Kamis, 29 Desember 2022

Papua Barat Telah Mendapat Pengakuan Negara Berdaulat Kerajaan Belanda Pada, 1 Desember 1961


 

By: Kristian Griapon,  Desember 29, 2022

Pengakuan Negara Dalam Pemahaman Hukum Internasional

Pengakuan Negara yaitu “Keputusan Negara Berdaulat terhadap sebuah Wilayah Geografi yang dibawah kontrolnya (daerah pendudukan) untuk menjadi sebuah negara berdaulat. Pengakuan Negara dinyatakan, atau tersirat dalam bentuk keputusan dan berlaku surut (retroaktif) dalam penampakannya kedepan.

Berlaku Surut untuk Pengakuan Papua Barat, artinya Deklarasi,1 Desember 1961 adalah perwujudan dari pengesahan (peresmian) Bangsa Papua Barat bersama symbol-symbol identitasnya “Bendera Bintatang Fajar dan Lagu Kebangsaan Papua Barat Hai Tanahku Papua”.

Pengakuan itu telah memposisikan orang-orang Papua Barat bagian dari bangsa-bangsa di dunia yang mempunyai hak, kewajiban dan kedududukan yang sama untuk membentuk sebuah negara berdaulat guna melindungi, serta menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara diatas tanah airnya sendiri.

Pengakuan itu resmi telah menjadikan orang-orang Papua Barat sebuah bangsa diatas Wialayah Geografi New Guinea Bagian Barat menjadi bagian dari Subjek Hukum Internasional, yang tidak dapat dibatalkan oleh seorang manusiapun, atas nama apapun diatas muka bumi.

Hukum Intrernasional tidak termuat larangan deklarasi kemerdekaan suatu bangsa dan pengakuan negara termasuk dalam politik internasional yang sah (resmi) dan dijamin oleh hukum internasional.

Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 Menjamin Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat.

Penentuan Nasib Sendiri yang disebut Act of Free Choice  “TIDAK PERNAH DILAKSANAKAN DI NEW GUINEA BARAT”, dan Resolusi MU-PBB, 2504 (XXIV), 19 November 1969, “TIDAK MENYATAKAN SECARA JELAS TENTANG STATUS AKHIR WILAYAH GEOGRAFI NEW GUINEA BAGIAN BARAT BERDASARKAN PENENTUAN PENDAPAT ORANG-ORANG PAPUA BARAT”. Dua pernyataan  itu adalah subtansi masalah, yang menjadi akar konflik saat ini antara Penduduk Asli Papua Barat melawan Kekuasaan Negara Republik Indonesia di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat.

Status akhir dimaksud, apakah New Guinea bagian Barat menjadi Negara Bagian atau Wialayah Otonom (non daerah) dibawah kekuasaan negara berdaulat Republik Indonesia?

Jika diintegrasi kedalam Negara Republik Indonesia, langkah itu bertentangan dengan prinsip normatif hukum kebiasaan internasiaonal, maupun Piagam Dasar PBB, aturan hukum internasional yang berlaku universal, serta mengikat semua negara berdaulat di dunia.

Prinsip-Prinsip Pengakuan Negara

Suatu negara bagian terbentuk atas dasar wilayah geografi, kelompok etnis dan budaya dalam sebuah kedaulatan negara merdeka. Suatu kelompok etnis dan budaya dalam sebuah wilayah geografi, apabila memenuhi persyaratan kenegaraan yang dapat dijamin oleh hukum internasional berdasarkan konvensi Montevideo pasal (1), dan Jika kondisi riil memenuhi syarat, maka negara yang membawahi negara bagian itu mempunyai beban kewajiban moral untuk memberikan Pengakuan politik terhadap penduduk dan negara bagian itu. (H.Lauterpacht, Jurnal Hukum Yale. Nomor 3-Volume 53. Juni, 1944/catatan penulis).

Aturan Hukum Internasional memberikan kepastian pengakuan negara berdaulat terhadap sebuah wilayah kontrolnya (daerah pendudukan),  serta negara tidak berhak mengklaim untuk menjalankan kebijakan secara eksklusif terhadap kepentingan nasional negara di wilayah kontrolnya. Batasan itu bagian dari langkah untuk mencegah ketidakpatuhan moral oleh negara terhadap prinsip -prinsip hukum di wilayah kontrolnya.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Jumat, 23 Desember 2022

Advisory Opinion International Court of Justice Chagos Archipelago- Dipublikasi Kembali- oleh Penulis.

Advisory Opinion International court of Justice Chagos Archipelago, Memberi Wacana Formulasi Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri Dan Hak Menentukan Nasib Sendiri.

By: Kristian Griapon, 5 Maret 2019.

Sesi penulisan, penulis hanya berfokus pada paragraf yang mempunyai relevansi pendapat hukum internasional tentang penentuan nasib sendiri/daerah tidak berpemerintahan sendiri, dari keseluruhan 183 paragraf advisori opinon ICJ.

ADVISORY OPINION INTERNATIONAL COURT of JUSTCE CHAGOS ARCHIPELAGO, adalah KEPUTUSAN PENGADILAN YURIDIKSI, yaitu Memberikan Pendapat Penasihat Hukum yang terurai ke dalam 183 paragraf, tentang permintaan Majelis Umum PBB terhadap Konsekuensi Hukum Pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius pada tahun 1965, sebelum wilayah itu merdeka pada tahun 1968. Peristiwa yang mengarah pada penerapan resolusi Majelis Umum 71/292 yang meminta suatu Pendapat Hukum.

ICJ mengklarifikasi Resolusi-Majelis Umum PBB: 1514 (XV) 1960, memformulasikan/merumuskan kembali pemahaman hukum normatif daerah-daerah tidak berpemerintahan sendiri sesuai dengan prinsip piagam PBB pasal (73), dan mengkategori daerah dekolonisasi menuju hak penentuan nasib sendiri, serta meninjau pemahaman normatif Pasal (6) Resolusi-Majelis Umum, 1514 tentang integritas wilayah nasional suatu negara, yang selama ini dijadikan tameng persembunyian penjajahan gaya baru (neo-Kolonialsime) oleh negara-negara kovenan/terikat hukum internasional, yang dalam prakteknya tidak mencerminkan prinsip piagam PBB pasal (73). Dan hal tersebut kembali dipertegas dalam formulasi/rumusan uraian Paragraf-156 keputusan yuridiksi pendapat hukum ICJ, dalam kaitan tuntutan perkembangan pendapat hukum (evolusi opini yuris), yang akan dijadikan dasar untuk diadopsi kedalam Resolusi pada- SU UNGA-2019.

PERTAMA: TENTANG, RELEVANSI PERIODE WAKTU UNTUK TUJUAN MENGIDENTIFIKASI ATURAN HUKUM INTERNASIONAL YANG BERLAKU:

Paragraf-140. Dalam Pertanyaan (a), Majelis Umum menempatkan proses dekolonisasi Mauritius pada periode antara pemisahan Kepulauan Chagos dari wilayahnya pada tahun 1965 dan independensinya/kemerdekaan Mauritius pada tahun 1968. Oleh karena itu, dengan mengacu pada periode inilah Mahkamah diharuskan mengidentifikasi aturan-aturan hukum internasional yang berlaku untuk proses itu.

Paragraf-141. Berbagai peserta telah menyatakan bahwa hukum internasional tidak dibekukan pada tanggal ketika langkah pertama diambil menuju realisasi hak untuk menentukan nasib sendiri sehubungan dengan suatu wilayah.

Paragraf-142. Pengadilan berpendapat bahwa, sementara penentuan hukum yang berlaku harus fokus pada periode 1965 hingga 1968, ini tidak akan mencegahnya, terutama ketika aturan normatib berlaku untuk suatu masalah, dan mempertimbangkan evolusi hukum tentang penentuan nasib sendiri sejak diadopsi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan resolusi 1514 (XV) tanggal 14 Desember 1960 dengan tema "Deklarasi Pemberian Kemerdekaan Kepada Wilayah dan Rakyat Penjajahan". Mengingat, negara penjajah dalam prakteknya, dan evolusi opinio juris, yaitu penerimaan praktik itu sebagai hukum (Pasal 38 Statuta Negara). Pengadilan, mengkonsolidasikan dan mengkonfirmasi secara bertahap dari waktu ke waktu.

Paragraf-143. Pengadilan juga dapat mengandalkan instrumen hukum yang menunda periode yang bersangkutan, ketika instrumen tersebut mengkonfirmasi atau menafsirkan aturan atau prinsip yang sudah ada sebelumnya (piagam dasar PBB)

KEDUA: TENTANG, HUKUM INTERNASIONAL YANG BERLAKU:

Paragraf-153. Kata-kata yang digunakan dalam resolusi 1514 (XV) memiliki karakter normatif, sejauh ini menegaskan bahwa “[a] Semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri”. Pernyataan pembukaan, "itu membuka ruang penjajahan lebih cepat dan tanpa syarat dalam segala bentuk dan manifestasi " dan paragraf pertamanya menyatakan bahwa" [t] ia tunduk pada orang-orang terhadap penaklukan alienasi/mengisolasi, mendominasi dan mengeksploitasi merupakan penolakan terhadap hak asasi manusia yang fundamental [dan] bertentangan dengan Piagam Dasar PBB ”. Resolusi ini lebih lanjut menyatakan bahwa “[i] langkah segera harus diambil, dalam Wilayah Kepercayaan dan Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri , atau semua wilayah lain yang belum mencapai kemerdekaan, untuk mentransfer semua kekuasaan kepada orang-orang di wilayah itu, tanpa syarat atau syarat, di sesuaikan dengan keinginan mereka yang diungkapkan secara bebas ”. Dan untuk mencegah pemisahan/pemotongan wilayah yang bukan pemerintahan sendiri, paragraf (6) dari resolusi 1514 (XV) menyatakan bahwa: "Setiap upaya yang ditujukan pada gangguan sebagian atau keseluruhan dari "persatuan nasional dan integritas teritorial suatu negara" dinyatakan tidak sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam Dasar PBB" (persatuan nasional dan integritas teritorial suatu negara = ikatan kebangsaan berdasarkan letak geografis dan demografis/budaya etnis suatu kelompok bangsa yang membetuk suatu negara)

Paragraf-154. Pasal 1, umum untuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan untuk Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, diadopsi pada 16 Desember 1966, berdasarkan resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI), menegaskan kembali hak semua orang untuk penentuan nasib sendiri, dan mengakomodasi, antara lain, bahwa:

“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, termasuk yang memiliki tanggung jawab terhadap administrasi Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri dan Menerima Kepercayaan, untuk mempromosikan realisasi hak penentuan nasib sendiri, dan tetap menghormatinya secara benar, sesuai dengan ketentuan Piagam Dasar PBB. "

Paragraf-155. Sifat dan ruang lingkup hak penentuan nasib sendiri suatu bangsa, termasuk penghormatan terhadap "Persatuan nasional dan integritas teritorial suatu Negara atau negara", ditegaskan kembali dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam Dasar PBB. Deklarasi ini dilampirkan pada Resolusi MajelisUmum, 2625 (XXV) yang diadopsi oleh konsensus pada tahun 1970. Dengan mengakui hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai salah satu "prinsip dasar hukum internasional", Deklarasi membenarkan karakter normatifnya di bawah hukum kebiasaan internasional.

Paragraf-156. Cara untuk menerapkan hak menentukan nasib sendiri dalam wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri, diformulasikan untuk "suatu daerah yang terpisah secara geografis dan...berbeda secara etnik dan/atau budaya dari negara yang mengelola/menguasainya”, ditetapkan dalam Prinsip VI Resolusi Majelis Umum 1541 (XV), diadopsi pada 15 Desember 1960: Dan suatu “Wilayah Non-Pemerintahan Sendiri dapat dikatakan telah mencapai ukuran penuh pemerintahan sendiri apabila:

(a). Telah menjadi negara merdeka berdaulat; (b). Menjadi asosiasi bebas dengan Negara merdeka (daerah otonom); atau, (c). Terintegrasi kedalam Negara merdeka. "

Paragraf-161. Dalam pandangan Pengadilan, undang-undang tentang penentuan nasib sendiri merupakan yang berlaku dalam hukum internasional selama periode yang dipertimbangkan, yaitu antara tahun 1965 dan 1968. Pengadilan mencatat dalam Pendapat Penasihatnya tentang Namibia dalam konsolidasi hukum itu; Dan“perkembangan selanjutnya dari hukum internasional sehubungan dengan wilayah tidak berpemerintahan sendiri, sebagaimana diabadikan dalam Piagam Dasar PBB, menjadi prinsip penentuan nasib sendiri yang berlaku untuk semua daerah yang diformulasi sebagai daerah tidak berpemerintahan sendiri (paragraf 156) ”(Konsekuensi Hukum untuk Negara Bagian dari Afrika Selatan yang berkelanjutan di Namibia (Afrika Barat Selatan) demikian juga Resolusi Dewan Keamanan 276 (1970), Opini Penasihat, I.C.J. Laporan 1971, hlm. 31, para. 52).

KETIGA, CATATAN PENULIS:

Keputusan yuridiksi ICJ, memberi wacana bagi daerah-daerah koloni yang dikaburkan statusnya oleh kepentingan “Geo stategi-ekonomi, politik dan pertahanan keamanan dalam bentuk penjajahan gaya baru/neo-kolonialisme, yang bersembunyi dibalik normatif hukum kebiasaan internasional Resolusi Majelis Umum PBB, 1514 (XV), pasal (6) Penghormatan terhadap integritas nasional suatu negara(Uti Possidetis).

Untuk Papua Barat relevansi opini yuris tentang New York Agreement , 15 Agustus 1962, harus mendapat dukungan negara-negara anggota PBB untuk mengadopsi sebuah Resolusi Majelis Umum PBB, rujukan ke ICJ guna Mendapatkan "KEPUTUSAN PENGADILAN YURIDIKSI", tentang peninjauan keabsahan PEPERA, 1969 berdasarkan standar hukum internasional sebagaimana yang telah diratifikasi Indonesia dan Belanda tertuang pada klausul perjanjian Bab XVIII poin (d)”One man’One vote”. “Konsekuensi hukum dari paragraf 156 poin (c)”

"Apa yang dilakukan oleh Negara Republik Vanuatu untuk Rakyat Papua Barat, sudah sesuai dengan Kehendak Orang Asli Papua sendiri, yakni, mendasari diatas Konsensus Bersama Seluruh Elemen Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, yang tertuang dalam "Komunike Saralana, Port Vila Vanuatu. 6 Desember 2014- diantaranya Meng-orbitkan ULMWP sebagai lembaga representasi diplomasi politik luar negeri bangsa Papua Barat". Dan langkah diplomasi luar negeri Vanuatu sudah tepat, tidak bertentangan dengan mekanisme hukum internasional.

U/p:”Para Pejuang Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, harus mencari dukungan negara-negara berdaulat, guna mengoptimalkan Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat...Karena hal itu bagian terpenting dalam aturan main politik internasional".(Kgr)

Rabu, 14 Desember 2022

Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat Bukan Separatis


Pemahaman Hukum Internasional Tentang Sebutan Separatis Beda Dengan Gerakan Pembebasan Nasional

Sebuah Kajian oleh: Kristian Griapon.
 
Pemahaman sederhana oleh penulis sebagai berikut:

1.Separatis adalah Pemberontakan untuk memisahkan diri (merdeka) didalam wilayah kedaulatan suatu negara merdeka, yang dilakukan oleh rakyat, atau sekelompok orang di sebuah daerah yang menjadi kedaulatan sebuah negara sejak negara itu merdeka.

Azas Uti Possidetis iuris berlaku pada kondisi menghadapi pemberontakan separatis, serta menjadi dasar hukum internasional untuk mempertahankan dan melindungi keutuhan wilayah kedaulatan suatu negara. Selain itu azas uti possidetis iuris telah menjadi pandangan politik masyarakat internasional untuk mencegah munculnya negara-negara baru di dalam wilayah kedaulatan sebuah negara merdeka, yang dalam KUHP Indonesia disebut “Makar”, membuat negara di dalam negara.

Seiring dengan evolusi perkembangan hukum internasional, untuk alasan Hak Asasi Manusia separatis dapat diterima sebagai alternatif, atau solusi akhir untuk menyelesaikan konflik domestik pemisahan diri (separatis) di dalam sebuah negara merdeka. Pada kondisi ini berlaku “Doktrin Remidial Secession”, azas uti possidetis iuris tidak berlaku, misalnya kasus Kosovo memisahkan diri dari wilayah kedaulatan Negara Serbia.

 

2.Gerakan Pembebasan Nasional yang disebut juga Pejuang Kemerdekaan, adalah Bentuk Perlawanan untuk Konflik Sengketa Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri, yang orang-orangnya belum merdeka.

Bentuk perlawanan antara penduduk asli di wilayah itu melawan pendudukan bangsa merdeka (negara) yang menguasai wilayah itu bisa dalam bentuk “perlawanan politik, perlawanan bersenjata, atau kombinasi keduanya”, tergantung pada kondisi yang dihadapi dalam perlawanan konflik sengketa wilayah itu.

Apabila kondisi yang dihadapi dari bangsa pendudukan yang menguasai wilayah sengketa itu menggunakan cara perlawanan politik sebagai siasat untuk menghalau “hak menentukan nasib sendiri penduduk asli di wilayah sengketa itu”, maka perlawanannya juga harus menggunakan siasat politik, dan demikian juga apabila menggunakan senjata, maka harus dilawan juga dengan senjata, atau kombinasi keduanya.

Pada Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri diterapkan pasal 73 piagam dasar PBB, yang dalam evolusi perkembangan hukum internasional diaktualisasi ke dalam Resolusi MU-PBB 1514 (XV) dan Resolusi MU-PBB 1541 (XV), 1960.

Dari konteks uraian poin (1) dan (2) diatas memberi gambaran jelas tentang perlawanan penduduk asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat bukan “SEPARATIS”, dan Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat termasuk dalam kategori “DAERAH TIDAK BERPEMERINTAHAN SENDIRI” berdasarkan “PRINSIP ERGA OMNES”, yaitu kategori New Guinea Barat wilayah yang letak geografinya terpisah (di luar) dari wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia, dan pendudk asli Papua mempunyai ciri khas etnik dan budaya Melanesia, berbeda dari bangsa Indonesia etnik dan budaya Melayu. Sehingga dasar itu menggaris bawahi “New Guinea Barat” tidak termasuk, atau terikat dengan “AZAS UTI POSSIDETIS” Hindia-Belanda, yang telah dipertegas oleh Belanda pada saat penyerahan kedaulatan kemerdekan Indonesia pada, 27 Desember 1949..

Penduduk Asli Papua Memiliki Hak Kelompok suatu Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri diatas Wilayah Geografi New Gunea Bagian Barat, bagian dari hak fundamental turunan generasi ke-3 hak asasi manusia yang belum dipergunakan hingga saat ini.

Pembentukan negara bayangan, atau pemerintahan dan bentuk apapun, tidak bisa disamakan dengan organisai biasa, karena pembentukan itu bagian dari aktualisasi perlawanan negara bayangan menuju pengakuan sebuah ngara merdeka. Pembentukan itu adalah bentuk dari bodi perlawanan yang mengakomodir semua faksi pejuang kemerdekaan di dalamnya, guna perlawanan pembebasan nasional.

Pembentukan negara bayangan, atau pemerintahan adalah bagian dari “Hak Subjektif” Gerakan Pembebasan Nasional Suatu Bangsa. Dan pembentukan itu tidak bertentangan dengan hukum internasional. yang bersinggungan langsung dengan posisi Gerakan Pembebasan Nasional termasuk dalam subjek hukum internasional, wasalam. (Kgr)

Penulis adalah Pemerhati Masalah Papua Barat.

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...