Minggu, 28 Mei 2023

 Ada Tujuh Belas Wilayah Non-Pemerintahan Sendiri Di Bawah Lingkup Komite Khusus PBB



GA/COL/3365-22 Mei 2023 (By:Kristian Griapon)

Pansus Dekolonisasi Mengadakan Seminar Regional Pasifik di Bali, Indonesia, 24-26 Mei 2023.

Pansus Dekolonisasi mengadakan Seminar Regional Pasifik 2023 di Bali, Indonesia, dari tanggal 24 hingga 26 Mei dalam rangka Dekade Internasional Pemberantasan Kolonialisme keempat (2021-2030).

Seminar diselenggarakan di bawah naungan Panitia Khusus, yang secara resmi disebut Panitia Khusus Situasi Berkaitan dengan Implementasi Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Rakyat Jajahan (disebut juga Panitia Khusus 24 atau sebagai "C-24").

Tema Seminar 2023 adalah “Langkah-Langkah Inovatif untuk Menjamin Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Non-Pemerintahan Sendiri”.

Pedoman dan aturan prosedur dapat diakses di situs web Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dekolonisasi:   www.un.org/dppa/decolonization/en/c24/regional-seminars .

ADA TUJUH BELAS WILAYAH NON-PEMERINTAHAN SENDIRI DI BAWAH LINGKUP KOMITE KHUSUS: Samoa Amerika, Anguilla, Bermuda, Kepulauan Virgin Britania Raya, Kepulauan Cayman, Kepulauan Falkland (Malvinas)* , Polinesia Prancis, Gibraltar, Guam, Montserrat, Kaledonia Baru , Pitcairn, Saint Helena, Tokelau, Kepulauan Turks dan Caicos, Kepulauan Virgin Amerika Serikat, dan Sahara Barat. Powers administrasi adalah Perancis, Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat.

Panitia Khusus mempertimbangkan kesimpulan dan rekomendasi Seminar pada sesi substantif bulan Juni, dan kemudian mengirimkannya ke Majelis Umum.

Duta Besar Menissa Rambally dari Saint Lucia, Ketua Panitia Khusus, yang memimpin Seminar tersebut.

Peserta seminar yang diundang antara lain delegasi Panitia Khusus yang terdiri dari Biro dan anggota kelompok regional, Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Kekuasaan Administrasi, serta perwakilan Wilayah, masyarakat sipil, dan organisasi non-pemerintah serta para ahli.

Ke-29 anggota Pansus adalah Antigua dan Barbuda, Bolivia, Cile, China, Kongo, Pantai Gading, Kuba, Dominika, Ekuador, Etiopia, Fiji, Grenada, India, Iran, Irak, Mali, Nikaragua, Papua Nugini, Federasi Rusia, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Sierra Leone, Republik Arab Suriah, Timor-Leste, Tunisia, Republik Persatuan Tanzania dan Venezuela.

Kertas kerja Sekretariat tahunan 2023 di setiap Wilayah Non-Pemerintahan Sendiri tersedia di situs web Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dekolonisasi di www.un.org/dppa/decolonization/en/documents/workingpapers .

__________

* Terjadi perselisihan antara Pemerintah Argentina dan Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara mengenai kedaulatan atas Kepulauan Falkland (Malvinas).

Dekolonisasi

Catatan Admin: U/ West Papua berada dibawah Kewenagan Indonesia berdasarkan Resolusi PBB 2504, karena Papua Barat telah menjadi daerah konflik politik (Tuntutan Kemerdekaan Pribumi Papua), maka proses penyelesian konfliknya harus melalui jalur politik Majelis Umum PBB dan, atau jalur hukum melalui Yuridiksi Mahkamah Internasional (ICJ). Prosesnya harus melalui advokasi negara pendukung. (Kgr)

Sabtu, 27 Mei 2023

Motif Apa Dibalik Pergeseran Jabatan Kunci Dukungan Papua Barat Di Dalam Kabinet PM Kalsakau?


By:Kristian Griapon, Mei 27, 2023

Perombakan Kabinet mulai terjadi sejak kurang lebih dua minggu bantuan bencana Indonesia tiba di Vanuatu dan diterima langsung oleh Perdana Menteri (PM) Vanuatu Alatoi Ismael Kalsakau di damping Menteri Luar Negeri (Menlu) Yotham Napat.

Bantuan kemanusiaan yang dikirim Indonesia ke Vanuatu senilai Rp 7,12 miliar terdiri dari tenda pengungsi, tenda keluarga, generator, velbed, hygiene kits, sweater anak, jaket anak, jaket dewasa, perkakas tukang, rendang, paket sembako, lampu solar, dan gergaji mesin.

Disinyalir Bantuan Bencana Indonesia Bermotif Politik.

Setelah sebuah pesawat kargo bermuatan 16 ton dan sebuah pesawat membawa delegasi Indonesia tiba di Vanuatu, berdampak memunculkan reaksi dari kalangan pendukung utama kemerdekaan Papua Barat, mulai dari para tokoh senior, para anggota Kabinet PM Kalsakau…, sampai dengan kelompok oposisi di parlemen Vanuatu, menekan PM Kalsakau dengan mosi tidak percaya yang akhirnya dicabut melalui negosiasi.

Bantuan Indonesia berimbas kepada Sato Kilman, orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Indonesia, terpaksa harus meninggalkan jabatan Wakil Perdana Menteri yang dipercayakan oleh PM Kalsakau kepadanya, ia dikeluarkan dari Kabinet PM Kalsakau, tentu saja berkaitan dengan trik Indonesia memasuki Vanuatu melalui bantuan kemanusiaan, kalau tidak ada isin masuk dari Pemerintah Vanuatu, bantuan dan delegasi Indonesia tidak akan masuk ke Vanuatu.

Namanya mainan politik sifatnya dinamis nonstatis, setiap saat dapat mempengaruhi dan merubah daya pandang pendirian seorang pembuat keputusan, sehingga merubah komitmen sebelumnya melalui komitmen saat ini, yang dibuatnya melalui sebuah keputusan dan keputusan itu bisa berubah sesuai dengan kemauan politiknya kedepan.

Vanuatu satu-satunya negara di dunia yang secara nyata dan tegas mendukung kemerdekaan Papua Barat dari pendudukan Indonesia.

Indonesia terganggu oleh isu hak kemerdekaan bangsa Papua Barat di dunia Internasional, sehungan dengan advokasi Negara Republik Vanuatu di bebagai event (pertemuan) internasiaonal, baik melalui lembaga multilateral PBB maupun organisasi internasional lainnya di berbagai kawasan regional.
Oleh karena itu para pejuang kemerdekaan Papua Barat harus mewaspadai hal itu, karena Indonesia menggunakan berbagai cara untuk mengikat Vanuatu dalam Hukum Perjanjian Internasional melalui hubungan bilateral.

Negara dan Bangsa Vanuatu adalah aset perjuangan bangsa Papua Barat, yang harus di jaga dan dirawat dengan baik dan hati-hati terhadap intervensi polititik Indonesia kedalam sistem pemerintahan vanuatu melalui pejabat negaranya, wasalam.(Kgr)

Penulis adalah Pemerhati Masalah Papua Barat.

Rabu, 24 Mei 2023

Strategi Perjuangan Kemerdekaan New Guinea Barat (Papua Barat) Harus Mengarah Pada Mahkamah Internasional 

Penandatanganan New York Agreement, 15 Agustus 1962, Indonesia (Subandrio) dan Belanda (JH Van Roijen)

By: Kristian Griapon, Mei 24, 2023.

New Guinea Barat (Papua Barat) telah masuk dalam hukum perjanjian internasional berdasarkan “New York Agreement 15 Agustus 1962”, sebagaimana tersirat dan tersurat dalam system perwalian PBB, diatur melalui Bab XII dan Bab XIII piagam PBB. Sehingga sengketa hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat setelah penandatanganan dan ratifikasi New York Agreement 15 Agustus 1962, telah berada diluar kewenangan komite dekolonisasi PBB, sebagaimana yang diatur melalui Bab XI piagam PBB, karena wilayah New Guinea Barat telah berada dibawah hukum perjanjian internasional.

Ketiga Bab piagam PBB terurai diatas, bersentuan langsung dengan Generasi Hak Asasi Manusia ke-3, Hak Kelompok Suatu Etnik yang disebut Bangsa di suatu wilayah geografi, yaitu, “Hak Menentukan Nasib Sendiri dan Hak Pembangunan”. Ketiga Bab piagam PBB itu mengarahkan kelompok etnit (bangsa) di suatu wilayah geografi menuju penentuan nasib sendiri.

Mengapa PBB tidak membuat keputusan akhir (executory) pada Act of Free Choice yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di New Guinea Barat berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, namun PBB mengeluarkan resolusi 2504 yang sifatnya rekomendasi (dispositive) kepada Indonesia untuk menjalankan pembangunan sosial ekonomi di New Guinea Barat?

Kalau Hak Menentukan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat Sudah Final, yang digembar-gembor dalam kegembiraan euphoria oleh kalangan elit politik, birokrasi, para akademisi, praktisi hukum, pengamat, sampai kacang-kacangan diakar rumput yang ikut-ikutan di Indonesia, menjadi pertanyaan untuk mereka:

“ Apakah hak menentukan nasib sendiri suatu bangsa belum merdeka diatas suatu wilayah geografi bisa diwakilkan, digugurkan dan, atau dipindah tangankan oleh masyarakat internasional yang menjalankan fungsi piagam PBB, maupun aturan hukum internasional lainnya ? ” Kalau bisa diwakilkan…, berarti masyarakat internasional yang salah dan bodoh dalam membuat keputusan politik internasionalnya melalui resolusi PBB 2504.

Jawabannya hanya bisa dijawab oleh mahkamah internasional (ICJ), lembaga PBB yang mempunyai kewenangan mengadili dan memutuskan berbagai kasus pelanggaran hukum internasional yang telah menjadi sengketa/konflik antar negara.

Pelanggaran Act of Free Choice 1969 dan extraterritorial jurisdiction telah memunculkan konflik internal penduduk asli Papua melawan otoritas Indonesia menuntuk hak penentuan nasib sendiri, Dan apabila konflik itu semakin kuat dan meningkat, maka akan terjadi intervensi masyarakat internasional, meninjau isi resolusi PBB 2504 yang didisposisikan kepada Indonesia untuk membangun dan mensejahterahkan pendudk asli Papua,

Resolusi PBB 2504 bisa dicabut akibat dari konflik di New Guinea Barat yang semakin kuat dan meningkat menuntut hak penentuan nasib sendiri oleh bangsa papua Barat dan didukung oleh kegagalan pembangunan sosial ekonomi, kejahatan kemanusiaan dan extraterritorial jurisdiction oleh otoritas Indonesia di wilayah geografi New Guinea Barat, wasalam.(Kgr)

Senin, 22 Mei 2023

Papua Barat Menjadi Extraterritorial Jurisdiction Dibawah Kontrol Pemeritah Republik Indonesia




By: Kristian Griapon, Mei 22, 2023

PBB Salah Menangani Sengketa Wilayah Geografi Papua Barat antara Indonesia-Belanda melalui resolusi majelis umum PBB 1752 (XVII) 21 September 1962, akibatnya terjadi Act of Free Choice Kontroversial 1969 di Papua Barat, melanggar hak pilih bangsa Papua Barat dan ditindak lanjuti melalui resolusi majelis umum PBB 2504 (XXIV), 19 November 1969, membawa Papua Barat ke dalam “Extraterritorial Jurisdiction (EJT)” dibawah Kontrol Pemerintah Republik Indonesia.

Definisi Extraterritorial Jurisdiction, yaitu, Ditujukan pada “Kemampuan hukum suatu pemerintah dalam menjalankan otoritas di wilayah yang menjadi daerah kontrolnya, telah melebihi batas normal kekuasaan (kewenangan) negara”.

Papua Barat di kategori extraterritorial jurisdiction diperjelas oleh berbagai kebijakan pemerintah Repulik Indonesia yang kontroversial di Wilayah Papua Barat, yang paling menonjol adalah kebijakan otonomi khusus untuk wilayah Papua Barat yang dibuat sepihak melanggar hak-hak Sipol dan Ekosob penduduk asli Papua, serta penggunaan alat pertahanan negara (militer) Indonesia yang berlebihan di wilayah Papua Barat diluar prosedur hukum yang berlaku di Indonesia oleh rezim yang berkuasa, selain itu melabeling perlawanan orang asli Papua Barat dengan sebutan terorisme, tanpa melalui proses edukasi politik yang baik dan benar, sebagaimana yang telah dirumuskan dan diperjelas oleh Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI).Meliputi empat akar masalah, yaitu, kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.

Papua Barat telah salah  diartikan menurut narasi pribadi oleh berbagai kalangan di Indonesia, dengan menggunakan kedok resolusi majelis umum PBB 2504, menyatakan Papua Barat sudah final didalam NKRI. 

Sebenarnya take notes yang sifatnya dispositif dari majelis umum PBB dalam bentuk resolusi PBB 1752 yang mengaplikasikan New York Agreement 15 Agustus 1962, diserah terimakan pada sidang ke-24, 21 September 1962 dari majelis umum PBB kepada Sekjen PBB, yang kemudian diserah terimakan kembali kepada Indonesia melalui resolusi PBB 2504 oleh majelis umum PBB pada sidang ke 24, 19 September 1969. Mengapa diserahkan kembali? Itu artinya masalah Papua Barat belum dieksekusi (executory), menjadi keputusan akhir PBB, seperti penyelesaian konflik Timor-Timur melalui referendum dibawah standar hukum kebiasaan internasional.

Yang perlu dicatat Papua Barat beda dengan daerah konflik  lainya di dalam NKRI. Papua Barat berdasarkan resolusi PBB 448 1950, statusnya sama dengan Timor-Timur, wilayah di luar Pengakuan Negara Kerajaan Belanda atas Kemerdekaan Negara Federasi Republik Indonesia Serikat  yang kini dijelma menjadi NKRI, dan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 antara Indonesia-GAM, beda dengan New York Agreement 15 Agustus 1962 antara Indonesia-Belanda, ditinjau dari kedudukan kekuatan hukum internasionalnya dibawah  hukum perjanjian internasional.

Papua Barat kapan saja bisa diintervensi oleh PBB, atas dasar EXTRATERRITORIAL JURISDICTION yang berdampak pada meningkatnya perlawanan penduduk asli Papua Barat, baik itu melalui perlawanan bersenjata di dalam negeri, maupun perlawanan politik di dunia internasional dan juga kejahatan kemanusiaan yang terjadi secara sistimatis dan meluas di Wilayah Geogafi  Papua Barat. 

Kata Kunci: "Perlawanan Bangsa Papua Barat yang semakin kuat dan meningkat, akan memperlemah kedudukan dari kekuatan hukum resolusi PBB 2504, yang adalah politik internasional uji coba PBB membangun sosial ekonomi di wilayah  terbelakang Papua Barat, melalui negara mandat Indonesia". Jadi resolusi PBB 2504 dapat dicabut hanya melalui perlawanan Bangsa Papua Barat, wasalam.(Kgr).


Rabu, 17 Mei 2023

 Teka Teki Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat.

Pandangan Pribadi (Catatan Kecil)-By: Kristian Griapon,

Mei 17, 2023.

Dasar Apa Memperjuangkan Daerah Dekolonisasi Papua Barat?

Papua Barat sudah di luar cakupan daerah dekolonisasi PBB, karena telah masuk dalam hukum perjanjian Internasional yang disebut “New York Agreement, 15 Agustus 1962”.

Konsekuensi Hukum Internsionalnya, kini Wilayah Geografi Papua Barat telah berada dibawah Kontrol Kekuasaan (Kedaulatan) Negara Republik Indonesia berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 (XXIV) 19 November 1969, yang sifatnya Dispositif, yaitu, "Indonesia Negara yang Direkomendasikan PBB Membangun Sosial-Ekonomi di Wilayah Geografi Papua Barat".

Namun demikian Rakyat Papua Barat masih memiliki celah untuk memperjuangkan Hak Kemerdekaannya melalui Mekanisme Hukum Internasional lewat ICJ, didasarkan pada “Act of Free Choice Kontroversial” yang terjadi pada tahun 1969.

Hal itu yang harus dipahami semua Orang Asli Papua Barat yang menginginkan kemerdekaannya, wasalam.(Kgr)

Rabu, 10 Mei 2023

New York Agreement 15 Agustus 1962, Menjadi Bom Waktu Kemerdekaan New Guinea Barat

 

By:Kristian Griapon.

Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat telah berada di bawah Hukum Perjanjian Internasional, yang disebut “New York Agreement, 15 Agustus 1962, sebuah perjanjian yang melahirkan Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII), 21 September 1962, mengikat secara hukum antar negara Indonesia dan Belanda dan PBB, dalam kaitan “Tranfer Kekuasaan Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dan Mempersiapkan Penentuan Nasib Sendiri.Penduduk Asli Papua”.

Isi dari New York Agreement, 15 Agustus 1962 dalam bentuk manifestasi hukum internasional tentang pengakuan terhadap Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat adalah Daerah Tidak Berpemerintahan Sendiri, serta Etnik dan Budaya Melanesia Penduduk Penduduk Asli Papua, dan  Memiliki Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai suatu bangsa..

Termuat tiga poin dalam New York Agreemen 15 Agustus 1962, yang aplikasinya melalui Resolusi Majelis Umum PBB, 1752 (XVII) 21 September 1962. Resolusi yang sifatnya dispositif, yaitu:

Pertama, Peran PBB:

Aplikasi New York Agreement, 15 Agustus 1969 melalui intervensi PBB, termuat dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII) 21 September 1962, memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada Sekjen PBB,  meliputi:

(1).Mencatat Perjanjian;

(2). Mengakui peran yang diberikan kepada Sekretaris Jenderal dalam Persetujuan;

(3).Memberi kuasa kepada Sekretaris Jenderal untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya dalam Persetujuan.

Artinya Sekjen PBB telah mendaftar dan menyimpan New York Agreement 15 Agustus 1962 pada sekretariat PBB.  Atas dasar itu dalam sidang majelis umum PBB ke 17, 21 September 1962, para peserta sidang membuat keputusan mensahkan, serta memberi kewenangan kepada Sekjen PBB menjalankan fungsi PBB, sebagaimana yang termuat dalam poin tiga resolusi majelis umum PBB 1752 (XVII) 12 September 1962, menjadi penengah dalam transfer kekuasaan atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dari Negara Kerajaan Belanda ke Negara Republik Indonesia, serta bertanggungjawab penuh mengawasi kewajiban Indonesia dalam menjalankan adminitrasi penuh di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, sesuai dengan New York Agreement, 15 Agustus 1962 yang telah diratifikasi oleh para pihak, Indonesia dan Belanda.

Kedua, Peran Indonesia:

Indonesia memikul tanggungjawab atas kewajiban internasionalnya yang terikat oleh New York Agreement, 15 Agustus 1962, yaitu: “Membangun Sosial Ekonomi di Wilayah Gografi New Guinea Bagian Barat, dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak (Sipol dan Ekosob) penduduk asli Papua dalam kurun waktu 1963-1969, serta mempersiapkan  Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat”.

Ketiga, Peran Belanda:

Keterikatan Belanda dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 tidak serta merta berakhir, atau selesai setelah penyerarahan kekuasaannya atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat kepada UNTEA. Secara tidak langsung Belanda terikat dan  bertanggungjawab dalam mengawasi kewajiban Indonesia terhadap jaminan  perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak penduduk asli Papua yang telah diratifikasinya dengan Indonesia.

Keterikatan Belanda dalam mengawasi pelaksanaan administrasi penuh yang dijalankan oleh Otoritas Indonesia di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, diformulasi dalam pasal XXI ayat (2), menjelaskan: “Para pihak pada perjanjian ini akan mengakui dan mematuhi hasil dari penentuan nasib sendiri”. Artinya peran Belanda tetap terikat hingga penentuan pendapat rakyat tahun 1969 dilaksanakan dan hasilnya harus mendapat pengakuan dari Belanda, Negara yang meratifikasi perjanjiannya dengan Indonesia.  

Muncul Pertanyaan, Mengapa Penduduk Asli Papua Tidak Dilibatkan Dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 Antara Indonesia Dan Belanda?

Penandatanganan New York Agreement, 15 Agustus 1962, Indonesia (Subandrio) dan Belanda (JH Van Roijen)

Penulis Menjelaskan Sebagaiberikut:

Indonesia dan Belanda adalah dua negara bangsa merdeka, dalam kedudukan hukum internasional disebut subjek negara (sujek aktif), memiliki hak dan kewajiban untuk membuat perjanlian yang mengikat di bawah hukum perjanjian internasional terhadap objek yang menjadi kepentingan bersama. Sedangkan Penduduk asli Papua adalah subjek non-negara (subjek non-aktif), kedudukan hukumnya lemah, bangsa belum merdeka untuk ikut dalam perjanjian di bawah hukum perjanjian internasional. Sehingga hal itu menjadi alasan penduduk asli Papua tidak dilibatkan dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 antara dua negara, Indnesia dan Belanda.

Indonesia menciptakan konflik berdasarkan klaim historis berhak atas  Kekuasaan Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, daerah koloni Belanda di Pasifik Barat Daya termasuk dalam kawasan Pasifik Selatan, daerah yang telah dipersiapkan dekolinisasinya sejak tahun 1950-an.

Dalam kasus ini, yang menjadi objek sengketa dua negara Indonesia dan Belanda adalah Perebutan Kekuasaan Atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, yang di dalamnya terdapat kelompok orang-orang etnik Papua Melanesia. Oleh karena itu dalam kedudukan hukum internasional, yang menjadi objek sengketa adalah perebutan kekuasaan atas wilayah geografi New Guinea Bagian Barat, yang dalam hukum  internasional disebut daerah tidak berpemerintahan sendiri, dengan penduduknya orang asli Papua yang disebut bangsa belum merdeka.

Ketika New York Agreement, 15 Agustus 1962 ditanda tangani dan diratifikasi oleh para pihak Indonesia dan Belanda, maka pada saat itu dengan sendirinya klaim historis dan klaim lainnya oleh pihak indonesia maupun Belanda atas hak kekuasaan Wilayah Geografi New Bagian Barat gugur, atau dengan kata lain tenggelam dalam perjanjian itu, dalam bahasa diplomasi disebut disesuaikan ke dalam perjanjian yang dibuat, ditandatangani dan ditatifikasi oleh para pihak, Indonesia dan Belanda.

Resolusi Majelis Umum PBB 448 (V) 12 Desember 1950, Memperhatikan komunikasi tanggal 29 Juni 1950 dari Pemerintah Belanda tidak lagi menyampaikan laporan berdasarkan Pasal 73 (e) tentang Indonesia dengan pengecualian Nugini Barat ,, menjadi dasar dibuat New York Agreement, 15 Agustus 1962, ditandatangani dan diratifikasi oleh para pihak Indonesia dan Belanda, serta diregistrasi di Sekretariat PBB dan diaplikasikan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 1752 (XVII) 21 September 1962, maka New York Agreement 15 Agustus 1962 telah mengangkat status Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat berada di bawah hukum perjanjian internasional.

Kasus Hukum New York Agreement 15 Agustus 1962, Yaitu 1025 Orang Mengatas Namakan ± 800.000 Jiwa Pada Pelaksanaan PEPERA 1969.

Ilustrasi Pelanggaran Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat pada tahun 1969

Kasus hukum saat ini adalah  “Penggunaan” Hak Penentuan Nasib Sendiri. Sehingga  yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat yang memiliki hak pilih pada saat Act of Free Choice 1969, berjumlah ± 800.000 jiwa, sudah menggunakan, atau belum menggunakan  hak pilihan bebasnya dalam jajak pendapat 1969?

Pernyataan politik otoritas Indonesia yang mengatakan  Act of Free Choice 1969 sudah final, maka Muncul Kasus Hukumnya Setelah Act of Free Choice 1969 Dilaksanakan, yaitu, 1025 orang mengatas namakan orang-orang asli Papua, mewakili  ± 800.000 jiwa orang asli Papua yang memiliki hak pilih dalam Act of Free Choice (PEPERA) 1969 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat.

Kasus hukum itu menjelaskan bahwa “orang-orang asli Papua di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat tidak pernah menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang diamanatkan dalam klausula  New York Agreement 15 Agustus 1962 Pasal XVIII Poin (d), tentang syarat  penggunaan hak pilih dalam penentuan nasib sendiri orang-orang asli Papua Barat di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat”.

Perjanjian internasional dilandasi oleh enam asas yang berfungsi sebagai dasar-dasar perjanjian internasional yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat.

Enam asas perjanjian internasional dan penjelasannya:

1)  Pacta Sunt Servanda

Pacta Sunt Servanda diambil dari bahasa latin yang berarti perjanjian harus ditepati. Ini merupakan asas pertama dan tertua yang mendasari perjanjian internasional.

Dilansir dari Oxford Public International Law, Pacta Sunt Servanda berarti hak dan kewajiban semua pihak dalam perjanjian internasional harus dilakukan, dan pelanggarannya akan dikenakan konsekueknsi sesuai hukum internasional yang berlaku.

2)  Egality Rights

Yang dimaksud egality rights adalah kesetaraan semua pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional. Sehingga tidak ada perbedaan level antar negara yang terlibat dalam perjanjian, semua negara setara.

Negara maju maupun berkembang adalah setara dan hak-hak negara tersebut tidak boleh dilanggar. Egality rights menyetarakan negara dan juga mencegah terjadinya penjajahan, perjanjian yang berat sebelah, dan pemaksaan dalam perjanjian.

3)  Reciprocity

Reciprocity atau timbal balik adalah asas internasional yang mengatur bahwa semua pihak yang terlibat melaksanakan hak dan kewajiban yang sama rata. Sehingga dalam perjanjian internasional, tidak ada pihak yang terlalu rugi, tidak ada pihak yang terlalu diuntungkan, semuanya seimbang dan merupakan jalan tengah.

4)  Bonafides

Bonafides berarti iktikad baik. Dalam perjanjian internasional harus dilandasi iktikad atau niat baik dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Memiliki iktikad baik berarti negara-negara tersebut memiliki tujuan yang baik untuk membentuk suatu perjanjian internasional.

5)  Courtesy

Couteresy atau kehormatan adalah asas yang mewajibkan pihak-pihak dalam perjanjian untuk saling menghormati satu sama lain. Asas couteresy mengharuskan sopan santun dan rasa saling hormat karena semua pihak dalam perjanjian internasional adalah setara.

6)  Rebus sic Stantibus

Rebus sic Stantibus adalah asas perjanjian yang diambil dari bahasa latin dan berarti hal-hal yang berdiri. Dilansir dari Cambridge University Press, asas Rebus sic Stantibus memperbolehkan perubahan atau penghentian perjanjian atas dasar keadilan.

Asas Rebus sic Stantibus adalah pengecualian dari asas Pacta Sunt Servanda, karena perjanjian dapat ditinjau ulang jika ada hal-hal fundamental ataupun keadaan yang berubah, dengan jalan perundingan kembali pihak-pihak yang terlibat.

Negara-Negara Yang Berhak Tampil Di Hadapan Pengadilan Internasonal

Pasal 35, poin (1) statuta mahkamah internasional  menyatakan, bahwa Pengadilan terbuka bagi negara-negara pihak. Negara-negara pihak yang dimaksud dalam statuta mahkamah internasional terhubung pada Pasal 93, ayat (1) Piagam PBB yang menyatakan bahwa, semua anggota PBB ipso facto menjadi pihak pada statuta mahkamah internasional. Ipso  Facto mengandung arti konsekuensi yang mengikat. Artinya ketika suatu negara menjadi anggota PBB, akibatnya negara itu terikat menjadi pihak dalam statuta mahkamah internasional. Sehingga semua negara anggota PBB, tidak terkecuali besar atau kecil, mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan yang sama dihadapan mahkamah internasional (ICJ)

Merubah Isi New York Agreement, 15 Agustus 1962 sepihak oleh Indonesia tentang tata cara penggunaan hak pilih melalui metode perwakilan, merubah pasal XVIII poin (d) New York Agreement 15 Agustus 1962 dalam pelaksanaan PEPERA tahun 1969 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, yang berakibat kerugian terhadap orang-orang Papua Barat dalam menentukan masa depannya, adalah pelanggaran terhadap New York Agreement 15 Agustus 1962, perjanjian yang kedudukannya telah berada dibawah hukum perjanjian internasional. sehingga pelanggaran itu adalah melanggar enam asas  perjanjian internasional yang terkandung dalam New York Agreement 15 Agustus 1962, maka perubahan itu konsekuensi hukumya dapat diminta pertanggungjawabannya di mahkamah internasional (ICJ).

Kasus Wilayah Geografi  New Guinea Bagian Barat mirip dengan Kasus Kepulauan Chagos. Namun beda dengan kasus  kedua pulau Sipadan dan Ligitan yang diadili di Mahkamah Internasional (ICJ).

Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan sebelum menjadi sengketa Indonesia dan Malaysia, tidak ada perjanjian internasional yang mengikat kedua negara tentang status pulau itu, sehingga untuk membawa kasus kedua pulau itu ke Yuridiksi Mahkamah Internasional (ICJ), kedua negara Indonesia dan Malaiysia harus membuat special agreement pada tahun 1997 sebagai syarat penyelesaian di ICJ.

Perbedaannya, status Papua Barar telah berada dalam hukum perjanjian internasionanal, sehingga terikat pada wewenang statuta mahkamah internasional yang mengikat Indonesia dan Belanda atas dasar New York Agreement 15 Agustus 1962, yang telah diratifikasi dan terdaftar pada sekretariat PBB. Beda dengan Sipadan dan Ligitan, kasusnya diluar Yuridiksi Hukum Internasional, sehingga untuk diselesaikan di Mahkamah Internasional (ICJ) harus dilakukan kesepakatan terlebih dahulu oleh para pihak yang bersengketa sebelum kasusnya dibawa ke ICJ.

Perjanjian New York 15 Agustus 1962 Telah Membawa Indonesia Kedalam Pengakuan Orang-Orang Papua Barat Bangsa Belum Merdeka

Belanda Negara Kerajaan yang telah berpengalaman dalam memproses daerah-daerah jajahannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia mejadi negara merdeka, tentu saja tidak terlepas dari strategi politik internasionalnya  yang bersentuhan langsung dengan hukum internasional. Nampak jelas Belanda telah menggunakan strategi politik Internasionalnya membawa masalah dekolonisasi Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, daearah koloninya ke dalam hukum perjanjian internasional melalui New York Agreement, 15 Agustus 1962.

Belanda tidak patah arang ketika sengketa Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat daerah koloni Belanda yang telah dipersiapkan menuju dekolonisasi, ditingkatkan status ancaman oleh Indonesia, dari status diplomasi politik ke ancaman konflik bersenjata, serta dibawah tekanan konspirasi politik internasional tingkat tinggi yang dikendalikan oleh Amerika Serikat, memaksa Belanda duduk di meja perundingan dengan Indonesia, yang pada akhirnya menghasilkan New York Agreement, 15 Agustus 1962, menjadi “Dasar Aplikasi Resolusi Majelis Umum-PBB 1752 (XVII), 21 September 1962, yang telah mengangkat status dekolonisasi Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat di bawah Hukum Perjanjian Internasional.

Belanda telah memasukan daerah koloninya, Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat yang dipersiapkan dekolonisasinya sejak tahun 1950-an ke dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962, dan diperkuat Resolusi Majelis Umum PBB, 1752 (XVII), 21 September 1962, tentang aplikasi dari New York Agreement 15 Agustus 1962. Sehingga Kasus Pelanggaran Hak Menentukan Nasib Sendiri, yang terjadi pada tahun 1969, dan telah menjadi sorotan publik internasional, kini telah menjadikan Bom Waktu Kemerdekaan New Guinea Barat (Papua Barat).

Indonesia cerdik dengan kelicikannya dalam mengelabui masyarakat internasional, merebut Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dari Kekuasaan Belanda. Namun Belanda cerdas menggunakan pengalaman dalam politik internasionalnya membangun strategi jangka panjang, membawa daerah koloninya Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat ke dalam hukum perjanjian internasional, dan kini Indonesia telah tersandung pada poin kunci dari New York Agreement, 15 Agustus 1962, yakni, Pasal XVIII Poin (d) syarat hukum internasional dalam penggunaan suara untuk hak penentuan nasib sendiri.”one man’one vote”--telah dilanggar oleh Indonesia---.

Konflik Bersenjata Internal Antara Penduduk Asli Papua Melawan Otoritas Indonesia Di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, Menunjuk Pada Pelanggaran Hak Menentukan Nasib sendiri Bangsa Papua Barat.

Paramiliter Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM)

Status Bangsa Belum Merdeka dapat diklasifikasi ke dalam subjek hukum internasional non-aktif yang ditujukan khusus untuk orang-orang yang pengelompokan etnik dan budayanya di dalam kawasan suatu wilayah geografi, berbeda dengan bangsa merdeka yang menguasainya. Subjek non-aktif dikatakan aktif apabila terjadi reaksi (tuntutan) hak menentukan nasib sendiri oleh orang-orang tersebut terhadap bangsa merdeka yang menguasainya. Sehingga yang perlu dicatat, tuntutan hak menentukan nasib sendiri beda dengan pemberontakan yang disebut separatis.

Reaksi hak menentukan nasib sendiri bangsa belum merdeka orang-orang Papua Barat, telah terjadi sejak manifesto politik Papua Barat di dideklarasi pada 19 Oktober 1961 di Hollandia ibukota Nederlands Nieuw Guinea, dan mendapat pengakuan negara kerajaan Belanda yang diumumkan pada 1 Desember 1961, Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat menjadi daerah dekolonisasi Kerajaan Belanda.

Revolusi bersenjata di New Guinea Bagian Barat  yang di deklarasi pada , 1 Juli 1971 adalah wujud dari protes bangsa  Papua Barat atas pelanggaran hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh Indonesi melalui PEPERA tahun 1969 di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat.

Perlawanan bersenjata di dalam negeri, maupun perlawanan politik di luar negeri oleh orang-orang Papua Barat, menunjukan pada kasus pelanggaran hak menentukan nasib sendiri yang telah dilanggar pada pelaksanaan PEPERA tahun 1969, dan secara langsung maupun tidak langsung perlawanan itu telah mengaktifkan subjek hukum internasional non-aktif sebagai bangsa belum merdeka, yang memperjuangkan hak kemerdekaannya, yang sedang diblokir oleh Indonesia sejak mentransfer keuasaan dari UNTEA 1 Mei 1963, dalam menjalankan admitrator PBB di wilayah sengketa New Guinea Bagian Barat.

Catatan Penulis:

Penulis menyebut “Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat” untuk mempertegas sebutan dari Satu Keutuhan Wilayah Geografi New Guinea, yang dipetak-petak oleh bangsa koloni. Awalnya Portugis dan Spanyol, kemudian  Inggris dan Jerman di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Timur, kini disebut Papua New Guinea (PNG) dan bangsa koloni Belanda di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, kini disebut Papua Barat, dan  kini dipetak-petak lagi oleh kolini Indonesia.

Penyebutan itu sifatnya disambiguasi mengungkap fakta hukum tentang New Guinea Bagian Barat, yang kini oleh berbagai kalangan di Indonesia membangun narasi politik yang sipatnya ambigu. Sehingga yang terjadi memutar balik fakta hukum sebenarnya, yang kini menjadi tuntutan orang-orang Papua Barat terhadap hak politiknya.

Tulisan ini menjadi goresan tanganku yang ke-61 tahun (9 Mei 1962-9 Mei 2023) bertepatan dengan tanggal dan bulan kelahiranku, ulang tahunku yang ke-61 tahun. 

Tulisan ini bagian dari referensi, khusus dipersembahkan untuk Generasi Papua Barat yang sedang memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat, yang telah diblokir oleh Otoritas Indonesia, sejak menjalankan administrator PBB 1 Mei 1963 di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan ini, namun dengan tekad yang kuat dan kebesaran hati, penulis menggunakan logika hukum mengkaji kasus hukum New York Agreement 15 Agustus 1962, guna mengungkap kebenaran dan memotivasi perjuangan suci bangsa Papua Barat, kiranya Tuhan senatiasa menyatakan hikmah dan makrifat-Nya dalam mengaktualsasi kebenaran bangsa Papua Barat, amin.(Kgr).

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Senin, 01 Mei 2023

Melihat Pelanggaran Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat Dan Cara Penyelesaiaannya.


Merefleksikan 60 Tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2023) Kekuasaan Indonesia di Papua Barat

Published-By:Kristian Griapon, Mei 1, 2023

Tinjauan Kasus

Indonesia telah melanggar hak penentuan nasib sendiri (rights to self determinations), hak politik bangsa Papua Barat di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat yang kini disebut Papua Barat. Hak politik bangsa Papua Barat itu telah dijamin berdasarkan perjanjian New York, 15 Agustus 1962, sebuah perjanjian yang telah diratifikasai oleh para pihak Indonesia dan Belanda, yang bersengketa dalam perebutan kekuasaan terhadap wilayah geografi New Guinea Bagian Barat, dan telah menjadi pelaporan Sekjen PBB, serta dideposit pada majelis umum PBB.

Pelanggaran hak penentuan nasib sendiri berdasarkan fakta pelaksanaan Pepera (Act of Free Choice) 14 Juli - 2 Agustus 1969 di Papua Barat oleh Indonesia, telah melanggar klausula New York Agreement, 15 Agustus 1962, pasal XVIII poin (d) tatacara pemilihan bebas satu orang’satu suara, yaitu: Tanpa persetujuan pihak yang meratifikasi perjanjian itu, Belanda, Indonesia merobah  pasal XVIII poin (d), pelaksanaan PEPERA berdasarkan budaya Indonesia, “Musyawarah Mufakat Atas Nama Orang asli Papua 1025 orang, yang terdiri dari orang asli Papua dan imigran Indonesia ditunjuk oleh otoritas Indonesia mewakili ± 800.000 penduduk asli Papua yang memiliki hak suara dalam pemilihan bebas,  di Papua Barat pada tahun 1969”.

Pelanggaran itu dapat diamati dari sekjen PBB membuat catatan (make notes) diadopsi dalam sidang majelis umum PBB ke 24, 19 November 1969 menjadi catatan (take notes) dengan nomor registrasi 2504, yang kini disebut oleh Indonesia “Resolusi PBB 2504”.

Menjadi Pertanyaan, kalau take notes itu disebut resolusi dari sebuah plebisit penentuan nasib sendiri, mengapa sidang Majelis Umum PBB ke 24, 19 November 1969 tidak membuat keputusan akhir yang mengikat tentang status akhir wilayah New Guinea Bagian Barat berdasarkan PEPERA 1969? Apakah New Guinea Bagian Barat: (a). Menjadi negara merdeka berdaulat; (b). Menjadi asosiasi bebas dengan Negara merdeka (wilayah otonom di dalam sebuah negara merdeka); atau, (c). Terintegrasi ke dalam Negara merdeka, berdasarkan hasil PEPERA?

Tinjauan Hukum Internasional

Pacta sunt servanda norma dasar dalam hukum internasional, Secara umum pacta sunt servanda diartikan sebagai terikatnya suatu negara terhadap suatu perjanjian internasional diakibatkan oleh persetujuan dari negara tersebut untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional. Ketika suatu Negara menjadi pihak dalam perjanjian internasional, menyatakan kehendak untuk terikat terhadap ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut. Hal itu berdampak pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian itu, berlaku dalam teritorial negara yang menyatakannya. Pada dasarnya asas ini menyatakan bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian, sehingga kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh perjanjian ini harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Apabila terjadi pelanggaran dapat dibawah ke Mahkamah Internasional.(piagam PBB pasal 93 (1) dan 103)

Perjanjian New York 15 Agustus 1962 telah ditanda tangani dan diratifikasi antara Permerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda, kedua belah pihak yang bersengketa, serta menjadi laporan SEKJEN PBB dan tersimpan (deposit) pada Majelis UMUM PBB (pasal 102 piagam PBB). Sehingga Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 telah memenuhi standar perjanjian internasional berdasarkan konvensi Wina hukum perjanjian internasional tahun 1969.

Bahwa semua bentuk pelanggaran dari klausula Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 terkandung prinsip Ipso Facto (pasal 93 ayat (1) piagam PBB), artinya dapat diminta pendapat hukumnya di Mahkamah Internasional (ICJ) atas dasar rujukan Majelis Umum PBB (penyelesaian melalui politik internasional), maupun gugatan hukum di mahkamah internasional oleh pemerintah kerajaan Belanda, negara koloni di New Guinea Bagian Barat yang bertanggungjawab atas perjanjian yang dibuatnya dengan Indonesia (penyelesaaian hukum melalui Yuridiksi Mahkamah Internasional).

Penyelesaian kasus pelanggaran Hak penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat yang terjadi pada Act of Free Choice 1969 hanya bisa dilakukan berdasarkan negara. Kalau melalui pendekatan politik internasional harus melalui mekanisme Majelis Umum PBB, dan kalau pendekatannya melalui hukum internasional, harus melalui Yuriksi Mahkamah Internasional.

Pendekatan politik internasional, syaratnya harus diusul oleh negara pendukung melalui sidang mejelis umum PBB dan mendapat dukungan mayoritas negara-negara anggota PBB, sedangkan untuk pendekatan hukum internasional, hanya bisa dilakukan oleh para pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian itu, yaitu negara Kerajaan Belanda yang mempunyai kewenangan menggugat pelanggaran hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat di mahkaman internasional sebagai negara koloni di Papua Barat dan yang membuat perjanjian New York, 15 Agustus 1962 dengan Indonesia.(Statuta Mahkamah Internasional pasal 34, 36 dan 38)

Hak menentukan nasib sendiri dalam wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri termasuk dalam prinsip dasar hukum internasional Jus  Congens norma yang harus ditaati, diformulasikan untuk "suatu wilayah  yang terpisah secara geografis dan...berbeda secara etnik dan/atau budaya dari negara yang mengelola/menguasainya”, ditetapkan dalam Prinsip VI Resolusi Majelis Umum 1541 (XV), diadopsi pada 15 Desember 1960, yaitu: Suatu “Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri yang dipromosikan mencapai pemerintahan sendiri (pemerintahan penuh) apakah: (a). Menjadi negara merdeka berdaulat; (b). Menjadi asosiasi bebas dengan Negara merdeka (wilayah otonom di dalam negara merdeka); atau, (c). Terintegrasi kedalam Negara merdeka."

Konflik Bersenjata Di Papua Barat Memenuhi Prinsip Ipso Facto

Konflik bersenjata di wilayah geografi New Guinea Bagian Barat (Papua Barat), lahir dari perjanjian New York, 15 Agustus 1962 Indonesia dan Belanda tanpa melibatkan orang asli Papua.

Negara Kerajaan Belanda sebagai negara yang terlibat langsung dengan Indonesia dalam penyerahan kekuasaan atas wilayah geografi New Guinea Bagian Barat  berdasarkan perjanjian yang dibuatnya (New York Agreement, 15 Agustus 1962). Sehingga terjadi pelanggaran hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat pada pelaksanaan PEPERA 1969 oleh Indonesia, yang melahirkan konflik bersenjata berkepanjangan mengakibatkan peristiwa  eksesif terhadap nilai-nilai kemanusiaan penduduk asli Papua. Oleh karena itu, Negara Kerajaan Belanda memikul tanggung jawab moral dan kewajiban internasionalnya yang terikat berdasarkan perjanjian yang dibuatnya dan tidak bisa menghindar dari tanggungjawab itu, untuk menjembatani konflik Papua Barat  mencari jalan penyelesaiaan damai, baik itu melalui pendekatan poltik internasional maupun melalui Yurdiksi Mahkaman Internasional.

Menurut pandangan penulis, kalau orang asli Papua Barat hari ini mempersoalkan Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru harus bertanggungjawab atas pendekatan kekuasaan Negara Republik Indonesia Indonesia yang berlebihan di wilayah Papua Barat, itu semacam salah alamat, karena mereka itu sebenarnya penunggang kepentingan bisa bermuka dua, lain halnya jika Belanda yang diminta pertanggungjawabannya, karena “Akibat Hukum” (implikasi yuridis) yang terikat pada New York Agreement, 15 Agustus 1962, wasalam (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...