Gambar Ilustrasi Majelis Umum PBB Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat Bisa Menjadi Alasan Pencabutan Resolusi MU-PBB 2504.
By: Kristian Griapon, Januara 15, 2022
Berdasarkan Kategori Resolusi
Majelis Umum PBB, sebuah Resolusi Majelis umum PBB bisa dicabut, selain itu
hasil referendum bisa dibatalkan, dan Majelis Umum PBB dapat membuat sebuah
keputusan darurat terhadap suatu masalah yang dipandang dapat mengancam
perdamaian dan keamanan regional maupun internasional.Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau United Nations General Assembly resolution adalah sebuah
keputusan resmi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadopsi ke
dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun semua badan PBB dapat
mengeluarkan resolusi, namun dalam praktiknya resolusi yang paling sering
dikeluarkan adalah resolusi Dewan Keamanan PBB dan resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Mengadopsi sebuah Resolusi Majelis
Umum PBB biasanya memerlukan suara mayoritas, sederhananya 50% dari semua suara
ditambah satu untuk lolos. Namun, jika Majelis Umum menentukan bahwa masalahnya
adalah sebuah "pertanyaan penting" dengan suara mayoritas sederhana,
maka dua pertiga mayoritas diperlukan; "pertanyaan penting" adalah
mereka yang menangani secara signifikan dengan pemeliharaan perdamaian dan
keamanan internasional, pengakuan atas anggota baru untuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa, penangguhan hak-hak dan hak keanggotaan, pengusiran anggota,
pengoperasian sistem perwalian, atau pertanyaan anggaran .
Meskipun Resolusi Majelis Umum PBB
umumnya tidak mengikat terhadap negara-negara anggota, namun resolusi internal
dapat mengikat pengoperasian itu sendiri, misalnya terhadap masalah-masalah
anggaran dan prosedur, serta masalah teknis (piagam dasar dan kovenan HAM)
KASUS RESOLUSI YANG DICABUT:
RESOLUSI 3379 MAJELIS UMUM
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Resolusi 3379 dikeluarkan oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975. Resolusi ini
menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Resolusi ini lolos
dengan 72 suara yang mendukung, 35 menolak dan 32 abstain. Jumlah 72 suara yang
mendukung ini termasuk 20 negara Arab, 12 negara lainnya dengan mayoritas
Muslim, termasuk Turki yang mengakui Israel kala itu, 12 negara komunis, 14
negara Afrika non-Muslim dan 14 negara lainnya termasuk Brasil, India, Meksiko,
dan Portugal.
PENCABUTAN
Pada tahun 1991, situasi dunia
internasional menjadi berbeda setelah runtuhnya Uni Soviet, kemenangan pasukan
sekutu di Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan hegemoni negara adidaya ini di
dunia internasional. Maka pada tanggal 16 Desember 1991, Dewan Umum
mengeluarkan Resolusi 46/86, yang menarik Resolusi 3379 dengan 111 suara setuju
dan 25 suara menolak. Sementara itu ada 13 yang abstain dan 17 delegasi tidak
hadir. Sementara itu 13 dari 19 negara Arab, termasuk yang berunding dengan
Israel, menolak resolusi ini. Enam lainnya tidak hadir. Tidak ada Negara Arab
yang setuju. PLO mengecam keras resolusi ini. Hanya tiga Negara non-Muslim yang
menolak resolusi ini: Kuba, Korea Utara dan Vietnam. Hanya satu negara dengan
mayoritas penduduk Muslim mendukung resolusi ini, yaitu Albania, lainnya
abstain atau tidak hadir. (https://id.wikipedia.org/.../Resolusi_3379_Majelis_Umum...)
KASUS PEMBATALAN HASIL REFERENDUM:
RESOLUSI 68/262 MAJELIS UMUM
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
resolusi majelis umum perserikatan
bangsa-bangsa 68/262 adalah resolusi yang ditetapkan pada tanggal 27 maret 2014
oleh sesi ke-68 majelis umum perserikatan bangsa-bangsa sebagai tanggapan
terhadap krisis krimea 2014. resolusi yang berjudul "integritas teritori ukraina"
ini didukung oleh 100 negara anggota perserikatan bangsa-bangsa (pbb). resolusi
ini menegaskan komitmen terhadap kedaulatan, kemerdekaan politik, kesatuan, dan
integritas teritori ukraina, serta menggarisbawahi ketidakabsahan referendum
krimea 2014. armenia, belarus, bolivia, kuba, korea utara, nikaragua, rusia,
sudan, suriah, venezuela, dan zimbabwe menentang resolusi ini. terdapat 58
negara yang abstain, dan 24 negara lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara.
resolusi ini diajukan oleh kanada,
kosta rika, jerman, lituania, polandia, dan ukraina. penetapan resolusi ini
didahului oleh upaya di dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa yang gagal
karena diveto rusia.(https://id.wikipedia.org/.../262_Majelis_Umum...)
KEPUTUSAN DARURAT:
RESOLUSI ES-10/L.22 MAJELIS UMUM
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Resolusi ES 10/L.22 Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah resolusi rapat darurat yang menyatakan status
Yerusalem sebagai ibu kota Israel "tidak berlaku".[1] Resolusi ini
diadopsi dalam rapat pleno ke-37 sidang istimewa darurat ke-10 Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa[2] pada sidang ke-72 Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa tanggal 21 Desember 2017. Draf resolusi ini diajukan oleh Yaman
dan Turki.[3] Meski ditolak keras oleh Amerika Serikat, resolusi ini disahkan
dengan 128 suara mendukung, 9 menentang, 35 abstain, dan 21 tidak hadir.
Pada tanggal 6 Desember 2017,
Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa ia akan mengakui status Yerusalem
sebagai ibu kota berdaulat Israel.[1] Ini bertentangan dengan resolusi-resolusi
MU PBB sebelumnya serta norma-norma internasional yang berlaku bahwa tidak
satupun negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara atau membangun
kedutaan besar di sana. Tindakan ini diprotes oleh negara-negara dan masyarakat
di berbagai belahan dunia.
Usai gagalnya resolusi Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembatalan pengakuan Yerusalem
sebagai ibu kota negara oleh negara manapun tiga hari sebelumnya karena diveto
A.S., Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan bahwa Majelis
Umum akan mengadakan pemungutan suara untuk draf resolusi penarikan deklarasi
Amerika Serikat. Ia menggunakan Resolusi 377 (disebut juga resolusi
"Bersatu untuk Perdamaian") untuk membatalkan veto. Resolusi ini
menyatakan bahwa Majelis Umum dapat menyelenggarakan Sidang Istimewa Darurat
untuk membahas suatu persoalan "dengan tujuan memberi saran bersama yang
layak kepada negara-negara anggota" apabila Dewan Keamanan tidak mampu
bertindak. (https://id.wikipedia.org/.../L.22_Majelis_Umum...)
Resolusi Majelis Umum PBB sifatnya
mengikat semua negara anggota PBB secara kelembagaan (internal), namun tidak
mengikat semua negara anggota PBB dalam bentuk kedaulatan negara (eksternal),
sehingga sebuah resolusi ekternal yang menjadi keputusan majelis umum PBB
terhadap suatu kasus internasional yang dianggap kontroversial atau
bertentangan dengan prinsip moral dan keadilan, yang atas usulan, atau advokasi
negara-negara anggota PBB, hal itu dapat ditinjau berdasarkan prosedur
kelembagaan.
Dari tiga konteks Resolusi diatas
menjelaskan tiga bentuk kategori resolusi Majelis Umum PBB yang sifatnya sbb:
“Bahwa sebuah resolusi majelis umum
PBB dapat dicabut, demikian juga sebuah keputusan dari hasil referendum dapat
dibatalkan, berprinsip pada norma dan keadilan, serta dalam keadaan darurat
suatu resolusi dapat dibuat”.
Kekuatan hukum internasional yang
tertinggi berada pada keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga sebuah resolusi
yang diadopsi (dibuat) oleh Dewan Keamanan PBB, mempunyai kekuatan hukum
internasional yang kuat, mengikat serta memaksa para pihak yang menjadi bagian
dari subjek hukum internasional dalam suatu sengketa internasional guna
kepatuhan penyelesaian melalui jalan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB dibuat
atas pertimbangan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan piagam
dasar PBB serta Kejahatan Kemanusiaan (pelanggaran HAM Berat dan kejahatan
Genosida).
Kita sering mendengar pernyataan
dari berbagai kalangan di Indonesia yang pada umumnya menyatakan, masalah Papua
Barat sudah final, tidak bisa dialakukan referendum ulang, dan resolusi MU-PBB
2504 menjadi dasar legitimasi Papua Barat di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dari berbagai pernyataan itu penulis mau katakan demikian, bahwa
Papua Barat hingga saat ini bermasalah di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, indikatornya jelas telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk
dalam kategori genosida terhadap Pribumi Papua, seiring dengan itu Suara
Pribumi Papua semakin nyaring dan jelas kedengarannya, menyuarakan tuntutan
“Papua Merdeka”.
Kejahatan Kemanusiaan dan Tuntutan
Kemerdekaan Papua Barat ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak bisa
dipisahkan dan bertolak belakang, sehingga akan menjadi alat tawar (bargaining)
dalam politik internasional tentang hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua
Barat, karena konflik wilayah Papua Barat telah menjadi bagian dari subjek hukum
internasional. Oleh karena itu kenyaringan suara kemerdekaan Papua Barat yang
diikuti kasus kajahatan kemanusiaan di Papua Barat, akan mempengaruhi legalitas
Wilayah Geogafi New Guinea Bagian Barat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sehingga akan memunculkan pertanyaan yang mendasar tentang "Kepatuhan
Pemerintah Republik Indonesia terhadap Norma dan Keadilan" dalam
Pelaksanaan PEPERA tahun 1969, yang mengadopsi Resolusi PBB 2504, wasalam.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati
Ma salah Papua Barat.