Ulasan lengkap : Dampak Instrumen Hukum Internasional
terhadap Pengaturan Hak Imunitas Advokat
3-4 minutes
Pertanyaan
Berkaitan dengan pengaturan hak
imunitas advokat, bagaimana kedudukan International Bar Association (IBA)
Standards for Independence of Legal Proffesion, Basic Principles On The Rule Of
Lawyers dan Universal Declaration on the Independence of Justice dalam sistem
hukum nasional? Apakah Indonesia telah meratifikasi instrumen hukum
internasional tersebut?
Ulasan
Lengkap
Pertama, kami akan menjelaskan bahwa
pertanyaan yang Anda ajukan mengacu pada tiga instrumen hukum internasional
yang berbeda, yaitu:
1. International Bar
Association (“IBA”) Standards for the Independence of Legal Profession,
1990 (“1990 IBA Standards”);
2. Basic Principles on
the Role of Lawyers, Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders, Havana, 27 August to 7 September 1990, 1990 (“UN
Basic Principles”); dan
3. Montreal Declaration,
the Universal Declaration on the Independence of Justice (“Montreal
Declaration”).
Hak Imunitas
Instrumen-instrumen hukum
internasional disebut di atas menyatakan bahwa seorang advokat atau pengacara
menikmati hak imunitas atas semua pernyataannya – baik tertulis maupun lisan –
yang diberikan dengan iktikad baik dalam persidangan perdata maupun pidana.
Hak imunitas ini termasuk kehadiran
secara profesional di suatu pengadilan maupun otoritas hukum atau administratif
lainnya, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, Komisi Informasi, dan lainnya (Par. 11, 1990 IBA Standards,
Par. 20, UN Basic Principles, Par. 3.17, Montreal Declaration).
Tidak
Mengikat
Instrumen-instrumen
hukum internasional yang disebutkan di atas tidak mengatur mekanisme pengesahan
(pengikatan diri), seperti penandatanganan, ratifikasi, aksesi, penerimaan,
penyetujuan maupun pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik.
Sehingga, instrumen-instrumen hukum internasional tersebut tidak dapat melalui
prosedur pengesahan berdasarkan Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU Perjanjian
Internasional”).
Sebagaimana
diatur oleh Pasal 9 dari UU Perjanjian Internasional, pengesahan suatu
perjanjian internasional hanya dapat dilakukan jika dipersyaratkan oleh
perjanjian internasional yang dimaksud.
Karena
instrumen-instrumen hukum internasional disebut di atas tidak dapat melalui
prosedur pengesahan berdasarkan UU Perjanjian Internasional, sehingga
pengikatan diri tidak dimungkinkan, kedudukan mereka dalam sistem hukum
nasional adalah sebagai acuan yang tidak mengikat.
Persamaan
Meskipun
tidak mengikat, apa yang dinyatakan oleh intrumen-instrumen hukum internasional
di atas hampir secara keseluruhan sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 16
dari Undang-Undang
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).
Hal ini
mengindikasikan bahwa hukum Indonesia sudah mengakui bahwa advokat menikmati
hak imunitas, yaitu tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, ketika
menjalankan tugas profesi dengan itikad baik dalam sidang pengadilan tanpa
intervensi dari sistem hukum internasional.
Dasar hukum:
Referensi:
Ulasan lengkap : Apa Itu Prinsip Jure Imperii?
5-6 minutes
Pertanyaan
Saya sering mendengar tentang
prinsip Iure Imperii di ranah hukum Internasional, dimana menurut sepengetahuan
saya prinsip itu adalah tentang perbuatan hukum yang dilakukan oleh negara
dalam bidang hukum publik, sehingga mendapat imunitas dari gugatan negara lain.
Namun saya belum pernah mendapatkan definisi dari prinsip Iure Imperii secara
pasti dari sebuah literatur, mohon kiranya jika ada yang mengetahuinya bisa
membagi informasi.
Ulasan
Lengkap
Intisari
Acta de jure imperii (jus imperii) adalah tindakan resmi suatu negara (beserta perwakilannya)
dibidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat.
Imunitas dapat diberikan kepada negara dalam tindakan jus imperii.
Apakah imunitas juga diberikan
kepada negara dalam tindakannya di wilayah komersial (private acts)?
Penjelasan selengkapnya silakan baca ulasan di bawah ini.
Ulasan
Terima kasih atas pertanyaannya.
Istilah acta de jure imperii atau
juga dikenal dengan jus imperii dalam hukum
internasional, sangat erat kaitannya dengan pemberian imunitas terhadap
suatu negara.
Secara historis, imunitas itu
sendiri memiliki dua konsep, yaitu imunitas absolut dan imunitas terbatas (restrictive
immunity). Dalam konsep imunitas absolut, suatu negara memiliki imunitas
yang tidak dapat diganggu gugat oleh negara lainnya.[1] Konsep imunitas absolut ini dipakai
pertama kali dalam kasus Schooner Exchange vs. McFaddon di Amerika,[2] yang mana selanjutnya juga diterapkan
dalam kasus The Parlemen Belge di Inggris Raya (United Kingdom).[3]
Selanjutnya pada awal abad ke-20,
saat negara juga telah terlibat dalam transaksi komersial dengan pihak swasta,
maka berkembanglah konsep imunitas terbatas karena konsep imunitas absolut
dianggap kurang menjamin keadilan kepada perusahaan swasta.[4] Negara dapat berlindung di balik konsep
imunitas absolut untuk tindakan yang sifatnya komersial (private acts).[5]
Dalam konsep imunitas terbatas ini
tindakan negara dibedakan menjadi dua macam, yaitu acta de jure imperii dan
acta de jure gestionis.[6] Acta de jure imperii (jus imperii) adalah
tindakan resmi suatu negara (beserta perwakilannya) di bidang publik dalam
kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Imunitas dapat diberikan
kepada negara dalam tindakan jus imperii.[7] Konsep jus imperii ini juga
digunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
dalam memeriksa kasus Germany vs. Italy.[8]
Di sisi
lain, acta de jure gestionis (jus gestionis) adalah tindakan negara
untuk tindakan yang sifatnya komersial (private acts).[9] Tindakan jus gestionis dapat
dianggap sebagai layaknya perdagangan pada umumnya. Sehingga apabila ada
sengketa yang ditimbulkan dari tindakan tersebut, negara dapat dituntut di
badan peradilan umum maupun badan arbitrase. Dalam hal ini, imunitas tidak
dapat diberikan kepada negara untuk tindakan (jus gestionis).[10]
Konsep
imunitas terbatas telah diakui di berbagai negara, antara lain Inggris Raya,
Amerika Serikat, Australia Pakistan, Kanada, Afrika Selatan, Jepang, Singapura,
Israel, Argentina, dan Malaysia.[11] Konsep imunitas terbatas ini akan diatur
dalam the United Nations Convention on Jurisdictional Immunities of State
and Their Property, yang mengakui bahwa imunitas suatu negara dibedakan
berdasarkan tindakan yang dilakukannya.[12]
Demikian
semoga membantu.
[1] Malcolm N. Shaw, International
Law (6th ed, Cambridge University Press, Cambridge, 2008), hal.
701.
[2] Matthew McMenamin, State
Immunity before The International Court of Justice: Jurisdictional Immunities
of the State, 44 VUWLR 2013, hal. 191.
[3] Ernest K. Brankas, the State
Community Controversy in International Law: Private Suits Against Sovereign
States in Domestic Courts (Springer, Berlin, 2005), hal. 251.
[4] Rosanne van Alebeek, the
Immunity of States and Their Officials in International Criminal Law and
International Human Rights Law, (Oxford Univ. Press, New York, 2008), hal.
47.
[5] Leandro de Oliveira Moll, Al-Adsani
vs. United Kingdom: State Immunity and Denial of Justice with Respect to
Violations of Fundamental Human Rights, 4 MJIL 561 (2003), hal. 566.
[6] Hazel Fox, the Law of State
Immunity, (2nd ed, Oxford Univ. Press, Oxford, 2008), hal. 35.
[7] L. Fischer Damrosch et al, International
Law, (4th ed, 2004), hal 1198.
[8]Jurisdictional Immunities of the
State (Germany vs. Italy: Greece Intervening), judgement, ICJ Reports 2012,
paragraf 64 – 76.
[10] Sevrine Knuchel, State Immunity
and the Promise of Jus Cogens, Northwest Journal of International Human
Rights Vol. 9 (2011), hal. 162.
[11] Lihat Matthew McMenamin, supra note
2, hal. 192.
[12] Art. 10, United Nations
Convention on Jurisdictional Immunities of States and Their Property
(opened for signature 17 January 2005, not yet in force)
hukumonline.com
Senin, 10 April 2017
Ulasan lengkap : Tindakan-tindakan yang Termasuk
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
10-13 minutes
Pertanyaan
Beberapa hari yang lalu ramai
diberitakan bahwa penduduk sipil di Suriah diserang dengan menggunakan senjata
kimia hingga menewaskan puluhan orang. Apakah tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan?
Ulasan
Lengkap
Intisari:
Untuk menentukan suatu kejahatan
terhadap kemanusiaan perlu untuk memperhatikan dua hal, yaitu Actus Reus
(tindakan jahat) dan Mens Rea (niat jahat). Dalam hal ini, serangan
dengan menggunakan senjata kimia terhadap penduduk sipil di Suriah secara kasat
mata memenuhi unsur Actus Reus sebagaimana yang tercantum dalam Statuta
Roma. Namun dalam menentukan Mens Rea dalam kasus tersebut bukanlah hal
yang mudah dan memerlukan kajian yang lebih dalam dan tidak bisa hanya melalui
berita yang beredar di media saja.
Penjelasan selengkapnya dapat Anda
simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity/”CAH”).
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes
against Humanity)
Konsep CAH pertama kali
diperkenalkan di era setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam Pasal 6
huruf c Charter of the International Military Tribunal (“Nuremberg Charter”),
tindakan CAH dijelaskan sebagai berikut:
Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan
pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan
politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan
ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana
perbuatan tersebut dilakukan.
Seiring dengan terjadinya
perkembangan di bidang hukum pidana internasional, penjelasan terkait CAH
tersebut kemudiaan diadaptasi dan digunakan di dalam beberapa statuta
pengadilan internasional, antara lain:
a.
International Military Tribunal for the Far East;
b.
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY);
c.
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR); dan
d.
International Criminal Court (ICC).
Saat ini
dapat dikatakan bahwa pengaturan terkait CAH yang paling komprehensif terdapat
pada The
Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta
Roma”) Tahun 1998, atau statuta pendirian dari ICC. Dalam Pasal 7 ayat
(1) Statuta Roma diatur mengenai jenis-jenis perbuatan yang termasuk dalam
kualifikasi CAH, yaitu:
“Kejahatan
terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila
dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan
kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya tindakan berikut
ini:
a.
Pembunuhan;
b.
Pemusnahan;
c.
Perbudakan;
d.
Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
e.
Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar
aturan-aturan dasar hukum internasional;
f.
Penyiksaan;
g.
Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa,
pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup
berat;
h.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau
kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender
sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal
diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang
berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap
kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;
i.
Penghilangan paksa;
j.
Kejahatan apartheid;
k.
Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan
penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan
fisik.
Ketentuan
tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma,
yaitu:
a.
Serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1)
terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari
kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut;
b.
Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya penerapan
kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja, antara lain
menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat
menghancurkan sebagian penduduk;
c.
Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek
yang berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut, khususnya
perempuan dan anak-anak;
d.
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai tindakan
merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lainnya dari tempat
dimana penduduk tersebut secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut
hukum internasional;
e.
Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau
penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan di bawah
kekuasaan pelaku. Kecuali itu, bahwa penyiksaan tersebut tidak termasuk rasa
sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau insidental dari
pengenaan sanksi yang sah;
f.
Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang
dibuat hamil secara paksa, dengan maksud memengaruhi komposisi etnis suatu
populasi atau merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional.
Definisi ini tidak dapat ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional terkait
kehamilan;
g.
Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak-hak dasar
dengan cara bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas
sebuah kelompok atau kolektif;
h.
Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang
serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam
konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu
kelompok ras tertentu dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk
mempertahankan rezim tesebut;
i.
Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau
penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan
suatu negara ataupun organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan
pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang
tersebut, dengan maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang
lama.
Serangan
Meluas atau Sistematik
Sebagaimana
dijelaskan di dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma, salah satu elemen penting
pada CAH yaitu adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik. Terkait
dengan elemen serangan yang meluas, ICTY pada kasus Blaskic telah menyimpulkan
bahwa ‘serangan yang meluas’ dapat dilihat dari jumlah korban dan skala
serangan yang massive sehingga menimbulkan efek yang serius. Masih dalam
kasus yang sama, ICTY menyatakan bahwa elemen ‘sistematik’ dicerminkan oleh
suatu pola atau metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh dan
menggunakan pola yg tetap.
Dalam kasus
Kunarac, ICTY menyatakan bahwa serangan terhadap populasi masyarakat sipil yang
tidak turut serta dalam perang sudah cukup untuk memenuhi ketentuan terkait
‘serangan’ sebagaimana dijelaskan dalam Statuta Roma. Serangan pun tidak harus
dilakukan oleh anggota militer.
Terkait
dengan populasi, dalam kasus Kunarac disebutkan bahwa konsep ‘populasi’ adalah
memiliki fitur khas sama yang menjadikan mereka sebagai target. Menurut
Mettraux, sekelompok orang yang sedang berkumpul tanpa mimiliki fitur khas yang
sama, seperti penonton pada pertandingan bola, tidak memenuhi unsur ‘populasi’
pada Statuta Roma.
Serangan
Kimia di Suriah
Beberapa
waktu lalu telah muncul banyak banyak pemberitaan terkait serangan terhadap
penduduk sipil di Suriah dengan menggunakan senjata biologis di berbagai media.
Untuk menganalisis apakah serangan yang diluncurkan terhadap penduduk sipil di
Suriah termasuk CAH atau bukan, kita perlu mengamati elemen-elemen yang telah
dijabarkan di atas.
Pertama
yaitu actus reus atau tindakannya. Telah terjadi serangan secara nyata
dengan menggunakan senjata biologis di Provinsi Idlib yang menewaskan penduduk
sipil kurang lebih 20 anak-anak dan 52 orang dewasa. Skala serangannya pun
dapat dibilang cukup massive dan telah menimbulkan efek yang serius
terhadap penduduk sipil.
Kedua, yang
harus diperhatikan adalah mens rea atau niat jahat. Penting untuk
dibuktikan bahwa tindakan yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Suriah
adalah tindakan terpola yang memang diniatkan oleh pelaku untuk menghabisi
nyawa penduduk sipil dalam skala besar. Membuktikan Mens Rea bukanlah
merupakan hal yang mudah. Salah satu cara untuk membuktikan mens rea
adalah melalui adanya rencana/kebijakan serangan, namun rencana tersebut tidak
harus dinyatakan secara tegas atau terang-terangan sebagaimana dinyatakan oleh
ICTY dalam kasus Tadic dan Kunarac.
Berdasarkan pertimbangan
di atas, kita perlu berhati-hati dalam mengklasifikasikan suatu perbuatan
apakah termasuk CAH atau bukan. Meskipun secara kasat mata tindakan yang
dilakukan terhadap penduduk sipil di Suriah telah memenuhi syarat Actus Reus,
namun kita memerlukan kajian yang lebih dalam menentukan Mens Rea yang
dimiliki oleh pelaku.
Semoga
penjelasan diatas semoga dapat membantu dalam menganalisis dan
mengklasifikasikan tindak kejahatan CAH, baik di Suriah maupun di negara
lainnya.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.
The Rome
Statute of the International Criminal Court;
Referensi:
1.
E.P.T. Burns, “Aspect of Crimes against Humanity and The International
Criminal Court”, International Centre for Criminal Law Reform and Criminal
Justice Policy, http://icclr.law.ubc.ca/sites/icclr.law.ubc.ca/files/publications/pdfs/AspectofCrimesAgainstHumanity.pdf
, diakses pada 7 Maret 2017 pukul 17.32 WIB.
2.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Genosida, Kejahatan Perang, dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Jilid 1: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam
Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, http://lama.elsam.or.id/downloads/1296532497_ICTR.pdf,
diakses pada 7 April 2017 pukul 17.45 WIB.
3.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Genosida, Kejahatan Perang, dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Jilid 2: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam
Pengalidan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia, http://lama.elsam.or.id/downloads/1296531552_ICTY.pdf,
diakses pada 7 April 2017 pukul 17.50 WIB.
Ulasan lengkap : Prosedur Penuntutan Pelanggaran HAM
Berat di Masa Lalu
6-7 minutes
Pertanyaan
Apakah pelanggaran HAM seperti
tragedi Malari bisa dijatuhi hukuman bagi pelakunya, atau masih bisakah diusut
untuk sekarang ini? Apakah tragedi yang mengenai pelanggaran HAM tersebut sudah
daluwarsa menurut hukum nasional?
Ulasan
Lengkap
Suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia
(“HAM”) dapat diproses secara hukum melalui Pengadilan HAM. Akan tetapi,
Pengadilan HAM hanya dapat mengadili pelanggaran HAM yang berat sebagaimana
diatur Pasal 1 angka 3 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU 26/2000”).
Kemudian, yang dimaksud dengan
pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU 26/2000).
Pengertian dari kejahatan
genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara (Pasal 8 UU 26/2000):
a. membunuh
anggota kelompok;
b. mengakibatkan
penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain
Sedangkan, pengertian dari kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa (Pasal
9 UU 26/2000):
a.
pembunuhan;
b.
pemusnahan;
c.
perbudakan;
d.
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.
penyiksaan;
g.
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara;
h.
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i.
penghilangan orang secara paksa; atau
j.
kejahatan apartheid.
Menurut Pasal
18 ayat (1) UU 26/2000, penyelidikan atas pelanggaran HAM berat dilakukan
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”). Komnas HAM dalam
melaksanakan tugasnya, berwenang menerima laporan atau pengaduan seseorang atau
kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat (Pasal 19 ayat
[1] huruf b UU 26/2000). Sedangkan, untuk penyidikan dan penuntutan atas
pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung (Pasal 21 ayat [1] jo.
Pasal 23 ayat [1] UU 26/2000).
Terkait
dengan peristiwa Malari yang Saudara tanyakan, peristiwa tersebut terjadi pada
1974, artinya terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000. Lantas, apakah peristiwa
yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 dapat diadili? Menurut Pasal 43
ayat (1) UU 26/2000, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
berlakunya UU 26/2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pengadilan HAM Ad Hoc ini dibentuk melalui Keputusan Presiden berdasarkan usul
Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) terhadap suatu peristiwa tertentu (Pasal 43
ayat [2] UU 26/2000).
Di dalam penjelasan
Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 disebutkan bahwa:
“Dalam hal
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan
HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan
telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada
locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini.”
Jadi, dalam
hal penuntutan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya
UU 26/2000, penentuan peristiwa tersebut harus dilanjutkan pemeriksaan hukumnya
melalui pengadilan HAM Ad Hoc, bergantung kepada DPR.
Namun,
ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul DPR pernah dimohonkan
pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh Eurico Guterres. Hasilnya,
melalui Putusan
MK No. 18/PUU-V/2007 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penjelasan Pasal
43 ayat (2) UU 26/2000 sepanjang mengenai kata “dugaan” bertentangan dengan
Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mengutip
artikel DPR
Tidak Bisa Lagi Tentukan Sendiri Dugaan Pelanggaran HAM, menurut salah
satu Hakim Konstitusi, A.S. Natabaya, kata ‘dugaan’ dalam penjelasan Pasal 43
ayat (2) UU 26/2000 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, maka dengan adanya
putusan MK No. 18/PUU-V/2007, DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri tanpa
memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan
Agung.
Selain itu,
mengenai kewenangan pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili peristiwa yang
terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 sebagian berpendapat bertentangan dengan
asas retroaktif dalam hukum pidana. Lebih lanjut, Saudara dapat membaca artikel
Pengadilan
HAM Ad Hoc Bersifat Retroaktif?
Kesimpulannya,
peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000
tetap dapat diusut, diperiksa, dan diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
Namun, pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini diajukan oleh DPR setelah mendapat
hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Putusan:
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2007 tanggal 21 Februari 2008
Ulasan lengkap : Pengadilan HAM Ad Hoc Bersifat
Retroaktif?
5-6 minutes
Pertanyaan
Dalam salah satu pasal dalam UU
Pengadilan HAM Tahun 2000 disebutkan bahwa pengadilan HAM dapat mengadili
kasus-kasus yang terjadi sebelum peradilan ini ada, misal kasus Tanjung Priok. Apakah
ini berarti pengadilan HAM ad hoc bersifat retroaktif?
Ulasan
Lengkap
Memang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) disebutkan
bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Jika melihat pada ketentuan
tersebut, memang asas berlaku surut dikenal dalam pengadilan HAM.
Terhadap asas berlaku surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan
HAM itu pernah diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (“MK”) oleh Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur
pada waktu itu (tahun 2004). Asas retroaktif ini dianggap bertentangan dengan
asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan juga bertentangan dengan ketentuan
konstitusi Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 1 ayat (1) KUHP
Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada.
Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Meski demikian, MK kemudian menolak
permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap Pasal 43
ayat (1) UU Pengadilan HAM melalui putusan MK No. 065/PUU-II/2004
yang dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Dalam pointers
berjudul Eksistensi Pengadilan HAM Ad Hoc Dalam Penyelesaian Kasus
Pelanggaran HAM yang Berat (diunduh dari www.akilmochtar.com), hakim
konstitusi HM. Akil Mochtar, S.H., M.H. menulis antara lain bahwa:
Keberadaan
Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena merupakan salah satu
bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui Putusan MK
No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan
UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas
non-retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam
pertimbangan hukum Putusan MK tersebut sebagai berikut.
(a)
pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti
dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan
(b)
Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD
1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya
rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan
UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc.
Perdebatan
penerapan asas retroaktif memang bukan hal yang baru. Sebelumnya, penerapan
asas retroaktif telah dipertimbangkan oleh majelis hakim ad hoc pengadilan
HAM untuk beberapa terdakwa kasus Timor Timur dalam putusan sela. Di mana dalam
putusan sela tersebut disebutkan asas retroaktif digunakan berdasarkan kajian
terhadap praktik pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas
non-retroaktif demi tegaknya keadilan. Kajian tersebut antara lain mengacu pada
praktik negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nuremberg dan Tokyo,
pengadilan internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda
(ICTY dan ICTR), dan kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerusalem.
Selain itu, pertimbangan majelis hakim ad hoc saat itu antara
lain adalah kejahatan pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary
crime dan berdampak secara luas oleh karena itu asas retroaktif dapat
diberlakukan dengan adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28 J ayat (2). Lebih
jauh simak artikel Asas
Retroaktif Kembali Digugat.
Jadi, memang
dalam Pengadilan HAM Ad Hoc berlaku asas retroaktif dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No
73)
3.
Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik
Hukumonline.
Ulasan lengkap : Pengadilan HAM Ad Hoc Bersifat
Retroaktif?
5-6 minutes
Pertanyaan
Dalam salah satu pasal dalam UU
Pengadilan HAM Tahun 2000 disebutkan bahwa pengadilan HAM dapat mengadili
kasus-kasus yang terjadi sebelum peradilan ini ada, misal kasus Tanjung Priok.
Apakah ini berarti pengadilan HAM ad hoc bersifat retroaktif?
Ulasan
Lengkap
Memang dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) disebutkan
bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Jika melihat pada ketentuan
tersebut, memang asas berlaku surut dikenal dalam pengadilan HAM.
Terhadap asas berlaku surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan
HAM itu pernah diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (“MK”) oleh Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur
pada waktu itu (tahun 2004). Asas retroaktif ini dianggap bertentangan dengan
asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan juga bertentangan dengan ketentuan
konstitusi Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 1 ayat (1) KUHP
Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada.
Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Meski demikian, MK kemudian menolak
permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap Pasal 43
ayat (1) UU Pengadilan HAM melalui putusan MK No. 065/PUU-II/2004
yang dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Dalam pointers
berjudul Eksistensi Pengadilan HAM Ad Hoc Dalam Penyelesaian Kasus
Pelanggaran HAM yang Berat (diunduh dari www.akilmochtar.com), hakim
konstitusi HM. Akil Mochtar, S.H., M.H. menulis antara lain bahwa:
Keberadaan
Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena merupakan salah satu
bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui Putusan MK
No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan
UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas
non-retroaktif yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan
hukum Putusan MK tersebut sebagai berikut.
(a)
pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti
dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan
(b)
Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD
1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya
rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan
UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc.
Perdebatan
penerapan asas retroaktif memang bukan hal yang baru. Sebelumnya, penerapan
asas retroaktif telah dipertimbangkan oleh majelis hakim ad hoc pengadilan
HAM untuk beberapa terdakwa kasus Timor Timur dalam putusan sela. Di mana dalam
putusan sela tersebut disebutkan asas retroaktif digunakan berdasarkan kajian
terhadap praktik pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas
non-retroaktif demi tegaknya keadilan. Kajian tersebut antara lain mengacu pada
praktik negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nuremberg dan Tokyo,
pengadilan internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda
(ICTY dan ICTR), dan kasus Adolf Eichman di pengadilan distrik Yerusalem.
Selain itu, pertimbangan majelis hakim ad hoc saat itu antara
lain adalah kejahatan pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary
crime dan berdampak secara luas oleh karena itu asas retroaktif dapat
diberlakukan dengan adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28 J ayat (2). Lebih
jauh simak artikel Asas
Retroaktif Kembali Digugat.
Jadi, memang
dalam Pengadilan HAM Ad Hoc berlaku asas retroaktif dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No
73)
3.
Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebo
Ulasan lengkap : Konsep Proprio Motu dalam Statuta
Roma dan Penerapannya
6-7 minutes
Pertanyaan
Pasal 15 (1) Statuta Roma
menyatakan: The Prosecutor may initiate investigations proprio motu on the
basis of information on crimes within the jurisdiction of the Court. Apa
arti dari "proprio motu"? Dan bagaimana penerapannya dalam
ketentuan-ketentuan lain?
Ulasan
Lengkap
Merujuk pada Merriam-Webster
Dictionary, istilah proprio motu
didefinisikan sebagai “by one's own motion; on one's own initiative”.
Definisi ini dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “inisiatif
diri sendiri”. Istilah proprio motu sebenarnya jarang dipakai dalam
praktik hukum pada umumnya, melainkan lebih sering digunakan oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
Di praktik hukum Amerika Serikat,
ada padanan yang mirip dengan proprio motu, yaitu sua sponte.
Menurut Black’s Law Dictionary Sixth Edition, sua sponte diartikan
sebagai “of his or its own will or motion; voluntarily; without prompting or
suggestion”. Dari pengertian ini, sua sponte memiliki makna yang
tidak jauh berbeda dengan proprio motu.
Dalam konteks Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”), proprio motu adalah
kewenangan yang diberikan oleh Statuta Roma kepada Office of the Prosecutor (“OTP”)
di International Criminal Court (“ICC”), untuk memulai investigasi atas kejahatan
internasional yang menjadi yurisdiksi ICC, yakni genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (lihat Pasal 5 Statuta
Roma).
Dengan
adanya kewenangan ini, OTP (bisa dipadankan sebagai jaksa atau penuntut) dari
ICC tidak harus bersifat pasif dan menunggu adanya laporan. Untuk diketahui,
berdasarkan Pasal 13 Statuta Roma, ICC lebih cenderung untuk memulai
adanya investigasi atas kejahatan internasional setelah adanya laporan Dewan
Keamanan PBB atau negara para pihak Statuta Roma.
Menurut Siebert
Fohr dalam makalahnya berjudul The Relevance of the Rome Statute of the
International Criminal Court for Amnesties and Truth Commissions,
kewenangan ini diberikan kepada OTP untuk mengatasi keengganan negara pihak
Statuta Roma atau Dewan Keamanan PBB untuk melaporkan kejahatan internasional,
karena alasan-alasan politis.
Tentunya,
kewenangan ini tidak bisa langsung dilaksanakan tanpa adanya tahapan dan
pertimbangan. Berdasarkan Pasal 15 ayat 2 Statuta Roma, sebelum
melaksanakan investigasi proprio motu, OTP harus mengumpulkan informasi
selengkap-lengkapnya dari negara yang berkepentingan, badan-badan PBB,
organisasi internasional (pemerintah dan non-pemerintah), dan sumber lain yang
dapat dipercaya.
Setelah
informasi selesai dikumpulkan, OTP lalu mengajukan permohonan investigasi pada pre-trial
chamber ICC (majelis hakim yang bertugas untuk menentukan investigasi,
surat penangkapan, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk jalannya persidangan ICC).
Dalam laporannya, OTP harus menunjukkan informasi dan aspek-aspek terkait
secara jelas kepada pre-trial chamber (lihat Pasal 15 ayat 3 Statuta
Roma).
Susana
SáCouto dan Katherine
A. Cleary dalam makalahnya berjudul “The Gravity Threshold of the International
Criminal Court”, menyebutkan ada lima aspek yang harus dipertegas oleh
OTP yakni:
1.
Derajat kejahatan (scal
. Derajat kejahatan (scale of the crimes);
2. Tingkat kekejaman kejahatan (the severity of the
crimes);
3. Sifat sistematis dari kejahatan (the systematic
nature of the crimes);
4. Bagaimana kejahatan itu dilakukan (the manner in
which they were committed); dan
5. Dampak kejahatan kepada korban (the impact on
victims).
Kelima aspek ini lazim disebut dengan gravity threshold atau gravity
requirements. Setelah disetujui, jaksa dapat melaksanakan investigasi atas
kejahatan internasional yang telah terjadi.
Untuk diketahui, proprio motu dalam rezim Statuta Roma, hanya
diterapkan untuk kewenangan jaksa dalam memulai investigasi atas kejahatan
internasional tanpa adanya laporan terlebih dahulu. Tidak ada ketentuan lain
dalam Statuta Roma yang termasuk proprio motu.
Menurut Luis Moreno-Ocampo, jaksa pertama di ICC, dalam makalah
berjudul The International Criminal Court: Seeking Global Justice,
ketentuan proprio motu dalam Statuta Roma adalah hal yang menjadi
pembeda ICC dengan pengadilan internasional lainnya seperti International
Criminal Tribunal for Rwanda atau International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia. Menurutnya, ketentuan proprio motu akan
memastikan terwujudnya keadilan di atas keputusan-keputusan politis negara atau
Dewan Keamanan PBB.
Sebagai informasi, jaksa ICC sudah dua kali melaksanakan investigasi proprio
motu atas kejahatan internasional. Yang pertama adalah investigasi atas kejahatan
terhadap kemanusiaan yang terjadi di Kenya. Investigasi ini kemudian berlanjut
dengan persidangan atas enam pejabat negara Kenya, termasuk Uhuru Kenyatta yang
saat ini menjabat sebagai Presiden Kenya.
Yang kedua adalah investigasi atas kejahatan
terhadap kemanusiaan di Cote d’Ivoire (Pantai Gading), yang berlanjut
dengan persidangan atas Laurent Gbagbo, mantan Presiden Pantai Gading.
The
Rome Statute of the International Criminal Court
Referensi:
Anja Seibert-Fohr, “The Relevance of the Rome Statute of the International
Criminal Court for Amnesties and Truth Commissions”, http://www.mpil.de/ww/de/pub/forschung/forschung_im_detail/publikationen/institut/mpyunl/volume_7.cfm,
akses pada 3 April 2013.
Susana SáCouto dan Katherine A. Cleary, “The Gravity Threshold of the
International Criminal Court”. http://digitalcommons.wcl.american.edu/auilr/vol23/iss5/1/,
akses pada 3 April 2013.
Luis Moreno-Ocampo, The International Criminal Court: Seeking Global
Justice, http://law.case.edu/journals/JIL/Documents/(12)Luis%20Moreno-Ocampo.pdf,
akses pada 3 April 2013.
Ulasan lengkap : Vatikan Sebagai Subyek Hukum
Internasional
2-3 minutes
Pertanyaan
Apa alasan subyek hukum
internasional adalah Vatikan?
Ulasan
Lengkap
Vatikan adalah subjek hukum
internasional karena diakui oleh negara-negara di dunia dan menjadi pihak pada
perjanjian-perjanjian internasional and anggota pada beberapa organisasi
internasional.
Negara yang pertama mengakui Vatikan
sebagai subjek hukum internasional adalah Italia melalui Pakta Lateran
yang ditandatangani pada 1929, yang secara historis Pakta Lateran juga menjadi
dasar berdirinya negara kota Vatikan (Vatican city state). Dalam
hubungan internasional negara Vatikan dikenal juga dengan nama “Tahta Suci”.
Dasar lain yang menjadikan Tahta
Suci (Holy See) sebagai subjek hukum internasional adalah dengan mengacu
juga kepada Konvensi Montevideo 1933 yang mana Vatikan merupakan pihak dan
memenuhi ketentuan-ketentuan pada Konvensi tersebut. Ketentuan-ketentuan
tersebut antara lain:
1.
memiliki populasi permanen yang secara faktual penduduk tetap Vatikan adalah
800 orang,
2.
memiliki suatu wilayah tertentu yang dalam hal ini Tahta Suci terletak di atas
lahan seluas 44 hektar / 0,44 Kilometer yang terletak di tengah-tengah Kota
Roma, Italia,
3.
terdapat suatu bentuk pemerintahan yang dalam hal ini bentuk negara Vatikan
adalah Monarki Absolut yang dikepalai oleh seorang Paus (kepala negara)
yang memiliki kekuasan absolut atas kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif,
4.
serta memiliki kapasitas untuk terlibat dalam hubungan internasional dengan
negara lain, dalam hal ini selain Vatikan adalah pihak pada perjanjian-perjanjian
internasional seperti “The International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination” dan “Vienna
Convention on Diplomatic Relations” Selain itu Vatikan adalah anggota
pada organisasi-organisasi internasional seperti World Organization of
Intellectual Properties (WOIP) dan UNESCO. Vatikan juga memiliki
hubungan diplomatik dengan negara-negara di dunia, sebagai contoh Indonesia
yang memiliki perwakilan diplomatik khusus untuk Vatikan begitu juga Vatikan
terhadap Indonesia.
Mudah-mudahan
dengan jawaban ini pertanyaan Anda terjawab.
Rabu, 17 July 2013
Pemerintah Masih
Takut Meratifikasi Statuta Roma
Ada kekhawatiran pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu akan
diseret ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
ADY
BERITA TERKAIT
- Agenda
Ratifikasi Statuta Roma Tak Boleh Berhenti
- Masyarakat Sipil
Kirim Delegasi ke Pertemuan ICC
- Dua Kementerian
Setuju Ratifikasi Statuta Roma
- Silang Pendapat
Ratifikasi Statuta Roma
- Ratifikasi Statuta
Roma Masih Butuh Waktu
Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil
Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional mendesak pemerintah dan DPR untuk
segera meratifikasi statuta Roma. Menurut anggota koalisi yang juga Direktur
Eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum, wacana dan persiapan untuk
meratifikasi Statuta Roma bukan hal baru bagi Indonesia. Pasalnya, pemerintah
sudah menetapkan agenda untuk meratifikasi konvensi itu pada rencana aksi
nasional Ham (Ran-HAM) 2004-2009 dan 2010-2014.
Sayangnya, sampai saat ini Statuta Roma tak kunjung diratifikasi. Padahal,
perempuan yang disapa Indri itu menegaskan masyarakat sipil tidak berdiam diri
dan terus mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Statuta Roma. Bahkan,
masyarakat sipil sudah menyiapkan berbagai dokumen yang layak dipertimbangkan
pemerintah, salah satunya naskah akademik. Untuk itu, Indri mengimbau kepada
seluruh pejabat pemerintahan untuk melihat berbagai langkah riil yang sudah
dilakukan masyarakat sipil sebelum berkomentar tentang ratifikasi Statuta Roma.
Tak hanya itu, Indri mengatakan organisasi masyarakat sipil sudah menawarkan
bantuan kepada pemerintah Indonesia untuk memberi pendampungan ketika bertemu
dengan presiden Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Usai
bertandang ke markas ICC beberapa bulan lalu itu, Indri yang menjadi salah satu
bagian dari delegasi pemerintah mengatakan pada intinya Presiden ICC menjamin
bahwa Indonesia tidak perlu khawatir jika meratifikasi Statuta Roma. Indri
mengatakan Presiden ICC menegaskan hal itu karena ada kekhawatiran dari
pemerintah Indonesia jika Statuta Roma diratifikasi maka kejahatan HAM masa
lalu akan dibawa untuk diadili di ICC.
Indri melihat salah satu kementerian yang masih keberatan dengan Statuta Roma
adalah Kemenhan. Untuk menanggapi keberatan itu, koalisi sudah melayangkan
surat kepada Menhan untuk melakukan audiensi formal membahas ratifikasi Statuta
Roma. Dengan begitu Indri berharap ada diskusi yang konstruktif dan membuka
pengetahuan berbagai pihak tentang Statuta Roma dan implementasinya. Sayangnya,
sampai sekarang surat permohonan audiensi itu belum mendapat jawaban dari
Kemhan.
Bagi Indri, penjelasan tentang ratifikasi Statuta Roma harus digaungkan karena
penolakan yang muncul di kalangan aparatur pemerintahan dan elemen masyarakat
lain atas ratifikasi itu dinilai tidak rasional. Selain khawatir bahwa
kejahatan HAM masa lalu akan dibawa ke ICC, Indri mengatakan ada juga yang
menuding Statuta Roma bakal mengancam kedaulatan negara. Menurutnya, ketika
delegasi pemerintah bertandang ke markas ICC itu, Presiden ICC menegaskan bahwa
pengadilan internasional itu sifatnya indpenden dan bebas dari unsur politik
praktis.
Jika Indonesia serius membuktikan kepemimpinannya di ASEAN dan ranah
internasional, Indri mengatakan mestinya tidak perlu khawatir untuk
meratifikasi Statuta Roma. Apalagi, di tingkat Asia Tenggara, Filipina dan
Kamboja sudah lebih dulu meratifikasinya. “Kamboja saja yang tingkat
demokrasinya baru dimulai, berani untuk meratifikasi, kenapa Indonesia takut,”
katanya dalam diskusi memperingati hari keadilan internasional di kantor Komnas
HAM Jakarta, Rabu (17/7).
Indri juga menyoroti dalih pihak tertentu yang menyebut Statuta Roma sebaiknya
diratifikasi setelah sistem hukum di Indonesia diperbaiki. Baginya, pernyataan
itu tidak beralasan karena pemerintah tidak punya target kapan reformasi hukum
diselesaikan. Untuk meratifikasi KUHP saja Indri melihat butuh waktu puluhan
tahun dan sampai sekarang masih berlarut. Namun, dari sekian banyak lembaga
negara, Indri melihat salah satu kementerian yang cukup berkomitmen
meratifikasi Statuta Roma adalah Kemenkumham.
Halaman Selanjutnya
Rabu, 17 July 2013
Pemerintah Masih Takut Meratifikasi Statuta Roma
BERITA TERKAIT
- Agenda Ratifikasi Statuta Roma Tak Boleh Berhenti
- Masyarakat Sipil Kirim Delegasi ke Pertemuan ICC
- Dua Kementerian Setuju Ratifikasi Statuta Roma
- Silang
Pendapat Ratifikasi Statuta Roma
- Ratifikasi Statuta Roma Masih Butuh Waktu
Pada kesempatan yang sama, anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah, mengatakan
Komnas HAM bersikap mendukung ratifikasi Statuta Roma. Perempuan yang disapa
Roi itu mengatakan ketika pemerintah sudah menuangkan agenda ratifikasi Statuta
Roma dalam Ran-HAM, maka hal tersebut dapat dilihat sebagai bentuk komitmen
terhadap konstitusi. Pasalnya, Roi melihat konstitusi mempunya dua dimensi
yaitu nasional dan internasional. Untuk internasional, konstitusi mengamanatkan
agar pemerintah bersama masyarakat internasional aktif menjaga ketertiban dunia
berdasarkan keadilan sosial.
Roi mengatakan Komnas HAM melihat Statuta Roma lebih dari instrumen hukum
pidana internasional semata, tapi berperan strategis untuk mewujudkan pemenuhan
HAM. Namun, sebagaimana Indri, Roi menegaskan bahwa ketentuan yang ada dalam
Statuta Roma tidak berlaku surut. Pasalnya, Statuta Roma lebih berorientasi
untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat di masa depan. Selaras dengan
itu Roi berpendapat ketika Statuta Roma diratifikasi, akan memperbaiki dan
memperkuat sistem hukum dan HAM nasional.
Misalnya, dalam mekanisme pengadilan HAM sebagaimana tertuang dalam UU No.26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Roi, regulasi itu masih terdapat
kelemahan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Namun, Statuta
Roma dapat mengisi kekurangan itu ketika sudah diratifikasi. Misalnya, terkait
ganti rugi dan rehabilitasi kepada para korban. Sejalan dengan itu Roi yakin
dengan meratifikasi Statuta Roma, upaya untuk memotong mata rantai impunitas
yang kerap terjadi di Indonesia akan signifikan.
Walau begitu Roi menekankan mekanisme dalam Statuta Roma tidak serta merta
menyeret para pelaku pelanggaran HAM berat ke ICC. Tapi tetap mengacu pada
hukum nasional, seperti diatur dalam UU Pengadilan HAM. “Tapi setidaknya ada
gambaran, Indonesia sudah punya mekanisme nasional untuk mengadili pelaku
kejahatan HAM berat sebagaimana yang termaktub dalam Statuta Roma,” tuturnya.
Selain itu Roi menjelaskan bahwa Statuta Roma merupakan instrumen untuk
melindungi masyarakat sipil dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang bersifat
masif. Seperti Genosida dan Agresi. Untuk itu, Komnas HAM berkepentingan untuk
terus mendorong pemerintah dan DPR meratifikasi Statuta Roma dalam rangka
melindungi HAM rakyat Indonesia.
Sedangkan direktur FRR Law Office sekaligus pakar hukum humaniter
internasional, Fadillah Agus, berharap pemerintah dan DPR segera meratifikasi
Statuta Roma pada tahun ini. Pasalnya, 2014 adalah tahun politik, ia khawatir
pemerintah dan DPR tidak fokus untuk meratifikasinya. Mengingat ada pihak-pihak
yang keberatan jika Statuta Roma diratifikasi, Fadillah menegaskan ketentuan
itu tidak menggantikan sistem pidana nasional. Ia melihat Statuta Roma hanya
pelengkap sistem hukum yang sudah dijalankan Indonesia saat ini.
Fadillah menjelaskan Statuta Roma dapat mempercepat proses reformasi pidana
nasional. Apalagi, belakangan ini sejumlah peraturan yang berkaitan dengan
tindak pidana sudah digagas untuk diperbaiki seperti KUHP, KUHAP dan Peradilan
Militer. Bahkan, walau secara resmi Statuta Roma belum diratifikasi, Fadillah
melihat ada sejumlah ketentuan di Statuta yang dimasukan dalam revisi KUHP. Menurutnya
langkah itu cukup positif, namun dampaknya akan lebih signifikan jika Statuta
Roma diratifikasi.
“Statuta Roma tidak bertentangan dengan hukum Indonesia karena jelas kita
bagian dari masyarakat internasional dan berperan menegakan perdamaian dan keadilan
internasional,” ujarnya Fadillah.
Fadillah mengingatkan, sekalipun Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma,
bukan berarti bisa lepas dari mekanisme peradilan ICC. Pasalnya, jika ke depan
terjadi pelanggaran HAM berat, besar kemungkinan Indonesia dapat diseret ke
ICC. Menurutnya, hal itu pernah dialami pemerintah di Sudan.