Selasa, 31 Oktober 2023

Tertutupnya Ruang Dekolonisasi PBB, Membuka Cara Baru Kemerdekaan Wilayah Kontrol Sebuah Negara.

By: Kristian Griapon, Oktober 30, 2023

Gambar Ilustrasi disediakan google

Seminar PBB Regional Pasifik untuk pemberantasan kolonialisme yang berlangsung di Suva ,Fiji pada Rabu, 21 Mei 2014 yang mengagendakan mempercepat dekolonisasi di Pasifik menjelang tahun 2020, dan melaporkan daerah-daerah di pasifik yang menjadi daerah jajahan ke majelis umum PBB".

Seminar PBB Regional Pasifik mengisyaratkan Program PBB tahun 2020 pintu dekolonisasi PBB ditutup, maka hal itu akan mempersulit wilayah-wilayah bergolak yang berada diluar daftar komite dekolonisasi PBB untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan PBB melalui komite dekolonisasi hanya akan menangani sisa 17 wilayah belum berpemerintahan sendiri yang telah terdaftar di komite dekolonisasi (Komite C-24) sebelum tahun 2020.

Studi kekuasaan dalam hubungan internasional mengidentifikasi sebuah Negara dapat memainkan peran kekuasaannya di dunia internasional di dukung oleh tiga sumber yang dimilikinya, yaitu:1.Sumber Daya Alam, yang berhubungan dengan kepentingan geostrategi. 2.Unsur-unsur sosial dan Psikologis dari kekuasaan, yang berkaitan dengan besaran jumlah penduduk dan citra positik bangsa yang diperlihatkan dan mendapat dukungan bangsa lain melalui kebijakan luar negeri. 3.Unsur Sintetis dari Kekuasaan, yang berhubungangan dengan kemampuan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya dalam rangka mengkoordinir, mengembangkan dan menyiagakan penggunaan kekuatan Negara. Dan yang paling penting diantaranya, adalah kapasitas industry dan kesiagaan militer.

Yang jelas program PBB pintu dekolonisasi ditutup pada tahun 2020, dirancang untuk kepentingan Negara-negara kapitalis yang bersembunyi dibalik lembaga multilateral PBB. Tujuannya untuk memperkuat integritas kedaulatan Negara atas sebuah wilayah kontrol, atau lebih dari itu , demi keberlanjutan kepentingan geostrategi Negara-negara kapitalis di Negara-negara sedang berkembang, terutama untuk memprotek Negara-negara yang menghadapi pemberontakan pejuang kemerdekaan di wilayah geografi yang menjadi daerah kontrolnya, wilayah yang memiliki deposit sumber daya alam.

Munculnya kekuatan-kekuatan baru dalam tatanan dunia internasional setelah perang dingin, dalam persaingan global di dunia kemiliteran, terutama pengembangan system teknologi pertahanan senjata balistik antar Negara dan benua, membuat Negara-negara berkembang terjebak pada kepentingan geostrategi Negara-negara maju (kuat). Dan pada posisi demikian, peran PBB sebagai lembaga penjaga perdamaian dan keamanan dunia menjadi lemah.

Dan Hak Asasi Manusi yang menduduki peringkat teratas dalam peradaban dunia modern dapat dikalahkan oleh kepentingan geostrategi Negara-negara kuat.

Dari dua peristiwa, Ukraina dan Palestina, sangat jelas dunia sedang dipertontonkan bagaimana tirani kekuasaan Negara super power di satu sisi dan di lain sisi tragedi kemanusiaan, dua sisi yang berkaitan erat sedang dipertaruhkan demi kepentingan geostrategi di panggung perpolitikan dunia internasional. Dan PBB tidak berdaya dibungkamkan oleh Negara-negara kekuatan baru yang muncul setelah perang dingin, membentuk blok kapitalis dan blok sosialis, dimana lembaga multilateral PBB yang selama ini dijadikan domain kepentingan Negara Negara kapitalis, kini mulai bergeser pada titik perimbangan kekuasaan dunia yang berada di dalam lembaga multilateral PBB antara blok kapitalis dan blok sosialis.

Rusia menunjukkan kepada dunia bagaimana menggunakan caranya sendiri sebagai Negara sosialis membebaskan Donbas wilayah kontrol Ukraina di bagian timur Negara itu, dan Israel menunjukkan cara kapitalis menggunakan isu terorisme untuk membungkam hak penentuan nasib sendiri bangsa Palestina. Dua cara itu sedang dipraktikkan, dan Dewan Keamanan PBB berada pada posisi yang lemah, tidak seperti yang lalu, begitu mudah AS dan Sekutunya menyerbu Iran dan Libya, serta kawasan lainnya di dunia, karena telah bermunculan kekuatan-kekuatan baru yang memihak kedua belah pihak, AS dan Rusia, yang kini telah memasuki suasana perang dingin ke-2 menjadi ancaman perang nuklir, setelah perang dingin pertama (ke-1) berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet dan terbangunnya kembali Rusia sebagai single power.

Wilayah geografi yang terpisah berdasarkan etnik dan budaya dari kedaulatan suatu negara yang menjadi daerah kontrolnya, jika ingin mendirikan sebuah Negara merdeka pada saat ini, tantangannya telah menjadi rumit tidak seperti perjuangan bangsa-bangsa merdeka pada masa lalu.

Dan apabila kedua blok kapitalis dan sosialis yang kini bersaing dalam kekuasaan politik internasional telah bertemu pada titik perimbangan di dalam lembaga multilateral PBB, maka dengan sendirinya pintu kemerdekaan bangsa-bangsa belum merdeka yang sedang memperjuangkan hak kemerdekaannya akan terbuka lebar, baik itu melalui blok sosialis, maupun blok kapitalis, wasalam. (Kgr)

Geostrategi merupakan induk dari “Kepentingan Geopolitik, Ekonomi dan Pertahanan Militer”

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

 

Minggu, 24 September 2023

 

KNPB ORGANISASI MANDIRI DAN NON AFILIASI DALAM GERAKAN PERLAWANANNYA

Simbol Perlawanan Damai KNPB

Komentar Admin-By: Kristian Griapon, September 24, 2023.

Elektabilitas KNPB sebagai gerakan demokrasi perlawanan sipil kota generasi muda bangsa Papua Barat, telah menjadi garda depan revolusi mental dalam gerakan perlawanan mendorong solusi damai penyelesaian konflik Papua Barat melalui pendekatan demokrasi dan bermartabat.

Didukung manajemen perjuangan  yang kuat oleh tokoh-tokoh generasai muda yang terpelajar dan kharismatik, dan telah teruji kemampuannya dalam mempertahankan eksistensi organisasi serta mengolah perlawanan terstuktur dan terukur, telah memperkuat KNPB  sebagai “organisasi yang mandiri dan non afiliasi dalam gerakan perlawanannya”.

KNPB sebagai Organisasi yang mandiri dan non afiliasi, harus dipertahankan dalam kiprahnya menjadi “Media Bangsa Papua Barat” dalam menyuarakan aspirasi kemerdekaan bangsa Papua Barat secara demokrasi dan bermartabat. (Kgr)

Kamis, 21 September 2023

 

Catatan Peningkatan Status Papua Barat Menjadi Daerah Konflik Di Pasifik.


By: Kristian Griapon, September 20, 2023.

Peningkatan Status Papua Barat menjadi “Wilayah Konflik di Kawasan Regional Pasifik”, mengacu pada:


1.  Deklarasi Saralana, 6 Desember 2014, bersatunya semua faksi pejuang politik bangsa Papua Barat ke dalam “Organisasi Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat, yang disebut “ULMWP”.


2.  Pengakuan Negara-Negara MSG, bahwa ULMWP mewakili Papua Barat sebagai entitas non-negara dalam Organisasi Negara-Negara Melanesian Spearhead Group “menjadi anggota entitas pengamat non-negara”. Pengakuan itu terjadi melalui KTT-MSG 20, tahun 2016 di Negara Kepualaan Solomon.


3.  Peta Jalan Penyelesaian (Roadmap) Konflik di Papua Barat melalui Resolusi PIF, 50, Tuvalu tahun 2019 dan diperkuat Resolusi OACP Nairobi, Kenya tahun 2019.

Papua Barat kini telah menjadi salah satu wilayah konflik yang statusnya telah terbuka ke publik internasional, wilayah yang dibawah kendali penuh otoritas Negara Republik Indonesia melalui resolusi MU-PBB 2504 tahun 1969.

Peningkatan status Papua Barat menjadi daerah konflik di pasifik, menunjukkan bahwa, telah terjadi “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Human Crime Againt) secara sistimatis (bermetode) dan meluas di seluruh kawasan yang termasuk dalam wilayah geografi Papua Barat. Motif utamanya “Genosida melalui pembunuhan diluar hukum dan impunitas alat kekuasaan Negara”, yang menjalankan otoritas negara Republik Indonesia di Papua Barat, baik itu diaras atas, menengah dan bawah.

Papua Barat dijadikan daerah kekuatan darurat (emergency power) sejak rezim orde baru berkuasa dan berlanjut hingga saat ini, dimana eksekutif (pemerintah) diberikan kekuasaan tidak terbatas pada hukum biasa non konstitusi, untuk mengatasi masalah perjuangan kemerdekaan penduduk asli Papua Barat untuk mendirikan sebuah negara merdeka dari Indonesia, pasca PEPERA tahun 1969.

Mengkondisikan emergency power di Papua Barat, eksekutif dapat bertindak melampaui batas-batas hukum biasa (non kontitusi) untuk melindungi rakyat dan kepentingan rezim yang berkuasa di Papua Barat, namun harus dibawah pengawasan legislatif (DPR).

Pengawasan DPR untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan darurat yang terjadi, sehingga bersinggungan langsung dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia, diantaranya pembunuhan diluar hukum dan impunitas alat kekuasaan negara yang bertugas di Papua Barat, baik itu diaras atas, menengah dan bawah.

Dampak dari emergency power diluar kontrol yang terjadi di Papua Barat, kini telah menjadi beban Negara Republik Indonesia terhadap tanggungjawab dan kewajiban internasionalnya yang terikat oleh hukum internasional yang harus dipertanggungjawabkan berdasarkan negara, dimana konflik di Papua Barat telah melahirkan dua resolusi PIF dan OACP, yang meminta masyarakat internasional ikut mengambil bagian dalam penyelesaian damai masalah konflik di Papua Barat.

Dua poin penting yang kini menjadi perhatian masyarakat internasional dalam konflik yang terjadi di Papua Barat antara Otortas Negara Indonesia dan Penduduk Asli Papua, adalah "Pembunuhan diluar hukum dan Impunitas", wasalam.(Kgr).

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

 

Senin, 11 September 2023

Kantor Perdana Menteri PNG, Mengeluarkan Pernyataan Resmi Klarifikasi PM James Marape tentang Masalah Papua Barat Pada Sabtu, 9 September 2023.

Ulasan Editorial Pemberitaan RNZ Pasifik, 11 September 2023 

By: Kristian Griapon, September 11, 2023.

Pada hari Sabtu, 9 September 2023, Sekretariat Kantor Perdana Menteri PNG mengeluarkan pernyataan resmi bahwa pernyataan yang dirilis dua hari sebelumnya Kamis, 7 September 2023, “dikeluarkan tanpa persetujuan” dan “telah salah” menyatakan bahwa dia (PM James Marape) abstain dalam masalah Papua Barat. “Papua Nugini tidak pernah abstain dalam urusan Papua Barat pada pertemuan MSG,” Demikian pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Sekretariat-Kantor Perdana Menteri PNG.

PM Marape mengatakan, PNG “menawarkan solusi yang menegaskan kedaulatan Indonesia atas wilayahnya”, dan menambahkan bahwa “pada saat yang sama PNG secara kolektif bersama negara anggota MSG lainnya, mendukung Resolusi Forum Kepulauan Pasifik tahun 2019 tentang Kunjungan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Papua Barat, untuk menilai apakah ada pelanggaran hak asasi manusia. di provinsi Papua Barat dan Papua di Indonesia."

Marape mengatakan PNG menekankan kepada Widodo bahwa mereka menghormati kedaulatan Indonesia dan hak teritorial mereka. Namun masalah hak asasi manusia, saya menunjukkan pada resolusi kolektif Melanesia dan Pasifik, untuk memastikan kunjungan PBB ke Papua Barat meninjau tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia”.

PM Marape menegaskan, keempat pemimpin MSG telah sepakat untuk mengunjungi Presiden Indonesia "untuk membahas masalah Papua Barat". Dan Presiden Widodo telah menjawab bahwa para pemimpin MSG dipersilakan untuk bertemu dengannya dan mengundang mereka ke pertemuan bulan Oktober. Namun tergantung dari kesediaan semua pemimpin. Widodo meyakinkan saya, bahwa semuanya baik-baik saja di kedua provinsi Papua dan Papua Barat. serta mengundang para pemimpin PNG lainnya untuk mengunjungi provinsi-provinsi tersebut."

Marape mengatakan, wakilnya John Rosso apabila tidak ada hambatan, akan memimpin delegasi ke Papua Barat untuk "menyelidiki masalah hak asasi manusia".

Selain itu, PM Marape meyakinkan kehadiran Indonesia di MSG sebagai associate member dan ULMWP sebagai obsever di MSG, “sudah cukup untuk saat ini”. (Kgr)
.

Minggu, 10 September 2023

Pernyataan PM Marape Menunjukkan Sikap, Negaranya Tidak Mau Didikte Dan Diintervensi

Ulasan Editorial-RNZ Pasifik, 8 September 2023  https://www.rnz.co.nz/international/pacific-news/497572/marape-png-no-right-to-comment-on-abuses-in-west-papua

By; Kristian Griapon, September 9, 2023.

Dilansir dari editorial peberitaan RNZ, 8 September 2023 yang memuat percakapan Presiden RI Joko Widodo dan PM PNG James Marape di sela-sela pertemuan KTT-Asean 2023 di Jakarta, teramati empat (4) poin penting yang harus dicermati oleh orang-orang Papua Barat yang pro-kemerdekaan, yaitu:

Pertama: Perdana Menteri Papua Nugini James Marape telah mengatakan kepada presiden Indonesia Joko Widodo bahwa PNG tidak berhak mengkritik Jakarta atas apa yang disebutnya dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat.

Kedua: Marape mengatakan kepada Widodo bahwa dia abstain dalam mendukung upaya Papua Barat untuk bergabung dengan Melanesian Spearhead Group pada pertemuan bulan lalu di Port Vila karena Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) “tidak memenuhi persyaratan negara berdaulat penuh”.

Ketiga: Presiden Indonesia mengatakan Wakil Perdana Menteri PNG John Rosso akan diundang untuk menilai perkembangan yang terjadi di Papua Barat.

Keempat: Widodo mengatakan Indonesia berkomitmen untuk membangun hubungan saling percaya dan kerja sama dengan semua negara Pasifik dan akan menyampaikan undangan kepada para pemimpin mereka untuk menghadiri Forum Negara-Negara Kepulauan (AIS) bulan depan di Indonesia.

Penulis melihat dari sudut pandang etika politik dalam diplomasi hubungan internasional, Perdana Menteri PNG, Sir.James Marape berjiwa besar menghadapi situasi yang sulit ketika menerima undangan Indonesia sebagai negara tuan rumah KTT Asean 2023, bertepatan dengan pernyataan yang dibuatnya berkaitan dengan hasil KTT-MSG 2023, bahwa masalah Papua Barat di dorong ke Forum Kepulaan Pasifik (PIF) dan Indonesia dikenakan moratorium satu tahun di MSG.

Secara psikologis dalam diplomasi politik luar negeri, nampak jelas Perdana Menteri PNG, James Marape tidak mau negaranya didikte, atau diintervensi oleh Indonesia tentang masalah Papua Barat. Hal itu dapat dilihat dari ketegasannya kepada Jokowi, bahwa PNG tidak berhak mengkritik Jakarta atas apa yang disebutnya dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat.dan dia abstain dalam mendukung upaya Papua Barat untuk bergabung dengan Melanesian Spearhead Group pada pertemuan bulan lalu di Port Vila, karena Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) “Tidak Memenuhi Persyaratan sebagai Negara Berdaulat Penuh”.

Dilihat dari standar etika diplomasi politik hubungan internasional, seorang Perdana Menteri PNG, Sir.James Marape telah menegaskan, bahwa masalah dugaan pelanggaran HAM Berat di Papua Barat secara etika normatif (berperilaku etis), PNG sebagai negara merdeka memiliki moral dasar untuk tidak mengomentari masalah dugaan pelanggaran HAM di Papua Barat, karena diluar juridiksi negara PNG, yang menjadi tanggunjawab Indonesia.

Lalu yang menjadi pertanyaan: Dalam rangka apa Presiden Indonesia mengatakan Wakil Perdana Menteri PNG John Rosso yang notabene dibawah Perdana Menteri James Marape akan diundang untuk menilai perkembangan yang terjadi di Papua Barat. Dan berkomitmen untuk membangun hubungan saling percaya dan kerja sama dengan semua negara Pasifik, dan akan menyampaikan undangan kepada para pemimpin mereka untuk menghadiri Forum Negara-Negara Kepulauan (AIS) bulan depan di Indonesia?

Pertanyaan Untuk Para Pemimpin ULMWP.

Apakah ULMWP sudah siap menghadapi perkembangan baru strategi diplomasi politik luar negeri Indonesia di Pasifik? https://www.antaranews.com/berita/3711174/pm-kepulauan-cook-mou-asean-pif-tegaskan-pentingnya-kolaborasi

Perjuangan Bangsa Papua Barat akan menghadapi jalan buntut apabila mengandalkan cara-cara klasik untuk menempuh tujuan perjuangannya, tidak mengikuti irama perkembangan masyarakat global, wasalam.(Kgr)

Sabtu, 09 September 2023

Papua Barat Memiliki Kesamaan Masalah Dengan Palestina, Yaitu Wilayah Dibawah Hukum Perjanjian Internasonal Yang Dicaplok Oleh Bangsa Merdeka.



Komentar Admin-By:Kristian Griapon, Sepember 8, 2023

Masalah Papua Barat secara otomatis terhubung, setelah PNG membuka kedutaan besarnya di Jerusalem, karena akan membuka ruang perdebatan baru dalam politik internasional tentang klaim wilayah diluar kedaulatan sebuah negara.

Kalau Indonesia mengklaim Palestina wilayah di luar kedaulatan Israel, PNG-pun demikian, akan mengklaim Papua Barat wilayah diluar kedaulatan Indonesia, dan berdasarkan prinsip hukum internasional uti possidetis iuris adalah bagian keutuhan dari “Wilayah Geografi New Guinea”, sehingga PNG sebagai negara merdeka, meiliki hak kontitusional mengintervensi masalah Papua Barat, wasalam.(Kgr)

Kamis, 07 September 2023

Perjuangan Bangsa Papua Barat Membutuhkan Dukungan Politik Internasional.

Gambar Ilustrasi: Para pemimpin negara maju yang memiliki power mempengaruhi politik internasional.

By:Kristian Griapon

PBB bukan otoritas dunia dan  tidak bisa mengintervensi kedaulatan sebuah negara, PBB adalah himpunan bangsa-bangsa merdeka yang membentuk hubungan kerja sama multilateral diatas dasar kooperatif dan non intervensi, serta menjunjung tinggi hak, kewajiban dan kedudukan semua negara sama, tidak memandang besar atau kecilnya suatu negara. 

Perjuangan bangsa Papua Barat dijamin oleh hukum internasional…Namun yang jadi masalah saat ini berdasarkan kajian penulis, bahwa, “sejak Deklarasi, 1 Desember 1961 hingga saat ini, masalah yang mengganjal perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat, yaitu “system politik internasional”.

Teramati, lemahnya dukungan internasional terhadap perjuangan kemedekaan bangsa Papua Barat. Jadi kalau kita bicara system politik internasional tidak bisa terlepas dari “pengaruh kekuasaan dan kepentingan” yang dimainkan oleh negara-negara kuat. 

Pemahaman Dasar:

Kedaulatan Negara merupakan Si
stem Hukum Nasional Tertinggi yang mengatur Politik Negara dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara dan tidak dapat diintervensi.

Sedangkan hubungan internasional merupakan system politik Internasional yang menggerakkan dan mengaktifkan hukum internasional, dengan kata lain, politik intrnasional merupakan roh yang menghidupkan hukum internasional dan menjadi alat kontrol kedaulatan negara terhadap kewajiban internasional, berdasarkan hukum internasional yang mengikatnya.

Oleh karena itu kedaulatan negara tidak bersifat mutlak (absolut), karena dibatasi oleh hubungan antar negara dalam dunia internasional, baik itu hubungan bilateral, unilateral, maupun multilateral.

Dalam dunia internasional tidak mengenal otoritas internasional, yang ada hanya otoritas negara, sehingga hukum internasional kedudukannya lemah untuk penegakkan suatu kasus internasional yang terjadi di dalam kedaulatan suatu negara, misalnya “pelanggaran HAM atau Ekosida.

Oleh karena itu dibutuhkan politik internasional untuk memperkuat hukum internasional dalam mengungkap masalah internasional yang terjadi di dalam kedaulatan suatu negara dan mencari jalan penyelesaiannya.

Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat dari Indonesia harus didorong oleh politik internasional, guna hukum internasional dapat diberlakukan terhadap Indonesia… Nah pertanyaannya bagaimana cara perjuangan bangsa Papua Barat mendapat dukungan politik internasiona?...

Jawabannya berada pada diplomat politik pejuang kemerdekaan Papua Barat di dunia internasional, wasalam.(Kgr)

Selasa, 05 September 2023

 ULMWP tidak lebih dari FLNKS,

Gambar Ilustrasi pergantian kepemimpinan ULMWP.

Komentar Admin-By: Kristian Griapon, September 5, 2023.

Front Pembebasan Nasional Kanak dan Sosialis, dalam bahasa Perancis : Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS) adalah aliansi partai politik pro-kemerdekaan di Kaledonia Baru, yang didirikan pada tahun 1984 pada saat kongres berbagai partai politik dan dipimpin oleh Victor Tutugoro. Pendukungnya sebagian besar berasal dari penduduk asli Kanak tetapi juga termasuk pendukung dari komunitas etnis lain. Dan FLNKS telah menjadi partai resmi yang mewakili penduduk asli Kanak pro-kemerdekaan di Kaledonia Baru, serta keberadaannya diakui Otoritas Negara Perancis.

FLNKS Beda dengan Gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP). Keberadaan ULMWP di wilayah geografi Papua Barat tidak diakui Otoritas Negara Republik Indonesia, dan ULMWP sendiri diakui sebagai wadah pemberontakan di dalam wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Perbedaannya, FLNKS diakui Otoritas Negara Perancis dan keberadaannya tidak dipermasalahkan di Kaledonia Baru. Sedangkan ULMWP tidak diakui Otoritas Negara Indonesia dan keberadaanya di Papua Barat dipermasalahkan. Tentu saja hal itu akan mempersempit ruang gerak ULMWP dan menghambat diplomasi/lobi politik di dunia internasional, jika arah perjuangan ULMWP diarahkan kedalam negeri Indonesia.

Berkaca dari walk out delegasi Indonesia pada KTT-MSG 22, 2023 Vanuatu atas protes terhadap pemimpin ULMWP dalam menyampaikan pendanganya, dan bersamaan dengan itu diadakan pertemuan politik delegasi ULMWP, yang merombak kepemimpinan di dalam wadah ULMWP dan membalik arah perjuangan dari luar negeri ke dalam negeri Indonesia.

Berkaitan dengan keputusan politik delegasi ULMWP 2023 di Vanuatu, memunculkan berbagai pertanyaan logis yang berkaitan dengan maksud dan tujuan pembalikan arah perjuangan kemerdekaan Papua Barat dari luar negeri ke dalam negeri Indonesia, dan pada saat genting ketika isu Papua Barat sedang diperdebatkan, tokoh senior pejuang kemerdekaan Papua Barat, HE Benny Wenda, yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam mengelola perjuangan kemerdekaan Bangsa Papua Barat di dunia Internasional harus di ganti? Dan perjuangan yang telah berada pada level dunia internasional dibawah kembali kedalam negeri Indonesia?

Semoga tidak meninabobokan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat untuk bermimpi buruk, wasalam. (Kgr)

Kamis, 31 Agustus 2023

Indonesia Kalah Dilpomasi Papua Barat Di Kawasan Regional Pasifik


Resolusi OACP Akan Menjadi Peta Jalan Penyelesaain Konflik Papua Barat.

Ulasan-by :Kristian Griapon, 31 Agustus 2023

Kedudukan MSG

Dari segi teknis hukum internasional dan hubungan antar negara, dan politik internasional, “MSG adalah Kelompok Negara- Negara yang dikategori , Negara-negara blok  (block countries),  yang dibentuk dalam kawasan sub regional pasifik selatan berdasarkan “Wilayah Geografi, Etnik dan Budaya Melanesia” dan MSG bagian yang tidak dapat dipisahkan dari organisasi induknya di tingkat regional pasifik, yang disebut Forum Kepulauan Pasifik (PIF).

MSG memiliki tujuan dan kepentingan politik yang sama, serta bertindak bersama dalam merumuskan berbagai isu  yang dihahapinya di dalam kawasan pasifk selatan, melalui  Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) antar para pemimpin (kepala pemerintahan), untuk mengadopsi komunike yang menjadi kesepakatan bersama.

Komunike yang diadopsi memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua  negara anggota MSG di dalam kawasan sub regional pasifik selatan. Dan walaupun tidak mengikat negara negara di luar MSG, namun keberadaan negara asosiasi (negara rekan) di dalam ruang lingkup protokoler MSG, secara otomatis menerima konsekuensi etis dan moral, yaitu harus menghormati dan mematuhi protokoler yang belaku di MSG.

Status asosiasi Indonesia di MSG adalah negara rekan tidak lebih dari itu, karena tidak termasuk dalam kualifikasi kenegaraan yang berada di dalam kawasan sub regional pasifik selatan, yang memiliki hubungan etnik dan budaya Melanesia, atau dengan kata lain status dari sebuah entitas yang menjadi subyek dari hukum internasional, berdasarkan pada Internasional Political Sociologi. 

MSG adalah kelompok negara-negara di dalam kawasan sub regional pasifik selatan dengan batas wilayah luarnya di pasifik barat daya, meliputi di bagian timur kepulauan Fiji dan di bagian barat Papua Barat, serta di bagian dalam kawasam regional pasifik, di bagian utara Kaledonia Barau. yang termasuk dalam  etnik dan budaya Melanesia.

Indikator Kekalahan Indonesia Dalam Diplomasi Papua Barat

Dinamika Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat telah berada dalam situasi politik kontemporer, yang sedang dimainkan lewat masyarakat regional pasifik, dan telah melebar luas ke penjuru dunia. Artinya perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat telah melewati tantangan. hambatan dan rintangan yang di bangun dan dikawal ketat otoritas negara, di dalam negeri Indonesia, namun kini telah melewati tapal batas negara, memasuki zona dunia internasiaonal, yang diadvokasi dan dikawal negara-negara kepulauan pasifik (PIF).

Indikator, atau alat ukur yang menjelaskan Indonesia kalah diplomasi Papua Barat di regional pasifik, dapat diamati dari dinamika perkembangan dukungan negara terhadap situasi HAM di Papua Barat, yang diungkap sbb::


1.  Deklarasi Saralana, Port Vila Vanuatu, 6 Desember 2014, bersatunya faksi-faksi pejuang politik kemerdekaan bangsa Papua Barat ke dalam wadah politik ULMWP menjadi ujung tombak perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Bara di dunia internasional.

 

2. ULMWP telah diakomodir ke dalam MSG melalui KTT-MSG 20 dengan status Observer, pada tanggal, 26 Juni 2015, merupakan wujud pengakuan Negara-negara Melanesia terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat.

3. Status observer Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi anggota blok MSG pada KTT-MSG 20 2015 di Kepulauan Solomon, dalam lobi intensif Delegasi Indonesia yang mengikutkan perwakilan dari 5 Provinsi bercorak budaya Melanesia Indonesia, (Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat) tidak berhasil meyakinkan para pemimpin MSG menerima Indonesis menjadi anggota blok MSG, namun diakomodir menjadi anggota asosiasi (rekan), yang sebatas hubungan ekonomi, non politik, sosial dan budaya.

.

4. KTT-MSG 21, 2018 di PNG, terjadi intervensi Indonesia yang berdampak pada penundaan pengajuan peningkatan status ULMWP dari observer menjadi anggota blok MSG (full member).


5. Isu sensitif kejahatan kemanusiaan di Papua Barat yang tidak diakomodir pada KTT 21, 2018 di PNG,.menjadi isu yang berkembang diluar kontrol Indonesia, setahun kemudian masuk dalam agenda KTT-PIF 50, 2019 di Tuvalu, lewat delegasi Vanuatu di dukung NGO dan masyarakat sipil Pasfik, berhasil melobi dan medorong isu kejahatan kemanusiaan di Papua Barat menjadi item berdiri sendiri didalam komunike bersama para pemimpin Pasifik dan diajukan dalam KTT-OACP 2019 di Nairobi Kenya pada tanggal, 9-10 Desember 2019, dan disambut oleh semua pemimpin negara dan kepala pemerintahan menjadi resolusi.OACP 2019 Nairobi, tentang situasi HAM di Papua Barat dan mencari jalan penyelesaiannya..


6. Menindak lanjuti Resolusi OACP 2019, Dewan Menteri OACPS, pada Sidang ke- 111 yang diadakan secara virtual pada 14, 15 dan 17 Desember 2020, di bawah kepresidenan HE. Prof. Palamagamba John Ai dan HE. Mwaluko Kabudi, Menteri Luar Negeri dan Kerjasama Afrika Timur, Republik Bersatu Tanzania , mengadopsi Keputusan Nomor. 9, “Keputusan tentang situasi Hak Asasi Manusia di Papua Barat”, yang mengacu pada Resolusi Nomor. 3, Sidang ke- 110 Dewan Menteri di Nairobi, Kenya pada 7 Desember 2019.


7. Pada pertemuan di Brussels, 1 September 2021/OACPS, melalui Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-negara Afrika, Karibia dan Pasifik (OACPS), HE. Georges Rebelo Pinto Chikoti menyatakan, sesuai dengan Keputusan Dewan Menteri OACPS pada Sidang ke -111, pada Desember 2020, telah menyampaikan melalui surat tertulis kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNHCHR) atas nama OACPS, yang isinya, mengeluarkan Pernyataan tentang implementasi Keputusan.OACP tentang situasi HAM di Papua Barat.

 

8. Pada KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu, disimak dari pernyataan dua Perdana Menteri (PM):

Pertama Pernyataan PM Papua New Guinea, masalah Papua Barat akan diangkat ke Forum Kepulauan Pasifik, karena telah menjadi kewenangannya. Dan Indonesia dikenakan moratorium atas kedudukannya sebagai anggta asosiasi di MSG guna membuka jalan kunjungan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengujungi wilayah Papua Barat.

Kedua, Pernyataan PM Kepulauan Solomon mendesak Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia segera mengunjungi Papua Barat berdasarkan Resolusi PFI Tuvalu 2019.

Menyimak bahasa dalam politik internasional yang diungkapkan Sekjen OACP, HE. Georges Rebelo Pinto Chikoti: “OACPS mengakui bahwa Indonesia menjalankan kedaulatan penuh atas provinsi Papua Barat, namun Sekjen Chikoti, menegaskan kembali komitmen yang tak tergoyahkan dari Oacps, tentang Hak Asasi Manusia, supremasi hukum dan prinsip-prinsip demokrasi, yang harus ditegakkan di Papua Barat", wasalam. (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Sabtu, 26 Agustus 2023

Dinamika Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat Telah Berada Dalam Situasi Politik Kontemporer Yang Sedang Dimainkan Lewat Masyarakat Regional Pasifik.


By: Kristian Griapon, 26 Agustus 2023

Tulisan ini penulis menanggapi opini pengamat lokal Papua maupun nasional Indonesia, tentang walks out delegasi Indonesia di KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu, dan juga merespons permintaan pengguna FB atas pandangan penulis, tentang  proposal ULMWP untuk menjadi anggota penuh tidak dijawab oleh para pemimin negara-negara MSG dalam KTT-MSG 22, 2023 di Vanuatu

Tanggapan Untuk Opini Pengamat Lokal/Nasional

https://www.odiyaiwuu.com/2023/08/24/papua-bukan-timor/?fbclid=IwAR1T0i--zHLyJxYOq5PuZcVjQ_jHR85TWkX1FLlAfi8Wnjli6OG3wPiIJ0M

https://news.detik.com/berita/d-6893200/benny-wenda-bicara-di-forum-melanesia-internasional-delegasi-ri-walk-out

Pertama, Penulis mencermati, bahwa telah terjadi “Kerancuan Berpikir Untuk Tujuan Propaganda Publik Melalui Media Pro Indonesia”, yang sifatnya mendisinformasi sebuah fakta kebenaran yang sedang diperjuangkan oleh Bangsa Papua Barat.

Bahwa kerancuan atau kekeliruan dalam menafsir hukum internasional terhadap suatu masalah internasional, terjadi karena subtansi masalahnya tidak dikaji secara bersistem, artinya, tidak hanya melihat masalahnya saja, namun harus mengkaji latar belakang sebab akibat yang menimbulkan masalah dari berbagai aspek yang bersentuhan langsung dengan masalah dimaksud.

jika masalah Papua Barat disamakan dengan Taiwan wilayah semi negara yang mempunyai hubungan sejarah masa lalu dengan Tiongkok daratan (China), masalahnya tidak relevan, alias tidak nyambung untuk disamakan dengan masalah Papua Barat dengan Indonesia. Terkecuali masalah Papua Barat dapat dihubungkan dengan daerah otonom China Xinjiang, yang mayoritas penduduknya beretnis Uighur. Karena subtansi masalahnya ada kesamaan,  yaitu, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas negara.

Kedua, Pernyataan Papua Barat bukan Timor Leste. 

Memang benar, Papua Barat adalah Papua Barat, dan Timor Leste adalah Timor Leste,  dua wilayah geografi yang secara etnik dan budaya berbeda dan terpisah dari Melayu Jawa maupun melayu nusantara yang membentuk Negara Republik Indonesia. Dikaji berdasarkan prinsip hukum internasional “erga omnes”

“Subtansi Masalah Orang-orang Papua Barat dibawah Otoritas Negara Republik Indonesia dengan Orang-orang Timor Leste sebelum merdeka dari Indonesia sama, yaitu dua bangsa belum merdeka, yang memiliki hak menentukan nasib sendiri”.

Status Wilayah Timor leste  beda  dengan status wilayah Papua Barat berdasarkan hukum internasional.

Timor Leste daerah bekas koloni Portugal yang diinvasi militer Indonesia dan tidak menjadi daerah sengketa setelah perang dunia ke-2 antara Portugal dan Indonesia. Sehingga Timor Leste masuk dalam kategori daerah dekolonisasi, yang proses penentuan nasib sendiri melalui panitia khusus dekolonisasi PBB.

Sedangkan status wilayah Papua Barat adalah daerah sengketa kekuasaan setelah perang dunia ke-2, antaran Negara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Sehingga penyelesaiannya harus melalui perjanjian internasional  yang disebut New York Agreement, 15 Agustus 1962, dibawah hukum perjanjian internasional. Dan Wilayah Papua Barat diberi tanggungjawab dan kewenangan pengelolaan kekuasannya kepada negara anggota PBB Indonesia, menjalankan administrasi PBB dan mempersiapkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat sesuai dengan klausul perjanjian.

Seharusnya suatu wilayah tidak berpemerintahan sendiri seperti Papua Barat, yang menjadi sengketa kekuasaan antar negara Indonesia dan Kerajaan Belanda, setelah mengadakan perjanjian penyelesaianya melalui perjanjian internasional, statusnya harus berada dibawah pengawasan Dewan Perwalian PBB, sesuai dengan aturan dasar PBB yang termuat dan tertera dalam piagam PBB Bab XII dan XIII.

Perjanjian Internasional antara Indonesia dan Belanda menghendaki penyelesaian sengketa Papua Barat dan pelaksanaan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat diluar pengawasan Dewan Perwalian PBB, ditangani langsung dibawah kewenangan dan tanggung jawab Sekjen PBB. Dan sekjen PBB menyerahkan tanggungjawanya kepada Indonesia, negara anggota PBB  yang di percayakan menjalankan administrator PBB di Papua Barat, mempersiapkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat pada tahun 1969 (sesuai dengan klausul perjanjian New York, 15 Agustus 1962, artikel II s/d VIII).

Indonesia menjadi negara anggota PBB secara otomatis (ipso facto) menjadi pihak pada statuta mahkamah Internasional (ICJ) berdasarkan pasal 93 ayat (1) piagam dasar PBB, serta sebagai administrator PBB yang menjalankan kewajiban internasional di Papua Barat, telah melanggar klausul perjanjian yang dibuatnya dalam pelaksaan Act of Free Choice 1969. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 93 ayat (1) dan pasal 103 piagam dasar PBB, Indonesia dapat diminta pertanggungjawaban melalui Majelis Umum PBB dan, atau Mahkamah Internasional berdasarkan negara.

Tangapan Posisi ULMWP di MSG 

ULMWP sebagai ujung tombak perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat menjadi full member MSG atau tidak bukan tujuan akhir dari perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat, yang terpenting dan perlu dicatat, bahwa kedudukan ULMWP sebagai Observer di dalam blok organisasi negara-negara MSG adalah symbol pengakuan terhadap wilayah dan orang-orang Papua Barat  bagian integral dari Bangsa-bangsa Melanesia yang mendiami kawasan pasifik selatan.

Secara politik internasional dalam hubungan antar negara, Indonesia telah mengadakan hubungan bilateral dengan tiga negara anggota MSG, yaitu,  PNG, Fiji dan Kepulauan Solomon yang didasari atas asas non intervensi masalah dalam negeri masing-masing negara. Dan selain itu, keterlibatan langsung Indonesia dalam MSG sebagai anggota asosiasi dan memberikan kontribusi finansial dalam mendukung organisasi MSG, menjadi pertimbangan tersendiri atas keluhan Indonesia terhadap posisi ULMWP di MSG. Namun demikian para pemimpin MSG tetap konsisten mengakomodir berbagai masalah dikawasan Melanesia, termasuk masalah Papua Barat yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab internasionalnya.

Dillihat dari kacamata politik internasional, bahwa para pemimpin MSG mencermati masalah Papua Barat adalah masalah kawasan regional Pasifik, sehingga masalahnya harus diangkat lewat Forum Kepulauan Pasifik (PIF) untuk dicari jalan penyelesaiannya melalui pendekatan persuasif, atau dengan cara damai, dan mengungkap akar masalah, mencari jalan penyelesaiananya yang berprinsip pada piagam dasar PBB Bab VIII.

Jadi Orang-orang Papua Barat jangan berkecil hati apabila keanggotaan penuh di MSG ditunda atas pertimbangan rasional para pemimpin MSG, dan Indonesia jangan berbesar hati merasa unggul dalam percaturan politik kepentingannya di MSG, karena masalah Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat telah menjadi tematik HAM PBB berdasarkan Negara atas dasar Resolusi PIF Tuvalu, 2019 dan diperkuat Resolusi ACP Nairobi, 2019, wasalam.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Rabu, 16 Agustus 2023

Pelanggaran New York Agreement 15 Agustus 1962, Melahirkan Kekerasan Negara Di Papua Barat, Profil Dalam Gambar

 

Gambar Ilustrasi: Salah satu bentuk kekerasan alat kekuasaan Negara Republik Indonesia di Papua Barat

Subtansi Masalah Dalam Perjuangan Pembebasan Bangsa Papua Barat Adalah “Pelanggaran Hak Politik Bangsa Papua Barat” Dalam Pelaksanaan Act of Free Choice Tahun 1969 di Papua Barat.

Oleh: Kristian Griapon, Agustus 16, 2023.

New York Agreement, 15 Agustus 1962 adalah Perjanjian Internasional Antar Negara, tentang penyelesaian sengketa kekuasaan wilayah tidak berpemerintahan sendiri New Guinea Bagian Barat (Papua Barat), antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda.

Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, Sifatnya mengikat, dan telah menjadi deposit Sekretaris Jenderal PBB, atau dengan kata lain telah terdaftar pada Sekretariat Majelis Umum PBB dengan Nomor Register. 6311. INDONESIA dan BELANDA, Perjanjian (dengan lampiran) tentang Nugini Barat (Papua Barat). Ditandatangani di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, pada tanggal 15 Agustus 1962

Didaftarkan pada tanggal 21 September 1962 oleh Sekretaris Jenderal PBB yang bertindak atas nama pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sesuai dengan ayat 2 pasal XXVIII Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.

New Guinea Barat (Papua Barat) termasuk dalam kategori salah satu wilayah sengketa antar negara setelah perang dunia ke-2,  dan penyelesaiannya melalui perjanjian internasional, sehingga wilayah New Guinea Barat masuk dalam daerah perwalian PBB (trust-territories/daerah pengwasan) yang diatur melalui piagam PBB Bab XII Pasal 75 s/d Pasal 85 dan Bab XIII Pasal 86 s/d Pasal 91.

New Guinea Barat setelah diregistrasi, seharusnya menjadi kewenangan dan tanggunjawab dibawah pengawasan Dewan Perwalian PBB bersama dengan daerah-daerah perwalian PBB lainnya, misalnya Kepulauan Palau di Sub Regional Mikronesia Kawasan Pasifik, adalah daerah perwalian PBB terakhir yang dimerdekakan dari administrator AS pada tanggal 1 Oktober 1994.

Papua Barat wilayah yang oleh Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 pada artikel II s/d VIII mengamanatkan bahwa, New Guinea Barat setelah diregistrasi menjadi kewenangan dan tanggungjawab Sekjen PBB dalam rangka mengambil alih kekuasaan  wilayah tidak berpemerintahan sendiri New Guinea Barat dari Pemerintahan Kerajaan Belanda dan mentransfernya kepada Pemerintahan Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia setelah menerima tanggungjawab internasional melalui perjanjian yang dibuatnya dengan Pemeritah Kerajaan Belanda, adalah menjalankan kewajiban internasional mempersiapkan Act of Free Choice pada tahun 1969.

Subtansi masalah yang menimbulkan konflik setelah Act of Free Choice tahun 1969, dengan adanya Deklarasi Perang Politik Bangsa Papua Barat pada, tanggal, 1 Juli 1971, adalah respons terhadap “Pelanggaran Hak Politik Bangsa Papua Barat” dalam pelaksanaan Act of Free Choice tahun 1969 oleh Pemerintah Republik Indonesia, pihak yang menjalankan administrator PBB di New Guinea Barat.

Bentuk pelanggaran hak politik bangsa Papua Barat, adalah Administrator Pemerintah Republik Indonesia menggantikan tata cara pemilihan bebas yang tertera pada klausul perjanjian New York 15 Agustus 1962, artikel XVIII poin (d), dengan tata cara budaya kebiasaan bangsa Indonesia, yaitu “perwakilan, musyawarah dan mufakat” .1025 orang Asli Papua dan Imigran Indonesia yang ditunjuk oleh Otoritas Indonesia, mewakili > 800.000 penduduk asli Papua yang memiliki hak pilih dalam penentuan nasib sendiri pada tahun 1969.

Kasus hukum itu menjelaskan bahwa “orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat tidak pernah menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang diamanatkan dalam klausul New York Agreement 15 Agustus 1962 Pasal XVIII Poin (d), tentang syarat  penggunaan hak pilih dalam penentuan nasib sendiri orang-orang asli Papua Barat di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat”.

Perjanjian internasional dilandasi oleh enam asas yang berfungsi sebagai dasar-dasar perjanjian internasional yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat.

Enam asas perjanjian internasional dan penjelasannya:

1)  Pacta Sunt Servanda

Pacta Sunt Servanda diambil dari bahasa latin yang berarti perjanjian harus ditepati. Ini merupakan asas pertama dan tertua yang mendasari perjanjian internasional.

Dilansir dari Oxford Public International Law, Pacta Sunt Servanda berarti hak dan kewajiban semua pihak dalam perjanjian internasional harus dilakukan, dan pelanggarannya akan dikenakan konsekueknsi sesuai hukum internasional yang berlaku.

2)  Egality Rights

Yang dimaksud egality rights adalah kesetaraan semua pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional. Sehingga tidak ada perbedaan level antar negara yang terlibat dalam perjanjian, semua negara setara.

Negara maju maupun berkembang adalah setara dan hak-hak negara tersebut tidak boleh dilanggar. Egality rights menyetarakan negara dan juga mencegah terjadinya penjajahan, perjanjian yang berat sebelah, dan pemaksaan dalam perjanjian.

3)  Reciprocity

Reciprocity atau timbal balik adalah asas internasional yang mengatur bahwa semua pihak yang terlibat melaksanakan hak dan kewajiban yang sama rata. Sehingga dalam perjanjian internasional, tidak ada pihak yang terlalu rugi, tidak ada pihak yang terlalu diuntungkan, semuanya seimbang dan merupakan jalan tengah.

4)  Bonafides

Bonafides berarti iktikad baik. Dalam perjanjian internasional harus dilandasi iktikad atau niat baik dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memiliki iktikad baik berarti negara-negara tersebut memiliki tujuan yang baik untuk membentuk suatu perjanjian internasional.

5)  Courtesy

Couteresy atau kehormatan adalah asas yang mewajibkan pihak-pihak dalam perjanjian untuk saling menghormati satu sama lain. Asas couteresy mengharuskan sopan santun dan rasa saling hormat karena semua pihak dalam perjanjian internasional adalah setara.

6)  Rebus sic Stantibus

Rebus sic Stantibus adalah asas perjanjian yang diambil dari bahasa latin dan berarti hal-hal yang berdiri. Dilansir dari Cambridge University Press, asas Rebus sic Stantibus memperbolehkan perubahan atau penghentian perjanjian atas dasar keadilan.

Asas Rebus sic Stantibus adalah pengecualian dari asas Pacta Sunt Servanda, karena perjanjian dapat ditinjau ulang jika ada hal-hal fundamental ataupun keadaan yang berubah, dengan jalan perundingan kembali pihak-pihak yang terlibat.

Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 memenuhi standar perjanjian internasional berdasarkan Piagam PBB pasal 102, sehingga mempunyai kekuatan hukum perjanjian internasional, dan berbagai bentuk pelanggaran yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian itu yang merugikan salah satu pihak, maka kasusnya dapat ditinjau melalui jalur politik di majelis Umum PBB dan, atau melalui jalur hukum yurudiksi mahkamah internasional (ICJ), guna penyelesaian kasusnya.

Konsekuensi ipso facto terhadap semua negara anggota PBB berdasarkan piagam PBB pasal 93  ayat (1), maka Indonesia terikat pada statuta mahkamah internasional (ICJ). Oleh karena itu pelanggaran Act of Free Choice dijamin dalam pasal 35 ayat (1) dan pasal 36 statuta mahkamah internasional (ICJ), untuk penyelesaiaan konsekuensi hukumnya melalui yuridiksi mahkamah internasional.

Syarat untuk masalah Papua Barat dapat di selesaikan di Majelis Umum PBB dan, atau di mahkamah internasional, prosedurnya harus berdasarkan negara.

Papua Barat bukan sebuah negara berdaulat, namun berdasarkan pengelompokan etnik dan budaya penduduknya termasuk dalam rumpun Melanesia, serta letak wilayah geografi Papua Barat termasuk dalam kawasan sub regional pasifik selatan. Sehingga atas dasar pertimbangan itu, menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG).

MSG mempunyai tanggungjawab moral terhadap kewajiban internasiaonalnya berdasarkan Piagam PBB Bab VIII untuk mencari jalan penyelesaian masalah Papua Barat,  baik ditingkat MSG maupun di tingkat regional dan lembaga multilateral PBB. Untuk mencari jalan penyelesaian damai.konflik rakyat Papua Barat dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Syarat untuk MSG menggunakan hak politik internasional dalam mendorong penyelesaian damai masalah Papua Barat, yaitu ULMWP sebagai representatif perlawanan politik bangsa Papua Barat harus menjadi anggota resmi (full member) MSG, sebagai simbol terintegrasinya Papua Barat ke dalam kawasan pasifik selatan.

Bentuk penyelesaian  masalah Papua Barat menuju pedamaian abadi, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu, referendum ulang model pilihan bebas rakyat Timor-Timur, atau melalui pengakuan kemerdekaan langsung oleh Negara Republik Indonesia terhadap Bangsa dan Negara Berdaulat Papua Barat, model Pengakuan lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) antar Belanda dan Indonesia, wasalam. (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.


Sabtu, 12 Agustus 2023

Manifesto Politik 19 Oktober 1961 Mendapat Pengakuan 1 Desember 1961, Spirit Fundamentalisme Papua Merdeka.





Merefleksi 61 Tahun Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 - 15 Agustus 2023

By: Kristian Griapon, Agustus 12, 2023.

1 Desember 1961 adalah “Fundamentalisme Papua Merdeka” .  yang menjadi spirit (roh)  dalam membangun dan mendorong anak-anak bangsa Papua berjuang untuk  kemerdekaan bangsanya Papua Barat dari penindasan Negara dan  Bangsa Indonesia, untuk mendirikan sebuah Negara Berdaulat yang melindungi batas-batas wilayahnya dan segenap bangsa Papua Barat. 

Penulis mengkaji dari sudut pandang hukum internasional, bersifat universal yang diterapkan untuk wilayah-wilayah dekolonisasi/daerah tidak berpemerntahan sendiri di seluruh dunia, termasuk “Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat kini disebut Papua Barat, yang diakomdir melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962”.

Yang harus dipahami oleh semua anak-anak bangsa Papua, termasuk para pejuang kemerdekaan Papua Barat yang terpecah dalam faksi-faksi perjuangan, bahwa “Fundamentalime Papua Merdeka  adalah Manifesto Politik Rakyat Papua Barat 19 Oktober 1961, yang telah mendapat pengakuan Negara Kerajaan Belanda pada 1 Desember 1961, Negara yang memiliki hak kedaulatan atas pendudukan  wilayah geografi New Guinea Bagian Barat“.

Bahwa, Pengakuan Negara Berdaulat Kerajaan belanda terhadap hak politik rakyat Papua di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat yang telah terjadi pada tanggal, 1 Desember 1961, mempunyai kekuatan hukum yang berlaku universal tidak dapat dicabut, atau dibatalkan (diamortisasi) oleh siapapun, manusia diatas muka bumi, dan pengakuan itu hanya sekali terjadi untuk selamanya, bahwa:  “ Penduduk Asli Papua, berdasarkan etnik dan budaya yang mendiami wilayah geografi New Guinea Bagian Barat, adalah sebuah  bangsa yang memiliki hak ekonomi atas property wilayah geografi New Guinea Bagian Barat dan hak politik untuk menentukan nasib sendiri”.

Indonesia sebagai negara yang terikat pada kewajiban internasionalnya atas asas ketaatan terhadap prinsif jus congens (peremptory norms), telah melanggar hak politik bangsa Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, dalam pelaksanaan Act of Free choice 1969. Dan Indonesia sebagai negara yang terikat oleh prinsif jus congens harus berbesar hati untuk mengaku dan menerima kesalahan pemerintah masa lalu, yang telah melanggar Hak politik Bangsa Papua Barat, serta mencari jalan penyelesaian damai untuk mengakhiri konflik politik berdarah yang berkepanjangan, di wilayah konflik Papua Barat.

Manifesto Politik Komite Nasional Papua Dicetuskan Di Hollandia Ibukota Nederlans Nieuw-Guinea,19 Oktober 1961 "Tertera Nilai Sejarah Dan Ideologi Bangsa Papua"

Tinjauan Historis

MANIFEST
Kami yang bertanda tangan dibawah ini, penduduk tanah Papua bagian Barat terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama merasa terikat dan bersatu padu satu bangsa dan satu tanah air :

MENYATAKAN :
Kepada penduduk sebangsa dan setanah air bahwa :
I.Berdasarkan fasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa bahagian
a dan b :

II.Berdasarkan maklumat akan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang belum berpemerintahan sendiri, sebagaimana termuat dalam Resolusi yang diterima oleh Sidang Pleno Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang ke 15 dari 20 September 1960 sampai 20 Desember 1960.No.1514(XV).

III.Berdasarkan hak mutlak dari kita penduduk tanah Papua bahagian Barat atas tanah air kita :

IV.Berdasarkan hasrat dan Keinginan bangsa kita akan kemerdekaan kita sendiri :
Maka kami dengan perantaraan Komite Nasional dan badan Perwakilan Rakyat kita Nieuw-Guinea Raad mendorong Gubernemen Nederlands Nieuw-Guinea dan Pemerintah Nederlands supaya mulai dari 1 November 1961 :

a.Bendera kami dikibarkan disampin bendera Belanda Nederland:
b.Nyanyian kebangsaan kita (kami) “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan disamping Wilhemus:
c.Nama tanah kami menjadi Papua Barat dan,
d.Nama bangsa kami Papua.

Atas dasar-dasar ini kami bangsa Papua menuntut untuk mendapat tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka dan diantara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia.

Dengan manifest ini kami mengundang semua penduduk yang mencintai tanah air dan bangsa kita Papua menyetujui Manifest ini dan mempertahankannya. Oleh karena inilah satu-satunya dasar kemerdekaan bagi kita bangsa Papua.

Hollandia, 19 Oktober 1961…..Tertanda 52 Anggota Komite Nasional Papua.

Menindak lanjuti manifest ini, Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda menerbitkan tiga surat masing-masing :

1. Surat 1961 No.68, di umumkan, 20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.362), tentang “Bendera Negeri”. Mulai berlaku, 1 Desember 1961.

2. Surat 1961 No.70, diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No,364), tentang tata cara penggunaan Bendera Resmi Negeri bersamaan dengan Bendera Negara Kerajaan Belanda. Mualai berlaku, 1 Desember 1961.

3. Surat 1961 No.70 diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.366), tentang Lagu Kebangsaan New Guinea (Papua Barat) Mulai berlaku, 1 Desember 1961.

Penulis adalah Pemerhati Masalah Papua Barat.

( Referensi: Penyunting’Alexander L Griapon, Manifesto Politik Komite Nasional Papua Risalah Perdebatan di Nieuw Guinea Raad, 30 oktober 1961, Tabura Otober 2007)

 

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...