Keterlibatan Pangeran Bernard Dalam Masalah Nugini Belanda
Pangeran Bernard dan Presiden AS John F Kennedy (1962)
AKHIR KISAH NUGINI BELANDA.
Empat puluh tahun
yang lalu, pada tanggal 20 Maret 1962, negosiasi dimulai di Amerika Serikat
tentang masa depan Nugini Belanda. Hal ini telah dibahas secara rahasia selama
lebih dari setahun oleh diplomat Belanda, Indonesia, dan Amerika. Yang lebih
rahasia lagi dan baru terungkap pada tahun 2002 sekarang adanya keterlibatan Pangeran
Bernhard, suami Ratu Kerajaan Belanda (Ratu Juliana) .
Pada tanggal 27
Desember 1949, Belanda memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun Nugini
bagian barat tetap dipertahankan berada di luar penyerahan kedaulatan RIS. Wilayah
ini diberi nama Nugini Belanda, daerah terpencil yang tetap berada di bawah
kekuasaan Den Haag untuk sementara waktu. Awalnya maksud dan tujuan Nugini
Belanda dijadikan daerah pemukiman bagi orang-orang Hindia Belanda yang tidak
mau tinggal di Indonesia yang baru merdeka, yang juga tidak diterima di Belanda. Pulau besar
itu, yang sebagian besar masih belum dijelajahi, adalah bagian terakhir dari koloni
belanda di Hindia timur, penduduknya merupakan orang Papua dan sangat
terbelakang.
Belanda mempertahankan
Nugini bagian barat dengan alasan: “mempersiapkan orang Papua untuk menentukan
nasibnya sendiri”, dimana seiring berjalannya waktu, penduduk Papua harus dapat
secara bebas menentukan masa depannya.
Belanda tetap
mempertahankan Nugini bagian barat daerah koloninya di pasifik selatan. Sukarno
merasa tertipu, setelah KMB tahun 1949 ia merasa senang dengan janji bahwa
Nugini bagian barat akan dibahas setahun kemudian. Tetapi pada Konferensi
Nugini tahun 1950, Belanda memutuskan untuk mempertahankan kepemilikannya atas
Nugini bagian barat. Keputusan Belanda menjadi dasar konfrontasi di masa depan
antara Indonesia dan Belanda.
Selama dua belas
tahun antara 1950 - 1962, hubungan antara Indonesia dan Belanda ditandai oleh
meningkatnya permusuhan. Selama periode itu, kebijakan Nugini Belanda
ditentukan oleh Mr.Joseph Luns, Menteri Luar Negeri Belanda, seorang nasionalis
sejati yang berpegang teguh pada wilayah jajahan Belanda di Timur Jauh sampai
akhir masa jabatannya.
ANGIN BARU
John F Kennedy di
Gedung Putih
Sejak Januari 1961,
Amerika Serikat memiliki presiden baru, John F. Kennedy yang muda dan ambisius.
Bersamanya memasuki Gedung Putih sekelompok staf baru yang menganjurkan
kebijakan berbeda. Nugini bagian barat tentu saja bukan isu kebijakan luar
negeri yang paling penting bagi pemerintahan Kennedy, tetapi isu tersebut
ditanggapi serius oleh Joseph J. Sisco seorang staf di Departemen Luar Negeri AS
saat itu, katanya: “Kami tidak ingin Barat diadu dengan Asia, kami juga tahu
bahwa Uni Soviet memasok senjata ke Indonesia dan jika konflik di Nugini bagian
barat berlanjut, Soviet akan memanfaatkannya”.
Diplomat Belanda
Emile Schiff, yang saat itu menjabat sebagai orang kedua di kedutaan besar Belanda
di Washington, menambahkan: “Mereka (AS) tidak menginginkan masalah kedua di
Timur Jauh, di mana mereka baru saja memulai dengan masalah di Vietnam.” Baginya
dan orang lain di kedutaan besar Belanda, memahami jelas bahwa pemerintahan
Kennedy sedang mati-matian mencari solusi untuk masalah Nugini bagian barat. Untuk
memulainya, kedua belah pihak segera diundang ke Gedung Putih. Belanda melalui
Menteri Luar Negeri Luns, pada tanggal 10 April 1961, dan Indonesia melalui
Presiden Sukarno, pada tanggal 24 April 1961.
Dalam kedua kasus
tersebut, para pihak Indonesia dan Belanda menyampaikan permohonan emosional
untuk tujuan mereka sendiri. Hal itu tidak begitu mengejutkan bagi AS. Namun,
yang luar biasa adalah pengunjung yang tak diduga tiba di Gedung Putih sehari
kemudian, pada tanggal 25 April 1961: , yaitu, Yang Mulia, Pangeran Bernhard
dari Belanda.
Jurnalis Belanda
Willem Oltmans mengklaim bahwa, Pangeran Bernhard memainkan peran tertentu
dalam masalah Nugini bagian barat. Dan rekannya Harry van Wijnen juga
mencurigai hal seperti ini ketika ia menemukan surat dari John F. Kennedy
kepada Ratu Juliana, suami Pangeran Bernard. Dalam surat tertanggal 16 Agustus
1962 ini, sehari setelah ditandatanganinya perjanjian antara Indonesia dan
Belanda, disebutkan secara tegas bahwa Ratu '…harus berterima kasih kepada
Pangeran atas wawasan baiknya mengenai masalah ini…'. Ditandatangani, John F.
Kennedy. Dokumen yang diungkap Andere Tijden menunjukkan betapa aktifnya
keterlibatan Pangeran Bernhard dalam kasus Nugini bagian barat.
SEORANG PANGERAN
DALAM POLITIK
Pada tanggal 25
April 1961, pukul empat sore, Pangeran Bernhard, ditemani duta besar Belanda
Van Roijen, bergabung dengan presiden baru AS John F Kennedy di Gedung Putih.
Pertanyaan pertama untuk Presiden Kennedy: “Bagaimana percakapan Anda dengan
Presiden Sukarno kemarin? Menurut Kennedy, Sukarno menunjukkan minat tunggalnya
pada subjek Nugini.” Pangeran Bernhard menekankan, bahwa Belanda berharap
adanya jalan keluar dan berakhirnya tanggung jawab Belanda di wilayah Nugini
bagian barat. Satu-satunya tujuan yang ada dalam pikiran Belanda adalah, agar
orang Papua benar-benar memiliki kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kennedy yakin bahwa Belanda tidak menjalankan kebijakan kolonial dalam
pengertian ini, tetapi Sukarno-lah yang bertujuan atas kolonialisme di Nugini
bagian barat.
Presiden Kennedy tidak
dapat mengatakan dengan pasti, apakah pembelian senjata oleh Indonesia dari Uni
Soviet akan digunakan untuk menyerang Nugini bagian barat, namun tidak dapat menyangkalnya. Apakah hubungan
antara Belanda dan Indonesia akan membaik jika masalah ini tidak diungkit
lagi?, tanya Kennedy kepada Bernhard. Dan Bernard menjawab, bahwa kebijakan
Indonesia di Nugini adalah kebijakan pribadi Sukarno. “Sukarno membenci Belanda
dan membutuhkan Belanda sebagai kambing hitam.” Kecuali Sukarno tidak ada
sentimen anti-Belanda di Indonesia, menurut Bernhard.
Setelah melanjutkan
perbincangan tentang NATO dan hak pendaratan KLM, Bernhard berangkat pukul 4:37
dan berjalan bersama Kennedy di 'South Grounds' hingga pukul 4:31, sesuai
agenda presiden. Pangeran Bernhard sudah berada di batas yang dapat diterima
selama percakapan dengan John F. Kennedy tentang Nugini bagian barat.
Berdasarkan sistem
hukum ketatanegaraan Belanda, Pangeran Pendamping tidak boleh ikut campur dalam
urusan pemerintahan. Ketika salah satu staf Gedung Putih menerima pengacara New
York Henry G. Walter Jr. pada tanggal 3 Mei 1961, menjadi jelas bahwa Bernhard
semakin terlibat dalam masalah Nugini bagian barat. Lebih dari empat puluh
tahun kemudian, Pangeran Bernhard juga tidak menyangkalnya. Namun, ia
menyatakan melalui Layanan Informasi Pemerintah bahwa keterlibatannya saat itu
sepenuhnya merupakan inisiatifnya sendiri.
PROPOSAL 'PB'
Pada tanggal 29
April 1961, Pangeran Bernhard menerima pengacara Amerika Henry G. Walter Jr. di
Soestdijk dan berbagi gagasan pribadinya tentang masalah Nugini bagian barat
dalam sebuah percakapan. Walter menuliskan beberapa hal di atas kertas dan,
atas permintaan Bernhard, membawanya ke Gedung Putih. Apa yang disebut
"Proposal PB," tertanggal 3 Mei 1961, diteruskan pada kedua penasihat
utama presiden Kennedy, McGeorge Bundy dan Walt Rostow. Sang pangeran,
sebagaimana disebutkan dalam surat yang menyertainya, bermaksud untuk
menyampaikan saran-sarannya dalam percakapan dengan Kennedy, tetapi 'lupa'
melakukannya. Salah satu alasannya adalah kehadiran Duta Besar Van Roijen.
Meskipun ia tidak selalu setuju dengan menteri Luar Negeri Josep Luns, namun ia
seharusnya tetap melaporkan kepadanya mengenai wawasan dan saran sang Pangeran.
Dan itu bukanlah tujuannya. Bernhard yakin bahwa Belanda harus menarik diri
dari Nugini bagian timur dan berkonsentrasi pada Eropa. Lebih jauh lagi, ia
percaya bahwa sebagian besar opini publik Belanda berpikiran sama. Akan tetapi,
Bernhard tidak memiliki peran resmi dalam pemerintahan dan, sebagaimana
dinyatakan dalam surat yang melibatkannya.
Menteri Luns berkeinginan
memblokir solusi seperti yang diadvokasi Bernard. Namun Bernhard punya jalan
keluar dari itu. Memanfaatkan AS memaksakan usulannya kepada Pemerintah Belanda,
sehingga memicu perdebatan dalam pemerintahan. “Bernard yakin bahwa desakan AS
akan membuat Ratu ambil bagian,
memengaruhi pemerintah ke arah yang mendukung usulan proposal Bernard, ”lanjut
surat itu. Jika hal ini tidak berpengaruh, usulan tersebut harus dipublikasikan
oleh AS atau negara lain, yang akan meningkatkan tekanan pada pemerintah
Belanda”.
Usulan 'PB' terdiri
dari tiga poin. Pertama, Belanda menyatakan kesiapannya untuk menyerahkan
Nugini bagian barat kepada perwalian multinasional. Ini berarti pemerintahan
untuk Nugini bagian barat yang terdiri dari perwakilan sekelompok negara.
Selain itu, Belanda tidak akan pernah menerima pengembalian Nugini bagian
barat, dan pilihan itu tidak akan dimasukkan dalam referendum di mana rakyat
Nugini bagian barat akan memilih masa depan mereka. Ketiga, Belanda akan setuju
bahwa pejabatnya akan tetap menjabat hanya selama para wali amanat
menginginkannya. Poin kedua dan ketiga merupakan hal baru, sebagaimana
dinyatakan pada judul 'komentar' dalam surat terlampir.
Di Belanda, gagasan
perwalian multinasional telah dibahas sebelumnya. Menteri Luar Negeri Luns juga
berjanji akan membahas hal ini selama kunjungannya ke Kennedy, tetapi gagal
melakukannya. Ia juga berjanji untuk menyelidiki sikap PBB terhadap rencana
ini, tetapi dalam praktiknya ternyata berarti bahwa ia telah bertanya kepada
Sekretaris Jenderal PBB apakah ia bersedia terlibat dalam 'portofolio yang
menyulitkan' Nugini bagian barat. Tentu saja dia menjawab tidak. Jelas bahwa
sang pangeran berharap rencananya akan meyakinkan Amerika untuk menekan Belanda
dan Menteri Luns. Semakin cepat Belanda dapat meninggalkan Nugini bagian barat,
semakin baik. Rencana itu disertai dengan memorandum lainnya. Di dalamnya,
pengacara Walter menyatakan bahwa Bernhard siap mengonfirmasi keaslian rencana
tersebut jika diminta. Namun, mengingat posisi Bernhard, hal ini tidak dapat
terjadi melalui saluran yang biasa seperti kedutaan Belanda di Washington atau
pemerintah Belanda di Den Haag. Kedutaan Besar AS di Den Haag seharusnya
menghubungi istana secara langsung.
NEGOSIASI
Sejak Juni 1961,
Belanda mengadakan pembicaraan rahasia dengan Amerika Serikat mengenai masalah
Nugini. Indonesia tidak terlibat dalam hal ini. AS dan Belanda bersama-sama
mempertimbangkan proposal mana yang paling layak diajukan di Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Baru pada saat itulah Indonesia akan diberi tahu.
Menurut Joseph Sisco, hal itu tidak
mengejutkan. 'Kami hanya lebih bersimpati terhadap Belanda dan mencari
kepentingan bersama'. Pembahasannya terutama difokuskan pada pencarian bentuk
perwalian, dengan atau tanpa bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana Nugini
bagian barat dapat ditempatkan. "Kami memahami kekhawatiran Luns – dia
tidak bisa secara politis menjual gagasan bahwa Nugini bagian barat akan diserahkan langsung ke Indonesia,"
jelas Sisco. Namun, menurutnya, sudah jelas sejak awal bahwa ini harus menjadi
hasil akhirnya: Nugini bagian barat akan berakhir dengan Indonesia,
bagaimanapun juga. Kendala utama untuk mencapai solusi, dan Pangeran Bernhard
sangat menyadari hal ini, adalah Menteri Luns. Dia dengan keras kepala tetap
bertahan pada posisinya. Duta Besar Van Roijen telah lama menyadari bahwa ada
sesuatu yang berubah dalam sikap Amerika sejak Presiden Eisenhower dan Menteri
Dulles, dan sebagai akibatnya ia mendapati dirinya semakin berselisih dengan
menterinya. Tetapi ketika inisiatif Luns gagal di Majelis Umum PBB dan Soekarno
menyerukan kepada penduduk melalui radio pada 19 Desember 1961, untuk
mempersiapkan serangan besar-besaran ke Nugini bagian barat, Luns juga setuju
untuk mengarahkan perundingan dengan pihak Indonesia. Dipimpin oleh diplomat
Amerika Ellsworth Bunker, delegasi kedua negara duduk di meja perundingan pada
tanggal 20 Maret 1962, di sebuah rumah pedesaan di Middleburg, Virginia. Pihak Indonesia
dipimpin oleh duta besar di Moskow, Adam Malik. Duta Besar Van Roijen memimpin
delegasi Belanda, yang juga terdiri dari Tn. Schürmann, duta besar Belanda
untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Jonkheer Huydecoper van Nigtevecht,
seorang pegawai kedutaan di Washington. Setelah beberapa hari negosiasi
ditangguhkan, tetapi apa yang disebut rencana Bunker telah dimulai. Pada
bulan-bulan berikutnya, hal ini dibahas lebih lanjut dalam kelompok-kelompok
kecil. Pada akhir bulan Mei, DPR dapat mencatat isi rencana Bunker. Perjanjian
ini mengatur pengalihan Nugini bagian barat ke pasukan sementara PBB UNTEA.
Pada tanggal 1 Mei 1963, Nugini akan diserahkan ke Indonesia. Dalam 'Tindakan
Pilihan Bebas' penduduk akan diizinkan untuk mengekspresikan pendapatnya
tentang masa depannya. Menteri Luns masih belum melihat banyak manfaatnya,
tetapi sebagian besar parlemen menganggap itu adalah solusi yang baik. Namun
usulan untuk menyerahkan Nugini bagian barat gagal memperoleh suara mayoritas.
KEBIJAKAN
PEMERINTAH
Pada tahun 1959 Pemerintahan
PM De Quay mulai menjabat. Perdana Menteri Jan de Quay adalah pendatang baru
dalam politik Den Haag. Kabinetnya mencakup pengangkatan pertama Sekretaris
Negara untuk Nugini bagian barat. Meskipun demikian, Menteri Luns mendominasi
politik berkenaan dengan Nugini bagian barat. Luns telah menjabat Menteri Luar
Negeri sejak 1952 dan selama bertahun-tahun mengangkat masalah Nugini bagian
barat. Ini dimulai ketika De Quay menyatakan pada sebuah pesta koktail untuk
wartawan asing pada tanggal 5 September 1960 bahwa solusi internasional harus
ditemukan untuk masalah Nugini bagian barat. Itu sama sekali bukan yang
diinginkan Luns. Dia sangat marah ketika kantor berita Reuters melaporkan
rencana internasionalisasi yang akan datang pada malam yang sama. Dermaga
hampir runtuh. Dalam buku hariannya ia menulis: 'Kekhawatiran besar internasional
dan nasional. Akan menjadi kehancuranku!'. Pada hari-hari berikutnya hal itu
tidak berkurang: 'Saya kewalahan dengan kasus Nugini bagian barat. Ini
menghancurkan saya...' dan 'Saya berharap bisa mengundurkan diri sebagai
menteri, tetapi kemudian seluruh kabinet akan pergi'. Setelah insiden ini, De
Quay menyerahkan Nugini bagian barat sepenuhnya kepada Menteri Luar Negerinya. Luns
sering mengklaim bahwa ia mempunyai kartu truf penting di tangannya jika
terjadi serangan Indonesia ke Nugini bagian barat: Amerika kemudian akan datang
membantu Belanda. Pada tahun 1957, saat makan malam di rumah Duta Besar Van
Roijen, ia berhasil mendapatkan catatan dari Menteri Luar Negeri Amerika John
Foster Dulles yang konon katanya ia menjanjikan hal tersebut. Luns mendasarkan
kebijakannya pada hal ini. Hingga hari ini, tidak ada seorang pun yang pernah
melihat “catatan Dulles”. Diplomat AS Sisco: 'Saya tidak tahu apakah ada
komitmen dari Tn. Dulles, tetapi pemerintahan Kennedy jelas tidak membuat
komitmen seperti itu.' Meski begitu, Luns tetap menjalankannya. Ia hanya
menolak melihat bahwa Belanda telah direndahkan menjadi negara pertanian di
Laut Utara. Kekuatan dunia yang pernah dimiliki Belanda ternyata menjadi
sesuatu dari masa lalu dan Luns tidak mau menerima hal itu. Diplomat Schiff
tentang Luns: 'Saya yakin dia mengira bahwa selama bendera kami masih berkibar
di sana, kami masih punya sesuatu untuk dikatakan. Dia sungguh-sungguh
bersungguh-sungguh. Namun, Luns juga harus mengubah kebijakannya selangkah demi
selangkah. Sejak pertengahan 1950-an, Indonesia telah menjalankan kebijakan
yang semakin agresif. Presiden Sukarno merasa bahwa setelah 10 tahun menunggu,
ia telah cukup sabar. Nugini pernah menjadi bagian dari Hindia Belanda dan
karena itu menjadi bagian Indonesia. Orang Indonesia menyusup ke Nugini secara
militer dalam skala yang semakin besar, pertama dari laut, kemudian dari udara.
Den Haag mulai menyadari bahwa negosiasi dengan Indonesia diperlukan untuk
mencapai solusi.
SISI MILITER
Dalam periode
1961-1962, Belanda mengirim hampir sepuluh ribu tentara Belanda ke Nugini
bagian barat, beberapa di antaranya adalah wajib militer. Untuk waktu yang
lama, angkatan lautlah yang terutama mengirim pasukan ke bagian tropis Belanda
ini, tetapi karena peningkatan aktivitas militer Indonesia, banyak prajurit
dari angkatan darat juga pergi ke Nugini bagian barat sejak tahun 1962 dan
seterusnya.
Setibanya di sana,
semua orang dikirim ke kamp pelatihan di Manokwari untuk pelatihan di hutan.
“Itu benar-benar perang gerilya,” kata Marinir Wim Elgers. Dia adalah seorang
profesional dan berada di Nugini bagian barat sejak September 1961. Pada akhir
tahun 1961, dia berakhir di peleton pengintaian dan intelijen dari batalion
infanteri keempat Marinir, yang aktif di Pulau Misool, di bagian barat laut
Nugini. Dia kemudian menjadi komandan seksi di sana. "Itu bukanlah posisi
yang tinggi karena saya hanya seorang marinir kelas satu tanpa prospek,
begitulah mereka menyebutnya saat itu," ujarnya sambil tertawa. Marinir
kelas 2, Peter Mannie dari Tilburg adalah bagian dari peleton pengintaian dan
intelijen yang sama dengan Wim Elgers. Dia wajib militer, tetapi secara sadar
memilih angkatan laut. 'Ia berharap akan dikirim ke Curaçao,' kata saudara
perempuannya Françoise de Jong-Mannie sekarang, 'Ia kecewa karena dikirim ke
Nugini. Tapi hei, kamu seorang Marinir, kamu tidak punya pilihan. Peleton
pengintaian dan intelijen ditugaskan untuk melacak penyusup Indonesia. Mereka
diturunkan dalam jumlah yang terus bertambah di New Guinea melalui pesawat,
seringkali di tengah hutan. Bahkan seringkali menjadi penyelamat mereka saat
mereka dilacak oleh pasukan Belanda. Tidak mudah untuk bertahan hidup di hutan,
belum lagi bahaya nyata masyarakat Papua yang kanibal. Para Marinir juga sering
menghabiskan waktu berhari-hari di hutan dan kehilangan informasi. 'Kami hampir
tidak menyadari situasi politik. Kami memiliki radio kecil dan mendengarkan
pesan-pesan yang sulit dipahami. "Kami tahu bahwa negosiasi sedang
berlangsung, tetapi kami tidak memiliki informasi lebih lanjut,' kata Elgers.Petinggi
militer pun tidak banyak memberikan informasi. Hal ini membuat mereka
menghadapi dilema yang mengerikan, karena sebagian besar penduduk tidak percaya
bahwa Belanda benar-benar dapat mempertahankan Nugini secara militer dalam
jangka panjang. Itu setengah dunia jauhnya dari Belanda, jalur pasokannya
terlalu panjang. Pada saat yang sama, moral pasukan harus tetap tinggi. Secara
lahiriah, tidak pernah ada keraguan: militer Belanda dapat menangani pekerjaan
apa pun.
PANGERAN
TERTANGKAP
Pada tanggal 4 Juni
1962, Pangeran Bernhard mengunjungi Presiden Kennedy lagi. Seperti biasa,
Kennedy menerima memo persiapan lain tentang pengunjungnya. Dinyatakan bahwa
Bernhard 'termasuk orang-orang yang menganggap kebijakan Luns berkenaan dengan
Nugini bagian barat sebagai kebodohan total'. Bagi sang pangeran, kunjungan itu
menandai akhir dari perjalanan panjangnya, di mana ia juga mengunjungi
pangkalan NATO di Alaska. Tidak ada misi rahasia kali ini dan sang pangeran
juga memberikan konferensi pers di Washington. Ketika ditanya oleh wartawan
tentang Nugini bagian barat, ia setuju bahwa Rencana Bunker adalah dasar untuk
negosiasi, tetapi 'Saya yakin hal itu telah diumumkan secara resmi oleh
pemerintah kami', kata sang pangeran, yang dengan demikian mencoba
menyembunyikan jawaban yang agak politis ini. Ada keributan di surat kabar
Belanda. Ketika sang pangeran kembali ke Schiphol beberapa hari kemudian, ada
konferensi pers lainnya. Bernhard mengulangi apa yang dikatakannya di
Washington. Kemudian dia meminta perhatian pada sesuatu yang mengganggunya:
sebuah artikel dari Elseviers Weekblad terbitan 26 Mei 1962 yang baru saja dia
baca di pesawat. Pangeran Bernhard melancarkan serangan sengit terhadap karya
ini, yang menurutnya penuh dengan kebohongan dan ditujukan kepadanya – dengan
kata-kata terselubung.
Para jurnalis yang
hadir di Schiphol tidak tahu seberapa cepat mereka harus mengambil Elseviers
Weekblad berusia dua minggu dari arsip. Pemimpin redaksi HA Lunshof menulis di
dalamnya tentang rencana pemerintahan tandingan, di mana masalah Nugini harus diselesaikan
terlebih dahulu, dan Menteri Luns harus diturunkan. Di bawah judul
'Pengkhianatan', terdapat artikel yang sugestif dan agak samar, namun tidak ada
satu nama pun yang disebutkan. Agaknya Pangeran Bernhard adalah salah satu dari
sedikit yang benar-benar memahaminya. Dia menyuruh pemimpin redaksi Lunshof
datang ke Istana Soestdijk untuk memberikan penjelasan. Lunshof kemudian
menyatakan bahwa semuanya didasarkan pada kesalahpahaman dan bahwa ia dan sang
pangeran menganggap konflik ini sebagai masalah tertutup. Perdana Menteri De
Quay mencatat dalam buku hariannya pada tanggal 28 Juni: 'HRH Pangeran datang
mengunjungi saya. Sangat rahasia: Luns secara praktis mendiktekan
artikel-artikel Lunshof. Di situlah Anda melihatnya, apa yang saya duga.
Jelek'. Kemungkinan besar selama periode ini Menteri Luns telah mendengar
tentang keterlibatan rahasia Bernhard dalam masalah Nugini dan telah meminta
temannya Lunshof untuk menulis sebuah artikel. Tentu saja, serangan semacam itu
tidak bisa ditujukan langsung kepada sang pangeran. Oleh karena itu, serangan
dilancarkan terhadap sekelompok pengusaha yang telah lama secara terbuka
menganjurkan pemindahan wilayah Nugini ke Indonesia. Inilah yang disebut
kelompok Rijkens, para pemimpin industri yang menentang dipertahankannya Nugini,
karena akan merusak posisi perusahaan mereka di Indonesia. Rijkens juga
terlibat dalam Bilderberg Group, yang didirikan pada tahun 1954 oleh Bernhard
sebagai badan konsultatif di mana politisi, pengusaha berpengaruh, dan lainnya
dari seluruh dunia dapat dengan bebas mengekspresikan pendapat mereka tanpa
dihalangi oleh posisi pemerintah.
Kontak antara
Bernhard dan kelompok Rijkens juga diketahui di Amerika. Surat yang menyertai
'proposal PB' menyatakan: 'Kami menyadari bahwa gagasan Pangeran Bernhard
mencerminkan pandangan komunitas bisnis di Belanda, yang memiliki hubungan
sangat dekat dengannya'. Pendapat kelompok lain kemungkinan besar turut
memengaruhi gagasan sang pangeran, yaitu pimpinan militer Belanda dan para
kepala staf. Sang pangeran memiliki kontak rutin dengan mereka sebagai
inspektur jenderal. Laporan pertahanan rahasia dari Maret 1960 tentang
pertahanan Nugini menyatakan: 'Hilangnya Nugini Belanda ke tangan musuh tidak
berarti ancaman terhadap keberlangsungan eksistensi Belanda sebagai negara
merdeka'. Dalam laporan tersebut, militer secara eksplisit menerima keputusan
politik untuk mempertahankan sisa-sisa kekuasaan kolonial di Asia, tetapi prioritas
mereka jelas adalah NATO. Pengacara Henry G. Walter Jr. membandingkan sikap
Bernhard dengan "seorang komandan yang mencoba mengatur jalur pasokan
militer."
AKHIR DI NEW YORK
Negosiasi formal
antara Belanda dan Indonesia dilanjutkan pada pertengahan Juli 1962 di rumah
Huntland di Middleburg, Virginia. Di pihak Indonesia, Menteri Luar Negeri
Soebandrio hadir. Dia telah diberi kebebasan yang diperlukan untuk bernegosiasi
oleh Presiden Sukarno. Hal ini sekarang juga berlaku bagi Duta Besar Van
Roijen, yang harus mengeluh sangat keras tentang hal ini kepada Dewan Menteri
di Den Haag. Luns masih tidak mau percaya bahwa Belanda harus menyerahkan
wilayah kekuasaannya yang terakhir di Asia. Schiff: 'Saya pikir itu sebagian
merupakan taktik dari Luns untuk menegaskan berulang kali bahwa dia berusaha
sebaik mungkin untuk mendapatkan sesuatu darinya. Dan dia sendiri benar-benar
harus menyadari bahwa hal itu benar-benar tidak dapat dilanjutkan lebih jauh
lagi. Luns butuh waktu lama untuk itu. Misalnya, pada tanggal 19 April 1962 ia
mengirim telegram kepada Duta Besar Van Roijen: 'Sayangnya, kesalahan besar
yang kita buat dalam menerima seorang Amerika sebagai apa yang disebut pihak
ketiga yang netral tidak dapat dibatalkan. Saya berhak mengungkap kesalahan
Amerika secara rinci pada konferensi NATO mendatang di Athena.'
Perilaku Luns menyebabkan Perdana Menteri De Quay sangat pusing: 'Telegram dari
Luns dari Athena. Apakah dia menggigit terlalu keras lagi? Dan peluang
berkurang?'. Luns mengambil sikap tegas, tetapi pihak Indonesia juga terus
menuntut hingga akhir. Joseph Sisco: 'Mereka mencoba mengulur waktu. Mereka
tahu bahwa kami menginginkan pemindahan apa pun yang terjadi. Dalam hal itu
kami memberikan lebih banyak tekanan pada Belanda dan terjadi ketidaksetaraan
dalam negosiasi. Pada tanggal 31 Juli 1962, para negosiator di Amerika telah
mencapai kesepakatan mengenai beberapa rincian. Mereka sepakat untuk
menandatangani kesepakatan di Dewan Keamanan di New York pada tanggal 15
Agustus 1962. Pada hari itu, Dewan Menteri di Belanda terus berunding hingga
larut malam. Menteri Luns masih kesulitan dengan hal itu. Baru pada tengah
malam waktu Belanda sebuah panggilan telepon dilakukan ke New York dan delegasi
Belanda yang menunggu di sana mendapat izin untuk menandatangani. Perdana
Menteri De Quay tampil di televisi langsung untuk mendoakan yang terbaik bagi
masa depan rakyat Papua.
AKHIR DI NUGINI
BAGIAN BARAT
Marinir Wim Elgers
dan Peter Mannie masih belum mengetahui adanya kesepakatan awal pada akhir
Juli/awal Agustus. Mereka sedang bekerja: sebuah laporan baru saja masuk
tentang penyusup Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus, peleton yang berjumlah 23
orang berangkat dari Kampong Wey di Pulau Misool. Untuk melihat musuh mereka
harus mendaki gunung. Setelah sekitar dua jam peleton tersebut menemukan sebuah
bivak yang digeledah. Sedikit lebih jauh, 15 pasukan komando Indonesia telah
bersembunyi. Elgers: 'Mereka mengambil posisi yang sangat bagus, mereka tetap
diam sampai akhir dan itulah sebabnya kami masuk ke dalamnya, penyergapan
terakhir'. Peter Mannie berada di depan dan terkena pukulan. Baku tembak dengan
pihak Indonesia pun terjadi. Dengan perlindungan dari belakang, Elgers mencapai
tubuh Peter Mannie. Dia berbaring tengkurap dan ketika Elgers membalikkannya,
dia tampak sedang menghembuskan nafas terakhirnya. Kalau dipikir-pikir lagi,
Elgers mengira ini hanya imajinasi. Peter Mannie kemungkinan tewas seketika. Elgers
dan yang lainnya menyeret tubuh Mannie melewati sebatang kayu, lalu Elgers
mengangkatnya di lehernya. Jadi mereka kembali ke Kampong Wey. Peter Mannie
langsung dibawa ke RS. Ibu Luijmes dibawa ke Sorong dan dimakamkan di sana
dengan penghormatan militer. Kemudian jenazahnya, seperti jenazah semua
prajurit Belanda lainnya yang tewas dalam pertempuran, dikembalikan ke Belanda.
Di Nugini, tidak ada satu pun rekan satu peleton Peter yang menghadiri
pemakaman. Keluarga di Belanda diberitahu oleh pendeta bahwa putra dan saudara
laki-laki mereka telah dibunuh sehari sebelum penandatanganan perjanjian.
Pastor Mannie mengalami depresi berat dan keluarganya pun terpecah belah.
Hampir empat puluh tahun setelah kematiannya, Peter Mannie dimakamkan kembali
di Pemakaman Loenen pada tanggal 6 Maret 2002. Suster Françoise de Jong-Mannie
baru saja mendengar dari Wim Elgers apa yang sebenarnya terjadi pada hari yang
menentukan itu di bulan Agustus 1962. Hingga saat itu, dia hidup dengan pikiran
bahwa saudaranya mungkin telah menderita. Elgers berhasil meyakinkannya bahwa
Peter telah meninggal seketika.
NOTA BENE
Dalam semua
pembicaraan dan perundingan dibahas: penduduk asli Nugini, orang Papua.
Tragisnya adalah begitu banyak pembicaraan tentang mereka dan mereka sendiri
jarang mempunyai kesempatan untuk mengatakan sesuatu. Pada akhir tahun 1950-an,
Belanda mulai mendirikan perwakilan terpilihnya sendiri untuk orang Papua, yang
disebut Dewan Nugini. Monumen ini diresmikan pada bulan April 1961 dengan
kemegahan dan kemegahan luar biasa dan di gedung baru. Dari luar, bangunan itu
tampak seperti gedung parlemen sungguhan, lengkap dengan jasa penerjemahan
untuk mengakomodasi berbagai bahasa yang digunakan para delegasi. Semua ini
tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa Dewan Nugini tidak memiliki pengaruh apa
pun terhadap apa yang benar-benar penting: masa depan politik negara tersebut.
Pemimpin Papua seperti Nicolaas Jouwe mencoba melobi PBB, namun tidak banyak
berhasil. Dengan semua masalah yang terjadi di dunia pada awal tahun 1960-an,
suara penduduk Papua di wilayah Nugini Belanda, yang jumlahnya kurang dari
800.000 orang, hampir tidak terdengar. Diplomat Belanda Emile Schiff mengenang
pesta koktail di kedutaan Belanda di New York, seminggu sebelum penyerahan itu
ditandatangani: 'Kami merasa malu di depan perwakilan Papua yang ada di sana.
Mereka mencoba segalanya, tetapi keputusan sudah dibuat. Sebagian besar orang
Papua tidak melihat ada gunanya berada di bawah kekuasaan Indonesia, karena
jika begitu mereka akan menjadi salah satu dari sekian banyak kelompok
minoritas di kepulauan Indonesia. Klausul dalam rencana Bunker yang menyatakan
bahwa orang Papua dapat memutuskan penentuan nasib sendiri paling lambat pada
tahun 1969 tampaknya tidak terlalu kuat. Nugini, atau Irian Barat sebagaimana
disebut di Indonesia, telah berada di bawah kekuasaan Indonesia selama
bertahun-tahun dan pertanyaannya adalah seberapa banyak kebebasan memilih yang
tersisa di sana. Sedikit, ternyata pada tahun 1969. Diplomat Amerika Sisco
tentang referendum yang diadakan pada saat itu dan di mana orang Papua
'memilih' untuk secara definitif menjadi bagian dari Indonesia: 'Sejujurnya
saya harus mengatakan bahwa Nugini Barat tidak memiliki prioritas bagi kami
pada saat itu. Kami sudah punya banyak pekerjaan di sana (terutama di Vietnam).
Kami tidak mau dan tidak bisa berbuat apa-apa. Emile Schiff masih percaya bahwa
saat itu tidak ada pilihan lain selain pemindahan akhirnya ke Indonesia,
tetapi: 'Belanda seharusnya tidak pernah menjanjikan kemerdekaan kepada orang
Papua, karena kami tidak dapat memenuhi janji itu'. Orang Papua sendiri terus
mengalami permasalahan dari saat itu hingga saat ini.
Teks: Gerda Jansen
Hendriks, Rob Bruins Slot, Yfke Nijland Penelitian: Rob Bruins Slot, Yfke
Nijland Pelaporan: Gerda Jansen Hendriks
Translate by:
Kristian Griapon