal for Rwanda atau International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia. Menurutnya, ketentuan proprio motu akan memastikan terwujudnya keadilan di atas keputusan-keputusan politis negara atau Dewan Keamanan PBB.

Sebagai informasi, jaksa ICC sudah dua kali melaksanakan investigasi proprio motu atas kejahatan internasional. Yang pertama adalah investigasi atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Kenya. Investigasi ini kemudian berlanjut dengan persidangan atas enam pejabat negara Kenya, termasuk Uhuru Kenyatta yang saat ini menjabat sebagai Presiden Kenya.

Yang kedua adalah investigasi atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Cote d’Ivoire (Pantai Gading), yang berlanjut dengan persidangan atas Laurent Gbagbo, mantan Presiden Pantai Gading.

The Rome Statute of the International Criminal Court

Referensi:

Anja Seibert-Fohr, “The Relevance of the Rome Statute of the International Criminal Court for Amnesties and Truth Commissions”, http://www.mpil.de/ww/de/pub/forschung/forschung_im_detail/publikationen/institut/mpyunl/volume_7.cfm, akses pada 3 April 2013.

Susana SáCouto dan Katherine A. Cleary, “The Gravity Threshold of the International Criminal Court”. http://digitalcommons.wcl.american.edu/auilr/vol23/iss5/1/, akses pada 3 April 2013.

Luis Moreno-Ocampo, The International Criminal Court: Seeking Global Justice, http://law.case.edu/journals/JIL/Documents/(12)Luis%20Moreno-Ocampo.pdf, akses pada 3 April 2013.

hukumonline.com

Ulasan lengkap : Vatikan Sebagai Subyek Hukum Internasional

2-3 minutes


Pertanyaan

Apa alasan subyek hukum internasional adalah Vatikan?

Ulasan Lengkap

Vatikan adalah subjek hukum internasional karena diakui oleh negara-negara di dunia dan menjadi pihak pada perjanjian-perjanjian internasional and anggota pada beberapa organisasi internasional.

Negara yang pertama mengakui Vatikan sebagai subjek hukum internasional adalah Italia melalui Pakta Lateran yang ditandatangani pada 1929, yang secara historis Pakta Lateran juga menjadi dasar berdirinya negara kota Vatikan (Vatican city state). Dalam hubungan internasional negara Vatikan dikenal juga dengan nama “Tahta Suci”.

Dasar lain yang menjadikan Tahta Suci (Holy See) sebagai subjek hukum internasional adalah dengan mengacu juga kepada Konvensi Montevideo 1933 yang mana Vatikan merupakan pihak dan memenuhi ketentuan-ketentuan pada Konvensi tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain:

1.      memiliki populasi permanen yang secara faktual penduduk tetap Vatikan adalah 800 orang,

2.      memiliki suatu wilayah tertentu yang dalam hal ini Tahta Suci terletak di atas lahan seluas 44 hektar / 0,44 Kilometer yang terletak di tengah-tengah Kota Roma, Italia,

3.      terdapat suatu bentuk pemerintahan yang dalam hal ini bentuk negara Vatikan adalah Monarki Absolut yang dikepalai oleh seorang Paus (kepala negara) yang memiliki kekuasan absolut atas kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif,

4.      serta memiliki kapasitas untuk terlibat dalam hubungan internasional dengan negara lain, dalam hal ini selain Vatikan adalah pihak pada perjanjian-perjanjian internasional seperti “The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination” dan “Vienna Convention on Diplomatic Relations” Selain itu Vatikan adalah anggota pada organisasi-organisasi internasional seperti World Organization of Intellectual Properties (WOIP) dan UNESCO. Vatikan juga memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara di dunia, sebagai contoh Indonesia yang memiliki perwakilan diplomatik khusus untuk Vatikan begitu juga Vatikan terhadap Indonesia. 

 Mudah-mudahan dengan jawaban ini pertanyaan Anda terjawab.

Rabu, 17 July 2013

Pemerintah Masih Takut Meratifikasi Statuta Roma

Ada kekhawatiran pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu akan diseret ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

ADY

BERITA TERKAIT


Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional mendesak pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi statuta Roma. Menurut anggota koalisi yang juga Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum, wacana dan persiapan untuk meratifikasi Statuta Roma bukan hal baru bagi Indonesia. Pasalnya, pemerintah sudah menetapkan agenda untuk meratifikasi konvensi itu pada rencana aksi nasional Ham (Ran-HAM) 2004-2009 dan 2010-2014.


Sayangnya, sampai saat ini Statuta Roma tak kunjung diratifikasi. Padahal, perempuan yang disapa Indri itu menegaskan masyarakat sipil tidak berdiam diri dan terus mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Statuta Roma. Bahkan, masyarakat sipil sudah menyiapkan berbagai dokumen yang layak dipertimbangkan pemerintah, salah satunya naskah akademik. Untuk itu, Indri mengimbau kepada seluruh pejabat pemerintahan untuk melihat berbagai langkah riil yang sudah dilakukan masyarakat sipil sebelum berkomentar tentang ratifikasi Statuta Roma.


Tak hanya itu, Indri mengatakan organisasi masyarakat sipil sudah menawarkan bantuan kepada pemerintah Indonesia untuk memberi pendampungan ketika bertemu dengan presiden Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Usai bertandang ke markas ICC beberapa bulan lalu itu, Indri yang menjadi salah satu bagian dari delegasi pemerintah mengatakan pada intinya Presiden ICC menjamin bahwa Indonesia tidak perlu khawatir jika meratifikasi Statuta Roma. Indri mengatakan Presiden ICC menegaskan hal itu karena ada kekhawatiran dari pemerintah Indonesia jika Statuta Roma diratifikasi maka kejahatan HAM masa lalu akan dibawa untuk diadili di ICC.


Indri melihat salah satu kementerian yang masih keberatan dengan Statuta Roma adalah Kemenhan. Untuk menanggapi keberatan itu, koalisi sudah melayangkan surat kepada Menhan untuk melakukan audiensi formal membahas ratifikasi Statuta Roma. Dengan begitu Indri berharap ada diskusi yang konstruktif dan membuka pengetahuan berbagai pihak tentang Statuta Roma dan implementasinya. Sayangnya, sampai sekarang surat permohonan audiensi itu belum mendapat jawaban dari Kemhan.


Bagi Indri, penjelasan tentang ratifikasi Statuta Roma harus digaungkan karena penolakan yang muncul di kalangan aparatur pemerintahan dan elemen masyarakat lain atas ratifikasi itu dinilai tidak rasional. Selain khawatir bahwa kejahatan HAM masa lalu akan dibawa ke ICC, Indri mengatakan ada juga yang menuding Statuta Roma bakal mengancam kedaulatan negara. Menurutnya, ketika delegasi pemerintah bertandang ke markas ICC itu, Presiden ICC menegaskan bahwa pengadilan internasional itu sifatnya indpenden dan bebas dari unsur politik praktis.


Jika Indonesia serius membuktikan kepemimpinannya di ASEAN dan ranah internasional, Indri mengatakan mestinya tidak perlu khawatir untuk meratifikasi Statuta Roma. Apalagi, di tingkat Asia Tenggara, Filipina dan Kamboja sudah lebih dulu meratifikasinya. “Kamboja saja yang tingkat demokrasinya baru dimulai, berani untuk meratifikasi, kenapa Indonesia takut,” katanya dalam diskusi memperingati hari keadilan internasional di kantor Komnas HAM Jakarta, Rabu (17/7).


Indri juga menyoroti dalih pihak tertentu yang menyebut Statuta Roma sebaiknya diratifikasi setelah sistem hukum di Indonesia diperbaiki. Baginya, pernyataan itu tidak beralasan karena pemerintah tidak punya target kapan reformasi hukum diselesaikan. Untuk meratifikasi KUHP saja Indri melihat butuh waktu puluhan tahun dan sampai sekarang masih berlarut. Namun, dari sekian banyak lembaga negara, Indri melihat salah satu kementerian yang cukup berkomitmen meratifikasi Statuta Roma adalah Kemenkumham.

Halaman Selanjutnya

Pada kesempatan yang sama,...

Rabu, 17 July 2013

Pemerintah Masih Takut Meratifikasi Statuta Roma

BERITA TERKAIT


Pada kesempatan yang sama, anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah, mengatakan Komnas HAM bersikap mendukung ratifikasi Statuta Roma. Perempuan yang disapa Roi itu mengatakan ketika pemerintah sudah menuangkan agenda ratifikasi Statuta Roma dalam Ran-HAM, maka hal tersebut dapat dilihat sebagai bentuk komitmen terhadap konstitusi. Pasalnya, Roi melihat konstitusi mempunya dua dimensi yaitu nasional dan internasional. Untuk internasional, konstitusi mengamanatkan agar pemerintah bersama masyarakat internasional aktif menjaga ketertiban dunia berdasarkan keadilan sosial.


Roi mengatakan Komnas HAM melihat Statuta Roma lebih dari instrumen hukum pidana internasional semata, tapi berperan strategis untuk mewujudkan pemenuhan HAM. Namun, sebagaimana Indri, Roi menegaskan bahwa ketentuan yang ada dalam Statuta Roma tidak berlaku surut. Pasalnya, Statuta Roma lebih berorientasi untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat di masa depan. Selaras dengan itu Roi berpendapat ketika Statuta Roma diratifikasi, akan memperbaiki dan memperkuat sistem hukum dan HAM nasional.


Misalnya, dalam mekanisme pengadilan HAM sebagaimana tertuang dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Roi, regulasi itu masih terdapat kelemahan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Namun, Statuta Roma dapat mengisi kekurangan itu ketika sudah diratifikasi. Misalnya, terkait ganti rugi dan rehabilitasi kepada para korban. Sejalan dengan itu Roi yakin dengan meratifikasi Statuta Roma, upaya untuk memotong mata rantai impunitas yang kerap terjadi di Indonesia akan signifikan.


Walau begitu Roi menekankan mekanisme dalam Statuta Roma tidak serta merta menyeret para pelaku pelanggaran HAM berat ke ICC. Tapi tetap mengacu pada hukum nasional, seperti diatur dalam UU Pengadilan HAM. “Tapi setidaknya ada gambaran, Indonesia sudah punya mekanisme nasional untuk mengadili pelaku kejahatan HAM berat sebagaimana yang termaktub dalam Statuta Roma,” tuturnya.


Selain itu Roi menjelaskan bahwa Statuta Roma merupakan instrumen untuk melindungi masyarakat sipil dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang bersifat masif. Seperti Genosida dan Agresi. Untuk itu, Komnas HAM berkepentingan untuk terus mendorong pemerintah dan DPR meratifikasi Statuta Roma dalam rangka melindungi HAM rakyat Indonesia.


Sedangkan direktur FRR Law Office sekaligus pakar hukum humaniter internasional, Fadillah Agus, berharap pemerintah dan DPR segera meratifikasi Statuta Roma pada tahun ini. Pasalnya, 2014 adalah tahun politik, ia khawatir pemerintah dan DPR tidak fokus untuk meratifikasinya. Mengingat ada pihak-pihak yang keberatan jika Statuta Roma diratifikasi, Fadillah menegaskan ketentuan itu tidak menggantikan sistem pidana nasional. Ia melihat Statuta Roma hanya pelengkap sistem hukum yang sudah dijalankan Indonesia saat ini.


Fadillah menjelaskan Statuta Roma dapat mempercepat proses reformasi pidana nasional. Apalagi, belakangan ini sejumlah peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana sudah digagas untuk diperbaiki seperti KUHP, KUHAP dan Peradilan Militer. Bahkan, walau secara resmi Statuta Roma belum diratifikasi, Fadillah melihat ada sejumlah ketentuan di Statuta yang dimasukan dalam revisi KUHP. Menurutnya langkah itu cukup positif, namun dampaknya akan lebih signifikan jika Statuta Roma diratifikasi.


“Statuta Roma tidak bertentangan dengan hukum Indonesia karena jelas kita bagian dari masyarakat internasional dan berperan menegakan perdamaian dan keadilan internasional,” ujarnya Fadillah.


Fadillah mengingatkan, sekalipun Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, bukan berarti bisa lepas dari mekanisme peradilan ICC. Pasalnya, jika ke depan terjadi pelanggaran HAM berat, besar kemungkinan Indonesia dapat diseret ke ICC. Menurutnya, hal itu pernah dialami pemerintah di Sudan.

 

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...