Tertutupnya Ruang Dekolonisasi PBB, Membuka Cara Baru Kemerdekaan Wilayah Kontrol Sebuah Negara.
By: Kristian Griapon, Oktober 30,
2023
Tertutupnya Ruang Dekolonisasi PBB, Membuka Cara Baru Kemerdekaan Wilayah Kontrol Sebuah Negara.
By: Kristian Griapon, Oktober 30,
2023
Komentar Admin-By: Kristian
Griapon, September 24, 2023.
Elektabilitas KNPB sebagai
gerakan demokrasi perlawanan sipil kota generasi muda bangsa Papua Barat, telah
menjadi garda depan revolusi mental dalam gerakan perlawanan mendorong solusi damai
penyelesaian konflik Papua Barat melalui pendekatan demokrasi dan bermartabat.
Didukung manajemen
perjuangan yang kuat oleh tokoh-tokoh generasai
muda yang terpelajar dan kharismatik, dan telah teruji kemampuannya dalam mempertahankan
eksistensi organisasi serta mengolah perlawanan terstuktur dan terukur, telah
memperkuat KNPB sebagai “organisasi yang
mandiri dan non afiliasi dalam gerakan perlawanannya”.
KNPB sebagai Organisasi yang mandiri
dan non afiliasi, harus dipertahankan dalam kiprahnya menjadi “Media Bangsa
Papua Barat” dalam menyuarakan aspirasi kemerdekaan bangsa Papua Barat secara
demokrasi dan bermartabat. (Kgr)
Catatan
Peningkatan Status Papua Barat Menjadi Daerah Konflik Di Pasifik.
Peningkatan Status Papua Barat menjadi “Wilayah Konflik di Kawasan Regional Pasifik”, mengacu pada:
1. Deklarasi Saralana, 6 Desember 2014, bersatunya semua faksi pejuang politik bangsa Papua Barat ke dalam “Organisasi Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat, yang disebut “ULMWP”.
2. Pengakuan Negara-Negara MSG, bahwa ULMWP mewakili Papua Barat sebagai entitas non-negara dalam Organisasi Negara-Negara Melanesian Spearhead Group “menjadi anggota entitas pengamat non-negara”. Pengakuan itu terjadi melalui KTT-MSG 20, tahun 2016 di Negara Kepualaan Solomon.
3. Peta Jalan Penyelesaian (Roadmap) Konflik di Papua Barat melalui Resolusi PIF, 50, Tuvalu tahun 2019 dan diperkuat Resolusi OACP Nairobi, Kenya tahun 2019.
Papua Barat kini telah menjadi salah satu wilayah konflik yang statusnya telah terbuka ke publik internasional, wilayah yang dibawah kendali penuh otoritas Negara Republik Indonesia melalui resolusi MU-PBB 2504 tahun 1969.
Peningkatan status Papua Barat menjadi daerah konflik di pasifik, menunjukkan bahwa, telah terjadi “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Human Crime Againt) secara sistimatis (bermetode) dan meluas di seluruh kawasan yang termasuk dalam wilayah geografi Papua Barat. Motif utamanya “Genosida melalui pembunuhan diluar hukum dan impunitas alat kekuasaan Negara”, yang menjalankan otoritas negara Republik Indonesia di Papua Barat, baik itu diaras atas, menengah dan bawah.
Papua Barat dijadikan daerah kekuatan darurat (emergency power) sejak rezim orde baru berkuasa dan berlanjut hingga saat ini, dimana eksekutif (pemerintah) diberikan kekuasaan tidak terbatas pada hukum biasa non konstitusi, untuk mengatasi masalah perjuangan kemerdekaan penduduk asli Papua Barat untuk mendirikan sebuah negara merdeka dari Indonesia, pasca PEPERA tahun 1969.
Mengkondisikan emergency power di Papua Barat, eksekutif dapat bertindak melampaui batas-batas hukum biasa (non kontitusi) untuk melindungi rakyat dan kepentingan rezim yang berkuasa di Papua Barat, namun harus dibawah pengawasan legislatif (DPR).
Pengawasan DPR untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan darurat yang terjadi, sehingga bersinggungan
langsung dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia, diantaranya pembunuhan diluar
hukum dan impunitas alat kekuasaan negara yang bertugas di Papua Barat, baik
itu diaras atas, menengah dan bawah.
Dampak dari emergency power diluar kontrol yang terjadi di Papua Barat, kini telah menjadi beban Negara Republik Indonesia terhadap tanggungjawab dan kewajiban internasionalnya yang terikat oleh hukum internasional yang harus dipertanggungjawabkan berdasarkan negara, dimana konflik di Papua Barat telah melahirkan dua resolusi PIF dan OACP, yang meminta masyarakat internasional ikut mengambil bagian dalam penyelesaian damai masalah konflik di Papua Barat.
Dua poin penting yang kini menjadi perhatian masyarakat internasional dalam konflik yang terjadi di Papua Barat antara Otortas Negara Indonesia dan Penduduk Asli Papua, adalah "Pembunuhan diluar hukum dan Impunitas", wasalam.(Kgr).
Penulis adalah Aktivis Pemerhati
Masalah Papua Barat.
Kantor Perdana Menteri PNG, Mengeluarkan Pernyataan Resmi Klarifikasi PM James Marape tentang Masalah Papua Barat Pada Sabtu, 9 September 2023.
Pernyataan PM Marape Menunjukkan Sikap, Negaranya Tidak Mau Didikte Dan Diintervensi
Ulasan Editorial-RNZ Pasifik, 8 September 2023 https://www.rnz.co.nz/international/pacific-news/497572/marape-png-no-right-to-comment-on-abuses-in-west-papua
By; Kristian Griapon, September 9, 2023.
Dilansir dari editorial peberitaan RNZ, 8 September 2023 yang memuat percakapan Presiden RI Joko Widodo dan PM PNG James Marape di sela-sela pertemuan KTT-Asean 2023 di Jakarta, teramati empat (4) poin penting yang harus dicermati oleh orang-orang Papua Barat yang pro-kemerdekaan, yaitu:
Pertama: Perdana Menteri Papua Nugini James Marape telah mengatakan kepada
presiden Indonesia Joko Widodo bahwa PNG tidak berhak mengkritik Jakarta atas
apa yang disebutnya dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat.
Kedua: Marape mengatakan kepada Widodo bahwa dia abstain dalam mendukung
upaya Papua Barat untuk bergabung dengan Melanesian Spearhead Group pada
pertemuan bulan lalu di Port Vila karena Gerakan Persatuan Pembebasan Papua
Barat (ULMWP) “tidak memenuhi persyaratan negara berdaulat penuh”.
Ketiga: Presiden Indonesia mengatakan Wakil Perdana Menteri PNG John Rosso
akan diundang untuk menilai perkembangan yang terjadi di Papua Barat.
Keempat: Widodo mengatakan Indonesia berkomitmen untuk membangun hubungan saling percaya dan kerja sama dengan semua negara Pasifik dan akan menyampaikan undangan kepada para pemimpin mereka untuk menghadiri Forum Negara-Negara Kepulauan (AIS) bulan depan di Indonesia.
Penulis melihat dari sudut pandang etika politik dalam diplomasi hubungan
internasional, Perdana Menteri PNG, Sir.James Marape berjiwa besar menghadapi situasi yang
sulit ketika menerima undangan Indonesia sebagai negara tuan rumah KTT Asean
2023, bertepatan dengan pernyataan yang dibuatnya berkaitan dengan hasil
KTT-MSG 2023, bahwa masalah Papua Barat di dorong ke Forum Kepulaan Pasifik
(PIF) dan Indonesia dikenakan moratorium satu tahun di MSG.
Secara psikologis dalam diplomasi politik luar negeri, nampak jelas Perdana Menteri PNG, James Marape tidak mau
negaranya didikte, atau diintervensi oleh Indonesia tentang masalah Papua
Barat. Hal itu dapat dilihat dari ketegasannya kepada Jokowi, bahwa PNG tidak
berhak mengkritik Jakarta atas apa yang disebutnya dugaan pelanggaran hak asasi
manusia di Papua Barat.dan dia abstain dalam mendukung upaya Papua Barat untuk
bergabung dengan Melanesian Spearhead Group pada pertemuan bulan lalu di Port
Vila, karena Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) “Tidak Memenuhi Persyaratan sebagai Negara Berdaulat Penuh”.
Dilihat dari standar etika diplomasi politik hubungan internasional, seorang
Perdana Menteri PNG, Sir.James Marape telah menegaskan, bahwa masalah dugaan pelanggaran HAM
Berat di Papua Barat secara etika normatif (berperilaku etis), PNG sebagai negara merdeka memiliki
moral dasar untuk tidak mengomentari masalah dugaan pelanggaran HAM di
Papua Barat, karena diluar juridiksi negara PNG, yang menjadi tanggunjawab
Indonesia.
Lalu yang menjadi pertanyaan: Dalam rangka apa Presiden Indonesia mengatakan
Wakil Perdana Menteri PNG John Rosso yang notabene dibawah Perdana Menteri James Marape akan diundang
untuk menilai perkembangan yang terjadi di Papua Barat. Dan berkomitmen untuk
membangun hubungan saling percaya dan kerja sama dengan semua negara Pasifik,
dan akan menyampaikan undangan kepada para pemimpin mereka untuk menghadiri
Forum Negara-Negara Kepulauan (AIS) bulan depan di Indonesia?
Pertanyaan Untuk Para Pemimpin ULMWP.
Apakah ULMWP sudah siap menghadapi perkembangan baru strategi diplomasi
politik luar negeri Indonesia di Pasifik? https://www.antaranews.com/berita/3711174/pm-kepulauan-cook-mou-asean-pif-tegaskan-pentingnya-kolaborasi
Perjuangan Bangsa Papua Barat akan menghadapi jalan buntut apabila
mengandalkan cara-cara klasik untuk menempuh tujuan perjuangannya, tidak mengikuti irama perkembangan masyarakat
global, wasalam.(Kgr)
Papua
Barat Memiliki Kesamaan Masalah Dengan Palestina, Yaitu Wilayah Dibawah Hukum
Perjanjian Internasonal Yang Dicaplok Oleh Bangsa Merdeka.
Komentar Admin-By:Kristian Griapon, Sepember 8, 2023
Masalah Papua Barat secara otomatis terhubung, setelah PNG
membuka kedutaan besarnya di Jerusalem, karena akan membuka ruang perdebatan
baru dalam politik internasional tentang klaim wilayah diluar kedaulatan sebuah
negara.
Kalau Indonesia mengklaim Palestina wilayah di luar kedaulatan Israel, PNG-pun demikian, akan mengklaim Papua Barat wilayah diluar kedaulatan Indonesia, dan berdasarkan prinsip hukum internasional uti possidetis iuris adalah bagian keutuhan dari “Wilayah Geografi New Guinea”, sehingga PNG sebagai negara merdeka, meiliki hak kontitusional mengintervensi masalah Papua Barat, wasalam.(Kgr)
Perjuangan Bangsa Papua Barat Membutuhkan Dukungan Politik Internasional.
By:Kristian Griapon
PBB bukan otoritas dunia dan tidak bisa mengintervensi kedaulatan sebuah negara, PBB adalah himpunan bangsa-bangsa merdeka yang membentuk hubungan kerja sama multilateral diatas dasar kooperatif dan non intervensi, serta menjunjung tinggi hak, kewajiban dan kedudukan semua negara sama, tidak memandang besar atau kecilnya suatu negara.
Perjuangan bangsa Papua Barat dijamin oleh hukum internasional…Namun yang jadi masalah saat ini berdasarkan kajian penulis, bahwa, “sejak Deklarasi, 1 Desember 1961 hingga saat ini, masalah yang mengganjal perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat, yaitu “system politik internasional”.
Teramati, lemahnya dukungan internasional terhadap perjuangan kemedekaan bangsa Papua Barat. Jadi kalau kita bicara system politik internasional tidak bisa terlepas dari “pengaruh kekuasaan dan kepentingan” yang dimainkan oleh negara-negara kuat.
Pemahaman Dasar:
Kedaulatan Negara merupakan Si
stem
Hukum Nasional Tertinggi yang mengatur Politik Negara dalam tata kehidupan
berbangsa dan bernegara dan tidak dapat diintervensi.
Sedangkan hubungan internasional merupakan system politik Internasional yang menggerakkan dan mengaktifkan hukum internasional, dengan kata lain, politik intrnasional merupakan roh yang menghidupkan hukum internasional dan menjadi alat kontrol kedaulatan negara terhadap kewajiban internasional, berdasarkan hukum internasional yang mengikatnya.
Oleh karena itu kedaulatan negara tidak bersifat mutlak (absolut), karena dibatasi oleh hubungan antar negara dalam dunia internasional, baik itu hubungan bilateral, unilateral, maupun multilateral.
Dalam dunia internasional tidak mengenal otoritas internasional, yang ada hanya otoritas negara, sehingga hukum internasional kedudukannya lemah untuk penegakkan suatu kasus internasional yang terjadi di dalam kedaulatan suatu negara, misalnya “pelanggaran HAM atau Ekosida.
Oleh karena itu dibutuhkan politik internasional untuk memperkuat hukum internasional dalam mengungkap masalah internasional yang terjadi di dalam kedaulatan suatu negara dan mencari jalan penyelesaiannya.
Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat dari Indonesia harus didorong oleh politik internasional, guna hukum internasional dapat diberlakukan terhadap Indonesia… Nah pertanyaannya bagaimana cara perjuangan bangsa Papua Barat mendapat dukungan politik internasiona?...
Jawabannya berada pada diplomat
politik pejuang kemerdekaan Papua Barat di dunia internasional, wasalam.(Kgr)
ULMWP tidak lebih dari FLNKS,
Gambar Ilustrasi pergantian kepemimpinan ULMWP.
Resolusi OACP Akan Menjadi Peta Jalan Penyelesaain Konflik Papua Barat.
Ulasan-by :Kristian Griapon,
31 Agustus 2023
Kedudukan
MSG
Dari segi teknis hukum
internasional dan hubungan antar negara, dan politik internasional, “MSG adalah
Kelompok Negara- Negara yang dikategori , Negara-negara blok (block countries), yang dibentuk dalam kawasan sub regional
pasifik selatan berdasarkan “Wilayah Geografi, Etnik dan Budaya Melanesia” dan
MSG bagian yang tidak dapat dipisahkan dari organisasi induknya di tingkat
regional pasifik, yang disebut Forum Kepulauan Pasifik (PIF).
MSG memiliki
tujuan dan kepentingan politik yang sama, serta bertindak bersama dalam merumuskan
berbagai isu yang dihahapinya di dalam kawasan
pasifk selatan, melalui Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) antar para pemimpin (kepala pemerintahan), untuk mengadopsi
komunike yang menjadi kesepakatan bersama.
Komunike yang diadopsi memiliki
kekuatan hukum yang mengikat semua
negara anggota MSG di dalam kawasan sub regional pasifik selatan. Dan walaupun
tidak mengikat negara negara di luar MSG, namun keberadaan negara asosiasi
(negara rekan) di dalam ruang lingkup protokoler MSG, secara otomatis menerima konsekuensi
etis dan moral, yaitu harus menghormati dan mematuhi protokoler yang belaku di MSG.
Status asosiasi Indonesia di MSG adalah negara rekan tidak lebih dari itu, karena tidak termasuk dalam kualifikasi kenegaraan yang berada di dalam kawasan sub regional pasifik selatan, yang memiliki hubungan etnik dan budaya Melanesia, atau dengan kata lain status dari sebuah entitas yang menjadi subyek dari hukum internasional, berdasarkan pada Internasional Political Sociologi.
MSG adalah kelompok negara-negara di dalam kawasan sub regional
pasifik selatan dengan batas wilayah luarnya di pasifik barat daya, meliputi di
bagian timur kepulauan Fiji dan di bagian barat Papua Barat, serta di bagian dalam kawasam regional pasifik, di bagian utara Kaledonia Barau. yang termasuk dalam etnik dan budaya Melanesia.
Indikator
Kekalahan Indonesia Dalam Diplomasi Papua Barat
Dinamika Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat telah berada dalam situasi politik kontemporer, yang sedang dimainkan lewat masyarakat regional pasifik, dan telah melebar luas ke penjuru dunia. Artinya perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat telah melewati tantangan. hambatan dan rintangan yang di bangun dan dikawal ketat otoritas negara, di dalam negeri Indonesia, namun kini telah melewati tapal batas negara, memasuki zona dunia internasiaonal, yang diadvokasi dan dikawal negara-negara kepulauan pasifik (PIF).
Indikator, atau alat ukur yang menjelaskan Indonesia kalah diplomasi Papua Barat di regional pasifik, dapat diamati dari dinamika perkembangan dukungan negara terhadap situasi HAM di Papua Barat, yang diungkap sbb::
1. Deklarasi Saralana, Port Vila
Vanuatu, 6 Desember 2014, bersatunya faksi-faksi pejuang politik kemerdekaan
bangsa Papua Barat ke dalam wadah politik ULMWP menjadi ujung tombak perjuangan
kemerdekaan bangsa Papua Bara di dunia internasional.
2. ULMWP telah diakomodir ke dalam MSG melalui KTT-MSG 20 dengan status Observer, pada tanggal, 26 Juni 2015, merupakan wujud pengakuan Negara-negara Melanesia terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat.
3. Status observer Indonesia yang
diperjuangkan untuk menjadi anggota blok MSG pada KTT-MSG 20 2015 di Kepulauan
Solomon, dalam lobi intensif Delegasi Indonesia yang mengikutkan perwakilan
dari 5 Provinsi bercorak budaya Melanesia Indonesia, (Maluku Utara, Maluku,
Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat) tidak berhasil meyakinkan para pemimpin
MSG menerima Indonesis menjadi anggota blok MSG, namun diakomodir menjadi
anggota asosiasi (rekan), yang sebatas hubungan ekonomi, non politik, sosial
dan budaya.
.
4. KTT-MSG 21, 2018 di PNG, terjadi intervensi Indonesia yang berdampak pada penundaan pengajuan peningkatan status ULMWP dari observer menjadi anggota blok MSG (full member).
5. Isu sensitif kejahatan kemanusiaan di Papua Barat yang tidak diakomodir pada KTT 21, 2018 di PNG,.menjadi isu yang berkembang diluar kontrol Indonesia, setahun kemudian masuk dalam agenda KTT-PIF 50, 2019 di Tuvalu, lewat delegasi Vanuatu di dukung NGO dan masyarakat sipil Pasfik, berhasil melobi dan medorong isu kejahatan kemanusiaan di Papua Barat menjadi item berdiri sendiri didalam komunike bersama para pemimpin Pasifik dan diajukan dalam KTT-OACP 2019 di Nairobi Kenya pada tanggal, 9-10 Desember 2019, dan disambut oleh semua pemimpin negara dan kepala pemerintahan menjadi resolusi.OACP 2019 Nairobi, tentang situasi HAM di Papua Barat dan mencari jalan penyelesaiannya..
6. Menindak lanjuti Resolusi OACP 2019, Dewan Menteri OACPS, pada Sidang ke- 111 yang diadakan secara virtual pada 14, 15 dan 17 Desember 2020, di bawah kepresidenan HE. Prof. Palamagamba John Ai dan HE. Mwaluko Kabudi, Menteri Luar Negeri dan Kerjasama Afrika Timur, Republik Bersatu Tanzania , mengadopsi Keputusan Nomor. 9, “Keputusan tentang situasi Hak Asasi Manusia di Papua Barat”, yang mengacu pada Resolusi Nomor. 3, Sidang ke- 110 Dewan Menteri di Nairobi, Kenya pada 7 Desember 2019.
7. Pada pertemuan di Brussels, 1
September 2021/OACPS, melalui Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-negara
Afrika, Karibia dan Pasifik (OACPS), HE. Georges Rebelo Pinto Chikoti
menyatakan, sesuai dengan Keputusan Dewan Menteri OACPS pada Sidang ke -111, pada Desember 2020, telah menyampaikan melalui surat tertulis kepada Komisaris
Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNHCHR) atas nama OACPS, yang isinya,
mengeluarkan Pernyataan tentang implementasi Keputusan.OACP tentang situasi HAM
di Papua Barat.
8. Pada KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu,
disimak dari pernyataan dua Perdana Menteri (PM):
Pertama Pernyataan PM Papua New
Guinea, masalah Papua Barat akan diangkat ke Forum Kepulauan Pasifik, karena
telah menjadi kewenangannya. Dan Indonesia dikenakan moratorium atas
kedudukannya sebagai anggta asosiasi di MSG guna membuka jalan kunjungan
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengujungi wilayah Papua Barat.
Kedua, Pernyataan PM Kepulauan
Solomon mendesak Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia segera
mengunjungi Papua Barat berdasarkan Resolusi PFI Tuvalu 2019.
Menyimak bahasa dalam politik internasional yang diungkapkan Sekjen OACP, HE. Georges Rebelo Pinto Chikoti: “OACPS mengakui bahwa Indonesia menjalankan kedaulatan penuh atas provinsi Papua Barat, namun Sekjen Chikoti, menegaskan kembali komitmen yang tak tergoyahkan dari Oacps, tentang Hak Asasi Manusia, supremasi hukum dan prinsip-prinsip demokrasi, yang harus ditegakkan di Papua Barat", wasalam. (Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.
Tulisan ini penulis menanggapi opini pengamat lokal Papua maupun nasional Indonesia, tentang walks out delegasi Indonesia di KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu, dan juga merespons permintaan pengguna FB atas pandangan penulis, tentang proposal ULMWP untuk menjadi anggota penuh tidak dijawab oleh para pemimin negara-negara MSG dalam KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu
Tanggapan Untuk Opini Pengamat Lokal/Nasional
Pertama, Penulis mencermati, bahwa telah terjadi “Kerancuan Berpikir Untuk Tujuan Propaganda Publik Melalui Media Pro Indonesia”, yang sifatnya mendisinformasi sebuah fakta kebenaran yang sedang diperjuangkan oleh Bangsa Papua Barat.
Bahwa kerancuan atau kekeliruan dalam menafsir hukum internasional terhadap suatu masalah internasional, terjadi karena subtansi masalahnya tidak dikaji secara bersistem, artinya, tidak hanya melihat masalahnya saja, namun harus mengkaji latar belakang sebab akibat yang menimbulkan masalah dari berbagai aspek yang bersentuhan langsung dengan masalah dimaksud.
jika masalah Papua Barat disamakan dengan Taiwan wilayah semi negara yang mempunyai hubungan sejarah masa lalu dengan Tiongkok daratan (China), masalahnya tidak relevan, alias tidak nyambung untuk disamakan dengan masalah Papua Barat dengan Indonesia. Terkecuali masalah Papua Barat dapat dihubungkan dengan daerah otonom China Xinjiang, yang mayoritas penduduknya beretnis Uighur. Karena subtansi masalahnya ada kesamaan, yaitu, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas negara.
Kedua, Pernyataan Papua Barat
bukan Timor Leste.
Memang benar, Papua Barat adalah Papua Barat, dan Timor Leste adalah Timor Leste, dua wilayah geografi yang secara etnik dan budaya berbeda dan terpisah dari Melayu Jawa maupun melayu nusantara yang membentuk Negara Republik Indonesia. Dikaji berdasarkan prinsip hukum internasional “erga omnes”
“Subtansi Masalah Orang-orang Papua Barat dibawah Otoritas Negara Republik Indonesia dengan Orang-orang Timor Leste sebelum merdeka dari Indonesia sama, yaitu dua bangsa belum merdeka, yang memiliki hak menentukan nasib sendiri”.
Status Wilayah Timor leste beda dengan status wilayah Papua Barat berdasarkan hukum internasional.
Timor Leste daerah bekas koloni Portugal yang diinvasi militer Indonesia dan tidak menjadi daerah sengketa setelah perang dunia ke-2 antara Portugal dan Indonesia. Sehingga Timor Leste masuk dalam kategori daerah dekolonisasi, yang proses penentuan nasib sendiri melalui panitia khusus dekolonisasi PBB.
Sedangkan status wilayah Papua Barat adalah daerah sengketa kekuasaan setelah perang dunia ke-2, antaran Negara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Sehingga penyelesaiannya harus melalui perjanjian internasional yang disebut New York Agreement, 15 Agustus 1962, dibawah hukum perjanjian internasional. Dan Wilayah Papua Barat diberi tanggungjawab dan kewenangan pengelolaan kekuasannya kepada negara anggota PBB Indonesia, menjalankan administrasi PBB dan mempersiapkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat sesuai dengan klausul perjanjian.
Seharusnya suatu wilayah tidak berpemerintahan sendiri seperti Papua Barat, yang menjadi sengketa kekuasaan antar negara Indonesia dan Kerajaan Belanda, setelah mengadakan perjanjian penyelesaianya melalui perjanjian internasional, statusnya harus berada dibawah pengawasan Dewan Perwalian PBB, sesuai dengan aturan dasar PBB yang termuat dan tertera dalam piagam PBB Bab XII dan XIII.
Perjanjian Internasional antara Indonesia dan Belanda menghendaki penyelesaian sengketa Papua Barat dan pelaksanaan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat diluar pengawasan Dewan Perwalian PBB, ditangani langsung dibawah kewenangan dan tanggung jawab Sekjen PBB. Dan sekjen PBB menyerahkan tanggungjawanya kepada Indonesia, negara anggota PBB yang di percayakan menjalankan administrator PBB di Papua Barat, mempersiapkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat pada tahun 1969 (sesuai dengan klausul perjanjian New York, 15 Agustus 1962, artikel II s/d VIII).
Indonesia menjadi negara anggota PBB secara otomatis (ipso facto) menjadi pihak pada statuta mahkamah Internasional (ICJ) berdasarkan pasal 93 ayat (1) piagam dasar PBB, serta sebagai administrator PBB yang menjalankan kewajiban internasional di Papua Barat, telah melanggar klausul perjanjian yang dibuatnya dalam pelaksaan Act of Free Choice 1969. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 93 ayat (1) dan pasal 103 piagam dasar PBB, Indonesia dapat diminta pertanggungjawaban melalui Majelis Umum PBB dan, atau Mahkamah Internasional berdasarkan negara.
Tangapan Posisi ULMWP di MSG
ULMWP sebagai ujung tombak perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat menjadi full member MSG atau tidak bukan tujuan akhir dari perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat, yang terpenting dan perlu dicatat, bahwa kedudukan ULMWP sebagai Observer di dalam blok organisasi negara-negara MSG adalah symbol pengakuan terhadap wilayah dan orang-orang Papua Barat bagian integral dari Bangsa-bangsa Melanesia yang mendiami kawasan pasifik selatan.
Secara politik internasional dalam hubungan antar negara, Indonesia telah mengadakan hubungan bilateral dengan tiga negara anggota MSG, yaitu, PNG, Fiji dan Kepulauan Solomon yang didasari atas asas non intervensi masalah dalam negeri masing-masing negara. Dan selain itu, keterlibatan langsung Indonesia dalam MSG sebagai anggota asosiasi dan memberikan kontribusi finansial dalam mendukung organisasi MSG, menjadi pertimbangan tersendiri atas keluhan Indonesia terhadap posisi ULMWP di MSG. Namun demikian para pemimpin MSG tetap konsisten mengakomodir berbagai masalah dikawasan Melanesia, termasuk masalah Papua Barat yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab internasionalnya.
Dillihat dari kacamata politik internasional, bahwa para pemimpin MSG mencermati masalah Papua Barat adalah masalah kawasan regional Pasifik, sehingga masalahnya harus diangkat lewat Forum Kepulauan Pasifik (PIF) untuk dicari jalan penyelesaiannya melalui pendekatan persuasif, atau dengan cara damai, dan mengungkap akar masalah, mencari jalan penyelesaiananya yang berprinsip pada piagam dasar PBB Bab VIII.
Jadi Orang-orang Papua Barat jangan berkecil hati apabila keanggotaan penuh di MSG ditunda atas pertimbangan rasional para pemimpin MSG, dan Indonesia jangan berbesar hati merasa unggul dalam percaturan politik kepentingannya di MSG, karena masalah Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat telah menjadi tematik HAM PBB berdasarkan Negara atas dasar Resolusi PIF Tuvalu, 2019 dan diperkuat Resolusi ACP Nairobi, 2019, wasalam.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati
Masalah Papua Barat.
Subtansi Masalah Dalam Perjuangan Pembebasan Bangsa Papua Barat Adalah “Pelanggaran Hak Politik Bangsa Papua Barat” Dalam Pelaksanaan Act of Free Choice Tahun 1969 di Papua Barat.
Oleh: Kristian Griapon, Agustus 16, 2023.
New York Agreement, 15
Agustus 1962 adalah Perjanjian
Internasional Antar Negara, tentang penyelesaian sengketa kekuasaan wilayah
tidak berpemerintahan sendiri New Guinea Bagian Barat (Papua Barat), antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Perjanjian New York, 15
Agustus 1962, Sifatnya mengikat, dan telah menjadi deposit Sekretaris Jenderal
PBB, atau dengan kata lain telah terdaftar pada Sekretariat Majelis Umum PBB
dengan Nomor Register. 6311. INDONESIA dan BELANDA, Perjanjian (dengan
lampiran) tentang Nugini Barat (Papua Barat). Ditandatangani di Kantor Pusat
Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, pada tanggal 15 Agustus 1962
Didaftarkan pada tanggal
21 September 1962 oleh Sekretaris Jenderal PBB yang bertindak atas nama
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sesuai dengan ayat 2 pasal XXVIII
Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.
New Guinea Barat (Papua
Barat) termasuk dalam kategori salah satu wilayah sengketa antar negara setelah
perang dunia ke-2, dan penyelesaiannya melalui perjanjian
internasional, sehingga wilayah New Guinea Barat masuk dalam daerah perwalian
PBB (trust-territories/daerah pengwasan) yang diatur melalui piagam PBB Bab XII
Pasal 75 s/d Pasal 85 dan Bab XIII Pasal 86 s/d Pasal 91.
New Guinea Barat setelah
diregistrasi, seharusnya menjadi kewenangan dan tanggunjawab dibawah pengawasan
Dewan Perwalian PBB bersama dengan daerah-daerah perwalian PBB lainnya,
misalnya Kepulauan Palau di Sub Regional Mikronesia Kawasan Pasifik, adalah
daerah perwalian PBB terakhir yang dimerdekakan dari administrator AS pada
tanggal 1 Oktober 1994.
Papua Barat wilayah yang
oleh Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 pada artikel II s/d VIII
mengamanatkan bahwa, New Guinea Barat setelah diregistrasi menjadi kewenangan
dan tanggungjawab Sekjen PBB dalam rangka mengambil alih
kekuasaan wilayah tidak berpemerintahan sendiri New Guinea Barat
dari Pemerintahan Kerajaan Belanda dan mentransfernya kepada Pemerintahan
Republik Indonesia.
Pemerintah Republik
Indonesia setelah menerima tanggungjawab internasional melalui perjanjian yang
dibuatnya dengan Pemeritah Kerajaan Belanda, adalah menjalankan kewajiban
internasional mempersiapkan Act of Free Choice pada tahun 1969.
Subtansi masalah yang
menimbulkan konflik setelah Act of Free Choice tahun 1969, dengan adanya
Deklarasi Perang Politik Bangsa Papua Barat pada, tanggal, 1 Juli 1971, adalah
respons terhadap “Pelanggaran Hak Politik Bangsa Papua Barat” dalam pelaksanaan
Act of Free Choice tahun 1969 oleh Pemerintah Republik Indonesia, pihak yang
menjalankan administrator PBB di New Guinea Barat.
Bentuk pelanggaran hak
politik bangsa Papua Barat, adalah Administrator Pemerintah Republik Indonesia
menggantikan tata cara pemilihan bebas yang tertera pada klausul perjanjian New
York 15 Agustus 1962, artikel XVIII poin (d), dengan tata cara budaya kebiasaan
bangsa Indonesia, yaitu “perwakilan, musyawarah dan mufakat” .1025 orang Asli
Papua dan Imigran Indonesia yang ditunjuk oleh Otoritas Indonesia, mewakili
> 800.000 penduduk asli Papua yang memiliki hak pilih dalam penentuan nasib
sendiri pada tahun 1969.
Kasus hukum itu
menjelaskan bahwa “orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New
Guinea Bagian Barat tidak pernah menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang
diamanatkan dalam klausul New York Agreement 15 Agustus 1962 Pasal XVIII
Poin (d), tentang syarat penggunaan hak pilih dalam penentuan nasib
sendiri orang-orang asli Papua Barat di wilayah geografi New Guinea Bagian
Barat”.
Perjanjian internasional dilandasi
oleh enam asas yang berfungsi sebagai dasar-dasar perjanjian
internasional yang harus ditaati oleh semua pihak yang
terlibat.
Enam asas perjanjian internasional
dan penjelasannya:
1) Pacta
Sunt Servanda
Pacta Sunt
Servanda diambil dari bahasa latin yang berarti perjanjian harus ditepati. Ini
merupakan asas pertama dan tertua yang mendasari perjanjian internasional.
Dilansir
dari Oxford Public International Law, Pacta Sunt Servanda berarti
hak dan kewajiban semua pihak dalam perjanjian internasional harus dilakukan,
dan pelanggarannya akan dikenakan konsekueknsi sesuai hukum internasional yang
berlaku.
2) Egality
Rights
Yang
dimaksud egality rights adalah kesetaraan semua pihak yang
terlibat dalam perjanjian internasional. Sehingga tidak ada perbedaan level
antar negara yang terlibat dalam perjanjian, semua negara setara.
Negara maju
maupun berkembang adalah setara dan hak-hak negara tersebut tidak boleh
dilanggar. Egality rights menyetarakan negara dan juga mencegah terjadinya
penjajahan, perjanjian yang berat sebelah, dan pemaksaan dalam perjanjian.
3) Reciprocity
Reciprocity
atau timbal balik adalah asas internasional yang mengatur bahwa semua pihak
yang terlibat melaksanakan hak dan kewajiban yang sama rata. Sehingga dalam
perjanjian internasional, tidak ada pihak yang terlalu rugi, tidak ada pihak
yang terlalu diuntungkan, semuanya seimbang dan merupakan jalan tengah.
4) Bonafides
Bonafides
berarti iktikad baik. Dalam perjanjian internasional harus dilandasi iktikad
atau niat baik dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memiliki iktikad
baik berarti negara-negara tersebut memiliki tujuan yang baik untuk membentuk
suatu perjanjian internasional.
5) Courtesy
Couteresy atau
kehormatan adalah asas yang mewajibkan pihak-pihak dalam perjanjian untuk
saling menghormati satu sama lain. Asas couteresy mengharuskan sopan santun dan
rasa saling hormat karena semua pihak dalam perjanjian internasional adalah
setara.
6) Rebus
sic Stantibus
Rebus sic
Stantibus adalah asas perjanjian yang diambil dari bahasa latin dan berarti
hal-hal yang berdiri. Dilansir dari Cambridge University Press,
asas Rebus sic Stantibus memperbolehkan perubahan atau penghentian perjanjian
atas dasar keadilan.
Asas Rebus sic
Stantibus adalah pengecualian dari asas Pacta Sunt Servanda, karena perjanjian
dapat ditinjau ulang jika ada hal-hal fundamental ataupun keadaan yang berubah,
dengan jalan perundingan kembali pihak-pihak yang terlibat.
Perjanjian
New York, 15 Agustus 1962 memenuhi standar perjanjian internasional berdasarkan
Piagam PBB pasal 102, sehingga mempunyai kekuatan hukum perjanjian
internasional, dan berbagai bentuk pelanggaran yang timbul dalam pelaksanaan
perjanjian itu yang merugikan salah satu pihak, maka kasusnya dapat ditinjau
melalui jalur politik di majelis Umum PBB dan, atau melalui jalur hukum
yurudiksi mahkamah internasional (ICJ), guna penyelesaian kasusnya.
Konsekuensi
ipso facto terhadap semua negara anggota PBB berdasarkan piagam PBB pasal
93 ayat (1), maka Indonesia terikat pada statuta mahkamah
internasional (ICJ). Oleh karena itu pelanggaran Act of Free Choice dijamin
dalam pasal 35 ayat (1) dan pasal 36 statuta mahkamah internasional (ICJ),
untuk penyelesaiaan konsekuensi hukumnya melalui yuridiksi mahkamah
internasional.
Syarat
untuk masalah Papua Barat dapat di selesaikan di Majelis Umum PBB dan, atau di
mahkamah internasional, prosedurnya harus berdasarkan negara.
Papua
Barat bukan sebuah negara berdaulat, namun berdasarkan pengelompokan etnik dan
budaya penduduknya termasuk dalam rumpun Melanesia, serta letak wilayah
geografi Papua Barat termasuk dalam kawasan sub regional pasifik selatan.
Sehingga atas dasar pertimbangan itu, menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group
(MSG).
MSG
mempunyai tanggungjawab moral terhadap kewajiban internasiaonalnya berdasarkan
Piagam PBB Bab VIII untuk mencari jalan penyelesaian masalah Papua Barat,
baik ditingkat MSG maupun di tingkat regional dan lembaga multilateral PBB.
Untuk mencari jalan penyelesaian damai.konflik rakyat Papua Barat dengan
Pemerintah Republik Indonesia.
Syarat
untuk MSG menggunakan hak politik internasional dalam mendorong penyelesaian
damai masalah Papua Barat, yaitu ULMWP sebagai representatif perlawanan politik
bangsa Papua Barat harus menjadi anggota resmi (full member) MSG, sebagai
simbol terintegrasinya Papua Barat ke dalam kawasan pasifik selatan.
Bentuk
penyelesaian masalah Papua Barat menuju pedamaian abadi, dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu, referendum ulang model pilihan bebas rakyat
Timor-Timur, atau melalui pengakuan kemerdekaan langsung oleh Negara Republik
Indonesia terhadap Bangsa dan Negara Berdaulat Papua Barat, model Pengakuan
lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) antar Belanda dan Indonesia, wasalam. (Kgr)
Penulis
adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.
Merefleksi 61 Tahun Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 - 15 Agustus 2023
By: Kristian Griapon, Agustus 12, 2023.
1 Desember 1961 adalah “Fundamentalisme Papua Merdeka” . yang menjadi spirit (roh) dalam membangun dan mendorong anak-anak bangsa Papua berjuang untuk kemerdekaan bangsanya Papua Barat dari penindasan Negara dan Bangsa Indonesia, untuk mendirikan sebuah Negara Berdaulat yang melindungi batas-batas wilayahnya dan segenap bangsa Papua Barat.
Penulis mengkaji dari sudut pandang hukum internasional, bersifat universal yang diterapkan untuk wilayah-wilayah dekolonisasi/daerah tidak berpemerntahan sendiri di seluruh dunia, termasuk “Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat kini disebut Papua Barat, yang diakomdir melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962”.
Yang harus dipahami oleh semua anak-anak bangsa Papua, termasuk para pejuang kemerdekaan Papua Barat yang terpecah dalam faksi-faksi perjuangan, bahwa “Fundamentalime Papua Merdeka adalah Manifesto Politik Rakyat Papua Barat 19 Oktober 1961, yang telah mendapat pengakuan Negara Kerajaan Belanda pada 1 Desember 1961, Negara yang memiliki hak kedaulatan atas pendudukan wilayah geografi New Guinea Bagian Barat“.
Bahwa, Pengakuan Negara Berdaulat Kerajaan belanda terhadap hak politik rakyat Papua di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat yang telah terjadi pada tanggal, 1 Desember 1961, mempunyai kekuatan hukum yang berlaku universal tidak dapat dicabut, atau dibatalkan (diamortisasi) oleh siapapun, manusia diatas muka bumi, dan pengakuan itu hanya sekali terjadi untuk selamanya, bahwa: “ Penduduk Asli Papua, berdasarkan etnik dan budaya yang mendiami wilayah geografi New Guinea Bagian Barat, adalah sebuah bangsa yang memiliki hak ekonomi atas property wilayah geografi New Guinea Bagian Barat dan hak politik untuk menentukan nasib sendiri”.
Indonesia sebagai negara yang terikat pada kewajiban internasionalnya atas asas ketaatan terhadap prinsif jus congens (peremptory norms), telah melanggar hak politik bangsa Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, dalam pelaksanaan Act of Free choice 1969. Dan Indonesia sebagai negara yang terikat oleh prinsif jus congens harus berbesar hati untuk mengaku dan menerima kesalahan pemerintah masa lalu, yang telah melanggar Hak politik Bangsa Papua Barat, serta mencari jalan penyelesaian damai untuk mengakhiri konflik politik berdarah yang berkepanjangan, di wilayah konflik Papua Barat.
Manifesto Politik Komite Nasional Papua Dicetuskan Di Hollandia Ibukota Nederlans Nieuw-Guinea,19 Oktober 1961 "Tertera Nilai Sejarah Dan Ideologi Bangsa Papua"
Tinjauan Historis
MANIFEST
Kami yang bertanda tangan dibawah ini, penduduk tanah
Papua bagian Barat terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama merasa
terikat dan bersatu padu satu bangsa dan satu tanah air :
MENYATAKAN :
Kepada penduduk sebangsa dan setanah air bahwa :
I.Berdasarkan fasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
bahagian
a dan b :
II.Berdasarkan maklumat akan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang belum berpemerintahan sendiri, sebagaimana termuat dalam Resolusi yang diterima oleh Sidang Pleno Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang ke 15 dari 20 September 1960 sampai 20 Desember 1960.No.1514(XV).
III.Berdasarkan hak mutlak dari kita penduduk tanah Papua bahagian Barat atas tanah air kita :
IV.Berdasarkan hasrat dan Keinginan bangsa kita akan
kemerdekaan kita sendiri :
Maka kami dengan perantaraan Komite Nasional dan badan
Perwakilan Rakyat kita Nieuw-Guinea Raad mendorong Gubernemen Nederlands
Nieuw-Guinea dan Pemerintah Nederlands supaya mulai dari 1 November 1961 :
a.Bendera kami dikibarkan disampin bendera Belanda
Nederland:
b.Nyanyian kebangsaan kita (kami) “Hai Tanahku Papua”
dinyanyikan disamping Wilhemus:
c.Nama tanah kami menjadi Papua Barat dan,
d.Nama bangsa kami Papua.
Atas dasar-dasar ini kami bangsa Papua menuntut untuk
mendapat tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka dan diantara
bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara
perdamaian dunia.
Dengan manifest ini kami mengundang semua penduduk yang
mencintai tanah air dan bangsa kita Papua menyetujui Manifest ini dan
mempertahankannya. Oleh karena inilah satu-satunya dasar kemerdekaan bagi kita
bangsa Papua.
Hollandia, 19 Oktober 1961…..Tertanda 52 Anggota Komite
Nasional Papua.
Menindak lanjuti manifest ini, Gouverneur
Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda menerbitkan
tiga surat masing-masing :
1. Surat 1961 No.68, di umumkan, 20 November
1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18
November 1961 No.362), tentang “Bendera Negeri”. Mulai berlaku, 1 Desember
1961.
2. Surat 1961 No.70, diumumkan,20
November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea
Tertanggal,18 November 1961 No,364), tentang tata cara penggunaan Bendera Resmi
Negeri bersamaan dengan Bendera Negara Kerajaan Belanda. Mualai berlaku, 1
Desember 1961.
3. Surat 1961 No.70 diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.366), tentang Lagu Kebangsaan New Guinea (Papua Barat) Mulai berlaku, 1 Desember 1961.
Penulis adalah Pemerhati Masalah Papua Barat.
( Referensi: Penyunting’Alexander L Griapon, Manifesto
Politik Komite Nasional Papua Risalah Perdebatan di Nieuw Guinea Raad, 30
oktober 1961, Tabura Otober 2007)
MELIHAT DASAR KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...