Jumat, 06 September 2024

 

 

MELIHAT DASAR  KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT

 

Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024.


Pengantar:

Era teknolgi digital membawa transformasi informasi pada suatu dimensi keterbukaan dan transparansi, sehingga sebuah informasi masa lalu dapat dilacak kembali, sekalipun informasinya disembunyikan dari publik, dan manusia sudah tidak berada lagi di dalam ruang misteri yang diciptakannya, mungkin kalimat ini cocok untuk mengungkap berbagai fakta sejarah masa lalu Pribumi Papua dan Wilayah Geografi Papua Barat yang disembunyikan untuk alasan kepentingan geopolitik, ekonomi dan pertahanan keamanan dalam konteks sistem politik global, yang melibatkan aktor utama AS dan sektutunya di Indo Pasifik dan Indonesia dijadikan alatnya.

I.Papua Barat Masuk Daerah Dekolonsasi PBB Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 448 (V) 1950.

==Indonesia membawa sengketa wilayah New Guinea Barat ke Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1954, 1955, dan 1957, namun semuanya gagal memperoleh dukungan dari dua pertiga suara==

Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles yang berada dalam kabinet presiden AS ke-34 David Dwight Eisenhower; (1953-1959) memastikan Bahwa “kegagalan Indonesia secara pribadi Ia setuju dengan Menteri Luar Negeri Belanda Luns yang mempertahankan posisi Belanda di New Guinea Barat berdasarkan resolusi PBB 448 (V) 1950.

Kalau ditanya alasannya mengapa tiga kali indonesia gagal mendapat dukungan masalah New Guinea Barat di sidang umum PBB? Jawabannya sederhana, Resolusi UNGA 448 (V) tanggal 29 Juni 1950 yang secara khusus menyebut, “Nederlands New Guinea akan tetap menjadi kolonial Belanda setelah Indonesia merdeka”

Resolusi UNGA 448 (V) 1950 tersirat, dengan kata lain memaknai bahwa, New Guinea Barat adalah wilayah dekolonisasi menjadi tanggung jawab Belanda. Dan Resolusi ini menyatakan dengan jelas New Guinea Barat wilayah tidak berpemerintahan sendiri dibawah pengawasan PBB berdasarkan pasal 73 (e).

Mengapa dibuat Perjanjian New York, 15 Agustus 1962? Nah disitulah benang merahnya yang harus ditarik dan dihubungkan dengan Resolusi UNGA 448 (V) 1950, karena “Dekolonisasi Wilayah New Guinea Barat berdasarkan pada Resolusi UNGA 448 (V) 1950, yang menjadi  Daerah Administrasi Kerajaan Belanda”

Resolusi UNGA/M-U PBB 448 (V) berhubungan langsung dengan kemerdekaan Indonesia dan mempunyai kekuatan hukum internasional tetap yang tidak dapat dicabut untuk alasan apapuan, apalagi dibatalkan oleh sebuah perjanjian New York 15 Agustus 1962.

Dalam hal ini Sekretaris Jenderal PBB sebagai orang yang bertanggung jawab mengontrol dan menjalankan sistem PBB, tidak mungkin tidak mengetahui  dan memahami tentang Resolusi UNGA 448 (V) 1950, sehingga timbul pertanyaan mengapa harus mengadopsi Resolusi 1752? Serta mengambil alih tanggung jawab dan kewenangan Dewan Perwalian PBB menangani penyelesaian akhir masalah Papua Barat di luar sistem PBB?...

Papua Barat bukan wilayah tak berpenghuni yang diperebutkan oleh Indonesia dan Belanda! Mengapa perjanjian New York harus dibuat? Dan mengapa tidak melibatkan penduduk asli Papua yang adalah subyek melekat pada objek sengketa?

Seharusnya Pribumi Papua ditempatkan pada posisi pihak ketiga sebagai pihak yang mempunyai hak atas objek sengketa.berdasarkan Hak-hak Para Pengguna yang tertuang dalam pasal XVII dan XVIII Perjanjian New York. 

“New Guinea Raad Yang Seharusnya Menjadi Para Pihak Dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962” lembaga resmi representasi bangsa Papua Barat yang aktif sebelum Perjanjian New York dibuat.


II.Nieuw Gunea Raad Diblokir Oleh Pemerintah Indonesia Pada Masa Peralihan Dari UNTEA.



Foto 23 dari total 52 Anggota New Guinea Raad pada tahun 1961

Setelah pengambilalihan kekuasaan oleh badan eksekutif sementara PBB (UNTEA) dari pemerintahan kerajaan Belanda, maka Nieuw Guinea Raad menjadi tanggung jawab UNTEA, sesuai ketentuan pasal XXII dan XXIII New York Agreement, 15 Agustus 1962 tentang Hak-Hak Pengguna;

Pada tanggal, 4 Desember 1962 dalam pertemuan bersama antara Administrator PBB (UNTEA) dengan Anggota Nieuw Guinea Raad, dihadapan Administrator PBB diambil sumpah jabatan baru untuk anggota Nieuw Guinea Raad, yaitu ‘Ketua dan seluruh anggota berjanji untuk setia mendukung dan mengawasi pelaksanaan New York Agreement, 15 Agustus 1962 serta setia kepada Administrator PBB.

Pada saat peralihan kekuasaan UNTEA kepada Indonesia untuk menjalankan fungsi administrator PBB berdasarkan New York Agreement, 15 Agustus 1962, maka peran dan fungsi Nieuw Guinea Raad beserta partai-partai politik yang menjadi alat kelengkapannya, yang telah diambil sumpah oleh United Nations Temporary Executive Authority(UNTEA) untuk mengawal pelaksanaan New York Agrement, 15 Agustus 1962 dinonaktifkan (diblokir) oleh Indonesia, negara anggota PBB yang menjalankan fungsi PBB berdasarkan resolusi PBB 1752 (XVII), 21 September 1962.

“Pemblokiran Nieuw Guinea Raad beserta alat kelengkapannya oleh pemerintah Republik Indonesia, adalah bentuk penyimpangan terhadap Hak-Hak Pengguna berdasarkan ketentuan pasal XXII dan XXIII New York Agreement, 15 Agustus 1962. Hal tersebut dilakukan oleh Indonesia negara anggota PBB yang seharusnya berpegang teguh pada prinsip netralitas, sehingga tidak tejadi penyelewengan terhadap hak-hak kolektif pribumi Papua, yang telah diratifikasi kedalam klausula New York Agreement, 15 Agustus 1962”.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat

 

 

 

 

 

Rabu, 28 Agustus 2024

Status Papua Barat Dalam Hukum Perjanjian Internasional 

Sebuah Ulasan:-Oleh: Kristian Griapon, Agustus 28, 2024

Status wilayah Papua Barat adalah daerah sengketa kekuasaan setelah perang dunia ke-2, antara Negara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda, sehingga penyelesaiannya harus melalui perjanjian internasional, dan pelaksanannya yang disebut New York Agreement, 15 Agustus 1962, dibawah hukum perjanjian internasional. Dan Wilayah Papua Barat diberi tanggungjawab dan kewenangan pengelolaan kekuasannya kepada negara anggota PBB Indonesia, menjalankan administrasi PBB dan mempersiapkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat sesuai dengan klausul perjanjian New York, 15 Agustus 1962.

Seharusnya suatu wilayah tidak berpemerintahan sendiri seperti Papua Barat, yang menjadi wilayah sengketa kekuasaan antar negara Indonesia dan Kerajaan Belanda, setelah mengadakan perjanjian internasional statusnya harus berada dibawah pengawasan Dewan Perwalian PBB, sesuai dengan aturan dasar PBB yang termuat dan tertera dalam piagam PBB Bab XII dan XIII.

Perjanjian Internasional antara Indonesia dan Belanda menghendaki penyelesaian sengketa Papua Barat dan pelaksanaan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat diluar pengawasan Dewan Perwalian PBB, ditangani langsung dibawah kewenangan dan tanggung jawab Sekjen PBB berdasarkan Resolusi MU-PBB 1752 (XVII), 21 September 1962. Dan sekjen PBB menyerahkan tanggungjawanya kepada Indonesia, negara anggota PBB yang di percayakan menjalankan administrator PBB di Papua Barat, mempersiapkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat pada tahun 1969 (sesuai dengan klausul perjanjian New York, 15 Agustus 1962, artikel II s/d VIII).

Indonesia menjadi negara anggota PBB secara otomatis (ipso facto) menjadi pihak pada statuta mahkamah Internasional (ICJ) berdasarkan pasal 93 ayat (1) piagam dasar PBB, serta sebagai administrator PBB yang menjalankan kewajiban internasional di Papua Barat, telah melanggar klausul perjanjian yang dibuatnya dalam pelaksaan Act of Free Choice 1969. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 93 ayat (1) dan pasal 103 piagam dasar PBB, Indonesia dapat diminta pertanggungjawaban melalui Majelis Umum PBB dan, atau Mahkamah Internasional berdasarkan negara..

Resolusi MU;PBB 1752 (XVII), 21 September 1962 mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hukum perjanjian internasional, sehingga New York Agreement, 15 Agustus 1962 menganulir/membatalkan perjanjian-perjanjian lainnya. Dengan diratifikasi New York Agreement melalui Resolusi MU-PBB 1752 (XVII), 21 September 1962, maka berlakulah prinsp-prinsip perjanjian internasional, diantaranya "Facta Sunt Serpanda" yaitu hak dan kewajiban semua pihak dalam perjanjian internasional yang harus ditaati untuk diakukan atau dijalankan, dan pelanggarannya akan dikenakan konsekuensi sesuai hukum internasional yang belaku.

Nah pelanggaran PEPERA 1969 termasuk dalam pelanggaran prinsip=prinsip perjanjian internasional, dan penyelesaiannya berdasarkan negara melalui yuridiksi mahkamah internasional (ICJ).

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Selasa, 27 Agustus 2024

 

Foto Istimewa PM James Marape

ULASALAN PERNYATAAN PM PNG JAMES MARAPE, “Papua Barat Berada Dalam Kedaulatan Indonesia, Jadi Tanggung Jawab Ada Pada Mereka Dalam Memenuhi Tuntutan Kemerdekaan” (By: Kristian Griapon, Agustus 27, 2024)

Dilansir dari reporter RNZ-Lydia Lewis di Nuku'alofa, Tonga yang meliput KTT-PIF ke-53, 2024, dalam pemberitaannya tentang Pasifik Papua Barat pada 26 Agustus 2024 jam 17.00, mengekspos pernyataan PM PNG James Marape yang singkat, jelas dan memaknai perjuangan bangsa Papua Barat kedepan, yaitu: “Papua Barat Berada Dalam Kedaulatan Indonesia, Jadi Tanggung Jawab Ada Pada Mereka Dalam Memenuhi Tuntutan Kemerdekaan”,

Dari pernyataan PM Marape mengindikasikan bahwa para pemimpin MSG yang terdiri dari PNG, Fiji, Kepulauan Solomon dan Vanuatu telah menyadari dan memahami penderitaan dan perjuangan bangsa Papua Barat, namun mereka berada atau sedang dihadapkan pada dua pilihan yang sulit (dilematis), pertama, menghadapi Indonesia dan pengaruhnya yang telah masuk dalam lingkup MSG, dan yang kedua, menghadapi kesadaran bangsa-bangsa Melanesia yang telah bertumbuh dan berkembang tentang hak kemerdekaan saudara-saudaranya serumpun Melanesia di Papua Barat.

Jadi menurut pengamatan penulis, bahwa pernyataan PM Marape adalah bersifat diplomatis dan politis, artinya Papua Barat disejajarkan dengan wilayah Bougainville (PNG) dan Kaledonia Baru (Perancis), yaitu termasuk dalam kategori Wilayah-wilayah di luar kedaulatan suatu negara yang dikelola oleh negara bersangkutan, sehingga penerapan hukum internasionalnya mengarah pada daerah dekolonisasi.

PM Marape menyatakan sikap yang berani dan terbuka secara langsung maupun tidak langsung yang ditujukan kepada Indonesia sebagai negara yang menguasai Papua Barat, salahsatu wilayah di kawasan Pasifik selatan.

Pernyataan PM Marape tidak bersipat negatif bagi perjuangan bangsa Papua Barat menuntut hak kemerdekaannya, harus ditanggapi sebagai cambuk yang memotivasi perjuangan bangsa Papua Barat untuk di maksimalkan dalam solidaritas perjuangan dengan tidak memetak-metak barisan perjuangan.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat..

Minggu, 21 Juli 2024

 

Kebutuhan Ruang Hidup Bangsa Merdeka Menjadi Alasan Pencaplokan Wilayah Geografi di Sekitarnya.

Oleh: Kristian Griapon, Juli 19, 2024

Populasi Penduduk yang besar dalam sebuah wilayah geografi yang berkembang menjadi sebuah negara tentu saja akan memerlukan ruang hidup. 

Ruang hidup telah menjadi kebutuhan bagi kelangsungan hidup suatu bangsa merdeka di dalam sebuah negara modern setelah abad XIX.

Ruang hidup bukan hanya tertuju pada perluasan permukiman, yaitu pemindahan penduduk suatu negara merdeka ke wilayah geografi yang menjadi daerah pendudukannya, namun selain itu guna kepentingan ekonomi negara, yaitu eksploitasi penuh terhadap sumber daya ekonomi wilayah geografi yang dikuasainya guna mendukung keuangan negara, dan pada umumnya tidak memedulikan eksistensi kehidupan lokal, baik itu manusianya maupun lingkungan habitatnya.

Ruang hidup menjadi salahsatu faktor pendorong perluasan wilayah kekuasaan sebuah negara, yang pada umumnya dilakukan dengan cara ekstrim, yaitu pencaplokan wilayah-wilayah geografi di sekitarnya melalui invasi militer dengan alasan politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang pada dasarnya bertujuan untuk menguasai wilayah-wilayah pendudukan di sekitarnya untuk tunduk dan taat pada ideologi negara yang menguasainya.

Perluasan sebuah wilayah kedaulatan negara dengan alasan reunifikasi/penyatuan kembali batas-batas negara atas alasan etnik dan budaya yang dipisahkan oleh negara pendudukan sebelum negara bersangkutan dimerdekakan dapat dibenarkan, namun dengan cara pencaplokan tidak dapat dibenarkan dengan alasan dekolonisasi.

Wilayah-wilayah pencaplokan bangsa-bangsa merdeka setelah abad XIX yang belum dimerdekakan atas alasan bagian integral dari kedaulatan negara, dapat diamati secara nyata dan jelas dari berbagai perlawanan bangsa-bangsa belum merdeka untuk mendirikan negara merdeka dari negara induknya, diantaranya: Palestina yang dikusai Negara Israel, Kurdistan Utara yang dikuasai Negara Turki, Kudistan Selatan yang dikuasai Negara Irak, Kurdistan Timur yang dikuasai Negara Iran, Kurdistan Barat yang dikuasai Suriah, Jammu dan Kashmir yang dikusai Negara India, Tibet dan wilayah lainnya di kawasan Pegunungan Himalaya yang dikuasai Negara China, serta Papua Barat yang dikuasai Negara Indonesia.

Kebutuhan ruang hidup pada era globalisasi telah dikembangkan dari tujuan utama untuk kepentingan manusia, telah beralih untuk tujuan mempertahankan keberadaan sebuah Negara, yaitu melalui pendekatan geopolitik antara negara maju dengan negara maju dalam hubungan politik kekuasaan internasional, ekonomi dan pertahanan keamanan, serta negara sedang berkembang dengan negara maju dalam hubungan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan, sehingga yang dirugikan wialayah-wilayah geogarafi yang memiliki deposit sumber daya ekonomi dan tempat permukiman yang sedang dikuasai sebuah negara, karena proses dekolonisasinya dipersulit, oleh karena kepentingan hubungan geopolitik, seperti yang dihadapi bangsa Palestina, Kurdistan, Jammu dan Kashmir, serta Tibet dan Papua Barat.(Kgr)

Penulis adalah: Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Selasa, 02 Juli 2024

 

Kita sedang Dihadapkan pada Pemahaman yang Keliru tentang NKRI dan Integrasi Papua ke dalam NKRI, Mengapa?



Merefleksi 1 Juli 1971- 1 Juli 2024 [By: Kristian Griapon]

Melihat dari latar belakang sejarah Trikora, 19 Desember 1961 yang melahirkan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, ABSTRAKSI pemahaman penulis tertuju pada sebuah SKENARIO POLITIK DILUAR NALAR AKAL SEHAT. Artinya dalam konteks kebangsaan Indonesia yang meliputi kawasan nusantara di belahan bumi Hindia Timur, terdapat sebuah gugusan pulau-pulau yang terpisah-pisah satu sama lainnya masuk dalam kategori wilayah-wilatah geografi, karena dihuni oleh kelompok manusia yang menurut peradabannya sendiri  di masing-masing wilayah itu, yang oleh Belanda dijadikan daerah koloninya. Di daerah koloni Belanda ini terkandung dua pemahaman nasionalisme Indonesia yang kemudian lahir bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu : “Nasionalisme Federasi Indonesia dan Nasionalisme Kesatuan Indonesia”. Dalam dinamika perjuangan kemerdekaan Intdonesia, Nasionalisme Federasi Indnesia yang mendapatkan Pengakuan Kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Federasi Republik Indonesia Serikat (Federasi RIS) pada 27 Desember 1949, melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda yang dilaksanakan dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949. Dan munculnya NKRI melalui Kudeta Negara Feberasi RIS pada 17 Agustus 1950, merupakan bentuk baru dari Koloni Hindia Belanda dengan batas wilayah RIS yang di caplok dari Sabang (Aceh) hingga Ambon (Maluku), yang didaftarkan di PBB pada 28 September 1950.. --Pengakuan Negara Federasi RIS Berdasarkan pada Prinsip Erga Omnes (wilayah, etnik dan budaya)--Jika Belanda Mengakui NKRI (17-8-1945) artinya Belanda melanggar prinsip hukum internasional Erga Omnes yang telah melegitimasikan melalui Negara Federasi RIS 27 Desember 1949 dan mengakui penjajahan bentuk baru NKRI. (****)

Kata kunci : Pengakuan--Negara--Federasi RIS--Erga Omnes

Paradoks PEPERA tahun 1969 dan Menguatnya Politik Identitas Papua Barat, adalah suatu situasi atau kondisi hari ini yang dihasilkan oleh Peristiwa Sejarah Politik Bangsa Papua Barat masa lalu, yang mencapai puncaknya pada PEPERA tahun 1969.dan melahirkan Proklamasi Negara Republik Papua Barat pada, 1 Juli 1971


Landasan Pemikiran primitif yang lahir dari  pribadi Sukarno maupun tindakan ia sebagai Presiden Republik Indonesia Pertama, melalui Pernyataan Politik yang menyatakan bahwa ----“Walaupun tanpa PEPERA, Papua memang sudah menjadi bagian dari Indonesia, -----ber-argumen  pada Uti possidetis juris Nederlands Indie, dan diikuti seruan -----Bubarkan Negara boneka buatan Belanda, memobilitasi umum (penduduk Indonesia) ke Papua Barat, serta kibarkan bendera sang merah putih di seluruh wilayah Papua Barat, -----dan terakhir melakukan tindakan invasi militer ke wilayah Papua Barat, -----yang akhirnya ditengahi oleh Amerika Serikat, melalui New York Agreement, 15 Agustus 1962 menghasilkan.Resolusi PBB Nomor 2504.”

Kondisi yang muncul saat ini atas landasan pemikiran primitif Sukarno telah diterima kebenarannya oleh mayoritas rakyat Indonesia bahwa Papua Barat adalah Uti possidetis Nederlands Indie, sehingga  menjadi Integritas Teritorial Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI) yang tidak dapat dipisahkan, namun bertolak belakang dengan kenyataan hari ini yang menghasilkan suatu konflik atau kontradiksi sosial-politik dan ideologi kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam NKRI yang membingungkan dan sangat berlawanan dengan Hukum Kebiasaan Internasional yang manjadi  landasan berdirinya sebuah Negara kebangsaan serta prinsip Erga Omnes.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat. 

 

Senin, 17 Juni 2024

 

Beda Pendapat Menjadi Dasar Perpecahan Dalam Tubuh OPM - Tinjauan - Ringkasan  Sejarah OPM

Gambar Ilustrasi perpecahan dalam tubuh OPM dampak dari perbedaan pendapat


[Oleh:Kristian Griapon]

Latar Belakang Sejarah
Sejak Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat dikumandangkan melalui Manifesto Politik pada 19 Oktober 1961, di Hollandia Nederlands Nieuw Guinea oleh Komite Nasional Papua (KNP), teramati, terdapat dua tokoh kunci yang ikut memainkan perannya dan meletakkan dasar perjuangan Papua Barat menuju kemerdekaan, yaitu:.Markus Wonggor Kaisiepo dan.Nicolaas Youwe.

Kedua tokoh politik nasionalis Papua Barat.Markus Wonggor Kaisiepo dan Nicolaas Youwe merupakan penggerak perjuangan kemerdekaan Papua Barat, dan juga menjadi dasar keretakan yang pada akhirnya menjadi perpecahan dalam tubuh perjuangan kemerdekaan bangsa Papua, baik itu di dunia internasional maupun di dalam negeri Papua Barat hingga saat ini.

Pergerakan OPM di dalam negeri Papua Barat dimulai di Jayapura pada tahun 1963, yang digagas oleh Aser Demotekai seorang tokoh Pemerintahan asal daerah Nimboran melalui gerakan kargoisme dan kooperatif berhaluan moderat. Gerakan ini memunculkan kader pejuang “Jacob Hendrik Prai”. Dan di Manokwari dimulai pada tahun 1964, yang digagas oleh Terianus Aronggear, berhaluan garis keras, memunculkan kader pejuang “Seth Jafeth Rumkorem”. 

Kedua faksi gerakan itu terbentuk setelah Indonesia mengambil alih kekuasaan atas wilayah geografi Nugini Barat (Papua Barat) dari Belanda melalui perjanjian New York 15 Agustus 1962. Perjanjian tanpa melibatkan Penduduk asli Papua, yang seharusnya melibatkan Anggota Nieuw Guinea Raad Representasi dari orang asli Papua yang telah terbentuk dan disah di Nederlands Nieuw Guinea pada saat itu.

Ketidak percayaan terhadap Perjanjian New York,15 Agustus 1962 mendorong munculnya faksi-faksi pejuang kemerdekaan di Papua Barat, baik itu melalui gerakan sipil kota, gerangan bawah tanah, hingga perlawanan bersenjata, dimulai pada tahun 1963 sampai dengan tahun 1969 dilaksanakannya Act of Free Choice. Dan hasil Act of Free Choice yang dinyatakan curang oleh parah pro kemerdekaan Papua Barat, melahirkan deklarasi Pemerintahan Revolusioner Negara Republik Papua Barat pada ,1 Juli 1971, wujud dari front perlawanan terbuka bangsa Papua Barat.

Deklarasi Pemerintahan Revolusioner Republik Papua Barat


Bendera Nasional Bangsa Papua Barat, Mendapat Pengakuan Negara Kerajaan Belanda dan dideklarasi pada, 1 - 12 - 1961.

Atas anjuran dan pertimbangan Nicolaas Jouwe kepada dua komandan OPM, Seth Jafeth Rumkorem dan Jacob Hendrik Prai, untuk Mendeklarasi Kemerdekaan Bangsa Papua Barat pada tahun 1971, maka niatan itu diwujudkan pada tanggal 1 Juli 1971, Seth Yafet Rumkorem dan Yacob Hendrik Prai mendeklarasikan Negara Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.

Pada tanggal 5 Februari 1973 dibentuk Pemerintahan Revolusioner Sementara Negara Republik Papua Barat.

Konflik Strategi antara Rumkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi dua faksi: Faksi Pembela Keadilan (PEMKA) dipimpin oleh Yacob Hendrik Prai dan Faksi Tentara Pembebasan Nasional (TPN) dipimpin oleh Seth Yafet Rumkorem. Perpecahan ini sangat mempengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang terpusat.dalam memperjuangkan pengakuan kemerdekaan bangsa Papua Barat.

Beranjak dari dukungan PNG, maka pada tahun 1972 dibentuklah di Port Moresby ibu kota PNG “Pemerintah Sementara Sorong-Samaray” dengat susunan kabinetnya terdiri dari:
(1). Perdana Menteri: Markus Kaisiepo (Belanda)
(2). Menteri Dalam Negeri: E.J.Bonay (Jayapura)
(3). Menteri Luar Negeri: Nicolaas Youwe (Belanda)
(4). Menteri Kesehatan: Fred Jirwa (Fiji)
(5). Menteri Pendidikan: T.H.Meset (Jayapura)
(6). Menteri Perdagangan: Mozes Weror (PNG)
(7). Menteri Pertanian Kaleb Taran (Jayapura)
(8). Menteri Keuangan: Amos .F.Indey (PNG)
(9). Menteri Negara: Titus Dansidan (Jayapura)
(10). Sekretaris Negara: B.Niccu (Belanda)
(11). Ketua DPR: Dirk.S.Ayamiseba (Jayapura)
(12). Ketua MPA: Herman Wayoi (Jayapura)
(13). Gubernur Nurban Papua: Ferry Josep Way (Jayapura)
(14). Duta untuk Autralia: Clemens Runaweri (Australia)
(15). Duta untuk Belanda: Kerkya Jomungge (Jayapura)
(16). Duta untuk Jerman Barat: Silas Tokoro (Jayapura)
(17). Duta untuk Israel: Nataniel Maidepa (Jayapura)
(18). Duta untuk Inggris: Dorinus.R.Maury (PNG)

Mengenai susunan kabinet itu setelah di konfirmasikan dengan beberapa tokoh yang termasuk namanya tercantum dan berdomisili di Jayapura (Papua), mereka merasa ditodong tanpa sepengetahuan mereka, sehingga mereka harus berurusan dengan pihak keamanan Indonesia untuk membersihkan diri. Dan mereka tidak menyalahkan OPM di PNG, sebab mereka dikenal sebagai tokoh masyarakat Papua.

Selain itu dibentuk “Komite Kemerdekaan Papua Barat” yang di ketuai oleh “Nicolaas Youwe” dan juga dibentuk “Front Nasional Papua Barat” yang diketuai oleh “Markus Kaisiepo”. Tujuan Youwe untuk mendirikan Negara Papua Barat dan Kaisiepo mendirikan Negara Federasi Melanesia yang meliputi Papua Barat dan Maluku, kedua organisasi ini berkedudukan di Belanda.

Kelanjutan dari proklamasi 1 Juli 1971, pada tanggal 5 Februari 1973 Rumkorem melengkapi The Provisional Government of Republik West Papua yang berkedudukan di markasnya (Victoria) dengan susunan kabinet yang terdiri dari 6 orang. Dan pada tahun 1976, Rumkorem merubah kabinetnya dari 6 orang maenjadi 10 orang, dan membentuk “Kabinet Pemerintahan Revolusioner Sementara Negara Republik West Papua”, yang susunan kabinetnya diumumkan 6 orang dan 4 orang tidak diumumkan dengan alasan keamanan dan kesematan diri mereka.

Susunan Kabinet Pemerintahan Revolusioner Sementara Negara Republik West Papua terdiri dari:
(1). Menteri dan Perdana Menteri: Brigjen Seth Jafet Rumkorem
(2). Menteri Pertahanan: Robert Uria Yoweni
(3). Menteri Luar Negeri: Bernard.M.R Tanggahma
(4). Menter Kehakiman: Amos.F Indey
(5). Menteri Kesehatan: Dorinus .R Maury
(6). Menteri Keuangan: Tan Seng Thei

Juga dibentuk Badan Senat Revolusioner Sementara yang beranggotakan 35 orang yang diketuai oleh Jakob Hendrik Prai dibantu oleh Wakil Ketua I Luis Nussi dan Wakil Ketua II Anton Numbum. Ketua Senat disebut Presiden Senat dan waikl-wakilnya disebut Wakil Presiden Senat. Setelah terbentuk Kabinet Pemerintahan Revolusioner dan Badan Senatnya, pada bulan November 1976 terjadi pertentangan antara Ketua Senat dan Presiiden, sehingga ketua senat menggunakan kewenangannya yang diatur oleh Undang-undang dasar melakukan pemecatan terhadap Seth J Rumkorem selaku Presiden pemerintahan revolusioner sementara negara republik West Papua, serta melakukan penahanan terhadap dua menteri kabinetnya (Amos.F Indey dan Dorinus.R Maury).

Selanjutnya Ketua Senat Revolusioner sementara Negara Republik West Papua Jacob.H.Prai memberikan mandat kepada Nicolaas Youwe di Belanda untuk membentuk kabinet baru, namun mandat tersebut ditolak dengan alasan strategis dan menganjurkan damai antara Prai dan Rumkorem.

Perbedaan pendapat kedua tokoh eksil politik Papua Kaisiepo dan.Youwe mengenai strategi yang harus ditempuh oleh OPM untuk mencapai tujuannya melalui diplomasi poltik di dunia internasional, sangat mempengaruhi faksi-faksi pejuang dalam negeri di Papua Barat, yaitu garis keras diibawah komando Markus Kaisiepo dan yang berhaluhan moderat dibawah komando Nicolaas Youwe..

Markus Kaisiepo adalah presiden pertama dari pemerintah Papua Barat di pengasingan menganut garis keras dimana ia berpendapat bahwa OPM harus menggunakan senjata untuk mencapai tujuannya, oleh karena itu Kaisiepo mendorong OPM untuk bekerja sama dengan sebuah yayasan di negeri Belanda yang selama ini membiayai pemeritahan RMS di pengasingan dibawah pimpinan Ir.Manusama. Dan sebaliknya Youwe berusaha menjauhkan OPM dari RMS dan menempuh jalan diplomasi dengan kalangan Internasional.

Kemajuan OPM didunia internasional terutama di negara-negara Afrika pada tahun 1970-an dibawah pengaruh kedua tokoh muda OPM “Ben Tanggahma dan Saul Hindom yang menganut paham Neo-Marxis, berhasil menarik simpati melalui kampanye politiknya budaya negrito berhasil membuka kantor penerangan OPM di Dakkar 1975, dan selanjutnya dibuka perwakilan OPM di Sinegal 1976, yang bertahan hingga 1984.

Suatu keberhasilan kemajuan kampanye politik OPM di dunia internasiaonal pada tahun 1970-an mengalami kemunduran dan kehilangan dukungan di kawasan Afrika dan kawasan lainnya di dunia internasional pada tahun 1980-an, dampak dari perbedaan pendapat para pentolan senior OPM tentang strategi OPM untuk mencapai tujuannya. Perbedaan pendapat yang melebar mengakibatkan perpecahan di dalam tubuh OPM, dan selain itu para pentolan OPM-pun termakan usia tanpa adanya kaderisasi politik dalam tubuh OPM.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat

Pemimpin Gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Jenderal Goliat Tabuni (topi merah) bersama komandan operasi Lekagak Telenggeng.

Mengungsinya dua tokoh OPM, Seth Jafeth Rumkorem ke Yunani dan Jacob Hendrik Prai ke Swedia pada tahun 1983, maka kegiatan Rumkorem dengan markasnya Victoria yang ditinggalkan dilanjutkan dibawah Pimpinan “Uria Robert Yoweni” (Group Victoria), sedangkan kegiatan Pray dilanjutkan oleh “Otto Ondowame, Marten Tabu, Elky Bemey, dan James Nyaro (Group Pemka). Dan setelah kedua perlawanan bersenjata itu bergabung pada tahun 1984 dibawah payung militer bernama “Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL) dibawah pimpinan James Nyaro, dan wilayah perbatasan menjadi basis gerilya dan PNG dijadikan tempat mobilisasi para pengungsi penduduk di perbatasan yang terkena dampak dari operasi militer Indonesia, bagian dari kampanye politik OPM.

TPN yang berubah nama ke TEPENAL yang kemudian menjadi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) adalah sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Victoria. Pembentukan TPNPB adalah Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan. Dan sejak 2012 melalui reformasih TPN, Goliath Tabuni diangkat menjadi Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

Goliath Tabuni adalah panglima tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Goliath Tabuni bermarkas di Tingginambut Puncak jaya Papua. Pada tahun 2004 mulai beraksi melawan pemerintah di wilayah tersebut. Pada awalnya Jenderal Goliath Tabuni berjuang bersama Kelly Kwalik di Timika yang bermarkas di Kali Kabur.

Pada saat terjadi penyanderaan Tim Peneliti di Mapenduma, Goliath Tabuni mash sebagai anggota dari Kelik Kwalik, dan selanjutnya dia pindah ke Puncakjaya memimpin pasukan dan mulai beraksi pada 2004 sampai saat ini. Goliath Tabuni memimpin perang di puncak jaya dengan sistem strategi gerilya.

ULMWP
Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menyatukan tiga gerakan kemerdekaan politik utama yang memperjuangkan kemerdekaan Nugini Barat (Papua Barat) di bawah organisasi payung tunggal. ULMWP dibentuk pada 6 Desember 2014 di Vanuatu dengan menyatukan Republik Federal Papua Barat (Federal Republic of West Papua, NRFPB), Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat (West Papua National Coalition for Liberation, WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat (National Parliament of West Papua, NPWP).

Perbedaan pendapat yang berkembang tentang penolakan TPNPB dalam tubuh ULMWP, harus dikaji secara organisatoris dan mengidentifikasi latar belakang terbentuknya West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) yang dibentuk pada 1 Desember 2005 di PNG yang mewadahi 28 organisasi pembebasan West Papua di Luar Negeri (di seluruh dunia). Yang pengurusnya pada saat itu (dibentuk) terdiri dari para pentolan sayap militer TPNPB, yaitu Mr.Richard H Yoweni dari Group Victoria menjabat Ketua Kongres dan pentolan politik Pemka Jhon Otto Ondowame menjabat Wakil Ketua Kongres.
[Referensi: Data Pribadi Penulis dari berbagai catatan sejarah Perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM)]

Pandangan Penulis:

(1). Konstitusi sementara Republik Papua Barat secara de yure masih berlaku, sehubungan dengan keberadaan (esksistensi) Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) – yang terbentuk berdasarkan kontitusi itu, walaupun secara de facto Pemerintahan Revolusioner Sementara Negara Republik West Papua tidak menunjukkan eksistensinya.

(2). ULMWP adalah “Mesin Politik” yang berfungsi mengakomodir, menyatukan dan menggerakkan semua elemen pejuang kemerdekaan West Papua, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri, terutama memposisikan kembali, mendorong kearah kemajuan dan mengaktifkan kebuntutan yang terjadi dalam kampanye politik maupun Diplomasi politik lewat Negara pendukung kemerdekaan West Papua di dunia internasional, yang disebabkan oleh perpecahan dan miskomunikasi dalam tubuh OPM antara para pentolan politiknya. Jadi ULMWP merupakan alat penghubung yang menyatukan dan menghidupkan kembali semua elemen perjuangan kemerdekaan West Papua yang selama ini berada dalam suasana perpecahan yang didasari oleh beda pendapat.

(3). Secara de yure ULMWP terbentuk di luar dari Konstitusi Sementara Negara Republik West Papua tahun 1971, Dan ULMWP terbentuk untuk menjawab kekosongan peran politik yang selama itu dijalankan oleh OPM (1960-an – 2000-an), dan peran ULMWP tidak bisa terlepas sebagai pengganti OPM yang mewadahi TPNPB, dan faksi-faksi politik di dalam negeri maupun di luar negeri, dan menjadi alat diplomasi politik resmi bangsa Papua di dunia internasional. Sehingga Peran TPNPB di dalam ULMWP sangat Jelas, yaitu “Sayap Militer” yang terpisah dari sayap politik.
Secara de facto semua faksi pejuang yang mempunyai misi dan Visi memperjuangkan kemerdekaan politik membentuk sebuah Negara merdeka West Papua telah berada dibawah payung ULMWP. Dan yang perlu dicatat bahwa, apapun bentuk negara dan konstitusi yang melandasi berdirinya sebuah Negara merdeka West Papua, harus melalui konsesus bersama dengan tidak meninggalkan nilai-nilai luhur bangsa Papua.

(4). Kontitusi Sementara Negara Republik Papua Barat 1971 harus menjadi landasan amandemen untuk menyatukan sayap militer dan sayap politik dalam satu wadah perjuangan yang disebut “ULMWP”, mengingat keberadaan OPM secara de facto saat ini tidak menunjukkan eksistensinya, sehingga langkah strategis harus ditempuh guna memayungi TPNPB. Dan jika hal itu tidak direspon dengan baik, maka konsekuensinya akan menciptakan konflik intern ke depan dalam barisan perjuangan kemerdekaan West Papua.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.


 

Selasa, 09 April 2024

Upaya Menghindari Tanggungjawab Terhadap Korban Rakyat Sipil di Papua Barat.

Oleh: Kristian Griapon




Inti dari surat telegram rahasia Panglima TNI yang di tujukan kepada Pangdam XVII Cenderawash-Papua dan Pangdam XVIII Kauari-Papua Barat, yang menyebar ke publik berkaitan dengan nomenklatur atau penyebutan   resmi untuk para pejuang kemerdekaan bangsa Papua Barat, dapat dilihat sebagai bentuk kontra persepsi (beda pandangan) diantara lembaga penyelenggara Negara, baik itu Pemerintah Pusat maupun DPR-RI dalam menangani.konflik politik bersenjata di Papua Barat. 

TNI sebagai institusi negara yang memikul tanggungjawab dalam mempertahankan eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kini telah berada dalam situasi dilematis berkaitan dengan berbagai kasus tindakan eksesif yang dilakukan oleh para prajurit yang ditugaskan di Papua Barat yang kini telah menjadi sorotan komunitas internasional terhadap kejahatan genosida di Papua Barat.

Situasi dilematis dimaksud sebagai berikut:
Sejak awal TNI telah menyatakan pemberontakan yang terjadi di Papua Barat pada tahun 1965, adalah perlawanan politik bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dalam perkembangannya setelah PEPERA tahun 1969, oleh  Penguasa Negara di Indonesia menstigma  perlawanan bangsa Papua Barat dengan sebutan Gerombolan Pengacau Liar (GPL), Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan yang terakhir diumumkan oleh Pemerintah RI melalui Menkopolhukam RI, pada tahun 2021, bahwa perlawanan politik bersenjata Organisasi Papua Merdeka yang dibawah kendali TPNPB-OPM adalah "Kelompok Teroris Papua".

Berbagai stigma diatas, merupakan bagian dari isu yang sengaja dikembangkan ke publik guna menutupi fakta yang sebenarnya terjadi di Papua Barat setelah PEPERA tahun 1969, yang mengarah pada kejahatan genosida terhadap penduduk asli Papua di wilayah geografi Papua Barat.

Jika yang dihadapi di Papua Barat kelompok kriminal bersenjata, atau teroris, tentu saja itu adalah tugas kepolisian, lain halnya dengan perlawanan politik bersenjata untuk mendirikan sebuah negara terpisah dari negara induk, tentu saja itu menjadi ranah militer.

Masalahnya dari berbagai kasus eksesif terhadap manusia (kejadian luar biasa diluar batas kemanusiaan) yang menonjol dan terjadi di Papua Barat, aktornya adalah TNI, dan masalahnya telah menjadi komsumsi publik komunitas internasional, serta memberi pesan telah terjadi darurat militer di Papua Barat.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.





 

Minggu, 31 Maret 2024

Salah langkah Pemerintah Republik Indonesia, Penyelesaian Konflik Papua Barat Berujung Pada Taruhan Kemerdekaan Papua Barat. 



Oleh: Kristian Griapon

Dampak dari penggunaan alat kekuasaan negara (TNI-POLRI) yang berlebihan dan di luar kontrol Negara di Papua Barat, telah mengakibatkan tindakan eksesif terhadap warga sipil penduduk asli Papua, yang berujung pada kejahatan genosida (the crimes of genocide) di wilayah geografi Papua Barat.

Jejak Kasus Perlakuan Diluar Batas Kemanusiaan Dimasa Transparansi Digital

Pada tahun 2020 militer Indonesia menangkap dua warga sipil kakak beradik di Sugapa Kabupaten Intan Jaya Papua Barat, mereka disiksa dan dibunuh, serta jasadnya di bakar dan debunya dibuang ke sungai. https://www.benarnews.org/indonesian/berita/papua-tentara-akui-bunuh-2-warga-12232020152300.html

Pada tahun 2022, militer Indonesia menangkap, maembunuh, serta memutilasi empat warga Papua di Timika Papua., dan bagian-bagian jasad yang dimutilasi dibuang kesungai. https://www.hrw.org/id/news/2022/09/02/indonesian-soldiers-arrested-killing-4-papuans

Pada tahun 2024 publik dihebohkan oleh beredarnya video singkat penyiksaan warga siplil Papua di Kabupaten Puncak Papua oleh sejumlah prajurit militer Indonesia. https://www.rnz.co.nz/international/pacific-news/512631/committed-to-human-rights-indonesia-says-west-papua-torture-incident-deeply-regrettable

Dari berbagai kasus tindakan militer Indonesia di Papua Barat, dua kasus mutilasi dan penyiksaan di dalam drum telah memberi sinyal kuat kepada masyarakat internasional tentang adanya darurat militer di Papua Barat, perlakuan sewenang-wenang, pembunuhan diluar hukum dan impunitas alat kekuasan Negara di Papua Barat, yang dikategorikan kejahatan genosida (the crimes of genocide)

Dikategorikan kejahatan genosida (the crimes of genocide) merujuk pada, adanya niat dan tindakan, pola data (kejadian yang berulang kali dalam berbagai peristiwa), sistimatis (menyebar luas dan berulang-ulang), dibawah kendali komando efektif (terstruktur dalam hubungan kerja yang jelas antara pembuat kebijakan dan pelaksana dalam satu garis komando), dengan tujuan (target) pemusnahan seluruh atau sebagian suatu etnik dan budaya/agama di suatu wilayah geografi.

Di era transparansi digital, Jakarta sudah tidak bisa lagi menggunakan cara-cara kuno untuk menyelesaikan masalah Papua Barat yang telah berakar, bertumbuh subur  dan menjalar luas ke penjuru dunia. Dan kesalahan  langkah pemerintah Republik Indonesia terdahulu dalam penyelesaian konflik Papua Barat, kini taruhannya mahal, yang berujung pada  kemerdekaan Papua Barat.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat

Kamis, 07 Maret 2024

Negara Lalai Memberi Jaminan Hak Hidup, Serta Perlakuan Sewenang-Wenang Terhadap Rakyat Papua Barat, Mengaktifkan Hak Kemerdekaannya.

Gambar Ilustrasi: Operasi Militer Indonesia di Papua Barat

By:Kristian Griapon

Hak kemerdekaan suatu kelompok etnik dan budaya di sebuah wilayah geografi yang dikuasai oleh sebuah Negara merdeka (prinsip erga omnez), sifatnta pasif. Namun ketika Negara yang bersangkutan lalai memenuhi kewajibannya memproteksi kelompok etnik dan budaya yang dikuasainya, terutama lalai memberikan jaminan perlindungan terhadap hak hidup, serta perlakuan sewenang-wenang diluar aturan hukum Negara, maka hal itu dengan sendirinya akan mengaktifkan hak kemerdekaan yang sifatnya pasif, disitulah terjadi pemberontakan kemerdekaan.

Konteks diatas menunjuk pada wilayah geografi New Guinea Bagian Barat (Papua Barat), Indonesia sebagai Negara yang diberi mandat proteksi berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 untuk mengolah Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat dan Memproteksi Penduduk Aslinya, namun yang terjadi, tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan perlakuan sewenang-wenang diluar aturan hukum negara (impunitas alat kekuasaan Negara), yang terjadi di Papua Barat.

Oleh karena itu perjuangan kemerdekaan rakyat papua barat sah berdasarkan prinsip erga omnez, dan masuk dalam entitas subjek hukum internasional, sehingga dengan sendirinya menimbulkan hak dan kewajiban internasional yang harus dipahami, diperhatikan dan ditaati olah para pejuang kemerdekaan Papua Barat, baik itu kombatan politiknya maupun kombatan militernya, terutama yang berkaitan dengan  hukum publik internasional dan hukum humaniter internasional.

Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Papua Barat memiliki hak untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan masyarakat interternasional, dalam memperjuangkan hak kelompok etnik dan budaya di sebuah wilayah geografi untuk mendirikan sebuah Negara berdaulat (prinsip erga omnez), guna melindungi seluruh bangsa Papua Barat dan wilayah geografinya yang masuk dalam wilayah kedaulatan negara.

Pada era globalisasi setelah perang dinging, perjuangan rakyat Papua Barat yang telah berlangsung dan bertahan sejak tahun 1961 harus diakhiri melalui jalan perundingan damai antara rakyat Papua Barat dengan penguasa negara Republik Indonesia, Karena perjanjian antara negara Indonesia dan Belanda diluar konteks rakyat Papua Barat tidak menyelesaikan masalah, justru telah menyulut konflik yang berkepanjangan dan melahirkan kejahatan kemanusiaan terhadap orang-orang Papua Barat di wilayah New Guinea Bagian Barat.(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

 

.

Minggu, 03 Maret 2024

Pribumi Papua Masuk Dalam Entitas Subjek Hukum Internasional

By: Kristian Griapon

Orang-orang Papua Barat masuk dalam entitas subjek hukum internasional, karena adanya perjuangan kemerdekaan Papua Barat, yang masih bertahan, berlanjut dan berkembang hingga ke dunia internasional dengan organisasi perjuangannya yang jelas.(TPNPB-OPM dan ULMWP).

Papua Barat Ibarat api dalam sekam peri bahasa klasik orang melayu, dalam pengertian integrasi wilayah geografi New Guinea Bagian Barat/Papua Barat belum final, sehingga para penguasa Jakarta jangan keliru dengan penafsiran politiknya “Papua Barat sudah final di dalam NKRI”.

Kita tidak bisa selamanya berada dan bertahan dalam situasi, kondisi dan pemahaman klasik (Kuno), karena perkembangan dunia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mendorong manusia beranjak dari peradaban kuno ke peradaban modern, manusia telah memposisikan manusia sebagai manusia, dimana manusia yang satu sama derajatnya dengan manusia yang lainnya, tidak memandang etnik dan budaya.

Perubahan peradaban dunia mendorong evolusi perkembangan hukum internasional ke arah kedaulatan Negara tidak bersifat mutlak, dibatasi oleh hubungan internasional, sehingga hubungan antar Negara menjadi kebutuhan timbal-balik dan saling melengkapi yang tidak bisa di hindari oleh Negara manapun di dunia.

Subjek hukum internasional yang dulu berada dan terfokus pada lembaga Negara, kini telah berkembang dan bertambah ke lembaga non-negara dan individual, sehubungan dengan evolusi perkembangan hukum internasional yang didorong oleh perkembangan dalam hubungan internasional yang dilandasi moralitas tinggi.

Orang asli Papua yang merupakan salah satu kelompok etnik dan budaya yang mendiami wilayah geografi New Guinea bagian Barat sudah tidak bisa dipandang sebelah mata oleh orang-orang Indonesia. Karena perubahan jaman telah mengangkat dan memposisi orang asli papua bagian dari masyarakat global, sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan manusia lainnya di dunia.

Kebenaran tentang jadi diri dan keberadaan orang asli Papua yang telah ditutupi sejak Indonesia mengambil alih kekusaan atas wilayah New Guinea Bagian Barat, kini telah terbuka ke publik dan menjadi pemandangan umum di dunia internasional.(Kgr)

Rabu, 21 Februari 2024

Zionisme Menjadi Spirit Lahirnya Negara Israel  Bagi Orang-Orang Yahudi

Oleh: Kristian Griapon, Februari 21, 2024

Abstrak

Persoalan dasar konflik di Timur Tengah berada pada pergolakan kaum Sunni  dan kaum Syiah yang telah berakar, lahir, bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan penyebaran agama islam di Timur Tengah, kawasan yang lazim disebut Jazirah Arab. Yudaisme atau agama Yahudi adalah sebuah agama Abrahamik, monoteistik, dan etnis yang terdiri dari tradisi dan peradaban agama, budaya, dan hukum kolektif orang-orang Yahudi, yang berakar sebagai agama terorganisir di Jazirah Arab selama Zaman Perunggu, berkembang hingga kini. Jadi sejak pembuangan orang-orang Yahudi ke Babilonia pada masa raja Nebukadnesar II, dan dijadikan kaum perbudakan, mereka telah beradaptasi  dan membaur di Jazirah Arab dari masa ke masa dan tetap mempertahankan ideology Yudaisme, yang bersumber pada generasi Abraham. Dalam perkembangan Islam di Jazirah Arab dan sekitarnya setelah Nabi Muhammad, walaupun mereka telah diislamkan pada saat pengaruh islam berkembang di Jazirah Arab, namun ideology Yudaisme tetap dipertahankan.

Kata kunci: Sunni dan Syiah-Yahudi dan Yudaisme, di Tengah Peradaban Islam.


I.  Latar Belakang Konflik di Timur Tengah

Dilansir dari editorial Jerusakem Center for Public Affairs, edisi 27 April 2012-Perpecahan awal antara Sunni dan Syiah muncul dari pertanyaan pada abad ketujuh tentang siapa yang akan menjadi penerus Nabi Muhammad. Kaum Sunni percaya pada tradisi Arab dimana para tetua suku memilih anggotanya yang paling dihormati untuk memimpin mereka, sebagai khalifah komunitas Muslim. Kaum Syiah memilih menantu Muhammad, Ali, dan menghormati keturunannya sebagai imam komunitas Muslim. Kesyahidan putra Ali, Hussein, dalam pertempuran melawan Kekhalifahan Ummayad yang dipimpin Sunni merupakan salah satu peristiwa keagamaan terpenting bagi Islam Syiah.

Belakangan, perbedaan mengenai siapa penerus Muhammad yang sah berkembang menjadi perbedaan teologis dan bahkan mempunyai implikasi strategis-militer ketika Sunni dan Syiah mengambil kendali kerajaan Islam yang bersaing. Persaingan Sunni-Syiah meningkat ke tingkat yang baru dengan berdirinya Kekaisaran Safawi pada tahun 1501, ketika Islam Syiah menjadi agama negara Persia, di bawah kepemimpinan Shah Ismail. Kekaisaran Syiah Safawi mengobarkan perang dengan Kekaisaran Ottoman Sunni dan, hingga hari ini, Muslim Sunni mengklaim bahwa karena Syiah “menikam Ottoman dari belakang” mereka tidak pernah bisa melewati gerbang Wina dan menaklukkan seluruh Eropa dalam waktu singkat, atas. nama Islam.

Pada saat itulah kaum Yahudi di Iran yang berada dibawah kekuasaan kaum Syiah jauh lebih menderita daripada kaum Yahudi yqng berada di bawah kekuasaan kaum Sunni, di mana Kesultanan Utsmaniyah menyambut pengungsi Yahudi dari Spanyol, yang melarikan diri dari Inkuisisi. Sebaliknya saat itu, ulama Syiah di Iran mengembangkan gagasan bahwa “Yahudi adalah sumber kenajisan ritual”. Jadi jika seorang Yahudi menyentuh sepotong buah di pasar di Teheran, maka buah tersebut tidak dapat dimakan lagi oleh orang Syiah.

Shah Abbas (1571-1629) menuntut agar buku-buku Ibrani dibakar; pada satu titik dia memutuskan bahwa orang-orang Yahudi masuk Islam atau dihukum mati. Dia menarik diri dari dekrit ini, namun idenya bertahan di Persia. Pada tahun 1839, orang-orang Yahudi di Masyhad diberi pilihan untuk masuk Islam atau mati, dan banyak yang secara lahiriah menjadi Muslim, sambil tetap mempertahankan Yudaisme mereka secara pribadi.

Bagaimana kalau hari ini? Dengan bangkitnya Ayatollah Khomeini, sikap anti-Yahudi kembali menonjol di Iran. Dalam bukunya “Pemerintahan Islam,” Khomeini menulis: “Kita harus memprotes dan menyadarkan masyarakat bahwa orang-orang Yahudi dan pendukung asing mereka menentang dasar-dasar Islam dan ingin membangun dominasi Yahudi di seluruh dunia.” Mengingat pandangannya terhadap orang-orang Yahudi, tidak mengherankan jika pada tahun 1979 ia menyebut Israel sebagai “pertumbuhan yang bersifat kanker di Timur Tengah,” dan menambahkan bahwa “setiap Muslim mempunyai kewajiban untuk mempersiapkan diri untuk berperang melawan Israel.”

Pernyataan mengenai Israel sebagai “tumor” atau sumber penularan telah digunakan oleh Ayatollah Khamenei dan tokoh lainnya saat ini. Ulama radikal Iran yang memberikan indoktrinasi agama kepada Garda Revolusi, seperti Ayatollah Mesbah Yazdi, mengatakan bahwa Yahudi adalah sumber korupsi global. Ayatollah Nur-Hamedani, dosen Garda Revolusi lainnya, mengatakan bahwa orang-orang Yahudi harus ditaklukkan untuk mempersiapkan kedatangan Imam Tersembunyi.

Apakah doktrin-doktrin Iran ini menjadikan Islam Syiah sebagai masalah utama Israel? Kelompok Syiah di Lebanon selatan sebenarnya membantu permukiman Yahudi di utara sebelum tahun 1948 dan melawan PLO bersama Israel pada awal tahun 1980an, sebelum bangkitnya Hizbullah. Pemimpin Syiah Irak, Ayatollah Ali Sistani, menolak ekstremisme Iran dan menulis di situsnya bahwa Yahudi dan Kristen adalah suci secara ritual. Sistani jauh lebih dihormati oleh kelompok Syiah di seluruh dunia dibandingkan Khamenei.

Terlebih lagi, pihak Sunni mempunyai sejarah bermasalah dengan orang-orang Yahudi yang tidak boleh dilupakan. Selama berabad-abad, orang-orang Yahudi sebagian besar merupakan warga negara kelas dua, yang membayar pajak yang diskriminatif seperti jizya (pajak pemungutan suara) dan sesekali mengalami kekerasan tanpa pandang bulu, seperti pogrom yang terjadi di Fez, Maroko (1912), Bagdad, Irak (1941), Tripoli , Libya (1945) dan Aleppo, Suriah (1947).

Sejak berdirinya pada tahun 1928, ideologi Ikhwanul Muslimin selalu memicu sikap anti-Israel di pihak Sunni. Namun kini dengan adanya “Musim Semi Arab”, ideologi Ikhwanul Muslimin menyebar seiring dengan intoleransi Salafi terhadap non-Muslim, termasuk umat Kristen Timur Tengah, yang semakin banyak yang meninggalkan wilayah tersebut. Israel harus membela kepentingan nasionalnya di Timur Tengah, terutama mengingat meningkatnya ancaman Iran untuk mengembangkan senjata nuklir. Namun mereka tidak boleh terlibat dalam perjuangan Sunni-Syiah berdasarkan stereotip yang salah dari kedua belah pihak

Pernyataan mengenai Israel sebagai “tumor” atau sumber penularan telah digunakan oleh Ayatollah Khamenei dan tokoh lainnya saat ini. Ulama radikal Iran yang memberikan indoktrinasi agama kepada Garda Revolusi, seperti Ayatollah Mesbah Yazdi, mengatakan bahwa Yahudi adalah sumber korupsi global. Ayatollah Nur-Hamedani, dosen Garda Revolusi lainnya, mengatakan bahwa orang-orang Yahudi harus ditaklukkan untuk mempersiapkan kedatangan Imam Tersembunyi.

Apakah doktrin-doktrin Iran ini menjadikan Islam Syiah sebagai masalah utama Israel? Kelompok Syiah di Lebanon selatan sebenarnya membantu permukiman Yahudi di utara sebelum tahun 1948 dan melawan PLO bersama Israel pada awal tahun 1980an, sebelum bangkitnya Hizbullah. Pemimpin Syiah Irak, Ayatollah Ali Sistani, menolak ekstremisme Iran dan menulis di situsnya bahwa Yahudi dan Kristen adalah suci secara ritual. Sistani jauh lebih dihormati oleh kelompok Syiah di seluruh dunia dibandingkan Khamenei.

Terlebih lagi, pihak Sunni mempunyai sejarah bermasalah dengan orang-orang Yahudi yang tidak boleh dilupakan. Selama berabad-abad, orang-orang Yahudi sebagian besar merupakan warga negara kelas dua, yang membayar pajak yang diskriminatif seperti jizya (pajak pemungutan suara) dan sesekali mengalami kekerasan tanpa pandang bulu, seperti pogrom yang terjadi di Fez, Maroko (1912), Bagdad, Irak (1941), Tripoli , Libya (1945) dan Aleppo, Suriah (1947).

Sejak berdirinya pada tahun 1928, ideologi Ikhwanul Muslimin selalu memicu sikap anti-Israel di pihak Sunni. Namun kini dengan adanya “Musim Semi Arab”, ideologi Ikhwanul Muslimin menyebar seiring dengan intoleransi Salafi terhadap non-Muslim, termasuk umat Kristen Timur Tengah, yang semakin banyak yang meninggalkan wilayah tersebut. Israel harus membela kepentingan nasionalnya di Timur Tengah, terutama mengingat meningkatnya ancaman Iran untuk mengembangkan senjata nuklir. Namun mereka tidak boleh terlibat dalam perjuangan Sunni-Syiah berdasarkan stereotip yang salah dari kedua belah pihak.

II. Orang-Orang Yahudi Diaspora di Eropa dan Zionisme

Zionisme Internasional pertama kali didirikan di New York pada 1 Mei 1776 atau dua bulan sebelum deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat di Philadelphia. Perkumpulan Dewan Senat Yahudi lewat undangan Kaisar Napoleon Bonaparte lantas menjadi momen intim bersatunya bangsa Yahudi dalam skala besar di dunia Internasional.

Zionisme berasal dari kata dasar Zion, yang artinya Yerusalem. Zionisme merupakan aktualisasi dari ideology Yudaisme yang dikembangkan dalam peradaban modern, mempersatukan orang-orang Yahudi di seluruh dunia dalam rangka membentuk Negara Israel yang merdeka dan berdaulat untuk melindungi seluruh bangsa Yahudi di Yerusalem dan sekitarnya, tempat dibentuk Negara Israel yang merdeka dan berdaulat.

Orang-orang Yahudi Eropa menjadi bagian dari terbentuknya Negara Amerika Serikat, sama halnya orang-orang Inggris menjadi bagian dari terbentuknya Negara Australia dan Selandia Baru. Jadi pendekatan itu menjadi ikatan emosional yang kuat dalam prinsip saling melindungi Negara dan Bangsa dari ancaman pihak asing.

Zionisme bukan aliran atau paham suatu kelompok, sebenarnya Zionisme adalah landasan idiil berdirinya sebuah Negara Israel yang melindungi seluruh tanah tumpah darah bangsa Yahudi, sehingga siapapun yang berada di dalam system ketatanegaraan Israel, ia wajib membela Negara dan mempertahankan teritorialnya. Jadi tindakan PM.Netanyahu untuk melindungi bangsa dan Negara Israel dari serangan Hamas dan kelompok ekstrim lainnya, itu beralasan pada prinsip Zionisme, dan hal yang sama juga berlaku pada Amerika Serikat atas pembelaannya terhadap Negara Israel dan Bangsa Yahudi, yang didasari pada hubungan emosional.(Kgr)

 

                                                                                       

 

 


Minggu, 11 Februari 2024

 

Penafsiran Resolusi MU-PBB 1752 Dan 2504 Terkait Papua Barat Sudah Atau Belum Final Di Dalam NKRI

Oleh: Kristian Griapon, Februari 13, 2024

A.Tinjauan Hukum Internasional

Bukan rahasia umum, Orang-orang Papua Barat dihadapkan pada pernyataan yang sifatnya menteror mental untuk meredup semangat juang mereka dengan pernyataan politik, “Papua Barat sudah final di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Resolusi MU-PBB 2504”.

Pernyataan yang sifatnya menteror mental itu pada umumnya terucap melalui Pejabat Negara Republik Indonesia, para politisi dan akademisi, baik di tingkat pusat maupun di daerah dalam menghadapi setiap momen yang berkaitan dengan situasi dan kondisi perkembangan politik di wilayah geografi Papua Barat, terutama menghadapi tuntutan ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri Penduduk asli Papua’

Untuk melihat masalah Papua Barat sudah final atau belum final di dalam NKRI, terlebih dahulu penulis mengkaji prinsip-prinsip hukum internasinal dan kaidahnya, yaitu ‘dasar kebenaran yang menjadi pokok berpikir, bertindak, dsb, serta asas yang menjadi hukum, atau aturan (dalil) dalam Hukum Internasional (HI).

Prinsip-prinsip dan kaidah hukum internasional yang lahir dari organisasi-organisasi internasional, yang dituangkan dalam bentuk keputusan-keputusan, dipandang memiliki derajat dan daya mengikat yang sama dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional lainnya, yang bersumber dari statuta mahkamah internasional pasal 38.

Prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang ditetapkan PBB dituangkan dalam bentuk deklarasi: (1).Keputusan. (2).Rekomendasi, yang dikemas dalam bentuk Resolusi, wajib dan harus dilaksanakan baik oleh para anggota PBB, maupun badan-badan yang berada dibawah naungan PBB.

Dua keputusan PBB yang mempunyai kekuatan hukum internasional mengikat, yaitu:

I.    Resolusi yang bersifat deklarasi. Oleh Majelis Umum PBB.

Resolusi ini akan bertransformasi menjadi kebiasaan internasional, sehingga memiliki kekuatan hukum dan mengikat layaknya sumber hukum internasional lainnya. Proses transformasi disebut ‘Instan Customery Law’.

II.   Keputusan Dewan Keamanan PBB.

Keputusan Dewan Keamanan PBB mempunyai kekuatan hukum mengikat (legal binding) berdasarkan pasal 25 piagam dasar PBB. Keputusan-keputusan Dewan Keamanan PBB mempunyai dampak terhadap suatu Negara yang terlibat konflik, atau sengketa untuk mematuhi dan melaksanakannya, sehingga bagi Negara-negara yang melanggar akan diberikan sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam piagam dasar PBB.

Pengambilan keputusan di dalam system PBB pada umumnya tidak dapat dipisahkan antara Resolusi, Keputusan, atau Deklarasi. Namun ada kalanya dua keputusan dapat berdiri sendiri didalam hal yang menyangkut prosedur kerja yang dilihat secara kasus perkasus, dan tidak diatur secara khusus didalam aturan tata cara PBB.

Resolusi adalah suatu hasil keputusan dari suatu masalah internasional yang telah disetujui baik melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional, atau badan yang bersangkutan. Resolusi pada umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu: (1).Paragraph yang bersifat mukadimah (preambuler paragraph). (2).Paragraph yang bersifat operasional (operative paragraph).

Mengenai diberlakukan secara hukum (legal validity) sebuah resolusi PBB, tergantung dari penafsiran khusus. Dimana resolusi dimaksud telah bertransformasi menjadi kebiasan internasional, sehingga interpretasi hukumnya memiliki kekuatan hukum internasional yang mengikat,

Resolusi adalah ungkapan formal dari pendapat atau kehendak organ PBB. Dan Keputusan adalah bentuk tindakan formal lain yang diambil oleh badan-badan PBB. Keputusan pada umumnya menyangkut hal-hal prosedural, diantaranya: pemilihan, penunjukan, waktu dan tempat sesi pertemuan. Selain itu, juga digunakan untuk mencatat adopsi teks yang mewakili konsensus anggota organ tertentu.Resolusi dan Keputusan Majelis Umum memiliki status hukum yang sama.

Resolusi Majelis Umum mencerminkan pandangan Negara-negara Anggota PBB, memberikan rekomendasi kebijakan, menetapkan mandat kepada Sekretariat PBB dan badan-badan pembantu Majelis Umum, dan menjawab semua pertanyaan tentang anggaran PBB.

Dengan pengecualian keputusan mengenai pembayaran ke anggaran reguler dan pemeliharaan perdamaian PBB, resolusi/keputusan Majelis Umum tidak mengikat Negara-negara Anggota. 

Pelaksanaan rekomendasi yang menjadi kebijakan, yang tertuang dalam resolusi, keputusannya menjadi tanggung jawab masing-masing Negara Anggota. (Sumber: Buku Pegangan GA)

B. Penafsiran (Interpretasi) Resolusi MU-PBB 1752 Dan Resolusi MU-PBB 2504

B.1. Tinjauan Resolusi MU-PBB 1752

Resolusi Majelis Umum 1752 termasuk dalam bentuk Keputusan tindakan formal lain yang diambil oleh badan-badan PBB. menyangkut hal-hal prosedural, diantaranya: pemilihan, penunjukan, waktu dan tempat sesi pertemuan. Selain itu, juga digunakan untuk mencatat adopsi teks yang mewakili konsensus anggota organ tertentu.

Resolusi dan Keputusan Majelis Umum yang dibuat melalui tindakan formal lain yang diambil oleh badan-badan PBB, status hukumnya sama dalam hukum internasional.Sehingga resolusi 1752 memperkuat New York Agreement, 15 Agustus 1962 ke dalam hukum perjanjian internasional tentang pelaksanaan Act of Free Choice 1969 di West New Guinea.

Jadi kesimpulannya, Keputusan Penyelesaian Sengketa wilayah New Guinea Barat antara Indonesia dan Belanda yang ditangani langsung oleh Sekjen PBB, kasusnya berdiri sendiri didalam hal yang menyangkut prosedur kerja, dilihat secara kasus perkasus, dan tidak diatur secara khusus didalam aturan tata cara PBB. Dalam arti West New Guinea termasuk salahsatu wilayah sengketa antar Negara setelah perang dunia ke-2, berkenaan dengan piagam PBB pasal 76 (b), secara prosedur harus berada dibawah Dewan Perwalian PBB, namun ditangani langsung oleh Sekjen PBB.

Bentuk Resolusi MU-PBB 1752

Perserikatan Bangsa-Bangsa

Resolusi Majelis Umum 1752, Persetujuan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang Nugini Barat (Irian Barat)

Majelis Umum,

 Menimbang bahwa Pemerintah Indonesia dan Belanda telah menyelesaikan perselisihannya mengenai West New Guinea (Irian Barat),

 Mencatat dengan penghargaan atas keberhasilan upaya Penjabat Sekretaris Jenderal untuk mewujudkan penyelesaian damai ini,

 Setelah mengetahui Persetujuan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang Nugini Barat (Irian Barat), 9

1.   Mencatat Perjanjian;

2.   Mengakui peran yang diberikan kepada Sekretaris Jenderal dalam Persetujuan;

3.   Memberi kuasa kepada Sekretaris Jenderal untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya dalam Persetujuan.

rapat pleno ke-1127,
21 September 1962.

________________ 9 Catatan Resmi Sidang Umum, Sesi Ketujuh Belas, mata acara 89, dokumen A/5170, lampiran.

 

B.2. Tinjauan Resolusi MU-PBB 2504

Terpisah dari perdebatan kontroversial klausul New York Agreement, 15 Agustus 1962, pasal XVIII (d) tentang hak pilih bebas semua orang ali Papua yang memiliki hak pilih pada Act of Free Choice 1969,  berkaitan langsung dengan diadopsi resolusi majelis umum PBB 2504, maka penuliis memfokus interpretasinya pada hasil keputusan sidang MU-PBB ke-24, 19 November 1969, yang menghasilkan resolusi MU-PBB 2504, yang menjadi landasan hukum internasional bagi Indonsia membangun orang asli Papua dan mengolah sumber daya ekonomi di wilayah geografi New Guinea Barat.

I.    Preambule Resolusi MU-PBB 2504 menyatakan:

Mengingat resolusi 1752 (XVII) dari 21 September 1962, dst…

Mengingat juga keputusan dari 6 November 1963 dst…

Mengingat lebih lanjut bahwa pengaturan untuk tindakan pilihan bebas adalah tanggung jawab Indonesia dst...

Mengingat bahwa, sesuai dengan pasal XXI, ayat 2, kedua belah pihak untuk Persetujuan telah diakui hasil ini dan mereka mematuhi,

II.   Paragraph Operasional Resolusi MU-PBB 2504 menyatakan:

Memperhatikan bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasional, memberikan perhatian khusus terhadap kemajuan Irian Barat,dst…

1.Membawa catatan dari laporan Sekretaris Jenderal dst…

2.Menghargai setiap bantuan yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia dst…

Mencermati isi Resolusi MU-PBB 2504 yang tertuang dalam preambule maupun paragraph operasionalnya, tidak terurai kalimat yang menyatakan dengan tegas dan jelas, bahwa “New Guinea Barat terintegrasi dan, atau final di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sehingga pernyataan New Guinea Barat (Papua Barat) sudah final di dalam NKRI, adalah bentuk "Keterangan Palsu", artinya, penyampaian informasi ke publik bertentangan dan, atau tidak sesuai dengan isi Resolusi MU-PBB 2504 yang termuat dalam paragraph preambule dan paragraph operasionalnya.

Bentuk Resolusi MU-PBB 2504

Perserikatan Bangsa-Bangsa

Resolusi 2504 (XXIV). Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengenai Irian Barat (Irian Barat)

Majelis Umum,

Mengingat resolusi 1752 (XVII) dari 21 September 1962, di mana ia mencatat Perjanjian dari 15 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengenai Irian Barat (Irian Barat), 4 mengakui peran peran yang diberikan pada Sekretaris Jenderal dalam Perjanjian dan berwenang dia untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya di dalamnya,

Mengingat juga keputusan dari 6 November 1963 5 untuk mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal 6 pada penyelesaian United Nations Temporary Executive Authority di Irian Barat,

Mengingat lebih lanjut bahwa pengaturan untuk tindakan pilihan bebas adalah tanggung jawab Indonesia dengan saran, bantuan dan partisipasi dari perwakilan khusus Sekretaris Jenderal, sebagaimana diatur dalam Perjanjian,

Setelah menerima laporan tentang pelaksanaan dan hasil dari tindakan pilihan bebas 7 disampaikan oleh Sekretaris Jenderal sesuai dengan pasal XXI, ayat 1, Perjanjian,

Mengingat bahwa, sesuai dengan pasal XXI, ayat 2, kedua belah pihak untuk Persetujuan telah diakui hasil ini dan mematuhi mereka,

Memperhatikan bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasional, memberikan perhatian khusus terhadap kemajuan Irian Barat, mengingat kondisi spesifik penduduknya, dan bahwa Pemerintah Belanda, bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia, akan terus memberikan bantuan keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank Pembangunan Asia dan lembaga-lembaga PBB,

1. Membawa catatan dari laporan Sekretaris Jenderal dan mengakui dengan penghargaan pemenuhan oleh Sekretaris Jenderal dan wakilnya tugas yang dipercayakan kepada mereka di bawah Perjanjian 15 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang West New Guinea (Irian Barat);

2. Menghargai setiap bantuan yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa atau melalui cara lain kepada Pemerintah Indonesia dalam upaya untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan sosial dari Irian Barat.

Pleno 1813th,
19 November 1969

Kesimpulan Akhir

1,Sengketa wilayah New Guinea Bagian Barat (Papua Barat) antara Indonesia dan Belanda belum selesai (final), sehubungan dengan Resolusi MU-PBB 1752 yang telah menempatkan wilayah geografi New Guinea Bagian Barat ke dalam hukum perjanjian Internasional, dan walaupun New York Agreement, 15 Agustus 1962 diluar produk hukum perjanjian internasional konvesi Wina 1969 sehubungan dengan pasal 4 Non-Retroaktivitas. Namun demikian, prinsip-prinsip perjanjian Internasional universal tetap berlaku untuk New York Agreement, 15 Agustus 1962. Sehingga pelanggaran Act of Free Choice yang tidak mematuhi standar kebiasaan internasional dapat diselesaikan melalui mahkamah internasional (ICJ) berdasarkan Negara melalui tata cara ipso facto.

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional pasal 26 mencantumkan salah satu prinsip universal perjanjian internasional, yaitu " Pacta Sunt Servanda",.Artinya setiap perjanjian internasional yang berlaku mengikat para pihak kedalamnya, harus dilakukan perjanjian itu oleh mereka dengan itikad baik. Dan pasal 28-nya, menyatakan penerapan Non-Retroaktivitas perjanjian internasional berlaku untuk perjanjian yang tidak mengikat para pihak dan tindakan dan peristiwanya sudah tidak nampak lagi.

New York Agreement, 15 Agustus 1962 telah memenuhi standar hukum perjanjian internasional prinsip "Pacta Sunt Servanda". Sehingga asas Non-Retroaktivitas yang termuat dalam pasal 28 perjanjian internasional konvensi Wina 1969, tidak berlaku padanya (New York Agreement, 15 Agustus 1962).

2.Resolusi MU-PBB 2504 telah menghadapi jalan buntut dalam proses transformasi menjadi kebiaan internasional yang memiliki kekuatan hukum internasional, beralasan pada:

a.Telah terjadi pelanggaran Act of Free Choice pada tahun 1969’

   b.Telah terjadi Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat mengarah pada genosida, dan juga kejahatan ekosida

Poin (b) sangat bertentangan dengan misi PBB yang diembankan kepada Indonesia melalui Resolusi MU-PBB 2504, yaitu: mendorong kemajuan pembangunan ekonomi dan sosial, serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di New Guinea Bagian Barat (Papua Barat).(Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

 

Entri yang Diunggulkan

    MELIHAT DASAR   KONFLIK WILAYAH PAPUA BARAT   Oleh: Kristian Griapon, September 6, 2024. Pengantar: Era teknolgi digital memba...